Semuanya akan menjadi lebih buruk.
•••
••
•Hai kak, aku cuma mau bilang tahaaan dulu ya emosinya. Tahan aja dulu..
•••
Adinda terdiam dalam lamunannya, menatap suami dan madunya berpamitan dengan Bunda-Anisa, sedangkan dia hanya diam di dalam mobil membawa perasaan yang berkecamuk.
Dreet..
Regal
"Hai Din, aku kembali.""Dinda."
Ponsel di tangannya terlepas bersamaan dengan suara Adnan yang memanggil namanya saat ia baru saja masuk ke dalam.
Adnan tertegun, ia hanya menatap ponsel yang tergeletak di bawah lalu memperhatikan Dinda dengan raut wajah yang tampak cemas.
"Kamu kenapa?" tanya Adnan, tangannya terulur untuk mengambil ponsel Dinda, namun, ia menepisnya dengan cepat.
"Aku aja yang ambil Mas," cegah Dinda tergesa.
Masih dengan perasaan yang memburu Dinda bangkit secara perlahan, memegang erat ponsel itu sesekali sudut matanya melirik Nisa yang duduk di belakang.
"Kita pulang ya?" tanya Adnan yang diangguki oleh mereka secara serentak.
Adnan tak mempercepat laju mobilnya, namun juga tak melambat. Saat ini pikirannya teralih, netranya terus menangkap tangan erat Dinda yang memegang ponsel itu dengan getaran hebat yang tampak jelas di sana.
Adnan menghela napasnya pelan, kenapa sikap Dinda barusan mampu membuat dadanya seakan dihujami beberapa pertanyaan. Terlebih wanita itu hanya diam dengan tatapan kosong ke samping.
"Dinda," Nisa mulai berbicara setelah cukup lama keheningan terjadi di dalam sana, ia menelan ludahnya susah payah menahan rasa takut.
"Maaf," lirih Nisa pelan. "Aku salah karena udah lancang mengadu masalah pribadi kita sama Bunda," titahnya.
Dinda menatap Nisa yang tengah menitikkan air matanya, menangis terisak ia di belakang menahan penyesalan yang ia perbuat.
"Kita sama-sama salah Sa," ucap Dinda, hatinya entah kenapa terasa remuk saat Anisa menangis, wanita yang beberapa tahun ini menjelma menjadi sahabatnya belum pernah ia lihat sekali saja menjatuhkan air mata.
Wanita itu terus tersenyum, ia bahkan tak pernah mengatakan satu ucapan yang berhasil menyakiti hati Dinda, Nisa wanita yang teramat baik baginya.
"Aku juga lancang mengadu kepada Bundaku. Sayangnya, orang tua kita berbeda," Dinda tersenyum hambar kala ia mengatakan itu.
"Gak Din, Bunda kamu punya cara lain untuk menyayangi kamu."
Dinda tertawa kecil, hal itu berhasil membuat Adnan dan Nisa cengo. "Iya Sa, orangtuaku berbeda, dia bilang kalau putrinya ini punya kekuatan luar biasa yang tak mungkin bisa merasa sakit." ujarnya.
"Dinda," potong Adnan kala Dinda memalingkan wajahnya ke samping. "Kamu gak papa?"
"Gak papa Mas." tegas Dinda, ia memutar lagi kepalanya menghadap Adnan yang fokus menyetir. Senyuman tipis ia perlihatkan untuk Adnan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHLAS [END]
Spiritual"Menikahlah dengan Mas Adnan, Sa," ulang Dinda dengan pelan. "Kenapa aku harus menikah dengan suami dari sahabatku sendiri? Aku gak mau Din," jelas Anisa menolak dengan secepat kilat saat permintaan tak masuk akal dari sahabatnya itu terlontar. Adin...