○ 59

181K 19.5K 873
                                    

Suara ketukan palu menjadi akhir dari persidangan pagi ini. Setetes air mata turun melewati pipi Lia. Kepalanya menoleh ke belakang, menatap kedua putrinya yang tengah menatapnya dengan mata memerah.

Suara borgol terkunci menyadarkan Lia, bahwa hukuman yang seharusnya dia terima sejak dulu, akan dia rasakan setelah ini. 15 tahun adalah waktu yang sangat lama. Dan selama itu juga, dia tidak akan pernah bisa menemani kedua anaknya lagi, atau bahkan cucunya yang akan segera lahir.

Lia hanya bisa berharap, semoga Allah mengizinkan dia hidup untuk lebih lama lagi, agar dia bisa keluar dari penjara dengan keadaan yang sehat. Dia ingin berkumpul, dan berbahagia bersama keluarganya. Hanya itu yang dia inginkan.

Perlahan, kaki Lia melangkah dengan berat, meninggalkan aula persidangan. Di ambang pintu, untuk yang terakhir kalinya, dia menoleh ke belakang lagi. Memastikan bahwa kedua putrinya akan selalu baik-baik saja nantinya. Lia menatap Ara dengan tersenyum hangat. Senyum yang begitu menenangkan, sambil berkata tanpa suara.

Ara mengangguk dengan kaku, menahan tangisnya mati-matian. Gerakan bibir Lia yang mengatakan 'Bunda sayang kalian. Bunda titip Dita' membuat nafasnya tercekat. Dia ingin berlari dan memeluk Bundanya dengan erat, namun di sini dia juga harus menguatkan Adiknya yang tengah menangis tersedu-sedu.

Usapan lembut di punggungnya, menyadarkan Ara dari lamunannya. Ini adalah jalan yang begitu berat bagi dia, Bundanya, juga Adiknya. Ara mengurai pelukannya dengan Dita, dan menghapus air mata Adiknya dengan lembut.

"Kita bisa jenguk Bunda kapanpun kamu mau," kata Ara dengan sangat lembut.

Dita diam tidak membalas ucapan Ara. Dia terlalu larut oleh rasa sedih dan sesak yang ada di hatinya. Ara merangkul pundak Dita, dan menuntunnya untuk berjalan keluar dari aula persidangan. Meninggalkan Arkan yang tengah berbicara dengan kedua pengacaranya.

Ara dan Dita duduk di bangku panjang yang tidak jauh dari aula persidangan. Tatapan mata Ara tampak kosong, namun dia memaksakan seutas senyuman untuk membuat Dita tenang. Sekarang, hanya Ara lah yang menjadi penguat Dita.

"Minum dulu, sayang." Jihan dan Setyo datang dengan membawa dua botol air mineral. Di belakang mereka juga ada Risa, Fahmi, dan Izan yang tertidur di gendongan Risa. Mereka semua datang untuk mendampingi Ara dan Dita.

"Jangan sedih, kami juga keluarga kamu. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sama Mama dan Papa." Risa mengusap kepala Dita dengan tersenyum manis.

Dita menutup botol air mineralnya, lalu menggeleng pelan. "Aku mau tinggal di rumahku sendiri."

"Kenapa? Kamu mau tinggal sama Kakak?" tawar Ara.

Dita menggeleng lagi. "Aku bisa tinggal sendiri, Kak. Jangan khawatir."

"Sering-sering ke rumah Tante sama Om, atau ke rumah Ara, biar kamu nggak kesepian," ujar Jihan.

"Iya, Tante."

Arkan keluar dari aula persidangan dengan kedua pengacaranya, lalu mereka semua pulang, setelah mengantar Dita ke rumah.

***
Setelah seharian bersedih karna kasus sang Bunda, malam ini Ara sudah kembali ceria seperti biasanya. Mungkin berkat sang calon anak yang senang sekali mengubah mood buruknya menjadi sangat baik.

"Mas Arkan, kenapa nasi padang gak ada lampunya? Kan namanya padang," celetuk Ara, setelah menelan suapan nasi padang dari Arkan.

"Hemat listrik," jawab Arkan sekenanya.

"Kan ada subsidi dari pemerintah."

"Sayang ...." Arkan menatap Ara jengah.

"I love you too," balas Ara meringis.

Tidak lama kemudian Ara kembali bersuara, yang membuat Arkan mendengus kesal. Pasalnya istrinya itu seperti anak kecil, yang kalau makan gak bisa diam.

"Mas Arkan, selama hamil, aku suka nonton kartun botak. Nanti anak kita ikutan botak gak?"

"Enggak. Rambutnya tebal kayak aku."

"Mas tau darimana? Kalau rambutnya kayak aku gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Kamu Mamanya, aku Papanya. Wajar aja."

Ara mengangguk setuju. "Aku harap anak kita nggak seganteng kamu."

"Kenapa?" tanya Arkan heran. Dimana-mana namanya orang tua pasti berharap yang terbaik buat anaknya.

"Susah jagainnya. Pasti nanti diikejar banyak ciwi-ciwi," gerutu Ara.

Arkan hanya menggelengkan kepalanya, tanpa menimpali gerutuan Ara.

"Dita udah makan belum ya?" gumam Ara tiba-tiba.

"Aku udah kirim makanan ke Dita."

Ara menghela nafasnya kasar, lalu bersandar di sofa, menopang dagunya dengan telapak tangan. "Dia pasti kesepian. Dia itu manja, Mas. Dia cengeng. Selama ini dia selalu bergantung sama Bunda, terus sekarang dia sendirian."

Arkan menepuk kepala istrinya dengan lembut. "Dia sudah besar. Biarkan dia belajar hidup mandiri. Kita juga tidak mungkin melepasnya begitu saja, kan?"

Ara mengangguk-anggukan kepalanya dengan lesu. "Mana dia jomblo, kasihan."

"Hey, apa hubungannya sama itu, sayang?" tanya Arkan, menatap gemas istrinya.

"Kalau dia punya pacar, setidaknya dia ada yang ngapelin, Mas. Jadinya dia gak terlalu kesepian," jelas Ara. "Dulu Riko sering ngapelin aku, waktu aku habis dimarahin sama Bunda," sambung Ara, lalu sedetik kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Arkan menatap istrinya datar. "Mengenang mantan, huh?"

"Keceplosan," ringis Ara.

"Makan sendiri, terus tidur di kamar tamu!" ucap Arkan, kemudian berlalu menuju dapur.

"Mas! Nggak mau! Mau disuapin! Mau dikelonin!" pekik Ara, seraya menyusul langkah kaki Arkan yang besar-besar seperti raksasa.

"Mas Arkan! Aku nangis nih! Aku aduin Mama ya!" ancam Ara.

"Kenapa jadi kamu yang ngadu? Harusnya aku! Seenaknya kamu bahas mantan di depan aku? Mana mantan kamu jelek banget. Nggak level aku sama dia," balas Arkan sambil mencuci tangannya.

"Kalau nggak level kenapa cemburu? Kenapa marah coba? Kamu merasa tersaingi sama dia?" kata Ara dengan tersenyum menggoda.

Arkan membalikan tubuhnya, menatap Ara dengan tersenyum miring. "Tersaingi? Dia jauh dibawahku, sayang. Dia cuma ngasih kamu cinta semu. Sedangkan aku? Cintaku tulus sama kamu, dan aku kasih bonus ini juga," balasnya, sambil mengusap perut besar Ara.

Ara mengerucutkan bibirnya, lalu meninggalkan Arkan yang tertawa penuh kemenangan.

***

Tbc.

Tadi pagi tu mau update, tapi kuotanya abis. Maaf ye.

Ada yang nungguin Mas Arkan dan istrinya versi cetak?

Sabar dulu ya, soalnya masih antri, hehe.

Dah dulu gaes, see you besok sabtu kalau ngga ya minggu.

Maaf kalo ada typo, soalnya ga sempet ngoreksi.

Stay safe ya semua. Babay!

Semarang, 3 Agustus 2021
Salam Indah♡

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang