57. Ketika Kawan Menjadi Lawan

803 101 0
                                    

"Shh ... aw! Pelan-pelan, Lin."

Alin menggelengkan kepalanya pelan. Tangannya masih sibuk mengoleskan benda putih lembut dengan alkohol ke sudut bibir Haikal yang terlihat sedikit robek.

"Pelan-pelan, Alin ...."

Alin memandang Abangnya malas. Ia sengaja menekankan kapas tersebut hingga membuat Haikal meringis.

"Kejam banget jadi adek," gerutunya.

"Makanya lain kali jangan adu jotos. Alin seneng Bang Ikal belain Alin. Tapi engga dengan cara berkelahi bisa kan?" Alin melirik Haikal seraya membereskan kotak P3K.

"Ya kali harus adu panco, Lin."

Alin mendelik tajam, membuat Haikal langsung tertawa saat melihatnya. Wajah Alin yang seperti bocah baru masuk SMP bukannya terkesan seram, malah menjadi terlihat menggemaskan.

Ponsel Haikal yang berada di atas meja bergetar. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

"Siapa yang telpon? Ayah?" tanya Alin.

"Bukan. Sebentar, Abang angkat telponnya dulu."

Haikal langsung mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya tanpa beranjak dari hadapan Alin.

"Hallo."

"Lu serius?" tanya Haikal dengan mata berbinar, seraya melirik Alin yang tengah menatapnya kebingungan.

"Oke. Lu sekarang ke Absturb Caffe, gua ada di sini."

Setelahnya sambungan telpon terputus. Dahi Alin mengkerut saat melihat Abangnya yang senyum-senyum sendiri setelah menerima telpon barusan.

"Barusan yang telpon siapa?"

"Arra."

"Arra?" beo Alin.

Haikal mengangguk. "Dia udah dapetin bukti kalau kamu engga bersalah. Dan sekarang dia tengah menuju ke sini."

Alin menatap Abangnya tak percaya. Mata gadis itu terbelalak. "Seriusan, Bang?"

"Iya, Alina .... " ujar Haikal gemas.

Menunggu kedatangan Arra tidak membutuhkan waktu lama. Sekitar 30 menit kemudian gadis itu datang dengan masih memakai baju seragam putih abunya.

"Ini sebuah klarifikasi yang bisa kita jadikan sebagai bukti kalau Alin gak bersalah."

Alin menatap bahan bukti yang Arra berikan dengan seksama. Raut wajahnya menampilkan ketidak percayaan. Sama halnya dengan Haikal, Abangnya melihat bukti itu dengan kedua tangan yang terkepal.

"Berani-beraninya mereka bersekongkol buat jatuhin adek gua!"

"Buat sekarang emosi engga guna, masa skorsing Alin akan berakhir satu hari lagi," ujar Arra dengan tenang, sambil meminum kopi yang telah ia pesan.

"Sori, Lin. Gue baru dapetin buktinya hari ini."

Alin tersenyum, kepalanya menggeleng. "Engga papa, Arra. Justru gue harus berterima kasih sama lo, karena lo mau bantuin gue."

Alin melirik Abangnya yang menatapnya tak suka, ia sedikit terkekeh. Alin tau mengapa Abangnya seperti itu. Haikal paling tidak suka kalau Alin berbicara menggunakan bahasa gaul yang baru saja Alin gunakan, yaitu panggilan 'Gue-Elo'. Namun, mau bagaimana lagi? Jika berada di sekolah, Alin selalu menggunakan panggilan gaul tersebut kepada teman-temannya.

"Urwell. Jadi sekarang apa yang akan lo lakuin dengan bukti itu?" tanya Arra.

Alin tersenyum penuh arti. "Memperlakukan mereka, layaknya mereka memperlakukan gue."

Hiraeth [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang