Altair kembali melingkari tanggal di kalendernya. Sebentar lagi, sebentar lagi yang terus ditunggunya. Meski dia tahu, tahun ini, akan tetap sama. Tidak ada lagi senyum bahagia di wajahnya. Tidak ada tiupan lilin bersama orang tuanya. Tidak ada yang mewah dan perlu dipamerkan. Iya, Altair tahu, tapi dia tetap laki-laki yang tolol bukan? Dia tetap berdoa pada Tuhan, selalu minta, untuk tahun ini, semoga saja, Tuhan mengabulkannya. Altair sadar, dia itu manusia hina. Meminta Tuhan jika mengingat akan sedihnya saja. Pergi ke gereja seperlunya saja. Bahkan suka memaki akan apa yang dikasih kepadanya. Tanpa Altair tahu, ada banyak tawa yang ia keluarkan itu berasal dari Tuhannya. Semua orang memang begitu. Hal yang sederhana suka dilupakan. Secuil kebahagiaan dari menyemil roti Roma dengan susu bersama keluarga saja kadang terdengar membosankan.
"Papa mau bicara." Altair menoleh. Mendapati Johan-yang sudah berdiri memegang dinding dekat pintu.
"Bicara apa? Pembicaraan kita selalu aja penuh drama. Selalu berakhir, papa yang mukulin, Al. Ini tentang dia kan? Istri papa dan anak papa itu?"
"Please, sekali saja." Johan memohon. Altair seakan menuli. Apa wanita tadi mengadu pada papanya?
"Di sini. Al nggak mau keluar kamar," kata Altair.
Papanya masuk. Bahkan, ini mungkin, kali pertama setelah beberapa tahun, Johan tidak mengamati kamar putranya sendiri. Cat dengan warna berbeda, sangat gelap. Hanya ada tempelan lukisan-lukisannya, piala-piala yang tidak pernah Johan harapkan karena Johan pikir itu tidak ada gunanya. Tidak akan dicari orang luar.
Johan berhenti saat melihat kotak, yang isinya, cutter, gunting, serta pisau lipat. Johan menghela napas, lalu duduk di samping Altair.
"Papa putuskan untuk bawa kamu ke psikiater."
Ucapan Papanya membuat Altair mendelik. Benar bukan jika wanita itu akan mengadu? Sialan. Dasar sialan! Merusak kesenangannya saja.
"Aku nggak gila," kata Altair. Wajahnya tiba-tiba dingin. Bahkan dia berdiri, dan siap menyuruh papanya keluar.
"Ke psikiater bukan berarti orang gila Altair!" Johan mulai meninggikan suaranya.
"Apa yang wanita itu bilang sama papa? Bilang kalau Al suka gores tangan sendiri? Suka minum obat-obatan? Iya?!"
"Kamu tahu, papa nggak pernah ajarin kamu buat begitu. Kalau sampe papa biarin kamu terus-terusan gini, kamu bisa gila! Kamu mau papa seret ke rumah sakit jiwa?!"
"Apa peduli papa? Kalau di sana Al bisa bahagia, lebih baik Al di sana. Papa tahu kenapa Al ngelakuin itu? Karena kalian semua! Papa yang selalu bandingin Al sama Gema. Papa yang selalu belain wanita itu. Dan sekarang, sekarang mama juga berhasil nyakitin Al, Pa! Kalian udah bahagia, sedangkan Al? Al cuma pura-pura baik Pa. Harusnya kalau Papa adalah ayah yang baik, Papa tau perasaan anaknya. Atau jangan-jangan Al itu bukan anak papa sama mama ya?"
"Jaga bicara kamu! Papa sama mama itu orang tua kamu. Kalau kamu nggak mau ke psikiater, berhenti ngelakuin itu. Sampe papa dengar atau lihat kamu melakukannya lagi. Papa nggak segan-segan seret kamu ke rumah sakit jiwa."
Johan pergi. Benar kan? Pembicaraan mereka itu hanya berakhir perkelahian. Meski bukan pukul-pukulan. Namun, beradu mulut jauh lebih menyakitkan. Altair memukuli kepalanya yang pusing. Bahkan, dia juga tidak malu menangis.
"Psikiater?" Altair tertawa lirih, mengusap air matanya. "Papa bahkan nggak mencoba memperbaiki semuanya. Kenapa nggak papa aja yang ngobatin aku?"
***
"Na. Kalau tiba-tiba gue nggak ada. Lo gimana? Sedih nggak?"
Altair kembali mengajak Alana ke pantai. Menenangkan diri, padahal harusnya dia ke gereja karena acara. Namun, Altair menolak datang. Dia justru pergi bersama Alana.
Alana melirik Altair yang mengayuh perahu. Awalnya Alana tengah bermain dengan air, tapi lewat ucapan Altair yang ambigu, membuat Alana bingung.
"Kamu ngomong apa si, Al? Nggak ada gimana? Kamu sekarang kalau bicara suka aneh-aneh. Aku nggak suka tau."
"Hmmm, entah ya. Akhir-akhir ini gue juga ngerasa aneh. Kayaknya, sama lo, itu kek cuma ketemu dalam satu bis, terus pisah di halte."
"Na, jawab dulu. Kalau gue tiba-tiba kecelakaan, terus nggak tertolong, reaksi lo gimana?"
"Kamu masih sempet tanya itu? Coba kamu tanya sama diri kamu sendiri. Gimana reaksi orang-orang yang sayang banget sama kamu, tapi ditinggal pergi sama kamu. Ibarat, kamu sayang sama burung, tapi dia terbang dari kandangnya dan nggak balik lagi. Sakit, Al. Cukup sakit untuk diibaratkan. Apa kamu mau pergi ninggalin aku?"
"Na, jangan nangis dong. Gue kan cuma mikir kalau-kalau. Gue nggak akan tinggalin lo. Malah gue yang takut, lo yang bakal ninggalin gue. Lo salah satunya, Na. Salah satu yang gue harepin di dunia ini. Setelah Bunda, Kristal dan temen-temen."
"Aku nggak bakal tinggalin kamu."
"Sebentar lagi gue ulang tahun. Gue mau minta sesuatu dari lo."
"Minta apa?"
Up!
See you next part 🌛
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Berdamai dengan Luka (TAMAT)
Teen FictionStart : 15 April 2021 Selesai : 11 Juli 2021 Cerita ini hanya tentang luka. Tentang laki-laki, perempuan dan semesta yang saling mendapat luka. Ketiganya berjuang untuk hidup bahagia. Meski pada akhirnya salah satu mereka tetap terluka di jalur baha...