“Aku membencimu,” ucap Ziya, lirih. Meski demikian Respati masih dapat mendengarnya.

***

“Dia berusaha menggugurkan kandungannya?” Sejejak getir tergambar kala tanya mengudara. Respati memegang pangkal hidungnya sembari mengembuskan napas panjang.

“Sebelumnya nona pernah berkata pada saya, bahwa nona tidak ingin membawa jiwa lain terlahir ke dunia dan merasakan nestapa. Saya bisa merasakan keputusasaan nona. Tidak ada hasrat hidup di kedua matanya. Saya berusaha sebaik mungkin menjaga nona. Memastikan nona tidak bertindak gegabah.” Satu tangan menyeka air mata yang terus berlabuh di wajah, sementara tangan lain meremas kuat kemasan pil kosong.  Ada segumpal sesal yang mengendap di dada. “Hari itu tangan nona terluka. Tanpa pikir saya membawa kotak obat-obatan ke kamar. Saya lengah, sampai tidak sadar beberapa pil menghilang dari sana.”

Mendengar itu Respati lemas seketika. Memejamkan mata sembari mengepalkan tangan, ia mencoba berdamai dengan badai yang berkecamuk di perasaan. Namun, percuma saja. Sesal tetap bertalu-talu di jiwa. Bingung harus bagaimana melampiaskannya, ia meninju dinding rumah sakit sekeras tenaga.

Argh!” Ia melakukan itu berulang kali. Abai pada luka yang menganga akibat kerasnya tinjuan. Baginya, rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit Ziya.

Alih-alih menghentikan Respati, Ila justru bersimpuh dengan kedua tangan menyatu di depan dada. “Tuan, saya mohon lepaskan Nona Ziya. Jangan lagi sakiti nona. Saya tidak bisa melihat nona terus-menerus menderita. Ini tidak adil, Tuan. Tuan membuat nona membayar untuk sesuatu yang bukan kesalahan nona.”

“Adil?” Respati mengulang satu kata penuh sembilu berkarat yang dengan tanpa iba menghunjam raga. Berbalik badan membelakangi Ila, ia berjalan menjauh dengan tatapan menerawang. “Ziya, aku telah melakukan begitu banyak ketidakadilan padamu.”

***

Sekali lagi Ziya dan janinnya selamat dari bahaya. Respati menarik napas lega. Duduk di samping brankar, ia menatap dalam wajah Ziya. Lengkung tipis pucat itu tampak menggoda. Setelah diperhatikan lebih lama, pertanyaan demi pertanyaan menghinggapi kepala. Perihal bagaimana bisa sosok lembut Ziya menahan semua penyiksaannya dengan sukarela? Sedalam apa kesabaran yang ia punya hingga tetap bertahan setelah dihujani galabah? Jika itu wanita lain, mungkin ia sudah berusaha melarikan diri dari sejak Respati membawa gigolo di malam pertama mereka.

“Bukankah kau sangat membenciku? Lalu, kenapa kau ingin meninggalkan dunia secepat itu? Lampiaskan dulu kebencianmu. Buat aku membayar semua duka dan nestapamu. Jangan biarkan orang seberengsek aku lepas begitu saja. Kau harus membuatku merasakan penderitaan yang sama.”

Semua ketegaran runtuh; menyisakan seonggok daging yang rapuh dan payah. Mengusap puncak kepala Ziya dengan penuh kelembutan, air mata luruh tanpa aba-aba. Mendekatkan bibirnya ke telinga si wanita, ia berbisik, “Tolong, jangan sakiti dirimu lagi. Kau tidak pantas merasakan itu semua. Akulah yang harusnya menderita.” Selepas mengatakan itu Respati memutar tumitnya. Pergi dengan membawa setumpuk sesal.

Tepat ketika pintu kamar ditutup rapat dari luar, kedua netra Ziya terbuka. Sejak tadi ia sadar dan mendengarkan semua ucapan sang suami, tetapi memilih diam saja. Setetes hujan jatuh membasahi pipinya.

Aku mulai lupa, bagaimana ketulusan dan kebaikanmu pernah menawanku dalam cinta. Tersebab sekelumit kecewa telah menyuji di rongga dada. Statusmu pun perlahan berubah; tidak lagi menjadi tuan yang dinantikan atma. Saat langkahku perlahan menjauh dari pelataran renjana yang ternoda cendala, tiba-tiba kau kembali seperti saat pertama kita menyapa. Betapa hangat dan lembut, hingga diam-diam jiwa tergoda untuk kembali bermukim di sana. Namun, bisakah hati yang berdarah menerimamu sekali lagi sebagai tuannya?

***

Bersandar pada bagian depan mobil, Respati mengambil korek api dari saku celana. Sendalu bertiup cukup kencang membuatnya cukup kesulitan menyalakan sebatang rokok yang terselip mesra di antara jari telunjuk dan tengah. Meski demikian, pria bersurai seleher itu berhasil juga melakukannya. Ia kemudian menyesap rokok dengan penuh penghayatan, lalu mengembuskan asap dari mulut dan hidung perlahan-lahan sembari mendengarkan merdunya debur ombak di tengah malam.

Ia memilih pantai sebagai tempat berbagi kalut marut yang menyerang kepala. Bukan hanya untuk mencari ketenangan. Namun, juga untuk mencari tempat mengakhiri segala permasalahan.

Selepas menikmati sebatang rokok, Respati melangkah mendekati bibir pantai. Putus asa tergambar di kedua netra. “Ansa sudah tidak ada. Lantas untuk apa aku masih di dunia? Untuk menyakiti wanita lain hingga hancur hidupnya?” Ia tersenyum pedar menyaksikan debur ombak membasahi kaki. Tanpa ketakutan terus berjalan hingga air laut mencapai setengah dari tubuhnya. “Mungkin lebih baik jika seorang pendosa sepertiku hilang dari dunia.”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang