[41] Benci

6K 398 72
                                    

Berkawanlah dengan jemawa. Biarkan ia merantaimu dalam cendala. Merongrong hati hingga tuli dan buta. Lantas menunggu masa di mana ancai menjamah jiwa dan raga.

***

Duduk bersandar pada dinding kamar, kaki kiri Respati tergeletak lurus searah ranjang, sementara kaki lain ditekuk untuk menopang tangan kanan yang memegang sebotol wiski. Wajah kusut masai, kemeja penuh bercak darah, dan rambut yang acak-acakkan dengan jelas menggambarkan betapa kacau seorang Respati. Netra seindah senja itu menjelajahi sekeliling kamar yang suram dan sunyi, sebelum akhirnya kembali mereguk wiski. Berharap dengan mabuk semua luka bisa mengevaporasi.

Satu teguk, dua teguk, dan tak lagi yang tersisa. Ia mendengkus kesal dan membuang botol wiski kosong ke sembarang arah. Bangkit dari posisi duduk, Respati lalu berjalan sempoyongan menuju lemari. Beberapa detik berlalu dalam sepi. Ia memandang lama isi lemari. Namun, tiba-tiba dengan penuh amarah pria bertubuh tinggi itu mengeluarkan semua barang mendiang sang istri.

Tak perlu banyak kata, kedua netra telah dengan cukup menggambarkan betapa jijik perasaannya. Ia dengan brutal mengoyak baju-baju Ratna. Tak puas sampai di situ saja, ia mengambil pemukul bisbol dan menggunakan itu untuk menghancurkan semua barang di kamar. Respati berlaku layaknya orang kesurupan.

Berdiri di depan cermin besar, ia menatap dirinya dengan penuh iba. Tawa pedar memenuhi seluruh ruangan yang kacau balau. “Kau! Kau adalah pria paling bajingan!” Mengacungkan telunjuk ke arah bayangannya di cermin, Respati berteriak parau. “Kau merasa paling benar. Kau hancurkan kehidupan orang lain dengan tanpa merasa bersalah. Kau—” Perkataan Respati terhenti, sesaat setelah ia ambruk tak sadarkan diri.

***

Meraba-raba sekitarnya, Respati  yang baru terjaga langsung mendesah pelan. Mengerjap-ngerjapkan mata, ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Semalam pria itu jatuh terkapar di lantai dan tenggelam dalam lelap setelah puas mabuk-mabukkan. Melihat keadaan sekeliling ruangan yang masih kacau balau, niat untuk bangkit teredam. Respati kembali rebah sembari mengembuskan napas panjang.

Baru beberapa detik matanya terpejam, tiba-tiba teriakan bernada cemas terdengar dari luar. Berniat mengabaikan, tetapi saat nama Ziya menyapa telinga, secara langsung ia bangkit dari posisi tidur. Dengan langkah sempoyongan ia menuju sumber suara, yang ternyata adalah kamar Ziya. Kedua iris cokelat itu membulat sewaktu menyaksikan sang istri tergeletak lemah di depan kamar mandi dengan kepala dipangku Ila. Darah terlihat berceceran dari ranjang hingga tempat Ziya berada.

“Nona!” Ila meraung layaknya orang gila. Mengusap wajah Ziya, ketakutan tergambar di kedua netra yang penuh akan galabah. “Nona, tolong jangan menakuti saya.”

Ziya tak banyak bereaksi. Tangannya dengan setia memegang perut yang nyeri. Sementara wajahnya kian pucat kesi.

Untuk sejenak Respati terhanyut dalam bingung . Namun, kemudian ia dengan cepat membawa tubuh Ziya ke dalam gendongannya. “Siapkan mobil!” Tatapan Respati mengarah pada salah seorang pelayan yang berada paling dekat dengannya. Segera ia mengangguk dan melaksanakan perintah.

Tanpa banyak kata, Respati bergerak tangkas membawa Ziya ke mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Menempatkan si wanita di kursi belakang, ia menjadikan pahanya sebagai alas kepala. “Kumohon, bertahanlah!” Menggenggam tangan Ziya yang sedingin es, diam-diam perasaan takut memenuhi rongga dada. “Aku janji tidak lagi menyiksamu. Jadi, jangan tinggalkan aku.”

Keringat dingin membasahi dahi Ziya. Menggigit bawah bibir, ia menahan sakit yang menyerang perut dan perlahan sekujur raga. Dalam kesadaran yang perlahan mengabur, ia berusaha membuka mata; melihat Respati yang dengan penuh kelembutan membelai wajahnya.

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang