Alana mengeratkan genggaman buku-bukunya, saat masuk rumah mewah milik Gemaya. Sungguh, dari pesta Minggu lalu, Alana lebih ditakjubkan dengan rumah ini. Begitu mewah, bahkan desain-desainnya dirancang dengan megah. Warna putih mendominasi setiap ruangannya. Namun, hanya satu yang kini menjadi fokus Alana. Ada tanda salib, dan satu patung yang diyakini Alana itu milik umat kristiani.
Gema menoleh pada Alana yang diam di belakangnya. Laki-laki itu mengedarkan pandangan yang sama dengan apa yang menyita perhatian Alana. "Sorry, Na. Itu punya adik tiri gue. Kebetulan dia Kristen sendiri di rumah." Ucapan Gema mengakhiri pertanyaan di kepala Alana. Gadis itu mengangguk, Gema menyuruhnya untuk duduk, sedang dia akan mengambil beberapa bukunya di atas dan menyuruh bibi untuk membuatkan minum dan cemilan.
Perhatian Alana jatuh lagi dengan foto yang nampak tidak asing baginya. Gadis itu hendak berdiri, tetapi Gema sudah turun. Cowok itu mengenakan kaus oblong hitam dengan celana olahraga. "Na, wa lo kok ceklis satu? Lagi bokek data atau gimana?" tanya Gema. Alana menggaruk pipinya ragu. Teringat saat Altair tahu Alana dan Gema saling save nomor. Saat itu juga Altair langsung memblokir dan menghapus nomor Gema.
"Em, ini, Kak. Aku ...."
"Lo udah punya cowok ya?" potong Gema.
"Eh?"
"Cuma nebak. Tapi saran gue lo jangan pacaran dulu, Na. Fokus aja sama sekolah lo."
"Iya, Kak. Oh, ya. Aku ada beberapa soal yang sulit dipahami. Kakak bisa bantu jawab?"
"Mana coba lihat."
Lama mereka belajar, hingga kericuhan terjadi di luar. Alana terkejut, suaranya keras seperti orang sedang berantem. Gema menyuruhnya tenang. Cowok itu langsung berlari ke depan.
"Hebat ya kamu malem-malem keluyuran. Pergi pagi buta trus sekarang baru pulang. Ke mana aja kamu?! Papa malu, Altair. Malu! Tetangga penuh cibiran tentang kamu. Apa kamu nggak capek hah?"
"Kenapa harus mikirin tetangga si, Pa? Al capek Pa. Tapi bukan soal cibiran tetangga. Ini soal keluarga Al yang tiba-tiba berubah jadi boomerang di kehidupan Al sendiri. Capek, Pa. Papa milih wanita jalang itu dan Mama memutuskan untuk nikah lagi. Al paling capek di sini, Pa."
Bukannya mendapat iba, Altair justru mendapatkan tamparan dari papanya. Kesekian kali karena sudah menghina istri tercintanya yang bukan-bukan. "Papa nggak pernah ajarin kamu jadi hewan yang nggak punya otak! Kurang ajar kamu jadi anak lama-lama."
Altair tidak memegang pipinya seperti biasa. Dia menatap remeh papanya lalu berujar, "Karena papa memang ngga pernah ngajarin Al! Papa taunya cuma marah, marah dan marah. Taunya cuma bisa bandingin Al sama anak itu. Inget, Pa. Dia cuma anak tiri Papa."
"Kalau anak tiri bisa diandalkan, kalau anak tiri bisa membanggakan. Saya lebih milih Gema dari pada kamu."
"Al benci Papa!" Laki-laki itu lemah. Namun, tidak diperlihatkan ke semua orang. Wajahnya memang nampak emosi. Namun, hatinya ingin sekali menangis. Dia pergi, masuk dan bertatap muka dengan Gema yang akan menyusul mereka.
"Kenapa lo? Cari muka banget jadi anak tiri aja. Minggir!"
***
Alana yang sedang duduk, merasa begitu terkejut saat yang masuk kembali bukan Gema melainkan Altair. Cowok itu menatapnya dengan dingin, hingga Alana menelan salivanya berat. Altair menaiki tangga, sehingga timbul banyak pertanyaan di kepalanya.
"Na, sorry. Tadi di depa—"
"Kak, tadi itu Altair?" potong Alana. Gema segera mengangguk.
"Dia adik tiri gue. Jangan bilang ke sekolah, dia nggak suka."
Adik tiri gue? Alangkah terkejutnya Alana. Hingga sudah punya jawaban pun, Alana masih ingin bertanya banyak.
"Oh iya, Kak."
"Sorry ya. Tadi ada keributan kecil. Gue juga heran sama watak dia. Tapi ada satu hal yang bikin gue kasian sama dia."
"Apa, Kak?" keponya.
"Kita lanjut belajar ya? Setelah itu gue anter pulang."
***
"Ini Om David, pacar mama. Mama harap kamu bisa hargai keputusan Mama. Salam sama Om David."
Altair benar-benar merasa kesal lantaran mamanya tidak bilang jika makan malam ini akan ada orang lain. Anak itu mendiami David yang memberinya telapak tangan. Altair enggan, sangat enggan. Dia takut suatu saat orang baru akan mengubah tabiat mamanya kepadanya.
"Altair, mama bilang salam sama Om David," kata Vera lagi.
"Mama nggak bilang akan ada dia makan malam ini." Bukannya berjabat tangan Altair justru melirik mamanya.
David menurunkan tangannya tersenyum. Kemudian, menjawab, "Om yang suruh mama kamu untuk ajak kamu ke sini. Om mau lebih kenal kamu. Ayo kita makan."
"Al pulang aja, Ma. Kalian bisa makan malam berdua."
Vera mungkin sudah habis kesabaran. Dia menatap kesal pada anaknya yang tak punya sopan santun. "Apa hidup bersama papa kamu diajarin kurang ajar begini, Al? Mama cuma mau kamu sopan aja sama Om David. Lagi pula Om David akan jadi papa kamu. Dia juga baik lho," ujarnya panjang lebar.
"Al nggak setuju Mama menikah!"
Bentakan itu berakhir tamparan dari Vera. Untuk pertama kali Altair mendapatkan tamparan seperti itu selain dari papanya. Altair mengepalkan tangannya, dia sangat marah. Kenapa semua orang tidak bisa mendengar maunya. "Dengan atau tanpa persetujuan kamu Mama akan tetap menikah. Lagi pula Mama juga tidak akan langsung membiarkan kamu luntang-lantung di luaran sana kan? Harusnya kamu bersyukur. Papa sama mama baru kamu itu sayang sama kamu, mama dan om David juga sama."
Mendengar jabaran penuh bulshit dari mamanya membuat anak itu tertawa sumbang. Dia sampai lupa bahwa dia laki-laki. Bisa-bisanya ujung mata terdapat bulir air yang hendak jatuh. "Mama nggak pernah tahu apapun. Sama seperti papa!"
Up:)
Dikit-dikit asal tamat. Udah sampai ending soalny hehe🌛
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Berdamai dengan Luka (TAMAT)
Teen FictionStart : 15 April 2021 Selesai : 11 Juli 2021 Cerita ini hanya tentang luka. Tentang laki-laki, perempuan dan semesta yang saling mendapat luka. Ketiganya berjuang untuk hidup bahagia. Meski pada akhirnya salah satu mereka tetap terluka di jalur baha...