First Tears

1K 149 37
                                    

"Kita sudah sampai," kata Eren begitu memarkirkan mobilnya di basement.

Levi mengerjapkan mata mengusir kantuk yang sempat menggelayutinya. Selanjutnya dia menemukan wajah alpha itu menunjukan sikap yang begitu kuat sekaligus lembut seolah-olah separuhnya berada dalam bayangan sementara separuh lainnya dalam cahaya. Sejenak Eren tampak begitu tegang sebelum dia menarik senyumnya. Dia melepaskan sabuk pengamannya lalu menggapainya guna melepas sabuknya, Levi terengah saat wajah mereka hanya tertaut jarak beberapa inci.

"Kau bisa mundur sekarang jika kau tak ingin tinggal denganku," ucapnya dengan bersungguh-sungguh. Mata zamrudnya nyaris terlihat putus asa.

Levi terkejut mendengarnya namun dengan cepat dia menguasai diri. Seketika dia merasakan kekuatan besar yang merasukinya sewaktu melontarkan kata-katanya. "Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku yakin tentangmu."

Eren mengamatinya selama beberapa detik dan menarik napas lalu mengembuskan dengan cepat. Kemudian dia berhasil keluar dengan anggun sebelum bergerak ke bagasi untuk mengeluarkan kopernya. Levi bergegas mengikutinya merangkak turun.

Suasana basement benar-benar sepi, ada belasan mobil yang terparkir di sana selain milik Eren. Pria itu meraih pinggangnya dengan lengan, menariknya menuju sebuah lift dengan tangan lainnya menyeret koper Levi. Eren menekan sebuah tombol di panel lalu pintu pun terbuka. Di dalam terasa lebih hangat dan serba keperakan. Levi melihat Eren menekan angka terakhir, menunjukan letak penthouse-nya yang berada di lantai teratas gedung.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di penthouse Eren. Di tengah sebuah ruangan yang tak asing lagi bagi Levi dengan set furniture bernuansa earthy dan minimalis. Semua perabotan di sana seakan-akan menyambut kembali kehadirannya. Eren langsung membawanya ke kamar. Well ... kenangan tentang tidur bersama tiba-tiba menyerang kepalanya seketika.

Kamar itu masih sama seperti ketika terakhir kali Levi menempatinya. Benar-benar khas seorang Eren. Levi menyingkap tirai sehingga sinar matahari kekuningan langsung menyergap masuk.

"Apakah kau ingin minum?" tanya Eren menawarkan.

Levi mengerdip padanya. "Teh hitam, kalau ada."

"Tentu."

"Eren, di mana aku bisa meletakan pakaian dan barang-barangku?" bisiknya.

"Di lemari dan di mana pun kau mau. Aku tak keberatan jika kau mengubah kamar ini sesukamu."

Detik selanjutnya, Levi tidak menahan Eren keluar. Dia berdiri di dekat jendela besar dan menyadari bahwa dia telah melangkah lebih jauh memasuki kehidupan Eren. Napasnya terembus resah, Levi menatap ke luar jendela. New York tertutup salju sekarang.

"Sebaiknya aku merapikan pakaianku," gumamnya lalu mulai bergerak menguak isi kopernya.

Ternyata Eren telah melonggarkan setengah ruang di lemari pakaiannya. Dia juga menyiapkan meja kosong dan kursi di salah satu sudut kamar untuknya. Levi tersenyum samar melihatnya. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya sampai Eren kembali dengan membawa sebuah nampan di tangannya.

"Kau sudah selesai?" Eren meletakan nampan di meja. Ada secangkir teh dan kopi juga sepiring potongan apel segar di atasnya. "Minumlah lalu kau bisa beristirahat."

Dia mengulurkan cangkir teh. Levi meneguknya. Tidak ada yang sesempurna teh hitam untuk melegakan kerongkongan. Eren baru saja menyesap kopinya lalu mengunyah sepotong apel. Pada waktu itu juga Levi teringat ciuman mereka yang berasa apel. Darah langsung berkumpul di bawah lapisan kulitnya yang pucat dan mewarnainya dengan rona merah semu. Dia memanas sekaligus merasa malu.

Call Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang