"Sayang, aku berangkat dulu!"
Ara berjalan menghampiri suaminya yang tampak buru-buru. "Makanya, kalau dibangunin itu langsung bangun."
"Namanya juga ngantuk," balas Arkan seraya mengambil kotak makan yang sudah istrinya siapkan.
Ara mencium tangan Arkan, yang dibalas ciuman singkat di keningnya, juga perutnya.
"Papa kerja dulu, baik-baik sama Mama," pesan Arkan pada anaknya.
"Hati-hati, Mas."
"Iya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ara memasuki rumahnya kembali, saat mobil Arkan sudah keluar dari halaman rumah mereka.
"Hari ini kita mau ngapain? Mama bosen belajar terus. Papamu itu nyebelin, sayang." Ara mengusap perut besarnya, mengajak bicara pada anaknya.
"Oh, kamu mau shoping?"
Ara terdiam sesaat. "Ide bagus. Ayo kita habiskan uang papa kamu," katanya sambil berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap.
Beberapa menit kemudian, Ara turun dan berjalan menuju dapur. "Bi Inah, aku mau ke mall dulu. Titip rumah ya, Bi."
"Nanti kalau gurunya Non datang gimana?"
"Aku udah chat, buat gak usah datang dulu, tapi belum dibalas. Kalau nanti ke sini, suruh pulang aja."
"Baik, Non, hati-hati di jalan."
Ara mengangguk, lalu mencium tangan wanita paruhbaya itu. Setelahnya, Ara keluar menemui sopirnya untuk minta diantarkan ke mall. Ini adalah kali pertamanya Ara keluar berjalan-jalan setelah cukup lama melakukan kegiatan di rumah setiap hari.
Sepanjang perjalanan, Ara tak berhenti untuk mengusap perut besarnya. Perutnya yang membuat Arkan gemas. Setiap malam, Arkan selalu mendusel-dusel wajahnya pada perut Ara. Sesekali menggigitnya, membuat wanita itu kesal.
Dering ponsel Ara berbunyi. Senyum manis terbit di wajah cantiknya. "Assalamualaikum, Mas."
"Waalaikumsalam, sayang. Kamu kenapa gak bilang sama aku dulu kalau mau ke mall?"
Ara menggigit bibir bawahnya. Jujur saja, ia lupa meminta izin suaminya. Keinginan anaknya terlalu menggebu-gebu, sampai melupakan Arkan. "Maaf Mas, aku lupa."
Ara dapat mendengar helaan nafas suaminya. "Mas marah? Aku minta maaf. Janji, cuma sebentar aja."
"Hati-hati. Telfon aku kalau ada apa-apa."
"Iy—"
"Jangan lari, jangan ikutan desak-desakan diskonan. Suami kamu kaya, beli yang gak diskonan juga mampu. Jangan capek-capek, jangan lama-lama berdiri, nanti kalau capek aku juga yang mijitin kan."
Ara tertawa kecil. Ia tak menyangka, pria yang dulunya datar-datar saja, kini menjadi sosok yang cerewet sekaligus perhatian. Ara jadi merasa seperti abg yang baru jatuh cinta.
"Sayang, kamu kenapa diam? Perut kamu sakit lagi? Atau kenapa?" Tanya Arkan khawatir. Gak tau aja, di seberangnya, istrinya itu lagi senyum-senyum sendiri kayak orang gila.
"Kamu cerewet," kata Ara.
"Iya, aku cinta kamu juga."
Ara tertawa lebar dengan kepala menggeleng-geleng. "Aku udah nyampe mall. Nanti aku telfon lagi,"
"Sayang, nanti ke kantorku. Aku kangen kamu,"
"Kita belum ada satu jam pisah, Mas."
"Aku kangen sayang," rengek Arkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...