[15] Kau Anakku

4.4K 310 22
                                    

Berjongkok sambil memeluk lutut, Ziya menangis sesenggukan. Berharap air mata dapat meredakan badai yang melanda perasaan. Walau ternyata semua itu tidak berguna. Sesak semakin bertakhta. Candrasa menusuk tanpa iba. Sementara ia kian sekarat dalam pelataran lara.

Jika boleh memilih, maka aku berharap bisa tiada menggantikan mama. Apa gunanya menghirup udara, kala yang menghinggapi paru hanyalah debu-debu sesal saja? Apa gunanya raga menapaki bentala, kala semesta telah merajam jiwa hingga tak bersisa? Haruskah aku terus hidup dalam sandiwara? Menerima setiap luka saat hati kecil menolak dengan gamblangnya.

Asyik berkelindan dalam gamang, tanpa Ziya sadari dari arah belakang seorang pria—memakai kemeja navy dipadukan celana hitam—melangkah pelan mendekati dirinya. “Kak Ziya?”

Berhenti menangis, Ziya pulih dari lamunan. Suara itu terdengar akrab di telinga. Ia dengan cepat menyeka air mata yang telanjur membasahi wajah. Lantas berbalik badan dan dengan ramah menyapa, “Hai, Presna.”

“Apa yang Kakak lakukan di sini?” Memandang Ziya dari ujung kaki hingga kepala, ia menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa Kakak terlihat ... berantakan?”

Menggeleng pelan, Ziya berusaha tersenyum. Meskipun memiliki hubungan yang buruk dengan Treya, tetapi ia tak pernah melampiaskan itu pada adik tirinya. Begitu pun Presna yang bersikap baik dan kadang pasang badan membela Ziya kala semua orang berlomba menusuknya.

“Bukankah hari ini ... maaf, maksudku, em ... bagaimana bisa Kakak menghadiri pesta?” Presna mengetahui luka Ziya dan hapal betul setiap ulang tahun pernikahan orang tua mereka, kakaknya akan mengurung diri dalam kegelapan. Menjauh dari hiruk-pikuk keramaian. “Apa yang terjadi?”

“Bukan apa-apa. Aku hanya mencoba berdamai dengan luka.”

Bohong. Ziya tak bisa mengatakan Respatilah yang mengatur ini semua untuk menyiksanya.

“Kakak yakin?”

“Ya.” Ziya menganggukkan kepala. “Lalu, kenapa kau bisa di sini?”

“Ah, ya, aku mencari udara segar. Di dalam terlalu memuakkan.” Mengerucutkan bibir, Presna dilanda kesal memikirkan bagaimana para kaum sosialita membangun relasi dengan cara menjilat satu sama lainnya.

“Kalau begitu, Kakak pergi duluan. Kau nikmatilah udara segar di sini.”

“Kak,” panggil Presna, saat Ziya telah melangkah beberapa meter darinya. “Temuilah papa. Papa ingin berbicara dengan Kakak.”

“Em, aku akan menemuinya.”

***

“Bagaimana kabarmu?”

“Bagaimana kabarku?” Ziya membasahi bibirnya dengan saliva, sedetik kemudian tersenyum tawar. Memandang Yudistria yang berdiri angkuh dalam balutan jas hitam mahal, ia tergelak pedar. “Basa-basi murahan.” Membuang muka, wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu berusaha menyembunyikan amarah yang berkecamuk di dada.

“Aku tidak punya pilihan lain. Respati mempunyai semua bukti kecelakaan Ratna. Aku tidak mau kau masuk penjara. Kau—”

“Pembohong!” Mendongakkan kepala, menatap langit malam tanpa bintang—sesuram hatinya yang kelam—Ziya berkata, “Kau punya banyak pilihan. Kau bukan tidak rela aku dipenjara. Kau mengambil keputusan ini karena tidak ingin kasusku menjadi amunisi pihak lawan untuk menjatuhkanmu dari kursi kekuasaan. Benar bukan, Tuan Yudistira?”

Sebaik apa pun Ziya menjaga intonasi suara, aroma kebencian tetap merasuk dalam kata-kata. Yudistira mengembuskan napas pelan. Belum sempat memberikan penjelasan, sang anak kembali menyerang. “Untuk kekayaan, kau korbankan mamaku. Untuk kekuasaan, kini giliran aku yang menjadi persembahan ketamakanmu. Kapan kau akan puas? Sampai aku mati seperti mama? Haruskah aku bunuh diri juga?”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang