[4] Sebuah Permainan

5K 296 1
                                    

“Aku perlu penjelasan!”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan.” Respati memasukkan es ke gelas kaca menggunakan pencapit. Memutar-mutar gelas sebentar, hingga dingin dari es menyatu bersama vodka, ia tersenyum pedar.

Hanum bersedekap di dada. Berdiri di depan dinding kaca yang menampilkan barisan gedung pencakar langit di ibu kota, ia menyipitkan mata. “Sebulan yang lalu kau memutuskan menikahi Ziya. Saat itu bahkan belum genap empat puluh hari kepergian Ratna. Ibu bilang, kau melakukannya karena kesepian. Jadi, baik aku ataupun ibu tidak berniat menghalangimu melakukan pernikahan. Hidup harus terus berjalan, bukan?” Berbalik badan, ia berjalan menuju Respati dengan ekspresi yang sulit diterka. “Namun, aku selalu merasa ada yang aneh. Pernikahanmu dan Ziya seolah-olah hanyalah permainan saja.”

“Ya, ini hanyalah sebuah permainan.” Respati meminum seteguk vodka selepas bicara.

“Permainan balas dendam?” Hanum—memakai kemeja putih dipadukan jas dan celana kain cokelat—menarik napas dengan tangan mengepal. “Aku tahu orang seperti apa dirimu. Setelah kepergiaan Ratna, kau tidak mungkin menikahi Ziya dengan alasan sepele seperti mencari ibu sambung untuk Ashwa. Kau memiliki tujuan yang lebih besar dari itu semua.”

Berbohong pada Hanum bukanlah perkara mudah. Seperti Hanum yang mengenal Respati dengan sangat baik. Respati pun hafal betul orang seperti apa kakaknya. Ia akan mencari jawaban atas keraguan hingga ke akar-akarnya.

“Mencari pembunuh Ratna, menikahinya, lalu balas dendam dengan cara menyiksanya hingga menderita. Bukankah ini yang kau lakukan pada Ziya?” Duduk di depan meja kerja yang dipenuhi setumpuk berkas-berkas penting, Hanum mengurut pelan pelipisnya kala Respati menganggukkan kepala. Ia telah menghabiskan waktu sebulan lamanya hanya untuk mengorek informasi dari orang-orang sekeliling Respati, terutama Daniel.

Respati menoleh ke arah Hanum sebentar. “Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dijelaskan. Kau sudah tahu alur ceritanya, bukan?”

“Bagus!” Menggebrak meja, Hanum tak bisa mengendalikan emosinya. Amarah jelas terpancar di kedua netra. “Kau lama-lama menjadi seperti ayah.”

Meremas kuat gelas di tangannya, Respati dengan dingin berkata, “Jangan pernah membandingkan aku dengan pria berengsek itu!”

Tepuk tangan Hanum semakin menambah tegang suasana. Sedetik kemudian berhenti dan menatap tajam Respati. “Bagaimana bisa aku tidak membandingkanmu dan dia, jika kalian memiliki hobi yang sama?” Riak-riak luka bercampur berang menyala di kedua iris segelap jelaga. “Balas dendam.” Dua kata itu diucapkan dengan penuh penekanan.

“Lalu kau berharap aku melakukan apa?” Respati kembali meneguk vodka yang tersisa dua pertiga gelas. “Melepaskannya setelah menabrak Ratna?” Tertawa dengan mata memerah, pria berkulit kuning langsat itu menatap cincin di jempolnya. “Kau tahu, dialah yang menyebabkan Ratna tiada. Namun, bukannya bertanggung jawab, dia justru menggunakan kekayaan dan kekuasaaan untuk menutupi kejahatan. Dia pantas mendapatkan itu semua.”

“Ya, dia pantas mendapatkan hukuman. Tapi bukan dengan cara seperti ini!” Hanum meninggikan suara.

Respati mengambil jus jeruk tanpaa es di depannya. Bangkit dari tempat duduk, ia mendekati Hanum dan memberikan itu padanya. “Lalu dengan cara seperti apa?”

“Bawa dia ke kantor polisi dan buat dia dipenjara. Bukankah itu lebih baik daripada balas dendam dengan menggunakan pernikahan yang sakral?”

“Bawa dia ke polisi?” Respati membuang muka. “Apakah itu adil untukku? Untuk Ratna yang kehilangan nyawa? Untuk Ashwa yang hidup tanpa sosok ibu di hidupnya? Tidak! Pembunuh sepertinya layak menderita. Dia harus merasakan apa yang aku rasakan.”

“Kau tidak bisa menyebutnya sebagai pembunuh. Apakah dia sengaja menabrak Ratna? Tidak, Respati. Itu kecelakaan dan tidak sepenuhnya kesalahan Ziya. Bukankah kau sudah melihat rekaman CCTV? Kau jelas tahu Ratna yang menyeberang dengan tidak hati-hati.” Menepikan gelas berisi jus jeruk yang Respati berikan ke samping kanan, ia mengembuskan napas panjang. “Kesalahan Ziya adalah pergi melarikan diri setelah menabrak Ratna. Oleh karena itu, kau tidak seharusnya menghukum dia dengan begitu kejam.”

“Maaf, bagiku dia tetaplah pembunuh. Jika kau mau membelanya, silakan saja. Tapi aku tidak akan pernah berhenti menyiksanya.” Selesai mengucapkan itu, Respati pergi tanpa permisi.

***

Mematung di depan kaca, Ziya memperhatikan gaun hitam yang membungkus tubuhnya. Sedetik kemudian iris cokelat itu menyusuri setiap jengkal ruangan tempat ia bernaung. Tanpa ranjang, hanya ada sebuah lemari kecil yang dipenuhi pakaian hitam, meja berkaki pendek, dan kaca setinggi satu setengah meter di dekat jendela. Jika dibandingkan dengan kamarnya di kediaman Grekala, tentu saja berbeda jauh. Semua kemewahan runtuh dalam semalam.

“Aku tidak menyesal.” Tersenyum, Ziya mengusap bekas luka di tangan kirinya. “Bisa melihatmu setelah sekian lama adalah berkah untuk pendosa sepertiku.”

“Nona.” Pintu diketuk pelan. Tidak lama seorang wanita paruh baya masuk sambil membawa nampan. “Saya mengantar makanan untuk Nona.” Berjalan melewati Ziya, ia meletakkan nampan di atas meja.

Diam. Ziya bergeming di tempatnya. Menyadari itu, Bibi Yoli—kepala pelayan keluarga Jayaprana—memberi penjelasan. “Tuan memerintahkan saya menyajikan ini untuk Nona.”

Seekor ikan bakar dipenuhi potongan cabai tersaji di atas piring porselen warna hijau. Ziya meneguk saliva. Tak berani menyentuhnya, meski terlihat menggoda. “Maaf, bisa aku makan nasi saja?”

“Apa Nona tidak menyukainya?” Wanita dengan terusan berkerah pita dan penutup kepala dari kain segitiga itu mengambil kembali makanan yang baru ia hidangkan. “Haruskah saya buatkan makanan baru?”

“Tidak perlu!” Respati tiba-tiba muncul di ambang pintu. Memberi kode lewat gerakan mata, Bibi Yoli dengan segera meninggalkan kamar Ziya. “Siapa kau?” Tanpa aba-aba, tangan pria berkemeja polos hijau muda itu mendarat di wajah Ziya. Membuat wanita bersurai panjang bergelombang tersebut jatuh tersungkur dengan sudut bibir berdarah. “Hanya karena kau menikahiku, tidak berarti kau diterima rumah ini. Ingatlah, kau adalah sampah!”

Menyeka sudut bibirnya yang berdarah, Ziya mencoba berdiri. Namun, Respati secara tak terduga memegang lehernya dari belakang. “Berani menolak makanan yang sudah kusiapkan?” Suara Respati terdengar dingin dan menakutkan. “Terima apa yang Bibi Yoli sajikan! Sampah sepertimu tidak layak memilih-milih makanan.”

Satu tangan Respati menarik rambut Ziya hingga terdongak, sedangkan tangan lain mengambil asal bagian ikan menggunakan sendok dan menyuapnya paksa. “Telan!”

Ziya menggeleng-gelengkan kepala. Meremas kuat ujung terusan, ia meneteskan air mata. Respati sama sekali tak menaruh iba. Semakin gila dalam melancarkan siksa. Ziya batuk-batuk akibat tersedak. Melihat itu ia tertawa pedar dan melepaskan tarikan.

Memukul-mukul dadanya, Ziya berusaha memuntahkan ikan yang telah ditelan. Namun, tak berhasil. Keringat dingin menyucur di dahi. Ia jatuh terbaring di lantai dengan tangis sesenggukan. Beberapa saat kemudian kehilangan kesadaran.

“Jangan mencoba bersandiwara. Bangunlah!” Respati menendang kaki Ziya, pelan. Tidak ada respon. Berjongkok, ia tersenyum iblis sebentar, sebelum akhirnya memasang ekspresi tegang kala melihat wajah pucat Ziya. Mengguncang tubuh itu dengan amarah, ia berteriak, “Kau mencoba menakutiku? Buka matamu, Ziya!”

Hening. Ziya benar-benar pingsan. Tanpa pikir panjang, ia menggendong wanita itu menuju luar ruangan. Bibi Yoli dan pelayan lain yang sedang membersihkan bekas camilan di ruang makan dibuat terkejut bukan kepalang menyaksikan sang tuan dilanda kecemasan.

Mengikuti Respati dari belakang, Bibi Yoli tak sempat melayangkan pertanyaan. Sebab saat mencapai ia mencapai pintu keluar, Respati telah masuk ke mobil dan melajukannya kencang. “Apa yang sedang terjadi? Apakah Nona Ziya terluka?”

Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang