"Di sini aja. Lagian Mama selalu nyuruh Saka beli rumah. Pasti kamu bosan kan di apartemen sendirian? Gak kayak kalau tinggal di daerah perumahan, bertetangga. Jadi, kamu bisa bersosialisasi atau nanti Mama nyuruh Saka beli rumah daerah sini, biar tiap hari kamu bisa ke sini kalau Saka pergi kerja."

Mendengar rentetan kata Mama, Haidee hanya mampu tersenyum tipis. Tinggal di apartemen atau pun di daerah perumahan, Saka yang memutuskan. Haidee ikut saja.

"Iya Ma. Bulan depan aku ikut," ujar Haidee kalem. Memutuskan masuk arisan keluarga karena merasa tak enak jika menolak. Apalagi ini bukan pertama kalinya ia diajak masuk. Arisan keluarga tersebut hanyalah sekedar istilah, tidak seperti arisan pada umumnya yang mengumpulkan uang secara teratur dan akan diundi. Mereka hanya mengundi nama, dan nanti nama yang keluar adalah tempat diadakannya acara bulanan keluarga Gandhi Pramunaja tersebut.

Diadakan acara seperti ini setiap bulan sebagai bentuk silaturahmi antara mereka agar mereka semakin dekat satu sama lain.

Sangat berbeda jauh dari keluarga Haidee. Kedua orang tuanya saja jarang di rumah karena sibuk bekerja, bagaimana mau kumpul keluarga seperti ini?

》》《《

Siang harinya satu per satu anak Mama serta cucu-cucunya datang ke rumah, sehingga rumah tersebut ramai. Apalagi cicit-cicitnya yang masih kecil. Empat balita yang semuanya berjenis kelamin laki-laki, berlarian ke sana kemari.

Yang paling kecil, Kenzi berusia dua tahun menjadi sasaran dibuat nangis. Kakaknya, kakak sepupu bahkan om-omnya lah pelakunya membuat bocah gempal tersebut menangis.

Haryan, Papanya Kenzi turun tangan menjitak satu per satu kepala adik sepupunya. Hendak menjewer keponakan dan anak pertamanya juga, tapi mereka berlari. Lalu ia menggendong Kenzi, menenangkan putra kecilnya.

"Makanya cepet nikah, Dam, biar bisa bikin anak lo nangis!" ujar Haryan setengah kesal dan setengah mengejek Sadam.

"Heran, dokter spesialis anak malah suka bikin anak kecil nangis!" cibir Fikram.

"Nanti kalau gue punya anak gak bakal gue bikin nangis lah, Bang!" ujar Sadam kesal sembari mengusap kepalanya yang masih sakit akibat jitakan Haryan. Mengabaikan cibiran Fikram.

"Gimana mau bikin anak kalau gak ada istrinya?" ejek Karunia, anak kedua keluarga Gandhi Pramunaja.

"Tunggu aja tanggal mainnya, Tan," ujar Sadam tertawa.

"Tunggu terus! Dari tahun kemarin kamu ngomong gitu terus, Dam! Eyang udah bau tanah nih!" sahut Nyonya Gandhi Pramunaja.

Semuanya berseru protes karena Mama selalu saja menyebut 'bau tanah'. Tentunya mereka ingin Mama hidup panjang umur.

"Nanti Fikram beliin Eyang parfum biar gak bau tanah!" celetuk Fikram membuat sandal rumah melayang ke kepalanya dan pelakunya adalah sang Mama.

"Jangan kurang ajar!" Karunia melotot membuat Fikram menciut seketika.

Haidee melihat dalam diam kehangatan di keluarga tersebut. Mendengar mereka bertengkar dengan nada guruan, lalu tertawa bersama. Seakan pertengkaran tadi tidak pernah terjadi.

Merasakan lengannya diusap, ia terkesiap lalu menoleh menatai Inas. Kakak ketiga Saka, Ibunda Sadam dan Sabina.

"Kenapa berdiri di sini?" ujar Inas lembut. Inas berbeda jauh dari semua saudaranya. Jadi, Haidee merasa sungkan bicara dengan wanita tersebut.

"Engh... aku agak malu, Mbak." Haidee meringis. Ia seperti anak tiri yang berdiri jauh dari sekumpulan keluarga hangat tersebut. Inilah yang membuatnya tak ingin bergabung dengan keluarga Saka karena tak tau bagaimana caranya beradaptasi dengan mereka.

LACUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang