Walau dulu, Haidee memiliki kelainan takut makan walau sedikit pun, tapi Haidee sering memasak untuknya. Membuatkannya berbagai menu baru. Dan ia pun harus ekstra memaksa Haidee makan sendiri masakannya, meski tak membuahkan hasil karena Haidee tak ingin makan.

"Di apartemen Kak Marshal?" Marshal tersentak dari lamunan masa lalunya, ia menoleh sekilas.

"Apa?"

"Aku masak di sana."

Marshal menoleh lagi lalu mengangguk.

Mereka pun singgah ke swalayan lebih dulu. Membeli bahan membuat spaghetti setelahnya ke apartemen, hunian Marshal.

Mereka masuk ke unit tersebut yang begitu berantakan. Marshal meringis lalu menyengir menatap Haidee yang mengamati unitnya.

Marshal mengajak Haidee ke dapur kecil dalam unit tersebut. Yang lumayan rapi dan bersih karena Marshal jarang ke sini. Marshal lebih memilih makan di luar.

Haidee pun sibuk di dapur, sementara Marshal sibuk membereskan ruang tengah.

"Aku bantu apa, nih?" tanya Marshal menyentak Haidee.

"Gak usah. Kak Marshal duduk aja." Marshal pun duduk di kursi berhadapan dengan Haidee yang sibuk memasak. Mereka di pisahkan meja pantry.

"Pasti capek kan abis beres-beres." Marshal tertawa mendengar sindiran Haidee yang bernada datar. "Harusnya Kak Marshal nikah, biar ada yang beres-beres dan urus Kakak."

Marshal hanya diam mengamati Haidee yang sibuk memotong bawang bombai.

"Kenapa?" Haidee membalas tatapan Marshal. Pria itu menggeleng lalu tersenyum tipis.

Mereka tak lagi bersuara, hanya denting peralatan masak yang terdengar membuat keadaan mereka tak benar-benar hening.

"Pantas aja kamu dapet bintang emas," ujar Marshal setelah memakan spaghetti buatan Haidee.

Haidee hanya tersenyum tipis menatap Marshal yang begitu semangat menghabiskan spaghetti buatannya. "Ini namanya apa sih?"

"Spaghetti alfredo."

"Namanya kayak nama orang." Haidee tersenyum geli mendengar celotehan Marshal. Kemudian ia terdiam sejenak.

"Kak..." Marshal menoleh ke arah Haidee sembari mengunyah. Menunggu Haidee melanjutkan perkataannya. "Nanti sebelum anterin aku pulang kita singgah ke swalayan dulu, ya?"

"Mau ngapain?" tanya Marshal setelah menelan.

"Beli bahan spaghetti. Aku mau buatin Mas Saka juga."

Marshal mengangguk kaku, lalu melanjutkan makannya. Tak ada lagi yang bersuara di antara mereka.

》》《《

Haidee mencuci peralatan masak setelah selesai membuat spaghetti alfredo untuk Saka. Lalu ia mendengar pintu terbuka dan pasti itu Saka.

"Eh Dee?"

Haidee memutar tubuhnya, sembari melepas dua sarung tangan dari kedua tangannya. Lalu menghampiri Saka yang meneguk air.

"Kamu masak?" Saka melirik sepiring spaghetti lalu menatap Haidee yang mengangguk pelan.

"Kan aku udah bilang, gak usah masak kalau malam. Aku udah makan di luar," ujar Saka cuek sembari menutup pintu kulkas.

Haidee terdiam. Sudah menduga jika Saka tak akan mencicipi masakannya. Kedua tangannya terkepal kuat, untuk menenangkan dirinya.

"Daripada makan pasta, mending aku makan kamu." Saka merangkul pundak Haidee dan menyeret Haidee masuk ke kamar. Meninggalkan sepiring spaghetti tersebut.

Haidee hanya diam saat Saka melucuti pakaiannya satu per satu. Bagai boneka yang hanya diam saat Saka menyentuhnya. Hanya sesekali mengeluarkan desahan.

Disaat posisi Haidee telungkup, tatapan kosong. Kedua tangannya mencengkeram kuat sprei. Bukan karena sakit atas hujaman Saka, tapi perasaannya yang terluka entah karena apa.

Haidee hanya merasa tak dihargai.

Dan Saka tak menyadari hal itu.

Bukan tak menyadari, karena memang Saka tak peduli padanya. Bahkan Saka tak peduli dengan kondisinya yang masih haid. Saka menggunakan pengaman sehingga membuat mereka aman dalam bersenggama saat ini.

Setelah Saka selesai, Haidee segera bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Mandi di tengah malam atau lebih tepatnya menjelang subuh, tidak masalah baginya.

Membersihkan darah dan cairannya  yang berada di pangkal pahanya.

Kali ini Haidee lebih lama di dalam kamar mandi. Karena bukan hanya mandi, ia menangis di dalam sana. Entah kenapa ia begitu sensitif.

Seharusnya ia tak menangis karena penolakan Saka atas memakan masakannya bukan lah yang pertama. Tapi, entah kenapa Saka semalam benar-benar membuatnya terluka. Walau Saka memang sudah makan, seharusnya Saka mencicipinya. Walau secuil saja.

Haidee keluar dari kamar mandi, setelah memakai pakaian.

Tanpa mengeringkan rambutnya, ia merebahkan tubuhnya. Memunggungi Saka yang terlelap pulas.

Haidee menatap kosong ke arah jendela besar yang gordennya terbuka setengah. Menatap ke luar sana.

》》《《

Dalam tiga tahun pernikahan mereka, baru kali ini Haidee melewatkan membuat sarapan dan mengurus keperluan Saka di pagi hari.

Selelah apapun Haidee, ia tetap bangun mengurus Saka.

Tapi, kali ini berbeda. Dengan sengaja ia tak bangun. Walau mendengar panggilan Saka padanya beberapa kali. Haidee abaikan. Haidee kesal pada Saka.

"Dee, aku berangkat dulu."

Setelah mendengar pintu tertutup, Haidee membuka mata. Lalu merubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Kepalanya tertoleh, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.

Haidee menghela nafas kasar. Lalu bangkit dari tempatnya tidur.

Ia keluar dari kamar menuju ke dapur. Langkahnya berhenti saat melihat sepiring spaghetti yang tadi ia buat semalam. Tak tersentuh sedikit pun.

Dengan perasaan dongkol dan kesal membuang spaghetti tersebut ke dalam tempat sampah.

Haidee duduk di stool bar, memijat pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya pusing. Lalu pandangannya kembali kosong. Menatap lantai marmer di bawahnya. Kemudian ia beranjak, kembali masuk ke kamar lalu meraih ponselnya.

Menatap kontak seseorang di sana, menimbang apakah ia menghubunginya atau tidak.

Haidee tersentak kaget karena sosok yang ia ingin hubungi, menghubunginya lebih dulu.

"Halo Kak, kenapa?"

Haidee terdiam agak lama mendengar perkataan Marshal di seberang sana.

"Tentu. Aku tunggu Kak Marshal."

.

.

.


Sabtu, 20 Februari 2021

LACUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang