A Little Time

2.5K 391 56
                                    

Keesokan harinya.

"Mama pasti terlambat lagi," Ren menggerutu sementara adiknya hanya membisu di sampingnya.

Bocah berambut coklat itu mengeratkan genggamannya pada tangan Rivaille. Saat dia melirik ke samping, Rivaille telah menundukan wajahnya dalam-dalam. Oh, tidak ... jangan lagi.

Sementara itu, tak jauh dari taman kanak-kanak, seorang pria baru saja melewati sederetan toko. Rambutnya yang kasual tidak sesuai dengan setelan jas formalnya, tetapi tidak membuatnya begitu buruk. Tanpa sengaja matanya menangkap dua anak lelaki yang berdiri di luar gerbang taman kanak-kanak. Anak yang berambut hitam kelihatan ingin menangis, sedangkan si rambut coklat berusaha menenangkannya. Tanpa pikir panjang, pria itu pun berjalan menghampiri mereka.

"Ada masalah?"

Kedua anak itu terkejut saat dia bertanya, sejenak ada sorot kebingungan dan cemas di mata yang berbeda warna itu ketika pandangan mereka bertemu. Rivaille beringsut ke belakang tubuh kakaknya, Ren langsung menunjukan gestur melindungi. Adiknya itu memang penakut jika bertemu orang asing. Kalau sudah seperti ini, Ren akan memasang sikap waspada dengan tatapan matanya yang tajam.

Terkejut tetapi kemudian pria itu tertawa gemas dengan reaksi anak-anak itu. "Sepertinya aku harus memotong rambutku, apa aku terlihat menyeramkan?"

"Maaf, tetapi Mama melarang kami bicara dengan orang asing."

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin membantu jika kalian punya masalah," pria itu berkata lalu melihat Rivaille yang balas menatapnya takut-takut, "dia terlihat ingin menangis."

"Mama belum datang," Ren menimpali.

Pria itu tersenyum lembut. "Kalau begitu, maukah kalian ikut denganku sebentar?"

Ren dan Rivaille beradu pandang cukup lama. Sekilas Rivaille menatap pria jangkung dari balik bahu Ren sebelum mengangguk setuju. Sikapnya itu benar-benar lucu di mata pria itu.

"Kita akan ke mana?" tanya Ren.

Saat ini mereka berjalan bersisian dengan pria itu menggandeng masing-masing tangan kecil mereka. Rivaille yang tak banyak bicara hanya memandangi tangan besar pria itu yang menggenggam miliknya dengan lembut dan erat sekaligus. Dia merasa hangat sehingga wajahnya merona.

"Cuacanya dingin, bagaimana jika makan di restoran?"

"Apa tidak masalah, Paman?"

"Tentu saja."

"Yay!" Ren bersorak riang dan melompat sekali, "ayo kita makan!"

Pria itu tersenyum lebar melihat binar di mata hijau bocah itu, lalu dia membawa keduanya memasuki sebuah restoran keluarga yang tidak begitu ramai. Pramusaji yang menyambut membawa mereka ke salah satu meja di dekat jendela. Posisi itu memudahkan mereka untuk melihat danau buatan Binennalster di seberang jalan sana.

"Kita belum berkenalan, siapa nama kalian?" tanya pria itu setelah pramusaji mencatat pesanan mereka.

"Namaku Ren dan dia adikku, Rivaille. Paman?"

"Eren Krueger," pria itu mengernyit sedetik lalu kembali bertanya, "hanya Ren, Rivaille, itu saja?"

"Ackerman."

"Itu nama ayah kalian?"

Tiba-tiba kedua wajah bocah itu berubah murung. Bahkan Rivaille langsung menunduk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Eren menyadari perubahan yang tidak menyenangkan itu lalu mengulurkan tangan untuk menarik dagu mereka agar menatapnya. "Aku pasti menyinggung kalian, maafkan aku kalau begitu."

The Coordinate : Perfect Sword and ShieldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang