Yorishiro
Yorishiro (依り代・依代・憑り代・憑代 ) dalam terminologi Shinto adalah suatu objek yang mampu menarik spirit yang disebut kami, sehingga memberikannya ruang fisik untuk ditempati[1] selama kegiatan keagamaan. Selama upacara, yorishiro dipakai untuk memanggil kami yang akan dipuja.[2] Kata yorishiro secara harfiah berarti "mendatangkan pengganti".[1] Apabila yorishiro dipakai sebagai tempat bersemayam kami, maka ia disebut shintai. Tali yang disebut shimenawa dihiasi dengan lipatan kertas yang disebut shide sering kali melilit yorishiro untuk menegaskan kesan kesuciannya. Seseorang dapat berperan sebagai suatu yorishiro, dan dalam kasus ini disebut yorimashi (憑坐 , secara harfiah berarti "orang yang dirasuki") atau kamigakari (神懸り・神憑 , "yang dikendalikan kami").[3]
Konsep dan penerapan yorishiro tidaklah berlaku eksklusif di Jepang, tetapi muncul secara spontan dalam kebudayaannya yang animistis.[4] Dalam agama monoteistis, hewan dan benda-benda alam hanyalah ciptaan Yang Mahakuasa, sedangkan bagi para animis mereka adalah tempat alami bagi bersemayamnya para roh, yang disebut kami dalam budaya Jepang.[4]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Yorishiro dan sejarahnya terkait erat dengan kemunculan kuil Shinto. Bangsa Jepang Kuno tidak memiliki gagasan mengenai dewa-dewi antropomorfis (menyerupai manusia), tetapi merasakan kehadiran para spirit di alam beserta fenomenanya.[1] Gunung, hutan, hujan, angin, petir dan kadang kala hewan dipercaya mengandung kekuatan spiritual, dan perwujudan material dari kekuatan tersebut dipuja sebagai kami, suatu entitas yang esensinya mendekati konsep mana dalam masyarakat Polinesia daripada Tuhan menurut Dunia Barat.[1] Tetua desa meminta nasihat kami dan mengembangkan yorishiro, alat yang dipakai untuk menarik perhatian kami yang bekerja seperti penangkal petir.[1] Yorishiro dipersiapkan untuk menarik kami dan memberikannya suatu ruang fisik untuk ditempati agar dapat diakses oleh manusia biasa untuk keperluan keagamaan.[1] Karena tujuan inilah maka yorishiro masih digunakan hingga sekarang.[2] Sidang dewan desa diselenggarakan di titik sunyi di wilayah gunung atau hutan dekat pohon besar, batu, atau benda alami lain yang dapat berfungsi sebagai yorishiro.[1] Tempat suci tersebut beserta yorishiro yang ada perlahan-lahan berkembang menjadi kuil seperti yang bisa disaksikan sekarang.[1] Bangunan yang pertama didirikan pada kompleks kuil pada mulanya merupakan gubuk biasa yang dipakai untuk menyimpan beberapa yorishiro.[1]
Asal mulanya dapat ditelusuri melalui istilah hokura (神庫 ), secara harfiah berarti "rumah penyimpanan dewa", yang berkembang menjadi hokora (juga ditulis dengan huruf 神庫), salah satu kata kuno yang berarti "kuil".[1] Kebanyakan benda keramat yang bisa didapati di kuil Shinto pada masa kini (pohon, cermin, pedang, batu magatama) pada awalnya merupakan yorishiro, dan kemudian menjadi kami menurut fungsi masing-masing.[1]
Yorishiro yang umum
[sunting | sunting sumber]Yorishiro yang umum meliputi pedang, cermin, tongkat ritual yang dihiasi dengan lipatan kertas yang disebut gohei, permata berbentuk tanda koma yang disebut magatama (勾玉 atau 曲玉 ), batu besar (岩境 , iwasaka) atau iwakura (磐座 ), dan pohon keramat.[1][2] Kami biasanya mendiami batu atau pohon yang berbentuk tak lazim, atau di dalam gua dan gundukan tanah.[4] Yorishiro juga bisa berupa orang, dan dalam kasus ini disebut yorimashi (憑坐 ).[2]
Pohon
[sunting | sunting sumber]Didasari oleh sifat dasar agama Shinto, maka yorishiro umumnya berupa objek alami berupa pohon. Secara siginifikan, huruf untuk kata kuil Shinto (神社, 社 dan 杜縄 ) semuanya dapat dibaca jinja, yashiro, serta "mori" ("hutan").[5] Cara baca ini mencerminkan fakta bahwa kuil Shinto terawal merupakan hutan suci semata yang ditempati oleh kami.[5] Banyak kuil yang pekarangannya masih ditumbuhi yorishiro asli, yaitu suatu pohon besar yang dilit tali suci yang disebut shimenawa (標縄・注連縄・七五三縄 ).[1] Kini pohon besar semacam itu dianggap keramat semata, dan tidak lagi mewakili sosok kami.[1]
Altar Shinto yang disebut himorogi biasanya berupa area persegi yang tiap sudutnya ditancapi oleh bambu hijau atau sakaki dan diikat oleh tali pembatas suci (shimenawa'').[6] A branch of sakaki at the center is erected as a yorishiro.[6]
Iwakura
[sunting | sunting sumber]Pemujaan batu juga tidak jarang di Jepang. Suatu iwakura adalah formasi batuan semata yang diyakini mengundang kami untuk hadir di sana, sehingga menjadikannya wilayah suci.[7] Seiring waktu berjalan, melalui proses asosiasi, iwakura sendiri dianggap keramat.[7] Penelitian arkeologi Jepang memastikan bahwa pemujaan tersebut sudah ada sejak zaman purba.[7] Bahkan pada masa kini, di kuil Shinto, batu-batu yang dipercaya berkaitan dengan kami yang dipuja di kuil bersangkutan dipakai untuk sesajen bagi kami tersebut.[7]
Iwasaka
[sunting | sunting sumber]Iwasaka adalah altar batu atau gundukan yang dibuat sebagai yorishiro untuk memanggil kami yang akan dipuja.[8] Konsep iwasaka dan iwakura sangatlah berkaitan erat bahkan dua kata tersebut sesungguhnya merupakan sinonim.[8]
Yorishiro di rumah
[sunting | sunting sumber]Yorishiro dapat ditemukan dalam rumah/tempat tinggal penduduk di Jepang.[4] Selamat libur tahun baru, orang Jepang menghias pintu masuk rumahnya dengan kadomatsu, yaitu yorishiro bagi kami saat tahun baru.[4] Kamifuda, yaitu lembaran kertas yang melambangkan kami, digantung di atas pintu.[4] Ada pula kami yang mendiami kamar kecil (benjō-gami) dan sumur (suijin).[4] Kamado-gami mendiami pemanggangan, dan fungsinya adalah melindungi rumah dari musibah kebakaran.[4] Yorishiro umum lainnya adalah altar kecil yang disebut kamidana dan butsudan, yang berfungsi sebagai altar bagi sanak saudara yang telah meninggal dunia[4] (pada mulanya butsudan dipakai untuk sarana persembahyangan menurut agama Buddha, tetapi kini biasanya sebagai tempat menyimpan papan nama yang disebut "ihai", yang merupakan yorishiro untuk memanggil arwah leluhur yang telah tiada).[4] Di toko-toko, dapat ditemui kucing keramik dengan tangan terangkat yang disebut manekineko atau benda mirip garuk dari bambu yang disebut kumade, dipercaya mendatangkan keberhasilan dalam usaha.[4]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n Tamura (2000:21)
- ^ a b c d Okada, "Yorishiro"
- ^ Iwanami Kōjien (広辞苑 ) Japanese dictionary, 6th Edition (2008), DVD version
- ^ a b c d e f g h i j k Nakamaki (1983:65)
- ^ a b Sonoda Minoru in Breen, Teeuwen (2000:43)
- ^ a b Sugiyama, "Himorogi"
- ^ a b c d Sugiyama, "Iwakura"
- ^ a b Sugiyama, "Iwasaka"
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Nakamaki, Hirochika (1985-10-01). "The "Separate" Coexistence of Kami and Hotoke - A Look at Yorishiro". Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-05-19. Diakses tanggal 2008-10-22.
- Okada, Yoshiyuki (2005-06-02). "Yorishiro". Encyclopedia of Shinto. Diakses tanggal 2008-07-18.
- Sugiyama, Shigetsugu (2005-06-02). "Iwakura". Encyclopedia of Shinto. Diakses tanggal 2008-07-18.
- Sugiyama, Shigetsugu (2005-06-02). "Iwasaka". Encyclopedia of Shinto. Diakses tanggal 2008-07-18.
- Sugiyama, Shigetsugu. "Himorogi". Encyclopedia of Shinto. Diakses tanggal 2008-07-18.
- Tamura, Yoshiro (2000). Japanese Buddhism - A Cultural History (edisi ke-First Edition). Tokyo: Kosei Publishing Company. hlm. 21. ISBN 4-333-01684-3.