Lompat ke isi

Wali kota

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kapten Soedjono AJ Wali Kota pertama di Samarinda Kal-Tm dari tahun 1 Januari 1960 hingga tahun 1961

Wali kota adalah kepala daerah kota. Munisipalitas adalah kota yang berada di daerah yang dikepalai oleh seorang kepala daerah yaitu wali kota yang memiliki area di dalam kota. Dari tahun 2005 pemilihan umum untuk menentukan kepala daerah dilakukan dengan cara langsung melalui tahapan pemilihan umum. Untuk menjadi seorang kepala daerah ada 2 cara yang biasa dilakukan yaitu dengan pencalonan oleh partai politik yang telah memiliki anggota legislatif standar yang dipersyaratkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau diusung oleh beberapa pihak tanpa ada campur tangan partai yang disebut independen. Merujuk kepada seorang politikus yang bertindak sebagai pemimpin dari sebuah kota[1]. Sebelum tahun 1999, terdapat kota administratif yang dipimpin oleh wali kota administratif.

Wali Kota di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, Wali Kota ialah Kepala Daerah untuk daerah Kota atau Kota madya. Seorang Wali Kota sejajar dengan Bupati, yakni Kepala Daerah untuk daerah Kabupaten. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jabatan Wali Kota me-rujuk kepada dua jenis jabatan, yakni jabatan Wali Kota Madya yang kedudukannya sejajar dengan jabatan Bupati dan bertanggung jawab kepada Gubernur diperuntukkan sebagai kepala daerah perkotaan yang sudah maju dan padat penduduk (biasanya kota besar), Pada dasarnya, Wali Kota memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kota. Wali kota dipilih dalam satu paket pasangan dengan Wakil Wali Kota melalui Pilkada. Wali kota merupakan jabatan politis, dan bukan Pegawai Negeri Sipil. Ketentuan mengenai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) sebagaimana yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015[2][3].

Keuangan Kepala Daerah

[sunting | sunting sumber]

Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, meliputi;

  1. Gaji dan Tunjangan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diberikan gaji, yang terdiri dari[4]: Gaji pokok, Tunjangan jabatan, dan Tunjangan lainnya. Besarnya gaji pokok Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah[4]. Tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pejabat Negara, kecuali ditentukan lain dengan peraturan perundang-undangan[4]. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dibenarkan menerima penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara.[4]
  2. Biaya Sarana dan Prasarana (Rumah Jabatan). Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan masing-masing sebuah rumah jabatan beserta perlengkapan dan biaya pemeliharaan.[4] Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhenti dari jabatannya, rumah jabatan dan barang-barang perlengkapannya diserahkan kembali secara lengkap dan dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah tanpa suatu kewajiban dari Pemerintah Daerah.[4]
  3. Sarana Mobilitas (Kendaraan Dinas), Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan masing-masing sebuah kendaraan dinas. Apabila Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah berhenti dari jabatannya, kendaraan dinas diserahkan kembali dalam keadaan baik kepada Pemerintah Daerah.[4]
  4. Biaya Operasional, Untuk pelaksanaan tugas-tugas kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan:
    • Biaya rumah tangga dipergunakan untuk membiayai kegiatan rumah tangga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
    • Biaya pembelian inventaris rumah jabatan dipergunakan untuk membeli barang-barang inventaris rumah jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
    • Biaya Pemeliharaan Rumah Jabatan dan barang-barang inventaris dipergunakan untuk pemeliharaan rumah jabatan dan barang-barang inventaris yang dipakai atau dipergunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
    • biaya pemeliharaan kendaraan dinas dipergunakan untuk pemeliharaan kendaraan dinas yang dipakai atau dipergunakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
    • biaya pemeliharaan kesehatan dipergunakan untuk pengobatan, perawatan, rehabilitasi, tunjangan cacat dan uang duka bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah beserta anggota keluarga;
    • biaya Perjalanan Dinas dipergunakan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
    • biaya Pakaian Dinas dipergunakan untuk pengadaan pakaian dinas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berikut atributnya;
    • biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Besaran Biaya Operasional Kepala Daerah

[sunting | sunting sumber]

Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:

  • sampai dengan Rp 15 miliar, paling rendah Rp 150 juta dan paling tinggi sebesar 1,75%;
  • di atas Rp 15 miliar s/d Rp 50 miliar, paling rendah Rp 262,5 juta dan paling tinggi sebesar 1%;
  • di atas Rp 50 miliar s/d Rp 100 miliar, paling rendah Rp 500 juta dan paling tinggi sebesar 0,75 %;
  • di atas Rp 100 miliar s/d Rp 250 miliar, paling rendah Rp 750 juta dan paling tinggi sebesar 0,40 %;
  • di atas Rp 250 miliar s/d Rp 500 miliar, paling rendah Rp 1 miliar dan paling tinggi sebesar 0,25 %.
  • di atas Rp 500 miliar, paling rendah Rp 1,25 miliar dan paling tinggi sebesar 0,15%

Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah Kabupaten/Kota, ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:

  • sampai dengan Rp 5 miliar, paling rendah Rp 125 juta dan paling tinggi sebesar 3%;
  • di atas Rp 5 miliar s/d Rp 10 miliar, paling rendah Rp 150 juta dan paling tinggi sebesar 2 % ;
  • di atas 10 miliar s/d Rp 20 miliar, paling rendah Rp 200 juta dan paling tinggi sebesar 1,50 %;
  • di atas Rp 20 miliar s/d Rp 50 miliar, paling rendah Rp 300 juta dan paling tinggi sebesar 0,80%;
  • di atas Rp 50 miliar s/d Rp 150 miliar, paling rendah Rp 400 juta dan paling tinggi sebesar 0,40 %;
  • di atas Rp 150 miliar, paling rendah Rp 600 juta dan paling tinggi 0,15 %.

Pengeluaran yang berhubungan dengan pelaksanaan, antara lain;

  • Biaya sarana dan prasarana (rumah jabatan);
  • Sarana mobilitas (kendaraan dinas);
  • Biaya operasional;

dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“APBD”)[5][6].

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]