Tanah Merah, Boven Digoel
Tanah Merah | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Papua Selatan |
Kabupaten | Boven Digoel |
Luas | |
• Total | 1.301,97 km2 (502,69 sq mi) |
Populasi | |
• Total | 19.136 |
• Kepadatan | 15/km2 (40/sq mi) |
Tanah Merah (atau Tanamerah) adalah sebuah kawasan yang juga menjadi ibukota dari kabupaten Boven Digoel yang terletak di Provinsi Papua Selatan. Tanah Merah ini tidak sama dengan Teluk Tanahmerah, yang berada sekitar 200 mil Sungai Digul dari Merauke berada di bagian pedalaman Provinsi Papua Selatan. Kota ini merupakan kota yang tidak diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia II.[3]
Wilayah yang mencakup Tanah Merah yakni kampung Persatuan dan Sokanggo, yang terletak di Distrik Mandobo. Jumlah penduduk sekitar 19.136 jiwa, dengan luas wilayah 1.301,97 km², dengan kepadatan 15 jiwa/km².[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Kota ini merupakan koloni untuk orang hukuman pemerintah Belanda selama periode ketika Indonesia adalah koloni Belanda.[4] Di bawah Indische Staatsregeling Pasal # 37 "orang-orang yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dapat mengganggu atau mengusik ketenteraman masyarakat dan ketertiban akan tanpa ada proses hukum diasingkan selama periode tidak tertentu ke tempat yang secara khusus ditunjuk" dikirim ke Tanahmerah.[4] Dr Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Republik Indonesia, menggambarkan tahanan politik yang diasingkan sebagai dalam "penderitaan spiritual yang mendalam" dan "rusak semangatnya secara permanen".[5]
Pada tahun 1942, Pemerintah Hindia Belanda di Pengasingan (di Australia), takut tentara partisan, yang akan mengurangi reimposisi pascaperang pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, mengatur agar para tahanan dibawa ke Australia, harus ditahan sebagai tawanan perang.[3] Hal ini tidak sesuai sepenuhnya dengan negara tuan rumah, dan pada tanggal 7 Desember 1943, para tahanan Tanah Merah dibebaskan dari kamp-kamp penjara di Australia.[3]
Lockwood (1975) menganggap evakuasi para tahanan ke Australia ini (dan kebebasan mereka selanjutnya di Australia) menjadi katalis penting dalam adanya boikot terhadap pengiriman kapal Belanda (Armada Hitam) pada akhir Perang Dunia kedua, dan berikutnya dalam pembentukan Republik Indonesia.)[3] Ada bandara "Tanah Merah Airport" (ICAO:WAKT).
Demografi
[sunting | sunting sumber]Kecamatan Mandobo memiliki keberagaman Suku, Agama, Ras dan Adat Istiadat (SARA). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kabupaten Boven Digoel tahun 2020 mencatat data keberagaman keagamaan di kecamatan Mandobo. Adapun persentasi data keagamaan di Mandobo, yakni pemeluk agama Kekristenan sebanyak 73,69%, di mana Katolik 47,77% dan Protestan 25,92%. Kemudian Islam 25,92%, pemeluk agama Hindu 0,23% dan Agama Buddha 0,16%.[2]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b "Kecamatan Mandobo Dalam Angka 2020" (pdf). www.bovendigoelkab.bps.go.id. Diakses tanggal 12 Januari 2021.
- ^ a b "Visualisasi Data Kependuduakan - Kementerian Dalam Negeri 2020" (Visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 11 Agustus 2021.
- ^ a b c d Lockwood, R. (1975) Black Armada & the Struggle for Indonesian Independence, 1942-49. Australasian Book Society Ltd., Sydney, Australia. ISBN 909916683 Invalid ISBN
- ^ a b Indonesian Independence Committee (1946), Dutch imperialism exposed : the green hell of Tanah Merrah, Indonesian Independence Committee, diakses tanggal 21 September 2018 Melbourne, Victoria
- ^ Sjahrir, S. (1949). "Out of Exile", translated with an introduction by Charles Wolf, Jr. New York: The John Day Company.