Ruhiat
KH. Ruhiat | |
---|---|
Lahir | Cipasung, Tasikmalaya, Masa Penjajahan Hindia Belanda | 11 November 1911
Meninggal | 28 November 1977 Cipasung, Tasikmalaya | (umur 66)
Kebangsaan | Indonesia |
Nama lain | Abah Ruhiat |
Pekerjaan | Pimpinan Pesantren Pahlawan Nasional |
Suami/istri | Hj. Aisyah Hj. Badriyah |
Anak | 25 putra-putri |
KH. Ruhiat adalah tokoh terkenal pada zamannya karena dialah pendiri pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Namun generasi saat ini kurang lagi mengenal ketokohannya. Bahkan puteranya yaitu KH. Ilyas Ruhiat lebih dikenal apalagi setelah menduduki jabatan tertinggi di NU sebagai Rais Aam. Hal itu bisa dimengerti, kiai sepuh tersebut telah meninggal 29 tahun lalu. Tanggal 17 Dzulhijjah 1426 H yang bertepatan dengan 17 Januari 2006, adalah haul (peringatan hari wafat) ke-29 KH. Ruhiat.
Pesantren Cipasung saat ini merupakan pesantren terbesar dan paling berpengaruh di Jawa Barat. Perannya dalam penyiaran agama, pengembangan masyarakat dan menjaga harmoni sosial sangat besar. Selain keteguhannya mengembangkan pesantren yang responsif pada perkembangan dunia pendidikan, pada masa penjajahan, Ajengan Ruhiat juga seorang patriot yang mengorbankan tenaga dan pikirannya untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Ajengan Patriot
[sunting | sunting sumber]Jika syarat seorang pahlawan nasional adalah mendukung kemerdekaan sejak awal mula diproklamasikan, maka Ajengan Ruhiat (AR) memenuhi syarat itu. Tak lama setelah berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Cipasung, AR segera pergi ke kota Tasikmalaya. Dengan menghunus pedang, ia berpidato di babancong, podium terbuka yang tak jauh dari Pendopo Kabupaten. Ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih cocok dengan perjuangan Islam, oleh karenanya harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya itu. Dia tokoh Islam pertama di Tasikmalaya yang melakukan hal itu.
Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, ia tak goyah sekalipun gangguan dari pihak DI sangat kuat. Ia menolak tawaran menjadi salah seorang imam DI. Ia menampik gerakan yang disebutnya ‘mendirikan negara di dalam negara’ itu, karena melihatnya sebagai bughat (pemberontakan) yang harus ditentang. Puncaknya ia hampir diculik oleh satu regu DI, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikapnya yang tegas itu ia mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap malam hari, selama tiga tahun lamanya.
Kegigihannya sebagai seorang pejuang dibuktikan dengan pernah dipenjara tak kurang dari empat kali. Pertama, pada tahun 1941 ia dipenjara di Sukamiskin selama 53 hari bersama pahlawan nasional KH. Zainal Mustafa. Alasan penahanan ini karena Pemerintah Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung dan Sukamanah yang dianggap dapat mengganggu stabilitas kolonial. Kedua, bersama puluhan kiai ia dijebloskan ke penjara Ciamis. Ia hanya tiga hari di dalamnya karena keburu datang tentara Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda tahun 1942. Ketiga, tahun 1944 ia dipenjara oleh pemerintah Jepang selama dua bulan, sebagai dampak dari pemberontakan KH. Zainal Mustofa di Sukamanah. Pada saat itu, Ajengan Cipasung dan Sukamanah lazim disebut dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Kecintaan sang Ajengan pada NU sangat mendalam, oleh karena itu pada saat Ajengan Sukamanah berbulat tekad untuk melawan Jepang, keduanya membuat kesepakatan. Ajengan Sukamanah tidak akan melibatkan NU secara organisasi dan perjuangannya bersifat pribadi, agar NU tidak menjadi sasaran tembak tentara Jepang. Secara organisatoris, Ajengan Sukamanah menyatakan keluar dari NU (Aiko Kurasawa,1993). Dengan kesepakatan ini, jika terjadi akibat buruk dari perlawanannya—sesuatu yang sudah mereka perhitungkan--, organisasi NU tidak akan terbawa-bawa dan AR tetap bisa mengembangkan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Kesepakatan itu dibuktikan oleh Ajengan Ruhiat lewat keterlibatannya di NU sampai ke tingkat pusat.
Kariernya di PBNU dibuktikan dengan menjadi A’wan (pembantu) Syuriah PBNU periode 1954-56 dan 1956-59, serta perkembangan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat yang ditunjang oleh para alumni Cipasung. Keempat, ia dijebloskan ke penjara Tasikmalaya selama sembilan bulan pada aksi polisionil kedua, dan dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan. Ini membuktikan bahwa AR seorang non-kooperatif sehingga sangat dibenci penjajah yang membonceng pasukan NICA itu. Sebelum masuk penjara yang terakhir itu, sepasukan tentara Belanda datang ke pesantren pada waktu ia sedang salat ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara Belanda itu memberondongkan peluru ke arah mereka yang sedang salat. AR luput dari tembakan, tetapi dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di kepala.
Mungkin ia tidak disebut sebagai pahlawan karena tidak pernah menduduki jabatan dalam pemerintahan, sebab konsisten memilih jalur pendidikan pesantren sebagai pengabdiannya, bahkan sebagai tarekat-nya. “Tarekat Cipasung adalah mengajar santri,” ujarnya. Atau karena tidak pernah menjadi politisi yang berjuang di parlemen. Sebab katanya, “Biarlah bagian politik itu sudah ada ahlinya, Akang memimpin pesantren saja, jangan sampai semua ke politik. Kalau pesantren ditinggalkan, bagaimana nanti jadinya negara merdeka ini kalau penduduknya tidak berakhlak agama?” Melihat track record-nya di atas, sesungguhnya tidak berlebihan jika ajengan patriot itu mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Nasional.
Responsif dan Terbuka
[sunting | sunting sumber]Ajengan Ruhiat lahir pada 11 Nopember 1911 dan wafat 28 Nopember 1977. Hari wafatnya bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397, dan perhitungan menurut kalender Hijriah inilah yang dijadikan patokan peringatan haul-nya. Ia adalah generasi yang mengalami pedih-perihnya penghinaan terhadap kelompok santri oleh penjajah Belanda dan antek-anteknya. Santri digolongkan sebagai kaum tradisional, kaum sarungan yang berpikiran kolot. Suatu penghinaan yang kemudian diteruskan oleh mereka yang menamakan dirinya kaum modern di kemudian hari, bahkan sampai hari ini. Sebagai jawaban atas penghinaan itu, ia bersikap meniru gaya berpakaian kaum modern. Dalam acara resmi, AR selalu berpakaian rapi, mengenakan jas, pantalon, lengkap dengan dasi. Ketika digugat sebagian orang, ia menjawab, “Untuk mengimbangi, agar jangan sampai kita disebut bangsa yang tak punya cita-cita, dan saya menghargai ilmu agama agar tidak dihina oleh orang lain.”
‘Perlawanan’ atas penghinaan itu selalu dirayakan secara meriah di Pesantren Cipasung pada era kepemimpinannya. Yaitu pada saat khataman Jam’ul Jawami’, sebuah kitab yang dianggap paling sulit dikaji oleh santri. Selain menyembelih kambing dan ritual khataman lainnya, ia bersama santri yang telah khatam (lulus) berpose bersama dengan busana ‘modern’ itu (lihat foto).
Sebagai jawaban bahwa Pesantren Cipasung responsif terhadap perkembangan pendidikan, ia memelopori pendirian sekolah umum sejak tahun 1950. Ia merintis pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Untuk perintisan hampir semua lembaga pendidikan formal itu, ia didukung oleh operator lapangan yang sangat tangguh, yaitu Mohammad Ilyas, putera keduanya. Ilyas-lah yang tisusut tidungdung, bekerja tanpa mengenal lelah, mengurusi semua tetek bengek perizinan. Ilyas juga mengambil alih pengajian pesantren, ketika ayahnya dipenjara dan mengungsi, sehingga pesantren Cipasung tak pernah putus pengajian dan santri, sejak didirikan tahun 1932 hingga hari ini. Kerja keras Ilyas itulah yang memudahkan adik-adik dan keluarganya di kemudian hari, untuk mengelola semua lembaga pendidikan di Cipasung.
AR termasuk pribadi yang terbuka atas segala perkembangan informasi dalam berbagai bidang. Selain kitab kuning, koleksi bukunya mencakup bidang politik, ekonomi, dan tata negara. Ia menganggap Islam sebagai ajaran dinamis yang selalu harus bisa menjawab tantangan zaman. Dalam catatan Atang Mansur, Ajengan Ruhiat kerap mengutip pendapat Al-Mustarwalidz al-Katib Al-Injily al-Kabir yang terdapat dalam Tafsir al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari. “Setiap agama yang tidak bisa mengiringi laju peradaban, maka kesampingkan saja, sebab agama tersebut hanya akan merepotkan para pemeluknya. Agama yang haq adalah Islam (yang berpedoman Al-Quran). Dan Al-Quran ialah kitab (yang memuat persoalan) 1) keagamaan, 2) ilmu pengetahuan, 3) sosial kemasyarakatan, 4) pendidikan-pengajaran, 5)etika, dan 6) sejarah, (yang akan abadi) hingga hari kiamat.” Tetapi cara berpikir AR yang sangat aprogresif tadi luput dari amatan peneliti tentang kyai dan NU. Padahal para kiai seperti dia itulah merupakan akar progresifitas pemikiran Islam pesantren.
Pandangannya atas perkembangan politik juga sangat kritis. Ketika Bung Karno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, secara spontan AR berkata kepada sejumlah santrinya, “Setiap umat yang kembali pada prinsip terdahulu (yang sudah sepakat ditinggalkan) dan tidak mengikuti segala yang berlaku sesuai perkembangan zaman, maka Allah akan merusaknya.” Dengan berseloroh ia mencontohkan bahwa orang yang kembali menumbuk padi padahal sudah ada mesin giling, maka ia akan kerepotan, pegal linu dan kecapekan.
Demikian pula dukungannya pada pilihan politik NU, diambilnya tanpa reserve sehingga kebijakan NU dapat disosialisasikan dengan cepat di wilayah Priangan Timur. Misalnya dalam menanggapi konsep Nasakom, ia mengatakan, “Kalau kita tidak menerima Nasakom, PKI akan berkacak pinggang. Menerima Nasakom adalah satu siasat NU yang membuat PKI lupa daratan sehingga lupa akan bahayanya. Mereka merasa ada yang mendukung atas tujuan taktiknya, padahal secara diam-diam orang NU telah siap menghadapi apa yang akan terjadi. Buktinya, ketika orang lain bingung saat PKI melakukan kup, orang NU sudah langsung bisa menetapkan bahwa itu gerakan PKI. Buktinya langsung tanpa ragu meminta pemerintah untuk membubarkan PKI. Alhamdulillah oleh pemerintah Orba dapat dikabulkan, PKI dibubarkan.”
Setelah peristiwa 65 terjadi, AR tidak terlibat menoreh ‘luka sejarah’. Di sekitar Cipasung konflik NU-PKI tak setajam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. ‘Serangan’ pihak PKI berkisar pada cemoohan, misalnya orang yang sedang mengaji disebut sedang ‘menggonggong’. Memang, belajar dari kasus serangan DI/TII ia sempat mengaktifkan kembali latihan pencak silat, tetapi hanya untuk berjaga-jaga. Bukti bahwa Cipasung tak terlalu terganggu suasana politik waktu itu, ialah peresmian Fakultas Tarbiyah yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), pada tanggal 25 September 1965. Tarikh ini juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi di Cipasung berdiri tiga tahun mendahului IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di situlah ia menunjukkan aprogresivitas pemikirannya.
Setelah pemerintah Orde Baru tampil, tokoh-tokoh yang sebelumnya ragu kepada NU banyak yang datang ke Cipasung. Mereka menyatakan ‘pertobatan’ dan percaya bahwa NU tidak pernah punya tujuan khianat dan merongrong kepada bangsa dan negara Indonesia, atau berniat mendirikan negara dalam negara. Mereka kemudian menitipkan sanak saudaranya untuk belajar di Cipasung. “Bagaimana kalau keluarga, anak-anak Anda nantinya menjadi NU?” tanya AR. Kemudian mereka menjawab, “Tidak apa-apa kalau mereka menjadi NU sebab kami percaya NU tidak pernah ada maksud merongrong negara, nusa, dan bangsa.”
AR memang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh NU dan pesantrennya menjadi persinggahan para tokoh itu jika mengunjungi wilayah Priangan Timur. Ia juga menjadi salah satu teman baik KH. A. Wachid Hasyim. Menurut catatan Saifuddin Zuhri (1987), semua sahabat dekat Pak Wachid biasanya intensif saling surat-menyurati untuk merespon berbagai perkembangan pesantren dan situasi politik nasional. Dalam biografi KH. Masykur yang ditulis oleh Soebagijo I.N. (1982: 97), terdapat sebuah foto yang mengabadikan kunjungan Kiai Masykur, Kiai Wachid ke Cipasung.
Dengan cara pandangnya yang terbuka atas berbagai perkembangan duniawi, ia mendorong santrinya yang ingin terlibat dalam pengelolaan negara, baik melalui jalur politik maupun birokrasi. Hal itu sebagai bagian dari keikutsertaan mengisi kemerdekaan, setelah sebelumnya kiai dan santri ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu. Karena itu, banyak alumni Cipasung yang menjadi politisi dan mengisi kebutuhan birokrasi terutama di Jawa Barat.
Namun demikian ia juga sangat mendukung santrinya yang ingin menjadi ajengan dan membuka pesantren. Misalnya kepada santri asal Garut bernama Memed Sopandi, ia berpesan empat hal. Pertama, sekalipun santrinya hanya satu orang tetap harus diajar dengan sungguh-sungguh. Kedua, jangan berdagang di pasar. Ketiga, jangan jadi aparat pemerintah. Keempat, jangan terlalu suka menerima undangan keluar pesantren sehingga sering meninggalkan pengajian. Lalu ia berkata, “Pulanglah, kalau ada kesulitan dalam pengajian, jangan kembali ke sini, tanya saja Munjid!” Munjid adalah kamus berbahasa Arab karya seorang non-muslim, Louis Ma’luf, di sana terdapat berbagai informasi, baik mengenai keilmuan agama, ilmu sosial maupun ilmu alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Semua pesan itu tentu saja terlebih dahulu sudah dipraktikkan secara konsisten olehnya. Bahkan pada masa genting ketika pasukan Belanda kerap berpatroli ke Cipasung. Jika patroli datang, ia berpura-pura menjadi petani di sawah. Setelah patroli pergi, ia segera menepi dan menuju dangau terdekat untuk kemudian memberikan pengajian pada santri yang mengikutinya. Ia tak pernah berhenti mengajar di pesantren kecuali saat berada di dalam penjara. Ia juga menolak undangan pengajian dari luar daerah di malam hari, karena khawatir akan meninggalkan jadwal pengajiannya setelah subuh. Pernah suatu ketika warga NU dari Karawang mendesaknya memberikan pengajian di malam hari. Ia menyetujui permintaan itu setelah sahibul hajat berjanji akan mengantarkannya kembali ke Cipasung sebelum waktu subuh tiba.
Mudah-mudahan, generasi pengelola Cipasung yang akan datang, dapat lebih memajukan lembaga pendidikan yang dirintis Ajengan Ruhiat, sehingga patriotismenya terus bergelora, dan wasiatnya agar “Jangan sampai ada sebutan ‘bekas pesantren’ tapi harus terus lebih maju”, dapat dipenuhi secara istikomah. Semoga.
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Ponpes Cipasung Diarsipkan 2009-07-02 di Wayback Machine.