Lompat ke isi

Operasi militer Indonesia di Aceh 2003–2004

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004
Bagian dari Konflik di Aceh dan Separatisme di Indonesia

Lokasi Aceh di Indonesia
Tanggal13 Mei 2003 – 19 Mei 2004
(1 tahun, 6 hari)
LokasiNanggroe Aceh Darussalam, Indonesia
Hasil

Kemenangan Indonesia

  • Perjanjian perdamaian di Helsinki
Pihak terlibat

Indonesia Indonesia

Gerakan Aceh Merdeka

Tokoh dan pemimpin
Indonesia Megawati Soekarnoputri
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
Indonesia Endriartono Sutarto
Indonesia Bambang Darmono
Hasan Di Tiro
Muzakir Manaf
Kekuatan
30.000 tentara
12.000 polisi
Total: 42.000[1]
5.000[2]
Korban
Diperkirakan 2.000–4.000 tewas[3]

Operasi militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu) adalah operasi yang dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah ultimatum dua minggu agar GAM menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri.[4] Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh.[5]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Setelah Panglima Gerakan Aceh Merdeka ( disingkat: GAM ), Tengku Abdullah Syafi'i, tewas dalam penyergapan yang dilakukan oleh Anggota Batalyon Infanteri Lintas Udara 330 Tim II/C berkekuatan 20 orang diketuai oleh Serka I. Ketut Muliastra di daerah Cubo, Aceh, pada 22 Januari 2002 pukul 09.00 WIB, maka pada 28 April 2003, pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu 2 minggu. Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum tersebut, tetapi Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.[1]

Pada 16 Mei 2003, pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM. Pimpinan dan negosiator GAM tidak menjawab tuntutan ini, dan mengatakan para anggotanya di Aceh ditangkap saat hendak berangkat ke Tokyo.[1]

Serangan militer

[sunting | sunting sumber]

Selepas tengah malam pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri memberikan izin operasi militer melawan anggota separatis.[6] Ia juga menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan. Pemerintah Indonesia menempatkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi di Aceh.[1]

Pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan niat mereka untuk mencetak KTP baru yang harus dibawa semua penduduk Aceh untuk membedakan pemberontak dan warga sipil. LSM-LSM dan lembaga bantuan diperintahkan untuk menghentikan operasinya dan meninggalkan wilayah tersebut. Seluruh bantuan harus dikoordinasikan di Jakarta melalui pemerintah dan Palang Merah Indonesia.[4]

Pada 19 Mei 2004, Darurat Sipil ditetapkan di Aceh menggantikan status Darurat Militer. Kondisi hampir tidak jauh berbeda.[7]

Pada bulan Mei 2004, darurat militer di Aceh diturunkan menjadi darurat sipil.[1] Menko Polkam ad interim Indonesia Hari Sabarno mengumumkan perubahan ini setelah rapat kabinet 13 Mei 2004. Pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap dan menyerahkan diri.[4]

Pelanggaran HAM di Aceh

[sunting | sunting sumber]

Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000 orang terbunuh sejak Mei 2003.[3] TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, tetapi kelompok-kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI - lembaga negara yang independen), menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil. Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut bersalah atas kebrutalan yang terjadi di Aceh.[3]

Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang luas di Aceh, yang tertutup bagi pengamat selama operasi militer ini.[2] Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan, dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya menjalankan perintah.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]