Lompat ke isi

Masjid Pajimatan Imogiri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Makam Pajimatan Imogiri
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriBangunan
No. RegnasBelum ada
(Pengajuan 9 Juli 2019)
Lokasi
keberadaan
Desa Pajimatan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
PemilikKasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
PengelolaKasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Masjid Pajimatan Imogiri, Masjid Kagungan Ndalem Pajimatan Imogiri, atau Masjid Sultan Agung Hanyakrakusuma (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦏꦒꦸꦔꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦥꦗꦶꦩꦠꦤ꧀ꦆꦩꦒꦶꦫꦶ, translit. Masjid Kagungan Dalem Pajimatan Imagiri) adalah masjid yang terletak di Desa Pajimatan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul atau 17 kilometer dari Kota Yogyakarta. Masjid ini dikelola di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta. Hal inilah yang menyebabkan sampai saat ini kepengurusan masjid (termasuk khatib salat Jumat) ditentukan dan diangkat oleh sultan atas persetujuan dari Kasunanan Surakarta.

Bangunan dan perangkat yang menyertai Masjid Pajimatan Imogiri masih terpelihara keasliannya, meskipun telah dilakukan beberapa kali renovasi. Masjid yang berada di area kompleks Permakaman Imogiri ini ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Menteri No. PM.89/PW.007/MKP/2011.

Asal-usul penamaan

[sunting | sunting sumber]

Asal-usul penamaan Masjid Pajimatan Imogiri yang melenceng dari pakem tidaklah jelas.[1] Prasetyo mengungkapkan bahwa nama pajimatan imogiri berasal dari dua suku kata, yaitu jimat dan imogiri. Kata jimat mendapatkan awalan (pa-) dan akhiran (-an) untuk menunjukkan tempat, sehingga berarti “tempat untuk menyimpan jimat atau pusaka”, sedangkan kata imogiri berasal dari kata ima atau hima (berawan atau awan) dan giri (gunung), sehingga berarti “gunung berawan" atau "gunung yang tinggi”.[2] Dengan demikian, arti dan makna pajimatan imogiri secara keseluruhan adalah "gunung berawan atau gunung yang tinggi sebagai tempat penyimpanan jimat atau pusaka bagi Kesultanan Mataram”.[3] Hasil penelitian bersama yang dilakukan oleh Hamzah memperjelas bahwa nama tersebut berkaitan dengan kegandrungan masyarakat Jawa (khususnya masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram) terhadap hal-hal yang berbau mistis.[1] Namun, beberapa pendapat menyatakan bahwa pembangunan Masjid Pajimatan Imogiri erat kaitannya dengan kegiatan menyepi yang dilakukan oleh Sultan Agung.[4]

Sejarah pendirian

[sunting | sunting sumber]

Kyai Tumenggung Citrokusumo merancang kompleks permakaman tersebut dengan perpaduan unsur Jawa (Hindu) dan Islam, juga dibangun masjid di dalamnya. Hingga kini, bangunan masjid tersebut tetap terjaga dan sesuai dengan bentuk aslinya.[5]

Masjid ini dibangun oleh Sultan Agung pada tahun 1650 sebagai sarana ibadah bagi para abdi dalem Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang bertugas di kompleks Permakaman Imogiri.[6][7] Adapun jarak Masjid Pajimatan dengan Permakaman Imogiri 500 meter, tepatnya di sisi utara pintu masuk tangga menuju ke permakaman yang berjumlah sekitar 400 anak tangga.[8] Para abdi dalem yang berjaga di sana juga menggunakan pakaian Jawa dalam menjalankan tugasnya, termasuk muazin dan khatib.

Selain Masjid Pajimatan Imogiri, masjid lain yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung adalah Masjid Pathok Negoro dan Masjid Sunan Cirebon.

Kondisi fisik

[sunting | sunting sumber]
Tangga ke Permakaman Imogiri.

Keberadaan Masjid Pajimatan tidak dapat dipisahkan dari kompleks Permakaman Imogiri, yaitu makam khusus para raja maupun keluarga Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.[4][9] Masjid Pajimatan Imogiri terletak di sebelah selatan Permakaman Imogiri, sedangkan Permakaman Imogiri terletak di puncak Bukit Merak.[3][10]

Hal ini disebabkan karena Masjid Pajimatan Imogiri merupakan bangunan yang menjadi salah satu komponen dari kompleks Permakaman Imogiri.[11]

Adapun bagian dari kompleks Permakaman Imogiri meliputi:

  1. Masjid Pajimatan Imogiri;
  2. Gapura sebanyak empat buah, yaitu Kori Supit Urang, Regol Sri Manganti I, Regol Sri Manganti II, dan Gapura Papak;[12]
  3. Kelir sebanyak empat buah;
  4. Padhasan sebanyak enam buah;
  5. Nisan di delapan kelompok makam, yaitu Kedaton Sultan Agung, Kedaton Pakubuwono, Kedaton Bagusan/Kasuwargan Surakarta, Kedaton Kapingsangan/Antana Luhur, Kedaton Giri Mulya, Kedaton Kasuwargan, Kedaton Besiyaran, dan Kedaton Saptorenggo.[13][14]

Secara administratif, pelataran masjid ini sebenarnya masuk ke dalam wilayah Dusun Kedung Buweng, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, tetapi kompleks Permakaman Imogiri secara keseluruhan masuk ke dalam dua dusun dan desa di Kecamatan Imogiri.[11]

Awalnya bangunan ini dibangun dari bahan-bahan kayu jati dan tembok yang dibuat atas susunan batu bata dengan spesi atau lepa yang terbuat dari komposisi (adonan) berupa pasir, gamping (kapur), dan batu bata yang dihancurkan (digiling). Sebagai penutup atap bangunan dulunya digunakan genteng sirap. Dalam perkembangannya atap sirap digantikan dengan seng gelombang.[11]

Bangunan Masjid Pajimatan Imogiri dapat dikatakan tidak begitu luas. Hal ini disebabkan karena Masjid Pajimatan Imogiri berdiri di atas tanah kesultanan yang hanya memiliki luas 600 meter2. Adapun ruang utamanya memiliki luas 10 x 6 meter2, sedangkan serambinya memiliki luas 6 x 3 meter2. Pada bagian depan masjid terdapat halaman seluas 80 meter2 dan kolam yang dahulu berfungsi sebagai tempat bersuci di sisi selatan.

Secara fisik, bangunan Masjid Pajimatan berarsitektur Jawa tradisional dengan atap berupa limasan lawakan. Tidak ada kubah yang terpasang di bagian atasnya, hanya ada cungkup yang berbentuk bunga kenanga dari tembaga. Masjid Pajimatan memiliki ciri-ciri yang menunjukkan kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Sisi utara masjid menunjukkan kekuasaan Kasunanan Surakarta, sedangkan sisi selatan masjid menunjukkan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Pada halaman sebelah utara dibangun sebuah tugu yang di bagian atasnya diberikan mahkota kerajaan oleh Pakubuwono X, sedangkan di halaman sebelah selatan terdapat kolam yang dibatasi oleh tembok. Pagar pada bagian serambi masjid juga dibuat berbeda. Jari-jari pagar di bagian utara dibuat lebih kecil dengan jumlah 15 buah, sedangkan jari-jari pagar di bagian selatan dibuat lebih besar dengan jumlah 14 buah. Adapun perlengkapan lain yang ada di dalam masjid adalah adanya sebuah mimbar bertangga empat dan bedug yang ukurannya cukup besar. Mimbar dan bedug tersebut merupakan peninggalan asli dari Sultan Agung.

Masjid ini masih terpelihara keasliannya. Keaslian bangunan dan perangkat yang menyertai masjid tersebut terlihat dari soko guru (tiang tengah) yang terbuat dari kayu jati yang ditopang dengan umpak persegi yang terbuat dari batu kali, mihrab berupa relung pada dinding di sebelah barat, dan mimbar yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung dan sampai sekarang masih dipergunakan. Selain itu, masjid ini juga masih mempertahankan arsitektur tempo dulu dengan tidak menghilangkan kolam yang terdapat di depan masjid.[12]

Penetapan cagar budaya

[sunting | sunting sumber]

Bangunan Masjid Pajimatan Imogiri dan kompleks Permakaman Imogiri adalah sumber daya arkeologi yang memiliki nilai sejarah, filosofi, kepurbakalaan, dan kebudayaan.[15] Unsur Hindu yang kental menjadi salah satu karakteristik tersendiri ketika Islam menyatu dengan budaya Jawa dalam arsitektur bangunan kompleks Permakaman Imogiri, termasuk keberadaan Masjid Pajimatan Imogiri.[16] Pada saat ini, Masjid Pajimatan Imogiri beserta kompleks Permakaman Imogiri telah ditetapkan sebagai cagar budaya tak bergerak di Kabupaten Bantul, yang bersifat living monument dan masih difungsikan melalui Surat Keputusan Menteri No. PM.89/PW.007/MKP/2011.[3][17]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Hamzah, dkk (2007), hlm. 70
  2. ^ Prasetyo, Himawan (5 Juni 2017). "Kompleks Makam Imogiri". Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 29 Agustus 2019. 
  3. ^ a b c Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (tanpa tanggal). "Kompleks Makam Imogiri". Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-05. Diakses tanggal 5 September 2019. 
  4. ^ a b Anugerah Kubah Indonesia (17 April 2018). "Masjid Pajimatan Imogiri Yogyakarta". Anugerah Kubah Indonesia. Diakses tanggal 29 April 2019. 
  5. ^ Raditya, Iswara N. (20 Maret 2019). "Sejarah Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri yang Kini Longsor". Tirto.id. Diakses tanggal 30 Agustus 2019. 
  6. ^ Redaksi Kompas (2 September 2010). "Persinggahan Sultan Agung". Kompas.com. Diakses tanggal 29 April 2019. 
  7. ^ Himaya (2017), hlm. 208
  8. ^ "Inilah Makam Paling Sakral di Yogyakarta". detikcom. 2 Mei 2013. Diakses tanggal 29 Agustus 2019. 
  9. ^ Ulung (2013), hlm. 63-66
  10. ^ Oktarini (2017), hlm. 5
  11. ^ a b c Sudjatmiko, Tomi (13 Juni 2016). "5 Masjid Tradisional yang Tetap Bertahan di Yogyakarta". Kedaulatan Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-29. Diakses tanggal 29 Agustus 2019. 
  12. ^ a b Kerajaan Nusantara (22 Desember 2010). "Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri (Pajimatan Girirejo Imogiri)". Kerajaan Nusantara. Diakses tanggal 30 Agustus 2019. 
  13. ^ Himaya (2017), hlm. 207-208
  14. ^ Sholikhin (2010), hlm. 127
  15. ^ Rani, dkk (2018), hlm. 153
  16. ^ Himaya (2017), hlm. 205
  17. ^ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (2014-2019), hlm. 1

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Buku

  • Hamzah, Slamet, dkk (2007). Masjid Bersejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 
  • Sholikhin, Muhammad (2010). Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi. 
  • Ulung, Gagas (2013). Wisata Ziarah: 90 Destinasi Wisata Ziarah dan Sejarah di Jogja, Solo, Magelang, Semarang, Cirebon (Masjid, Candi, Gua Maria, Kelenteng, Makam, Situs). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Jurnal

Arsip

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]