Lompat ke isi

Kuti (Buddhisme)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kuti yang dibangun dari kayu jati di Wat Udom Thani, Provinsi Nakhon Nayok, Thailand.

Kuti (Pali: kuṭi atau kuṭī; terj. har.'gubuk' atau 'pondok') merujuk pada bangunan yang menjadi tempat tinggal para biksu dan biksuni di lingkungan wihara.[1][2][3] Secara tradisional, bangunan kuti untuk para biksu atau biksuni biasanya berupa gubuk kayu sederhana tanpa perabotan,[2] tetapi tidak berlaku untuk kuti yang ditinggali Sang Buddha.[4] Pada masa vassa (retret selama musim hujan), Sang Buddha dikatakan biasa tinggal di salah satu kuti yang dibangun di berbagai lokasi, seperti Puncak Burung Nasar, Jetavana, atau Hutan Bambu.[4]

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring mendefinisikan istilah kuti sebagai sebuah istilah agama Buddha untuk "tempat tinggal biksu dan biksuni di lingkungan wihara."[1]

Kamus Pali-Inggris Concise mendefinisikan kuṭi sebagai "sebuah gubuk, sebuah pondok (a hut)". Kamus Pali-Inggris Pali Text Society mendefinisikannya sebagai "tempat tinggal dengan satu kamar apa pun, gubuk, kabin, pondok, bangsal (any single-roomed abode, a hut, cabin, cot, shed)".[5][6]

Kitab Suttavibhaṅga di Vinayapiṭaka, teks berjudul "Kuṭikāra" (Bu Ss 6) mendefinisikannya sebagai berikut:[7][8]

Kuṭi nāma: ullittā vā hoti avalittā vā ullittāvalittā vā.
Yang dinamakan kuti: diplester dalam atau diplester luar atau diplester baik dalam maupun luar.

— Kuṭikāra, Bu Ss 6

Gambaran umum

[sunting | sunting sumber]

Fungsi kuti

[sunting | sunting sumber]
Situs arkeologi dari bangunan kuti yang pernah menjadi tempat tinggal Ānanda, salah satu murid utama Buddha, di Puncak Burung Nasar, Rajgir, Bihar, India.

Sebagai tempat tinggal, kuti juga digunakan oleh para biksu sebagai tempat bermeditasi dan membaca buku-buku tentang ajaran Buddha (Dhamma).[9][10] Selain itu, kuti juga dijadikan tempat untuk melantunkan paritta secara pribadi, sebagai latihan untuk mengingatnya dari waktu ke waktu.[10] Kuti juga dijadikan tempat menyimpan makanan dan minuman pribadi.[9]

Sama seperti seorang biksu yang melakukan namaskara di hadapan pembimbingnya, gurunya, atau biksu senior, atau di tempat-tempat suci dan wihara-wihara yang terdapat rupang Buddha, demikian pula umat awam juga merendahkan diri di hadapan para biksu–guru Dhamma mereka–yang umumnya dilakukan di ruangan yang relatif tenang dan tertutup seperti vihara, kuti, atau di rumah-rumah mereka sendiri dengan mengundang para biksu untuk mengajar, kebaktian, atau untuk membuat kebajikan dengan memberikan persembahan.[11][12]

Selain dibersihkan oleh para biksu, kuti juga umum dibersihkan oleh umat awam yang sedang melakukan pelayanan.[13] Akan tetapi, seorang umat awam wanita yang ingin menemui seorang biksu di kuti perlu ditemani oleh umat lain karena seorang biksu tidak diperbolehkan berdua-duaan dengan seorang wanita.[14]

Kuti Sang Buddha

[sunting | sunting sumber]
Para biksu bermeditasi di Gandha-kuṭi, salah satu kuti favorit Sang Buddha, yang berlokasi di Puncak Burung Nasar di Rajgir, India.

Menurut kitab komentar untuk Dīghanikāya (Vol 2), ada empat kuti yang dapat ditinggali Sang Buddha di kompleks Wihara Jetavana, yaitu:[15]

  1. Kareri-kuṭi: dengan deretan pohon sikamor air yang megah di pintu masuknya dan dahan serta cabangnya saling terkait satu sama lain, menyediakan tempat berteduh yang sejuk dan menyenangkan seolah-olah sebuah tenda (pandal) telah didirikan;
  2. Kosamba-kuṭi: dengan pohon ek 'Ceylon' yang besar, yang dedaunannya menyediakan tempat berteduh di pintu masuknya;
  3. Gandha-kuṭi ("Gubuk Harum"): bangunan yang terbuat dari kayu harum;
  4. Wihara Salaḷāgara: bangunan yang terbuat dari kayu surgawi.

Masing-masing kuti tersebut dikatakan berharga seratus ribu keping perak. Wihara Salaḷāgara disumbangkan oleh Raja Pasenadi dari Kosala; tiga lainnya disumbangkan oleh Anāthapiṇḍika.[15]

Selama masa vassa (retret selama musim hujan), Sang Buddha dikatakan biasa tinggal di salah satu kuti yang dibangun di berbagai lokasi, seperti Puncak Burung Nasar, Jetavana, atau Hutan Bambu.[4] Sejak usia enam puluh tahun, Sang Buddha menghabiskan setiap musim hujan kecuali musim hujan terakhirnya di Jetavana dan menyampaikan lebih banyak khotbah di sana daripada di lokasi lain mana pun. Tempat favorit Sang Buddha di Jetavana adalah dua kuti, yaitu Kosambakuṭi dan Gandhakuṭi. Gandhakuṭi ("Gubuk/Kuti Harum") dinamakan begitu karena bunga-bunga yang selalu dibawa orang untuk dipersembahkan kepada Sang Buddha membuat bangunan itu harum semerbak. Gandhakuṭi memiliki ruang duduk, kamar tidur, dan kamar mandi serta tangga menuju ke sana, tempat Sang Buddha kadang-kadang berdiri di malam hari dan berbicara kepada para biksu. Salah satu tugas Ānanda adalah membersihkan debu dan bunga Gandhakuṭi secara teratur, menyingkirkan bunga-bunga yang layu, dan mengembalikan kursi dan tempat tidur ke tempatnya semula.[4]

Pada tahun 1863, reruntuhan Jetavana ditemukan dan penyelidikan arkeologi kemudian mengidentifikasi Gandhakuṭi dan Kosambakuṭi, dan menunjukkan bahwa Jetavana merupakan pusat Buddhisme sejak zaman Sang Buddha hingga abad ke-13 M.[4]

Aturan pembangunan kuti

[sunting | sunting sumber]

Dari teks berjudul "Kuṭikāra" (Bu Ss 6) dalam kitab Suttavibhaṅga, para biksu dari kota Āḷavī diceritakan tidak kunjung selesai membangun kuti yang ditujukan untuk diri mereka sendiri, tanpa pemilik yang mensponsori, dan ukurannya besar tidak sewajarnya dengan terus mengemis dan meminta. Hal tersebut menyebabkan orang-orang Āḷavī menghindari para biksu pada saat pindapata karena cemas dan takut. Mereka "berbalik, mengambil jalan lain, melarikan diri, dan menutup pintu mereka." Ketika Sang Buddha datang berkunjung ke Āḷavī, Yang Mulia Mahākassapa menceritakan kejadian tersebut kepada-Nya. Beliau kemudian menegur:[7][8]

“Orang-orang bodoh, bagaimana mungkin kalian bertindak seperti ini? Ini akan memengaruhi keyakinan orang-orang …”

— Sang Buddha dalam Kuṭikāra (Bu Ss 6)

Sang Buddha kemudian menyampaikan cerita "Maṇikaṇṭha-jātaka" (Ja 253) dan membuat aturan terkait pembangunan kuti sebagai berikut:[7][8]

“Ketika seorang bhikkhu, dengan mengemis, membangun sebuah kuti tanpa pemilik yang mensponsori dan ditujukan untuk diri sendiri, itu haruslah tidak lebih dari dua belas jengkal standar (sugata) panjangnya dan lebarnya tujuh di dalam.

Ia harus meminta para bhikkhu untuk menyetujui lokasi di mana tidak ada bahaya yang ditimbulkan dan memiliki ruang di segala sisi.

Jika seorang bhikkhu, dengan mengemis, membangun sebuah kuti di lokasi di mana bahaya akan ditimbulkan dan yang tidak tersedia ruang di segala sisi, atau ia tidak meminta para bhikkhu untuk menyetujui lokasinya, atau ia melebihi ukuran yang dibenarkan, maka ia melakukan pelanggaran yang mengharuskan penskorsan.”

— Sang Buddha dalam Kuṭikāra (Bu Ss 6)

Lebih lanjut, setiap istilah didefinisikan sebagai berikut:[7][8]

  1. "Dengan mengemis": Ia sendiri mengemis seorang laki-laki, seorang pelayan, seekor lembu, sebuah gerobak, sebuah golok, sebuah parang, sebuah kapak, sebuah sekop, sebuah pahat; tanaman rambat, bambu, buluh, rumput, lempung.
  2. "Membangun": Membangunnya sendiri atau menyuruh untuk membangun.
  3. "Mensponsori": Tidak ada pemilik, apakah seorang perempuan atau laki-laki, apakah seorang umat awam atau seorang yang meninggalkan keduniawian.
  4. "Ditujukan untuk diri sendiri": Untuk digunakan sendiri.
  5. "Haruslah tidak lebih dari dua belas jengkal standar (sugata) panjangnya": Ukuran luar.
  6. "Dan lebarnya tujuh di dalam": Ukuran dalam.

Secara rinci, pembangunan kuti perlu memenuhi aturan:[16]

  1. Bangunan kuti:
    • Diplester di dalam, di luar, atau keduanya.
      • Atapnya diplester.
      • Plesternya harus tanah liat atau kapur putih (termasuk semen).
      • Plesteran pada sisi dalam atau sisi luar atap harus bersebelahan dengan plesteran sisi dalam atau sisi luar dinding.
    • Berukuran lebih besar dari 3 sugata (75 cm; ~2.5 kaki).
      • 12 sugata panjangnya × 7 sugata lebarnya (3 m × 1.75 m; ~9.8 ſt × ~5.7 ſt)
      • Panjang kuti diukur dari luar (umum: tidak termasuk plesteran) dan lebar diukur dari dalam.
      • Tidak satu pun dari ukuran ini boleh dilampaui.
      • 1 rentang sugata = 25 cm; ~9,8 inci.
  2. Prosedur:
    • Harus memilih lokasi, membersihkannya, dan mendapatkan persetujuan sangha sebelum memulai pembangunan kuti. Termasuk pelanggaran jika membangun bangunan berplester yang disponsori untuk diri sendiri tanpa persetujuan sangha.
    • Lokasi harus bebas dari gangguan:
      1. Bukan merupakan tempat tinggal bagi makhluk yang dapat membahayakan kuti (misalnya rayap, semut, atau tikus).
      2. Bukan merupakan tempat tinggal bagi makhluk hidup yang dapat membahayakan penghuninya (misalnya ular, kalajengking, atau harimau).
      3. Tidak berada di dekat tempat yang dapat mengganggu kedamaian dan ketenangan penghuninya (misalnya, tidak berada di dekat ladang, kebun buah, tempat eksekusi, pemakaman, hutan rekreasi, properti kerajaan, kandang gajah, kandang kuda, penjara, kedai minuman, rumah pemotongan hewan, jalan raya, persimpangan jalan, rumah peristirahatan umum, atau tempat pertemuan).
    • Lokasi harus memiliki ruang yang memadai: Ada cukup ruang di lokasi tersebut untuk sebuah kereta gandeng atau seorang pria yang membawa tangga untuk mengelilingi kuti.
    • Membersihkan semak belukar untuk menentukan apakah ada gangguan: Pohon-pohon boleh dibersihkan hanya setelah sangha menyetujui lokasi tersebut. Lokasi tersebut harus diratakan. Saat membangun kuti di tanah milik wihara, kebijakan yang bijaksana adalah meminta izin dari kepala wihara sebelum membersihkan lokasi tersebut.
    • Memeriksa lokasi: Lokasi harus diperiksa oleh semua biksu dalam sangha (jika memungkinkan) atau biksu yang ditunjuk oleh sangha (melalui usulan resmi dengan satu pengumuman) untuk memeriksa lokasi. Biksu yang memeriksa harus memeriksa lokasi dan menentukan apakah lokasi tersebut bebas dari gangguan dan memiliki ruang yang memadai. Jika tidak memenuhi syarat, ia harus memberi tahu Anda untuk tidak membangun di sana. Jika memenuhi syarat, ia harus memberi tahu saṅgha bahwa lokasi tersebut bebas dari gangguan dan memiliki ruang yang memadai.
    • Mendapatkan persetujuan lokasi: Mendapatkan persetujuan saṅgha melalui petisi dan mosi formal. Setelah mosi disetujui, pembangunan dapat dimulai.
  3. Kepemilikan:
    • Untuk mengklaim kepemilikan kuti tersebut dan menganggapnya milik Anda dan bukan milik sangha atau orang lain.
    • Komunikasi: termasuk jika Anda membangun atau menyuruh seseorang membangun bangunan sangha (misalnya, aula pertemuan) yang diklaim dan digunakan sebagai tempat tinggal.
  4. Bantuan: Sebuah kuti yang dibangun dengan meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikannya dengan meminta bahan bangunan (tanpa sponsor) perlu memenuhi poin-poin berikut ini.
    • Harus memberitahukan kepada pembangun empat syarat tersebut sebelum kuti tersebut selesai dibangun. Kegagalan untuk melakukan atau mengabaikan penyebutan salah satu syarat sebelum kuti selesai dibangun merupakan pelanggaran.
    • Apa yang bisa dan tidak bisa didapatkan dengan meminta:
      1. Dapat meminta orang lain secara langsung untuk menyediakan tenaga kerja, tetapi bukan material yang berat/mahal kecuali orang tersebut adalah saudara atau mengundang Anda untuk meminta bantuan. Jika orang lain secara sukarela menyumbangkan material yang berat/mahal, Anda dapat menerimanya tanpa penalti. Jika tidak, Anda harus mengatur penggantian biaya kepada pemilik untuk material yang berat/mahal tersebut.
      2. Dapat meminta orang lain secara langsung untuk meminjam (tetapi tidak menyimpan) peralatan, kendaraan, dan barang berat/mahal lainnya yang akan digunakan selama konstruksi. Satu-satunya barang yang tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya adalah barang-barang yang ringan/murah (misalnya, barang-barang yang nilainya kecil atau tidak bernilai moneter, seperti alang-alang, rumput, atau tanah liat).

Dalam Pācittiya, pelanggaran-pelanggaran terpenuhi jika:[16]

  1. Menggali tanah saat meratakan lokasi bangunan atau memerintahkan seseorang untuk melakukannya.
  2. Merusak tanaman hidup saat membersihkan lokasi atau memerintahkan seseorang untuk melakukannya.
  3. Memperkuat rangka jendela atau pintu dengan lebih dari tiga lapis bahan atap atau plester saat membangun atau memperbaiki tempat tinggal besar dengan dana yang disumbangkan oleh orang lain.
  4. Dengan sengaja membunuh binatang ketika membersihkan tempat dari gangguan atau memerintahkan atau menyarankan seseorang untuk melakukannya.

Epigrafi Jawa Kuno

[sunting | sunting sumber]

Dalam epigrafi Jawa Kuno, istilah "kuti" merujuk pada struktur bangunan sederhana yang sering diasosiasikan dengan praktik monastik Buddhis di masa lampau. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa, terutama yang berasal dari masa Dinasti Śailendra, menunjukkan bahwa kuti memiliki peran penting sebagai tempat tinggal atau meditasi bagi para biksu. Selain kuti, istilah "vihara" juga sering muncul dalam konteks yang serupa, meskipun biasanya menunjuk pada institusi yang lebih besar dan kompleks. Analisis prasasti, seperti Prasasti Wanua Tengah III dan Kalasan, mengungkap bagaimana istilah ini mencerminkan pola patronasi, fungsi sosial, serta dinamika ekonomi yang terkait dengan kehidupan monastik di Jawa Kuno. Istilah kuti tidak hanya menunjukkan aspek spiritual, tetapi juga mencerminkan adaptasi lokal terhadap praktik keagamaan yang berkembang dari tradisi Buddhisme India.[17]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b "Entri "kuti (3)"". KBBI VI Daring. Diakses tanggal 2024-12-31. 
  2. ^ a b Sumedho, Ajahn (1991). The way it is (PDF). Hemel Hempstead, Inggris: Amaravati Publications. hlm. 75 (catatan kaki). ISBN 978-1-870205-11-5. 
  3. ^ Hansen, Upa. Sasanasena Seng; Pandapotan, Roki, ed. (2013). Kumpulan Wihara dan Candi Buddhis Indonesia (PDF). Yogyakarta: Vidyāsenā Production. hlm. 11; 20; 32. 
  4. ^ a b c d e Dhammika, S. (tak tertanggal). The Buddha and His Disciples (PDF). Bukit Batok, Singapura: Buddha Dhamma Mandala Society. hlm. 30; 76. ISBN 981-00-4525-5. 
  5. ^ "Kuti, Kutī, Kuṭi, Kuṭī, Kūṭi, Kūti: 27 definitions". Wisdom Library (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-01-01. 
  6. ^ David, T. W. Rhys; Stede, William (ed.). Pali Text Society's Pali-English Dictionary (PDF). hlm. 247; entri untuk "Kuṭī". 
  7. ^ a b c d Horrner, I.B. (2014). The Book of the Discipline (PDF) (edisi ke-SuttaCentral). SuttaCentral; orisinalnya oleh Pali Text Society. hlm. 320. ISBN 978-1-921842-16-0. 
  8. ^ a b c d "Kuṭikāra". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-12-31. 
  9. ^ a b Chah, Ajahn. "Some Final Words". Wisdom Library (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-31. 
  10. ^ a b Aggacitta, Ven. (tak tertanggal). "The Purpose and Benefits of Dhamma Recitations - Benefits for Dhamma Practice". SBS Monk Training Centre: Pāli-English Recitations (PDF). hlm. 15–16; 293. 
  11. ^ Khantipalo, Bhikkhu (2017). Aturan Disiplin Para Bhikkhu: Beberapa Poin Dijelaskan untuk Umat Awam (PDF). Yogyakarta: Vidyāsenā Production. hlm. 37. 
  12. ^ Ariyesako, Bhikkhu (1998). "The Bhikkhus Rules: A Guide for Laypeople". Wisdom Library (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-31. 
  13. ^ Aphiwatamonkul, Smitthai (2018). "Buddhist Education in Thailand (critical study): 3.3. Life In Patipatti Monasteries: Wat Pah Nanachat - Chores". Wisdom Library (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-31. 
  14. ^ "The Bhikkhus' Rules: A Guide for Laypeople". Access to Insight. Diakses tanggal 2024-12-31. 
  15. ^ a b Sayadaw, Ven. Mingun (2008). "Chapter 39 - Sakka goes before THe Buddha's Presence". Maha Buddhavamsa—The Great Chronicle of Buddhas (PDF) (edisi ke-Singapore Edition). Singapore. hlm. 940. 
  16. ^ a b Anon, Bhikkhu (2024-09-21). "The Concise Buddhist Monastic Code Volume I". The Open Buddhist University (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-31. 
  17. ^ Griffiths, Arlo (2023). "The Terms kuṭi and vihāra in Old Javanese Epigraphy and the Modes of Buddhist Monasticism in Early Java". Buddhism, Law and Society (dalam bahasa Inggris). 7 (2021-2022): 143.