Lompat ke isi

Krabuku selayar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Krabuku Selayar
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Erxleben, 1777
Spesies:
T.tarsier
Nama binomial
Tarsius tarsier
(Erxleben, 1777)
Wilayah Tarsius tarsier, di Kepulauan Selayar
Sinonim

Tarsius spectrum (Pallas, 1779)

Krabuku Selayar atau Singapuar, Tanda Bona Passo, Podi, Wengi, Tanda Bona[2] adalah suatu jenis primata kecil, memiliki tubuh berwarna cokelat kemerahan dengan warna kulit kelabu, bermata besar dengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar.

Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Krabuku juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming.[3]

Yang paling istimewa dari krabuku adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika dibandingkan besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam dalam kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada siang hari. Kepala krabuku dapat memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga mereka juga dapat digerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa.

Krabuku selayar adalah primata mungil, beratnya hanya sekitar 110-120 gram. Panjang tubuh sekitar 11-12 cm dan panjang ekor antara 13,5-27,5 cm.[2][3]

Krabuku adalah makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari. Oleh sebab itu krabuku berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik, dan kadang-kadang reptil kecil, burung, dan kelelawar.

Tarsius tarsier ditemukan di hutan hujan primer dan sekunder, meskipun mereka lebih memilih hutan pertumbuhan sekunder. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelimpahan makanan yang melimpah di hutan pertumbuhan sekunder. Habitat mereka berkisar dari hutan hujan malar hijau dataran rendah di dekat permukaan laut ke hutan hujan pegunungan rendah sampai 1500 m. Krabuku spektral juga ditemukan di hutan mangrove dan semak belukar.[(Wright, et al., 2003) 1]

Sebagai makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari, krabuku tidak seperti kebanyakan binatang nokturnal lain, tarsius tidak memiliki daerah pemantul cahaya (tapetum lucidum) di matanya. Mereka juga memiliki fovea, suatu hal yang tidak biasa pada binatang nokturnal.[3]

Krabuku menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Krabuku berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.

Rumpun bambu digunakan krabuku sebagai tempat tidur dan tempat berlindung (cover), di mana tarsius membangun sarang di bagian bawah rumpun bambu yang cukup rapat dan terlindung dari kemungkinan serangan predator, misalnya ular.[4]

Pada saat tidur, krabuku menempati bagian bawah rumpun bambu. Satwa ini keluar dari tempat tidurnya pada pukul 6 sore hari, kemudian mereka mencari makan dan kembali ke tempat tidur/sarang sekitar pukul 5 dinihari. Tempat tidur krabuku dapat diketahui dengan mudah karena ketika keluar dari sarang, tarsius mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama dilakukan ketika kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika mereka sedang mencari makan (foraging), memberi tahu keberadaan dari pasangan masing-masing. Selain itu, keberadaan krabuku di suatu pohon atau rumpun bambu dapat diketahui dari bau urinenya yang sangat khas.[4]

daripada melihat skrabuku itu sendiri, karena itu hanya beberapa orang yang betul-betul kenkrlbuku, a, apalagi suara satwa ini sepintas seperti suara serangga (nada crit-crit-crit……., berulang kali) atau suara kelelawar kecil yang terbang malam hari.[4][[Gron, 2010; Gursky, 2002; Gursky-Doyen, 2011; MacKinnon and MacKinnon, 1980 1] 1] Tarsius aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), makanan utamanya adalaKrabukugai jenis serangga yang aktif pada malam hari. Selain serangga, tarsius juga makan berbagai jenis reptilia kecil serta burung berukuran kecil dkrabuku nya burung kacamata (Zosterops sp.).

Dalam mencari makan, tarsius mengintai mkrabukua, sambil mengendap perlahan, kemudian secarakrtbuku aa dengan gerakan yang sangat cepat menyergap mangsanya dengan cara kedua tangan memegang mangsa, dan kedua kaki membantu kedua tangan menekan mangsa, sampai mangsa bisa dikuasai sepenuhnya. Seperti halnya jenis primata lainnya, tarsius dapat menggenggam sempurna mangsanya dengan kedua tangannya secara sempurna karena satwa ini memiliki lima jari tangan dan lima jari kaki. Pada jari kaki tengah, terdapat kuku yang menonjol, seperti gigi agak melengkung yang memudahkan tarsius dalam mencengkram mangsanya. Karena makanan tarsius adalah berbagai jenis serangga, satwa ini tidak dianggap hama oleh petani dan pemilik kebun di sekitar hutan.

Krabuku hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil di mana dalam satu kelompok hanya terdapat satu ekor jantan dan betina dewasa. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari dua individu, maka dapat dipastikan bahwa kelompok tersebut terdiri dari jantan dan betina dewasa serta anak yang sudah beranjak dewasa dan anak yang masih kecil yang masih disapih oleh induknya. Setiap kelompok tarsius memiliki daerah teritori yang jelas, di mana teritori dapat ditandai dengan air seni dan kotorannya serta bau badannya. Teritori dijaga secara ketat dari masuknya kelompok tarsius yang lain, di mana pelanggaran teritori dapat menyebabkan perkelahian antar kelompok.

Selama ini, mereka sering merawat dirinya sendiri dengan menjilati dan menggaruk bulunya dengan cakar toilet mereka. Jika terjadi hujan deras, tarsius menemukan daerah kering dan tetap tidak aktif. Mereka bergerak melalui pepohonan dan bisa melompati lebih dari 40 kali panjang tubuhnya. Saat mendekati pagi, krabuku spektral "bernyanyi" saat mereka kembali ke tempat tidur mereka, baik sebagai duet dengan pasangan mereka atau dalam paduan suara keluarga. Lagu-lagu ini memberi isyarat kepada kelompok tetangga yang wilayahnya ditempati. Krabuku sulawesi sangat teritorial dan terlibat dalam sengketa dengan kelompok tetangga yang memasuki batas-batas mereka. Mereka menandai wilayah mereka dengan urin dan sekresi kelenjar.


juga terlibat dalam perilaku bermain, meringkuk, allogrooming, dan berbagi makanan. Persaingan untuk pangan menghasilkan peningkatan waktu mencari makan. Individu tampaknya mendapat keuntungan dari kehidupan kelompok, terutama saat tekanan predasi tinggi, ketika perempuan menerima secara seksual, dan bila ada kemungkinan besar menghadapi laki-laki yang berpotensi infantis.

Reproduksi

[sunting | sunting sumber]

Mayoritas tarsius adalah monogami; Namun, krabuku Sulawesi mungkin mempraktekkan monogami fakultatif atau poligini. Monogami tampaknya merupakan sistem kawin yang lazim di spesies ini karena terbatasnya jumlah situs tidur bermutu tinggi. Masing-masing betina membutuhkan tempat tidur berkualitas tinggi untuk dirinya dan anak-anaknya. Pohon ara dengan diameter besar lebih disukai tapi jarang, yang umumnya dijadikan oleh Tarsius jantan dan betina untuk berbagi tempat tidur dan dengan demikian membentuk pasangan monogami.

Kelompok poligini terjadi 19% dari waktu. Kelompok monogami sering terdiri dari dua atau tiga betina dengan satu betina yang bereproduksi dan satu laki-laki teritorial, sedangkan kelompok poligini terdiri dari enam atau lebih individu dengan beberapa wanita reproduksi dan satu laki-laki. Kehadiran testis besar di T. tarsier menunjukkan bahwa poligini cukup umum, karena testis besar terkait dengan sistem perkawinan acak.[Gursky-Doyen, 2010; MacDonald, 2006 1]

Tarsius tarsier berkembang biak dua kali dalam setahun, dan kopulasi terjadi pada bulan Mei atau November. Masa kehamilan kira-kira 6 bulan, dan kelahiran juga biasanya terjadi pada bulan Mei atau November. Betina melahirkan satu keturunan tunggal, yang lahir sepenuhnya berbulu dan dengan matanya terbuka. Bayi baru lahir bersifat precocial dan mampu memanjat hanya pada satu hari usia. Di antara mamalia, keturunan krabuku adalah yang terbesar relatif terhadap massa tubuh ibu. Berat badan bayi baru lahir rata-rata 23,7 g, hampir 22% dari massa tubuh ibu. Sebagian besar berat badan mereka diinvestasikan dalam massa otak, mata, dan tengkorak.

Laktasi umumnya berlangsung hingga 80 hari. Penyapihan terjadi antara usia 4 dan 10 minggu, dan kemandirian terjadi secara langsung setelah disapih karena keturunan mampu memburu sendiri. Tarsius spektral mencapai kematangan seksual pada usia 17 bulan. Betina memiliki rahim bicornuate dan plasenta haemochorial.[Gursky-Doyen, 2010; MacDonald, 2006 1]

Mereka terutama memangsa serangga terbang seperti ngengat, belalang, kumbang dan jangkrik.[Gron, 2010; Gursky, 2002; MacDonald, 2006; MacKinnon and MacKinnon, 1980; Shekelle and Salim, 2008 1] Mereka kadang-kadang makan vertebrata kecil, seperti kadal atau kelelawar. Tarsius tarsier mendengarkan dengan telinga mereka yang bergerak secara mandiri untuk menemukan mangsa potensial. Begitu item mangsa ditargetkan, seekor tarsius menyergap mangsanya dengan serangan mendadak, menangkapnya dengan jari-jarinya yang panjang dan ramping, dan gigitan untuk membunuhnya. Tarsius kemudian kembali ke tempat bertenggernya untuk mengkonsumsi mangsanya. Bentuk berburu penyergapan ini membutuhkan koordinasi mata-tangan yang bagus. Tarsius tarsier dapat mengumpulkan mangsa mereka dari udara, di tanah, atau di lepas daun dan dahan.

isa makan 10% dari berat tubuh mereka sendiri setiap 24 jam, dan mereka minum air beberapa kali sepanjang malam.

Tarsius tarsier tampaknya memanfaatkan cahaya bulan saat mencari makan. Ini adalah perilaku yang tidak biasa, karena kebanyakan mamalia nokturnal kecil menunjukkan fobia lunar sebagai mekanisme penghindaran predator. Krabuku mengatasi peningkatan risiko predasi ini dengan mencari makan dalam kelompok.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Shekelle, M. & Salim, A. (2008). "Tarsius tarsier". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2008. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 1 January 2009. 
  2. ^ a b (PDF) https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/294/8/UNIKOM_Teguh Setia Anugrah_11. BAB II.pdf. Diakses tanggal 2024-04-01.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  3. ^ a b c Harun, Surya. "Tarsius (Tarsius tarsier) Primata Mungil dari Sulawesi - Dishut Prov. Sulteng". dishut.sultengprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-11-02. 
  4. ^ a b c Administrator. "Habitat, Populasi dan Perilaku Tarsius (Tarsius tarsier) Di TN. Bantimurung Bulusaraung". tn-babul.org. Diakses tanggal 2017-11-02. 
  1. ^ Tarsius spektral ditemukan di hutan hujan primer dan sekunder, meskipun mereka lebih memilih hutan pertumbuhan sekunder. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelimpahan makanan yang melimpah di hutan pertumbuhan sekunder. Habitat mereka berkisar dari hutan hujan evergreen dataran rendah di dekat permukaan laut ke hutan hujan pegunungan rendah sampai 1500 m. Tarsius spektral juga ditemukan di hutan mangrove dan semak belukar.
  1. ^ Perilaku
  1. ^ a b Reproduksi
  1. ^ Makanan
  • Wright, P., E. Simons, S. Gursky. 2003. Tarsiers: past, present, and future. United States of America: Rutgers University Press.
  • Gursky, S. 2010. Dispersal Patterns in Tarsius spectrum. International Journal of Primatology, 31: 117-131.
  • MacDonald, D. 2006. The Encyclopedia of Mammals. New York: Facts on File.Gron, K. 2010. "Primate Factsheets: Tarsier (Tarsius) Taxonomy, Morphology, & Ecology" (On-line). Primate Info Net. Accessed November 08, 2011 at http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/tarsier/taxon.
  • Gursky, S. 2002. The behavioral ecology of the Spectral tarsier, Tarsius spectrum. Evolutionary Anthropology, 11: 226-234.
  • MacKinnon, J., K. MacKinnon. 1980. The behaviour of wild spectral tarsiers.. International Journal of Primatology, 1(4): 361-379.