Kerasukan
Kerasukan, kesurupan, atau kemasukan roh adalah perubahan keadaan kesadaran yang tidak biasa yang konon disebabkan oleh pengendailan tubuh manusia oleh roh, hantu, setan, atau dewa.[1] Konsep kerasukan roh atau entitas gaib dijumpai dalam banyak budaya dan agama, termasuk Buddha, Kristen,[2] Vodou Haiti, Hindu, Islam, Wicca, dan kepercayaan tradisional di Asia Tenggara serta Afrika. Tergantung pada konteks budaya di mana ia ditemukan, kerasukan dapat berupa sukarela atau tidak sukarela dan dapat dianggap memiliki efek menguntungkan atau merugikan pada individu yang mengalaminya.
Dalam sebuah studi pada tahun 1969 yang didanai oleh National Institute of Mental Health, kepercayaan mengenai kerasukan ditemukan pada 74 persen dari 488 sampel masyarakat yang mewakili berbagai belahan dunia, masyarakat dengan kepercayaan tertinggi ditemui dalam budaya Pasifik, dan insiden kerasukan terendah ditemui pada penduduk asli Amerika di Amerika Utara dan Amerika Selatan.[3][1] Ketika gereja-gereja Kristen Pantekosta dan Karismatik pindah ke wilayah Afrika dan Oseanik, akulturasi kepercayaan dapat terjadi, "setan" sering digunakan untuk menggambarkan agama-agama lama penduduk asli yang diusir oleh para pendeta Kristen.[4]
Budaya Mudah Kerauhan Umat (Kerasukan atau kesurupan hindu)
[sunting | sunting sumber]Fenomena kerauhan massal adalah fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor, termasuk aspek sosial, budaya, psikologis, dan bahkan mungkin faktor lingkungan. Tidak ada bukti ilmiah yang kuat dan konsisten yang menghubungkan kerauhan massal secara langsung dengan gangguan dopamine di usus dan otak.
Kerauhan Massal: Fenomena Kompleks
[sunting | sunting sumber]Kerauhan massal seringkali terjadi dalam konteks sosial tertentu, seperti ritual keagamaan, acara kumpul bersama, atau situasi yang penuh tekanan. Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi pada fenomena ini antara lain:
- Sugesti: Pengaruh sugesti dari orang-orang di sekitar dapat memicu reaksi psikologis yang sama pada banyak orang.
- Imitasi: Orang cenderung meniru perilaku orang lain, terutama dalam situasi yang ambigu atau ketika mereka merasa tidak pasti.
- Kepercayaan kolektif: Kepercayaan bersama pada kekuatan gaib atau spiritual dapat memperkuat pengalaman mistik.
- Lebih dalam tentang "kepercayaan kolektif" dan bagaimana hal ini dapat memperkuat pengalaman mistik, seperti mengaku bisa melihat dan mendengar makhluk tak kasat mata.
- Kepercayaan Kolektif: Landasan Pengalaman Mistik
Kepercayaan kolektif adalah suatu keyakinan yang dianut bersama oleh sekelompok orang. Ketika keyakinan ini mengarah pada kekuatan gaib atau spiritual, maka ia dapat menciptakan suatu realitas sosial yang unik. Dalam konteks pengalaman mistik, kepercayaan kolektif berperan sebagai:
- Norma Sosial: Kepercayaan kolektif membentuk norma-norma sosial tentang apa yang dianggap "normal" dan "wajar" dalam suatu komunitas. Jika dalam suatu komunitas, pengalaman mistik dianggap sebagai hal yang biasa dan bahkan dihargai, maka individu di dalamnya akan lebih cenderung untuk melaporkan pengalaman serupa.
- Validasi Sosial: Ketika seseorang mengalami sesuatu yang dianggap "aneh" atau "tidak biasa", mereka akan mencari validasi dari orang lain. Jika orang-orang di sekitarnya juga memiliki pengalaman yang serupa atau memiliki keyakinan yang sama, maka pengalaman individu tersebut akan terasa lebih valid dan nyata.
- Penguatan Identitas: Kepercayaan kolektif dapat memperkuat identitas sosial seseorang. Dengan berbagi pengalaman mistik dengan orang lain, seseorang merasa lebih terhubung dengan komunitasnya dan mendapatkan rasa memiliki.
- Mekanisme Pertahanan: Kepercayaan kolektif dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri. Dalam situasi yang sulit atau penuh ketidakpastian, orang cenderung mencari makna dan kenyamanan dalam keyakinan bersama.
Bagaimana Kepercayaan Kolektif Mempengaruhi Pengalaman Melihat dan Mendengar Makhluk Tak Kasat Mata
[sunting | sunting sumber]- Sugesti Sosial: Ketika seseorang berada dalam lingkungan yang penuh dengan cerita tentang makhluk tak kasat mata, mereka lebih mudah terpengaruh oleh sugesti. Otak manusia sangat plastis dan mudah membentuk persepsi berdasarkan informasi yang diterima.
- Konfirmasi Bias: Orang cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka dan mengabaikan informasi yang bertentangan. Jika seseorang sudah yakin bahwa makhluk tak kasat mata itu ada, mereka akan lebih mudah menemukan bukti yang mendukung keyakinan tersebut.
- Interpretasi Sensasi: Sensasi fisik seperti suara samar, bayangan bergerak, atau perasaan aneh dapat diinterpretasikan sebagai tanda kehadiran makhluk tak kasat mata, terutama jika individu tersebut sudah memiliki keyakinan sebelumnya.
- Pengalaman Bersama: Ketika beberapa orang mengalami hal yang sama secara bersamaan, mereka akan saling memperkuat keyakinan masing-masing. Hal ini dapat menciptakan pengalaman yang sangat kuat dan sulit untuk dibantah.
Faktor Lain yang Mempengaruhi
[sunting | sunting sumber]- Kondisi Psikologis: Faktor-faktor seperti stres, kelelahan, atau gangguan mental dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami halusinasi atau delusi.
- Kondisi Lingkungan: Faktor lingkungan seperti isolasi sosial, kurang tidur, atau penggunaan zat psikoaktif dapat mempengaruhi persepsi seseorang.
- Pengalaman Pribadi: Pengalaman traumatis atau pengalaman spiritual yang mendalam dapat membentuk keyakinan seseorang tentang dunia gaib.
Kesimpulan Kepercayaan kolektif memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk dan memperkuat pengalaman mistik. Meskipun pengalaman mistik dapat menjadi pengalaman yang sangat pribadi dan subjektif, namun pengaruh sosial dan budaya tidak dapat diabaikan.
Penting untuk diingat bahwa:
[sunting | sunting sumber]
- Kepercayaan kolektif dapat menjadi sumber kekuatan dan kenyamanan bagi banyak orang. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan antara keyakinan dan realitas.
- Pendekatan yang terbuka dan kritis terhadap semua jenis pengalaman adalah penting untuk menghindari kesimpulan yang terlalu cepat.
- Kondisi lingkungan: Faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, atau keberadaan zat tertentu dalam udara juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang.
Dopamin: Neurotransmitter Penting
[sunting | sunting sumber]
- Dopamin adalah neurotransmitter yang berperan penting dalam mengatur berbagai fungsi tubuh, termasuk:
- Sistem penghargaan: Dopamin terlibat dalam mekanisme penghargaan otak, memberikan perasaan senang dan motivasi.
- Gerakan: Dopamin membantu mengontrol gerakan otot.
- Emosi: Dopamin berperan dalam mengatur emosi seperti euforia dan depresi.
Hubungan antara Dopamin, Usus, dan Otak
[sunting | sunting sumber]Sumbu usus-otak: Usus dan otak saling terhubung melalui saraf dan hormon. Bakteri usus menghasilkan berbagai zat yang dapat mempengaruhi produksi dopamine di otak.
Gangguan keseimbangan dopamine: Kelebihan atau kekurangan dopamine dapat menyebabkan berbagai gangguan, seperti skizofrenia, penyakit Parkinson, dan gangguan bipolar.
Mengapa Tidak Ada Hubungan Langsung?
Kompleksitas kerauhan massal: Fenomena kerauhan massal melibatkan banyak faktor yang saling berinteraksi, tidak hanya faktor biologis.
Kurangnya bukti ilmiah: Meskipun ada penelitian yang menghubungkan gangguan mental dengan perubahan kadar dopamine, belum ada penelitian yang secara langsung menghubungkan kerauhan massal dengan gangguan dopamine di usus dan otak.
Variasi individu: Respon individu terhadap situasi yang sama sangat bervariasi, tergantung pada faktor genetik, pengalaman hidup, dan kondisi kesehatan masing-masing.
Kesimpulan
[sunting | sunting sumber]- Tidak ada bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung klaim bahwa kerauhan massal disebabkan oleh gangguan dopamine di usus dan otak. Fenomena ini lebih kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, dan psikologis.
- Smber-sumber yang lebih terpercaya, seperti jurnal ilmiah atau buku-buku yang ditulis oleh ahli di bidang neurologi, psikologi, dan antropologi.
Penting untuk diingat bahwa:
[sunting | sunting sumber]- Setiap individu unik: Pengalaman dan interpretasi terhadap fenomena kerauhan dapat sangat bervariasi.
- Pendekatan yang holistik: Untuk memahami fenomena kerauhan massal, diperlukan pendekatan yang holistik, yang mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek biologis, psikologis, dan sosial.
- Beberapa topik yang mungkin menarik untuk dibahas:
- Peran sugesti dan imitasi dalam kerauhan massal
- Pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap fenomena ini
- Perbandingan antara kerauhan massal dengan fenomena psikologis lainnya
- Pendekatan ilmiah untuk mempelajari kerauhan massal
Disclaimer: Informasi yang diberikan di sini bersifat umum dan tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat medis atau profesional lainnya. Jika Anda memiliki kekhawatiran tentang kesehatan mental atau fisik Anda, sebaiknya konsultasikan dengan profesional yang berkualifikasi.
Konsep kerauhan atau kesurupan adalah fenomena kompleks yang melibatkan aspek spiritual, psikologis, dan sosial. Pandangan tentang kerauhan dapat bervariasi antar individu, budaya, dan agama. Penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki pengalaman yang unik, dan tidak ada satu penjelasan tunggal yang berlaku untuk semua kasus.
Pengaruh Budaya dan Spiritualitas terhadap Kerauhan
[sunting | sunting sumber]Dalam konteks budaya dan spiritualitas tertentu, seperti dalam beberapa kepercayaan tradisional, kerauhan sering dikaitkan dengan pengaruh roh atau entitas gaib. Namun, dalam perspektif ilmiah modern, fenomena ini seringkali dijelaskan melalui lensa psikologis, seperti gangguan disosiatif atau pengalaman mistik.
Beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kerentanan seseorang terhadap pengalaman kerauhan, antara lain:
- Kondisi psikologis: Stres, trauma, gangguan mental, atau kondisi emosional yang tidak stabil dapat menjadi pemicu.
- Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami masalah psikologis, sangat penting untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Analisis Kondisi Psikologis
Perilaku menyugesti diri mengalami kesurupan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengganti jabatan kepala pemangku desa adat, merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor psikologis. Beberapa kemungkinan kondisi psikologis yang mungkin mendasari perilaku tersebut antara lain:
Gangguan Disosiatif:
Identitas Disosiatif: Individu mungkin menciptakan identitas alternatif (dalam hal ini, sosok roh atau leluhur) untuk menghindari tanggung jawab atau konflik internal.
Fugue Disosiatif: Individu mungkin "melarikan diri" dari realitas dengan cara memasuki kondisi trance atau kesurupan.
Bedah perbedaan perspektif antara fisika, metafisika, dan fenomena fugue disosiatif dalam konteks yang kerauhan massal.
Fokus pada dunia material: Fisika berfokus pada mempelajari sifat-sifat materi, energi, ruang, dan waktu. Fenomena fisik dapat diukur, diuji, dan dijelaskan melalui hukum-hukum alam.
Penjelasan mekanistik: Fisika berusaha mencari penjelasan mekanistik terhadap segala fenomena, termasuk perilaku manusia. Namun, fisika tidak dapat menjelaskan sepenuhnya aspek-aspek non-fisik seperti kesadaran, emosi, dan pengalaman spiritual.
Fugue disosiatif dalam perspektif fisika: Fisika tidak dapat menjelaskan secara langsung mengapa seseorang mengalami fugue disosiatif.
Namun, fisika dapat memberikan penjelasan tentang proses biologis yang terjadi di dalam otak selama kondisi tersebut, seperti perubahan aktivitas otak atau produksi hormon tertentu.
Fokus pada realitas yang melampaui fisik: Metafisika menyelidiki pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang keberadaan, pengetahuan, ruang, waktu, dan realitas.
Penjelasan non-fisik: Metafisika berusaha memahami aspek-aspek non-fisik dari keberadaan, seperti kesadaran, jiwa, dan hubungan antara tubuh dan pikiran.
Fugue disosiatif dalam perspektif metafisika: Metafisika dapat menawarkan berbagai penjelasan tentang fugue disosiatif, tergantung pada aliran filsafat yang dianut. Misalnya, dalam pandangan idealisme, fugue disosiatif dapat dianggap sebagai manifestasi dari realitas yang lebih dalam atau kesadaran yang terpecah.
Perbedaan Kunci
[sunting | sunting sumber]Aspek Fisika Metafisika
Fokus Dunia material, fenomena fisik Realitas yang melampaui fisik
Metode Eksperimen, pengukuran, hukum alam Analisis konseptual, penalaran logis
Penjelasan Mekanistis, kausal Non-fisik, holistik
Fugue disosiatif Proses biologis di otak Manifestasi dari realitas yang lebih dalam
Fugue Disosiatif: Perspektif Gabungan
[sunting | sunting sumber]Untuk memahami fenomena fugue disosiatif secara komprehensif, kita perlu menggabungkan perspektif fisika dan metafisika. Fisika dapat memberikan penjelasan tentang dasar biologis dari kondisi tersebut, sementara metafisika dapat membantu kita memahami makna dan implikasi yang lebih luas dari pengalaman tersebut.
Contoh Penerapan:
[sunting | sunting sumber]- Fisika: Penelitian otak dapat membantu mengidentifikasi perubahan aktivitas otak yang terkait dengan fugue disosiatif.
- Metafisika: Filsafat pikiran dapat membantu kita memahami bagaimana kesadaran dan identitas pribadi terbentuk, dan bagaimana kondisi seperti fugue disosiatif dapat mengganggu proses tersebut.
Kesimpulan
[sunting | sunting sumber]Baik fisika maupun metafisika memiliki peran penting dalam memahami fenomena kompleks seperti fugue disosiatif. Dengan menggabungkan kedua perspektif ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang kondisi manusia yang menarik ini.
Penting untuk diingat bahwa:
- Fenomena fugue disosiatif adalah kondisi yang kompleks dan multifaset.
- Tidak ada satu penjelasan tunggal yang dapat mencakup semua aspek dari kondisi ini.
- Pendekatan yang holistik, yang mempertimbangkan aspek biologis, psikologis, dan spiritual, adalah kunci untuk memahami dan mengatasi kondisi ini.
Gangguan Kepribadian:
[sunting | sunting sumber]- Narcissistic Personality Disorder: Individu dengan gangguan kepribadian narsistik mungkin merasa berhak atas posisi kepemimpinan dan akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya.
- Antisocial Personality Disorder: Individu dengan gangguan kepribadian antisosial mungkin tidak memiliki empati dan cenderung manipulatif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Faktor Motivasi:
[sunting | sunting sumber]- Ambisi yang berlebihan: Keinginan kuat untuk mendapatkan kekuasaan atau status sosial dapat mendorong seseorang melakukan tindakan yang ekstrem.
- Ketidakpuasan terhadap situasi saat ini: Ketidakpuasan dengan kondisi sosial, ekonomi, atau politik di desa dapat menjadi motivasi untuk melakukan perubahan.
- Perasaan tertekan: Tekanan sosial atau keluarga untuk mengambil alih kepemimpinan desa juga dapat menjadi pemicu.
Faktor Lain yang Perlu Dipertimbangkan:
[sunting | sunting sumber]- Budaya dan kepercayaan: Dalam beberapa budaya, kepercayaan terhadap roh atau kekuatan gaib sangat kuat. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang realitas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya fenomena seperti kesurupan.
- Konteks sosial: Situasi sosial di desa, seperti konflik internal atau persaingan antar kelompok, dapat menciptakan kondisi yang mendukung munculnya perilaku manipulatif.
- Pengalaman masa lalu: Trauma masa lalu atau pengalaman yang menyakitkan dapat mempengaruhi cara seseorang memandang dunia dan berinteraksi dengan orang lain.
Dampak Negatif
[sunting | sunting sumber]Perilaku menyugesti diri mengalami kesurupan untuk mencapai tujuan tertentu dapat memiliki dampak negatif yang serius, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat sekitar:
- Kerusakan reputasi: Tindakan tersebut dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi desa adat.
- Konflik sosial: Perilaku manipulatif dapat memicu konflik dan perpecahan di dalam masyarakat.
- Masalah kesehatan mental: Individu yang sering melakukan tindakan seperti ini mungkin mengalami masalah kesehatan mental yang lebih serius di kemudian hari.
Penting untuk diingat bahwa:
[sunting | sunting sumber]- Setiap kasus memiliki konteks yang unik.
- Diagnosis yang akurat hanya dapat dilakukan oleh profesional kesehatan mental.
- Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami masalah seperti ini, sangat penting untuk mencari bantuan profesional.
Pencegahan dan Penanganan
[sunting | sunting sumber]- Peningkatan kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan menghindari manipulasi.
- Pendidikan: Memberikan pendidikan tentang kesehatan mental dan psikologi sosial.
- Penguatan nilai-nilai sosial: Memupuk nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan kerja sama dalam masyarakat.
- Bantuan profesional: Bagi individu yang mengalami masalah psikologis, penting untuk mencari bantuan dari psikolog atau psikiater.
Kesimpulan
[sunting | sunting sumber]- Perilaku menyugesti diri mengalami kesurupan untuk mencapai tujuan tertentu merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor psikologis, sosial, dan budaya. Penting untuk memahami akar penyebab dari perilaku tersebut agar dapat memberikan penanganan yang tepat.
- Keyakinan pribadi: Kepercayaan yang kuat terhadap keberadaan roh atau kekuatan gaib dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pengalaman yang tidak biasa.
- Lingkungan sosial: Tekanan sosial, pengaruh budaya, dan praktik-praktik ritual tertentu dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya pengalaman kerauhan.
- Faktor fisiologis: Beberapa kondisi medis, seperti epilepsi atau gangguan tidur, dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan pengalaman kerauhan.
Penting untuk diingat bahwa:
[sunting | sunting sumber]Tidak semua pengalaman kerauhan memiliki penyebab yang sama.
Apa yang dianggap sebagai kerauhan oleh satu budaya mungkin tidak dianggap demikian oleh budaya lain.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami pengalaman kerauhan yang berulang atau mengganggu, penting untuk mencari bantuan profesional.
Pencegahan dan Penanganan
[sunting | sunting sumber]Untuk mencegah atau mengatasi pengalaman kerauhan, beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
- Menjaga kesehatan mental: Praktik relaksasi, meditasi, atau terapi dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.
- Menjaga hubungan sosial: Memiliki dukungan sosial yang kuat dapat membantu mengatasi perasaan kesepian atau terisolasi.
- Mencari bantuan profesional: Jika pengalaman kerauhan mengganggu kehidupan sehari-hari, berkonsultasilah dengan psikolog atau psikiater.
- Mengikuti ajaran agama: Bagi mereka yang beragama, mengikuti ajaran agama dan melakukan praktik spiritual dapat memberikan rasa ketenangan dan perlindungan.
Konsep Sang Hyang Acintya dalam agama Hindu mengajarkan tentang kesatuan dan kesempurnaan Tuhan. Sang Hyang Acintya adalah sebutan lain untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali dan Jawa. Meskipun demikian, kepercayaan terhadap keberadaan roh atau entitas gaib juga merupakan bagian dari beberapa tradisi Hindu. Penting untuk memahami bahwa konsep kerauhan dalam agama Hindu sangat beragam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk budaya lokal dan interpretasi individu.
Secara mendalam tentang unsur-unsur yang terkait dengan fenomena seseorang ingin terlihat kesurupan, khususnya dalam konteks ingin menjadi seperti Dewi Parwati atau Sang Hyang Acintya.
Unsur-Unsur yang Mungkin Terlibat
Faktor Psikologis:
[sunting | sunting sumber]Keinginan untuk mendapatkan perhatian: Seseorang mungkin merasa tidak diperhatikan atau kurang dihargai, sehingga mereka mencari perhatian dengan cara yang ekstrem seperti berpura-pura kesurupan.
Proses psikologis yang mungkin terjadi pada seorang wanita yang berpura-pura kesurupan untuk mencapai tujuan tertentu.
Proses Psikologis yang Mungkin Terjadi
[sunting | sunting sumber]Ketidakpuasan dan Kecemburuan:
- Perasaan tidak dihargai: Wanita ini merasa bahwa kontribusi dan peran suaminya sebagai pemangku adat tidak cukup diakui atau dihargai.
- Kecemburuan: Melihat suami mendapatkan perhatian negatif dan kurang penghormatan sebagai pemangku adat, ia mungkin merasa iri dan ingin mendapatkan pergantian kursi jabatan yang baru.
Pencarian Perhatian:
- Perilaku ekstrem: Untuk mendapatkan perhatian yang lebih, ia memilih cara yang ekstrem, yaitu berpura-pura kesurupan. Ini adalah bentuk "teriakan" untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan.
- Identifikasi dengan sosok dewi: Dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Dewi Parwati, sosok yang sangat dihormati dalam agama Hindu, ia berharap mendapatkan perhatian dan kekaguman dari lingkungan sekitarnya.
Mekanisme Pertahanan Diri:
- Proyeksi: Ia mungkin memproyeksikan keinginan dan harapannya untuk menjadi pusat perhatian ke dalam sosok Dewi Parwati.
- Regresi: Dengan berpura-pura kesurupan, ia seolah-olah kembali ke masa kanak-kanak di mana ia mungkin sering mencari perhatian dari orang tua.
Pengaruh Budaya dan Sosial:
Peran gender: Dalam beberapa budaya, perempuan diharapkan memiliki peran tertentu, seperti menjadi istri yang mendukung suami. Jika ia merasa tidak memenuhi ekspektasi tersebut, ia mungkin mencari cara untuk menegaskan eksistensinya.
Kepercayaan terhadap kekuatan gaib: Kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan gaib dan sosok-sosok dewa dapat memperkuat motivasi untuk berpura-pura kesurupan.
Tahapan yang Mungkin Dilalui
[sunting | sunting sumber]- Kesadaran akan ketidakpuasan: Wanita tersebut mulai menyadari bahwa ia merasa tidak puas dengan situasi yang ada.
- Pembentukan fantasi: Ia mulai membayangkan bagaimana jika ia mendapatkan perhatian yang sama seperti suaminya.
- Pengambilan keputusan: Ia memutuskan untuk berpura-pura kesurupan sebagai cara untuk mencapai tujuannya.
- Pelaksanaan tindakan: Ia mulai menunjukkan tanda-tanda kesurupan, seperti berbicara dengan suara yang berbeda, melakukan gerakan yang tidak biasa, atau memberikan pesan-pesan spiritual.
- Reaksi lingkungan: Lingkungan sekitar merespons tindakannya, memberikan perhatian dan pengakuan yang diinginkannya.
Dampak Potensial
[sunting | sunting sumber]- Kerusakan hubungan: Tindakannya dapat merusak hubungan dengan suami dan anggota keluarga lainnya.
- Masalah psikologis: Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat memicu masalah psikologis yang lebih serius.
- Konflik sosial: Tindakannya dapat memicu konflik di dalam masyarakat, terutama jika ia menggunakan kesurupan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan penting.
Penting untuk diingat:
- Setiap kasus unik: Tidak semua kasus memiliki motif dan proses yang sama.
- Penting untuk mencari bantuan profesional: Jika seseorang menunjukkan tanda-tanda perilaku yang tidak biasa, sebaiknya segera berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Pendekatan yang Lebih Holistik
- Untuk memahami dan mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang holistik, yang melibatkan:
- Psikologi: Memahami motivasi dan dinamika psikologis yang mendasari perilaku tersebut.
- Sosiologi: Memahami pengaruh faktor sosial dan budaya.
- Spiritualitas: Memahami peran kepercayaan dan spiritualitas dalam konteks budaya tersebut.
Pencegahan dan Penanganan
[sunting | sunting sumber]- Komunikasi terbuka: Membuka ruang untuk komunikasi yang terbuka dan jujur dalam keluarga.
- Konseling: Memberikan konseling kepada individu yang bersangkutan untuk membantu mereka mengatasi masalah emosional yang mendasarinya.
- Peningkatan kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan menghindari manipulasi.
Tekanan sosial: Tekanan untuk memenuhi peran atau harapan sosial tertentu, misalnya menjadi pemimpin spiritual atau menjaga tradisi keluarga, dapat mendorong seseorang untuk berpura-pura kesurupan.
Konflik batin: Konflik batin yang tidak terselesaikan, seperti rasa bersalah, kemarahan, atau ketakutan, dapat memanifestasikan diri dalam bentuk perilaku yang tidak biasa.
Gangguan mental: Beberapa gangguan mental, seperti gangguan disosiatif atau gangguan kepribadian histrionik, dapat memicu perilaku yang dramatis dan mencolok.
Faktor Sosial Budaya:
[sunting | sunting sumber]- Peran gender: Dalam beberapa budaya, perempuan diharapkan memiliki sifat-sifat keibuan dan spiritual seperti Dewi Parwati. Tekanan untuk memenuhi peran gender ini dapat mendorong perempuan untuk berpura-pura kesurupan.
- Status sosial: Menjadi medium bagi dewa atau roh dianggap memiliki status sosial yang tinggi dalam beberapa masyarakat.
- Tradisi dan ritual: Praktik-praktik ritual dan kepercayaan terhadap kekuatan gaib dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya fenomena kesurupan.
Faktor Spiritual:
[sunting | sunting sumber]Identifikasi dengan dewa atau roh: Seseorang mungkin merasa memiliki hubungan yang sangat kuat dengan dewa atau roh tertentu, sehingga mereka ingin menyatu dengan sosok tersebut.
Pengalaman mistik: Pengalaman mistik atau spiritual yang intens dapat memicu perubahan perilaku yang signifikan.
Perbandingan Dewi Parwati dan Sang Hyang Acintya
- Dewi Parwati: Dianggap sebagai simbol kesuburan, cinta, dan kasih sayang. Sering digambarkan sebagai sosok yang lembut namun kuat.
- Sang Hyang Acintya: Dianggap sebagai kekuatan tertinggi dalam kosmos, sumber segala sesuatu. Sering digambarkan sebagai sosok yang maha kuasa dan tidak terbatas.
Mengapa seseorang ingin terlihat seperti mereka?
- Daya tarik spiritual: Kedua sosok ini memiliki daya tarik spiritual yang kuat, sehingga orang-orang ingin mendapatkan berkah atau kekuatan dari mereka.
- Status sosial: Menjadi medium bagi dewa atau roh dapat memberikan status sosial yang tinggi dalam masyarakat.
- Pelarian dari kenyataan: Dalam beberapa kasus, orang mungkin menggunakan kesurupan sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau tekanan hidup.
Penting untuk diingat:
- Fenomena kesurupan adalah fenomena yang kompleks dan multifaktorial.
- Tidak semua kasus kesurupan memiliki motif yang sama.
- Beberapa kasus mungkin melibatkan faktor psikologis, sosial, budaya, atau spiritual.
- Penting untuk mencari bantuan profesional jika seseorang mengalami perubahan perilaku yang signifikan dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Pendekatan yang Lebih Holistik
[sunting | sunting sumber]Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, perlu pendekatan yang holistik, yang mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, budaya, dan spiritual. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan antara lain:
- Wawancara mendalam: Melakukan wawancara mendalam dengan individu yang bersangkutan untuk memahami latar belakang, motivasi, dan pengalaman mereka.
- Pengamatan perilaku: Mengamati perilaku individu dalam berbagai situasi untuk mengidentifikasi pola-pola yang berulang.
- Konsultasi dengan ahli: Berkonsultasi dengan psikolog, psikiater, atau ahli agama untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas.
Pencegahan dan Penanganan
[sunting | sunting sumber]- Peningkatan kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan menghindari manipulasi.
- Pendidikan: Memberikan pendidikan tentang kesehatan mental dan psikologi sosial.
- Penguatan nilai-nilai sosial: Memupuk nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan kerja sama dalam masyarakat.
- Bantuan profesional: Bagi individu yang mengalami masalah psikologis, penting untuk mencari bantuan dari psikolog atau psikiater.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami masalah seperti ini, sangat penting untuk mencari bantuan profesional.
Kesimpulan
[sunting | sunting sumber]Fenomena kerauhan adalah topik yang kompleks dan multifaset. Tidak ada jawaban tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus. Pendekatan yang holistik, yang mempertimbangkan aspek spiritual, psikologis, dan sosial, adalah kunci untuk memahami dan mengatasi pengalaman kerauhan.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Jones (2005), hlm. 8687.
- ^ Markus 5:9, Lukas 8:30
- ^ Bourguignon & Ucko (1969).
- ^ Robbins (2004a), hlm. 117–143.
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- Adler, Margo (1997). Drawing Down the Moon. Penguin.
- Allen, Tim (July 1991). "Understanding Alice: Uganda's Holy Spirit Movement in context". Africa. 61 (3): 370–399. doi:10.2307/1160031. JSTOR 1160031.
- Al-Krenawi, A.; Graham, J.R. (1997). "Spirit Possession and Exorcism in the Treatment of a Bedouin Psychiatric Patient". Clinical Social Work Journal. 25: 211. doi:10.1023/A:1025714626136.
- Alpers, Edward A. (1984). "'Ordinary Household Chores': Ritual and Power in a 19th-Century Swahili Women's Spirit Possession Cult". The International Journal of African Historical Studies. 17 (4): 677–702. doi:10.2307/218907. JSTOR 218907.
- Amorth, Gabriele (1999). An Exorcist Tells his Story. Diterjemahkan oleh MacKenzie, Nicoletta V. San Francisco: Ignatius Press. hlm. 33.
- Baglio, Matt (2009). The Rite: The Making of a Modern Exorcist. New York: Doubleday.
- Beyerstein, Barry L. (1995). "Dissociative States: Possession and Exorcism". Dalam Stein, Gordon. The Encyclopedia of the Paranormal. Prometheus Books. hlm. 544-552. ISBN 1-57392-021-5.
- Bhavsar, Vishal; Ventriglio, Antonio; Dinesh, Bhugra (2016). "Dissociative trance and spirit possession: Challenges for cultures in transition". Japanese Society of Psychiatry and Neurology. Psychiatry and Clinical Neurosciences. 70 (12): 551–559. doi:10.1111/pcn.12425. PMID 27485275.
- Bohak, Gideon (2008). Ancient Jewish magic: a history.
- Bourguignon, Erika; Ucko, Lenora (1969). Cross-Cultural Study of Dissociational States. The Ohio State University Research Foundation with National Institute of Mental Health grant.
- Braitmayer, Lars; Hecker, Tobias; Van Duijl, Marjolein (2015). "Global mental health and trauma exposure: The current evidence for the relationship between traumatic experiences and spirit possession". European Journal of Plsychotraumatology. 6: 29126. doi:10.3402/ejpt.v6.29126. PMC 4654771 . PMID 26589259.</ref>
- Broch, Harald Beyer (1985). "'Crazy Women are Performing in Sombali': A Possession-Trance Ritual on Bonerate, Indonesia". Ethos. 13 (3): 262–282. doi:10.1525/eth.1985.13.3.02a00040. JSTOR 640005.
- Broedel, Hans Peter (2003). The Malleus Maleficarum and the Construction of Witchcraft. Great Britain: Manchester University Press. hlm. 32–33. ISBN 9780719064418.
- Bulkeley, Kelly; Adams, Kate; Davis, Patricia M., ed. (2009). Dreaming in Christianity and Islam: Culture, Conflict, and Creativity. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press. hlm. 148. ISBN 978-0-813-54610-0.
- Buswell, Robert Jr.; Lopez, Donald S.Jr., ed. (2013). Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton, NJ: Princeton University Press. hlm. 530–531, 550, 829. ISBN 9780691157863.
- Calmet, Augustine (1751). Treatise on the Apparitions of Spirits and on Vampires or Revenants: of Hungary, Moravia, et al. The Complete Volumes I & II. 2016. ISBN 978-1-5331-4568-0.
- Chodkiewicz, M. (2012). "Rūḥāniyya". Dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W.P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2nd). doi:10.1163/1573-3912_islam_SIM_6323. ISBN 978-90-04-16121-4.
- Cuneo, Michael (1999). "Contemporary American Religion". Gale eBooks. Diakses tanggal December 3, 2019.
- Dart, Jon Anderson (1990). Dharmadasa, Karuna N.O.; De Alwis Samarasinghe, S.W.R., ed. The Vanishing aborigines : Sri Lanka's Veddas in transition. New Delhi: International Centre for Ethnic Studies in association with NORAD and Vikas Pub. House. hlm. 83. ISBN 978-0706952988.
- De Heusch, Luc (2 October 2007). "Jean Rouch and the Birth of Visual Anthropology: A Brief History of the Comité international du film ethnographique". Visual Anthropology. 20 (5): 365–386. doi:10.1080/08949460701424155.
- Dein, S. (2013). "Jinn and mental health: Looking at jinn possession in modern psychiatric practice". The Psychiatrist. 37 (9): 290–293. doi:10.1192/pb.bp.113.042721.
- Diem, Werner; Schöller, Marco (2004). The Living and the Dead in Islam: Epitaphs as texts. Otto Harrassowitz Verlag. hlm. 144. ISBN 9783447050838.
- Erlendsson, Haraldur (2003). "Multiple Personality Disorder - Demons and Angels or Archetypal aspects of the inner self".[sumber terbitan sendiri?]
- Ferracuti, Stefano; Sacco, Roberto; Lazzari, R (June 1996). "Dissociative Trance Disorder: Clinical and Rorschach Findings in Ten Persons Reporting Demon Possession and Treated by Exorcism". Journal of Personality Assessment. 66 (3): 525–539. doi:10.1207/s15327752jpa6603_4. PMID 8667145.
- Gomm, Roger (1975). "Bargaining from Weakness: Spirit Possession on the South Kenya Coast". Man. 10 (4): 530–543. doi:10.2307/2800131. JSTOR 2800131.
- Goodwin, Jean; Hill, Sally; Attias, Reina (June 1990). "Historical and folk techniques of exorcism: applications to the treatment of dissociative disorders". Dissociation. 3 (2): 94–101. hdl:1794/1530.
- Griffel, Frank (2005). Islam and rationality : the impact of al-Ghazālī : papers collected on his 900th anniversary. Leiden, Netherlands: Brill. hlm. 103. ISBN 978-9-004-29095-2.
- Hamer, John; Hamer, Irene (1966). "Spirit Possession and Its Socio-Psychological Implications among the Sidamo of Southwest Ethiopia". Ethnology. 5 (4): 392–408. doi:10.2307/3772719. JSTOR 3772719.
- Hayes, Kelly E. (August 2008). "Wicked Women and Femmes Fatales: Gender, Power, and Pomba Gira in Brazil". History of Religions. 48 (1): 1–21. doi:10.1086/592152.
- Henderson, J. (1981). "Exorcism and Possession in Psychotherapy Practice". 2. The Canadian Journal of Psychiatry: 129–134.
- Hezel, Francis X. (1993). "Spirit Possession in Chuuk: Socio-Cultural Interpretation". 11. Micronesian Counselor.
- Igreja, Victor; Dias-Lambranca, Béatrice; Richters, Annemiek (June 2008). "Gamba spirits, gender relations, and healing in post-civil war Gorongosa, Mozambique". Journal of the Royal Anthropological Institute. 14 (2): 353–371. doi:10.1111/j.1467-9655.2008.00506.x.
- Jones, Lindsay (2005). Encyclopedia of Religion. 13 (edisi ke-2). Detroit, MI: Macmillan Reference USA. hlm. 8687. ISBN 0-02-865733-0.
- Karanci, A. Nuray (2014). "Concerns About Schizophrenia or Possession?". Journal of Religion and Health. 53 (6): 1691–1692. doi:10.1007/s10943-014-9910-7. PMID 25056667.
- Kehoe, Alice B.; Giletti, Dody H. (September 1981). "Women's Preponderance in Possession Cults: The Calcium-Deficiency Hypothesis Extended". American Anthropologist. 83 (3): 549–561. doi:10.1525/aa.1981.83.3.02a00030 .
- Kinnard, Jacob (2006). Worldmark Encyclopedia of Religious Practice. Gale Virtual Reference Library: Gale.
- Lambek, Michael (November 1988). "spirit possession/spirit succession: aspects of social continuity among Malagasy speakers in Mayotte". American Ethnologist. 15 (4): 710–731. doi:10.1525/ae.1988.15.4.02a00070.
- Lewis, I. M. (1966). "Spirit Possession and Deprivation Cults". Man. 1 (3): 307–329. doi:10.2307/2796794. JSTOR 2796794.
- Maʻrūf, Muḥammad (2007). Jinn Eviction as a Discourse of Power: A Multidisciplinary Approach to Modern Morrocan Magical Beliefs and Practices. Brill. hlm. 2. ISBN 9789004160996.
- Malachi, M. (1976). Hostage to the Devil: the possession and exorcism of five living Americans. San Francisco: Harpercollins. hlm. 462. ISBN 0-06-065337-X.
- <ref>Meldon, J.A. (1908). "Notes on the Sudanese in Uganda". Journal of the Royal African Society. 7 (26): 123–146. JSTOR 715079.
- McIntosh, Janet (March 2004). "Reluctant Muslims: embodied hegemony and moral resistance in a Giriama spirit possession complex". Journal of the Royal Anthropological Institute. 10 (1): 91–112. doi:10.1111/j.1467-9655.2004.00181.x.
- Nabokov, Isabelle (1997). "Expel the Lover, Recover the Wife: Symbolic Analysis of a South Indian Exorcism". The Journal of the Royal Anthropological Institute. 3 (2): 297–316. doi:10.2307/3035021. JSTOR 3035021.
- Netzley, Patricia D. (2002). The Greenhaven Encyclopedia of Witchcraft. San Diego, CA: Greenhaven Press. hlm. 206. ISBN 9780737746389.
- Noll, Richard (2009). The Encyclopedia of Schizophrenia and Other Psychotic Disorders. Infobase Publishing. hlm. 129–. ISBN 978-0-8160-7508-9.
- O'Connell, M. C. (1982). "Spirit Possession and Role Stress among the Xesibe of Eastern Transkei". Ethnology. 21 (1): 21–37. doi:10.2307/3773703. JSTOR 3773703.
- Ong, Aihwa (February 1988). "the production of possession: spirits and the multinational corporation in Malaysia". American Ethnologist. 15 (1): 28–42. doi:10.1525/ae.1988.15.1.02a00030.
- Oxtoby; Amore, ed. (2010). World Religions: Eastern Traditions (edisi ke-3). Oxford University Press. hlm. 9, 256–319.
- Queiroz, Ruben Caixeta de (December 2012). "Between the sensible and the intelligible: Anthropology and the cinema of Marcel Mauss and Jean Rouch". Vibrant: Virtual Brazilian Anthropology. 9 (2): 184–211. doi:10.1590/S1809-43412012000200007 .
- Rassool, G. Hussein (2015). Islamic Counselling: An Introduction to theory and practice. New York: Routledge. ISBN 978-1-317-44124-3.
- Robbins, Joel (1998). "Becoming Sinners: Christianity and Desire among the Urapmin of Papua New Guinea". Ethnology. 37 (4): 299–316. doi:10.2307/3773784. JSTOR 3773784.
- Robbins, Joel (2004a). "The globalization of pentecostal and charismatic Christianity". Annual Review of Anthropology. 33: 117–143. doi:10.1146/annurev.anthro.32.061002.093421. ProQuest 199862299.
- Robbins, Joel (2004b). Becoming Sinners: Christianity and Moral Torment in a Papua New Guinea Society. University of California Press. hlm. 284. ISBN 0-520-23800-1.
- Ángel Manuel Rodríguez (1998), "Old Testament demonology", Ministry: International Journal for Pastors, 7 (6): 5–7, diakses tanggal October 29, 2017
- Sells, Michael Anthony (1996). Early Islamic Mysticism: Sufi, Qurʼan, Miraj, Poetic and Theological Writings. Paulist Press. hlm. 143. ISBN 978-0-809-13619-3.
- Shack, William A. (1971). "Hunger, Anxiety, and Ritual: Deprivation and Spirit Possession Among the Gurage of Ethiopia". Man. 6 (1): 30–43. doi:10.2307/2798425. JSTOR 2798425.
- Showalter, Brandon (26 May 2021). "UK Baptist group warns against occultism amid rise in grief-stricken seeking to contact the dead" (dalam bahasa English). The Christian Post. Diakses tanggal 27 May 2021.
- Snodgrass, Jeffrey G. (2002). "Imitation Is Far More than the Sincerest of Flattery: The Mimetic Power of Spirit Possession in Rajasthan, India". Cultural Anthropology. 17 (1): 32–64. doi:10.1525/can.2002.17.1.32. JSTOR 656672.
- Strickmann, Michel (2002). Faure, Bernard, ed. Chinese Magical Medicine. Stanford University Press. hlm. 65, 251.
- Sutherland, Gail Hinich (2013). "Demons and the Demonic in Buddhism". Oxford Bibliographies. doi:10.1093/OBO/9780195393521-0171. Diakses tanggal December 12, 2019.
- Szombathy, Zoltan (2014). "Exorcism". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam. 3. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_26268. ISBN 9789004269637.
- Tanner, R.E.S. (1955). "Hysteria in Sukuma Medical Practice". Africa: Journal of the International African Institute. 25 (3): 274–279. doi:10.2307/1157107. JSTOR 1157107.
- Tennant, Agnieszka (September 3, 2001). "In need of deliverance". Christianity Today. 45: 46–48 . ProQuest 211985417.
- Verter, Bradford (1999). Contemporary American Religions. Gale eBooks: Macmillan Reference USA. hlm. 187.
- Wahlen, Clinton (2004). Jesus and the impurity of spirits in the Synoptic Gospels. hlm. 19.
The Jewish magical papyri and incantation bowls may also shed light on our investigation. However, the fact that all of these sources are generally dated from the third to fifth centuries and beyond requires us to exercise particular ...
- Warren, Brett (2019). The Annotated Daemonologie: A Critical Edition. ISBN 978-1532968914.
- Westermarck, Edward (23 Apr 2014). Ritual and Belief in Morocco. Routledge Revivals. 1. Routledge. hlm. 263–264. ISBN 9781317912682.
- Wilkinson, Tracy (2007). The Vatican's Exorcists. New York: Warner Books. hlm. 25.