Lompat ke isi

Kebahagiaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kegembiraan)
Anak-anak yang bermain air dengan penuh kebahagiaan
Ludovico Antonio Muratori, 1749

Kebahagiaan, kegembiraan, kebungahan[1], atau kesenangan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kepuasan.[2] Bersyukur dan Berbuat Ikhlas adalah salah satu cara agar hidup akan terasa lebih baik dan benar dan bahagia[3]. Berbagai pendekatan filsafat, agama, psikologi, dan biologi telah dilakukan untuk mendefinisikan kebahagiaan dan menentukan sumbernya.

Para filsuf dan pemikir agama telah sering mendefinisikan kebahagiaan dalam kaitan dengan kehidupan yang baik dan tidak hanya sekadar sebagai suatu emosi. Definisi ini digunakan untuk menerjemahkan eudaimonia (Bahasa Yunani: εὐδαιμονία)[4] dan masih digunakan dalam teori kebaikan.

Meskipun pengukuran langsung derajat kebahagiaan masih menjadi tantangan, beberapa peneliti telah mengembangkan alat untuk melakukan hal itu, misalnya dengan The Oxford Happiness Questionnaire.[5] Para peneliti juga telah mengidentifikasikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebahagiaan: hubungan dan interaksi sosial, status pernikahan,

Kebahagiaan memiliki banyak definisi yang berbeda dan mengalami perdebatan dalam makna dan penggunaannya.[6][7] Kata ini banyak digunakan kaitannya dengan dua faktor yaitu : perasaan dan emosi yang mempengaruhi, seperti kesenangan atau kegembiraan,[2] dan penilaian terhadap kualitas hidup.[8] Dalam penggunaannya dapat mencakup kedua faktor tersebut. Penilaian terhadap kesejahteraan dapat mencakup apa yang sedang dirasakan saat ini (emosi, suasana hati, jepuasa hidup dan perasan).[9] Seorang profesor perempuan bernama Sonja Lyubomirsky telah menggambarkan kebahagian sebagai pengalaman, kegembiraan, kepuasan, atau keadaan positif, yang dikombinasikan dengan perasaan bahwa hidup seseorang itu baik, bermakna dan berharga.[10] Eudaimonia[11] adalah sebuah istilah Yunani yang telah diterjemahkan secara beragam sebagai sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran, dan berkat.

Benton menambahkan, kebahagiaan tidak memerlukan hal-hal yang sempurna. Bahkan mengejar kesempurnaan dalam hidup, justru bisa membuat manusia merasa kurang bahagia. Sayangnya, jika manusia terlalu fokus mengejar sesuatu yang bersifat eksternal, manfaat jangka panjang terhadap kebahagiaan tidak dapat diperoleh. “Kita sebenarnya dapat melukai rasa bahagia kita, karena kita akan selalu menginginkan lebih dan tidak pernah benar-benar puas," tambah Benton. Sebagai solusi untuk membantu kita merasa lebih bahagia secara keseluruhan, para peneliti menyarankan 5 hal yang bisa dilakukan, antara lain:

  1. Menghemat waktu untuk merenungkan hal yang disyukuri
  2. Berpikir, berbicara dan menulis secara positif tentang diri sendiri
  3. Bersikap baik kepada orang lain
  4. Hidup sesuai nilai yang dianut
  5. Nikmati pengalaman positif dan biarkan diri merasakan kesenangan pada waktunya

Semakin sederhana kebutuhan seseorang akan kebahagiaan,maka semakin besar kemungkinan orang itu untuk bahagia[12].

Pengukuran

[sunting | sunting sumber]

Pengukuran tingkat kebahagiaan sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Pada tahun 1780, filsuf utilitarian Jeremy Bentham mengajukan pendapatnya bahwa karena kebahagiaan adalah tujuan utama dari manusia, ia harus diukur untuk menentukan keberhasilan kinerja pemerintah.

Saat ini, kebahagiaan biasanya diukur lewat survei hasil pengukuran sendiri. Survei seperti ini rawan bias kognitif dan sumber kesalahan lainnya. Studi telah menunjukkan bahwa emosi yang dirasakan bisa sangat tidak akurat. Riset juga memperlihatkan bahwa masyarakat sulit dijadikan alat prediksi dari emosi di masa depan, termasuk akan seberapa bahagia mereka. Namun ekonomis yang mendasarkan kepada kebahagiaan biasanya tidak mempertimbangkan problem filosifis dan metodologis ini, sehingga tetap mengandalkan kuisioner untuk mengukur tingkat kebahagiaan populasi.

Berapa skala pengukuran kebahagaiaan yang banyak dipakai:

  • The Subjective Happiness Scale (SHS)
  • The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS)
  • The Satisfaction with Life Scale (SWLS)
  • Positive Experience
  • The Cantril ladder method
  • The Oxford Happiness Inventory


6 Penyebab Sulit Merasa Bahagia

[sunting | sunting sumber]

Jenis kebahagiaan ini bisa sulit bagi siapa pun untuk dipertahankan karena sifatnya yang tidak konsisten, penyebab orang sangat sulit merasa bahagia dalam hidupnya:

  • Terus Membandingkan.

Siapa pun yang selalu membandingkan hidupnya dengan orang lain tidak akan pernah merasa bahagia. Sulit untuk merasa puas dengan kehidupan sehari-hari ketika terus-menerus melihatnya melalui lensa pengalaman orang lain. Perbandingan yang menumbuhkan ketidakpuasan selalu melihat mereka yang memiliki lebih banyak dan mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (perbandingan sosial ke atas) tetapi jarang membandingkan dengan mereka yang mungkin tidak memiliki atau melakukan banyak hal (perbandingan sosial ke bawah).

  • Senang Menyalahkan

Orang yang tidak dapat melihat atau bertanggung jawab atas cara mereka berkontribusi pada konflik dalam hidup mereka, sering menderita dalam hubungan, terutama hubungan dekat di mana tantangan tidak dapat dihindari. Orang-orang ini merasa bahwa sesuatu terjadi pada mereka, dan tidak memiliki kesadaran tentang bagaimana mereka mungkin telah memicu atau memicu situasi yang membuat mereka merasa tidak bahagia. Di dunia mereka, tampaknya semuanya adalah kesalahan orang lain. Ya, memang benar bahwa dalam suatu konflik hubungan, tindakan dan kata-kata seseorang mungkin memiliki konsekuensi yang lebih besar daripada yang lain, tetapi ini adalah situasi yang jarang terjadi ketika seseorang sepenuhnya tidak bersalah. Perspektif ini sering membuat orang merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi negatif mereka. Klien yang bekerja untuk melihat bagaimana mereka mungkin telah berkontribusi pada situasi yang sulit, bahkan secara tidak sengaja, merasakan kontrol dan hak pilihan yang lebih besar untuk meningkatkan hubungan yang sulit[13].

  • Mengharap pujian setelah bersikap baik

Pujian yang kita terima ternyata gak selalu berarti baik. Kalau gak disikapi dengan bijak malah bikin terlena. Kita jadi selalu berharap dipuji setelah melakukan hal baik pada orang lain. Mungkin perasaan ini muncul tanpa disadari. Tapi efeknya besar, harapan untuk dipuji membuatmu sulit bahagia. Namanya juga harapan, kadang terwujud kadang tidak. Kalau tidak terwujud pasti bikin kecewa.

  • Berekspektasi tinggi

Harapan dan ekspektasi itu dua hal yang berbeda, Harapan masih berupa angan-angan, sesuatu yang kita impikan untuk terjadi atau dimiliki. Sementara ekspektasi adalah harapan yang disertai usaha untuk mewujudkannya. Saat diri ini merasa sudah mengerahkan segala cara, makin sulit rasanya membendug harapan. Semua tujuan seperti sudah di depan mata, padahal belum tentu, ekspektasi tinggi ini yang sering bikin kecewa. Tidak mau terus-terusan menyakiti diri sendiri.

  • Asal bertindak tanpa memikirkan risiko

Selama porsinya pas, menyusun rencana sebelum bertindak itu bagus. Menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan mempelajari resiko yang mungkin dihadapi. Sebagai antisipasi saja, biar kita lebih siap menghadapi tantangan di depan. Praktiknya memang kita tidak bisa memprediksi semua masalah yang akan terjadi. Minimal, dengan menganalisis resiko sejak dini tidak bikin kita jadi terlalu panik dan kecewa.

  • Berambisi memenangkan perdebatan

Setiap orang cenderung membenarkan pendapatnya masing-masing. Makanya dalam acara diskusi atau debat, adu argumen adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Rata-rata orang masih berambisi memenangkan perdebatan. Membela pendapatnya sendiri yang tanpa sadar bisa memicu emosi. Makin besar ambisi untuk memenangkan perdebatan, hati jadi panas dan pikiran bekerja lebih berat. Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata penyebab utama sulit bahagia itu diri kita sendiri ya, jadi pribadi yang lebih bijak[14].

Kesempurnaan hal yang tidak mungkin, jadi berhentilah mengejarnya. Kejarlah sesuatu yang wajar dan beri ucapan selamat ketika kamu berhasil melakukannya. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri sehingga menjauhkanmu dari kebahagiaan[15].

  1. ^ (Indonesia) Arti kata bungah dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ a b Happiness(diakses 2014-Juni-24 via Wolfram Alpha)
  3. ^ https://www.merdeka.com/trending/35-kata-mutiara-bersyukur-yang-menyejukkan-buat-hati-lebih-tenang-kln.html
  4. ^ Eudaimonia (Greek: εὐδαιμονία) is a classical Greek word commonly translated as 'happiness' or, better yet, 'flourishing'. Etymologically, it consists of the word "eu" ("good" or "well being") and "daimōn" ("spirit" or "minor deity", used by extension to mean one's lot or fortune).
  5. ^ Hills P., Argyle M. (2002). "The Oxford Happiness Questionnaire: a compact scale for the measurement of psychological well-being. Personality and Individual Differences". Psychological Wellbeing 33: 1073–1082.
  6. ^ Haybron, Dan (2020). Zalta, Edward N., ed. Happiness (edisi ke-Summer 2020). Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  7. ^ Feldman, Fred (2010). What is This Thing Called Happiness?. ISBN 9780199571178. 
  8. ^ Graham, Michael (2014). Facts of Life: ten issues of contentment. Outskirts Press. hlm. 6–10. ISBN 9781478722595. 
  9. ^ "About Us | Action for Happiness". actionforhappiness.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-17. 
  10. ^ Lyubomirsky (2007). The How of Happiness. 
  11. ^ Kashdan, Todd B.; Biswas-Diener, Robert; King, Laura A (October 2008). ""Reconsidering happiness: the costs of distinguishing between hedonics and eudaimonia"". The Journal of Positive Psychology. 3 (4): '219–233'. doi:'108017439760802303044' Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  12. ^ https://www.kompas.com/sains/read/2021/09/05/210300923/apa-itu-kebahagiaan-ini-penjelasannya-menurut-sains?page=all
  13. ^ https://lifestyle.bisnis.com/read/20220406/219/1519957/4-penyebab-anda-sulit-merasa-bahagia
  14. ^ https://www.idntimes.com/life/inspiration/dian-arthasalina/7-penyebab-sulit-bahagia-yang-sering-kamu-lupakan-1/7
  15. ^ https://lifestyle.kompas.com/read/2020/01/30/125238020/10-kebiasaan-yang-membuat-kita-tidak-bahagia?page=all

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Anand Paul "Happiness Explained: What Human Flourishing Is and What We Can Do to Promote It", Oxford: Oxford University Press 2016. ISBN 0-19-873545-6
  • Michael Argyle "The psychology of happiness", 1987
  • Boehm, Julia K.; Lyubomirsky, Sonja (February 2008). "Does Happiness Promote Career Success?". Journal of Career Assessment. 16 (1): 101–116. CiteSeerX 10.1.1.378.6546alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1177/1069072707308140. 
  • Norman M. Bradburn "The structure of psychological well-being", 1969
  • C. Robert Cloninger, Feeling Good: The Science of Well-Being, Oxford, 2004.
  • Gregg Easterbrook "The progress paradox – how life gets better while people feel worse", 2003
  • Michael W. Eysenck "Happiness – facts and myths", 1990
  • Daniel Gilbert, Stumbling on Happiness, Knopf, 2006.
  • Carol Graham "Happiness Around the World: The Paradox of Happy Peasants and Miserable Millionaires", OUP Oxford, 2009. ISBN 978-0-19-954905-4
  • W. Doyle Gentry "Happiness for dummies", 2008
  • James Hadley, Happiness: A New Perspective, 2013, ISBN 978-1-4935-4526-1
  • Joop Hartog & Hessel Oosterbeek "Health, wealth and happiness", 1997
  • Hills P., Argyle M. (2002). "The Oxford Happiness Questionnaire: a compact scale for the measurement of psychological well-being. Personality and Individual Differences". Psychological Wellbeing. 33 (7): 1073–82. doi:10.1016/s0191-8869(01)00213-6. 
  • Robert Holden "Happiness now!", 1998
  • Barbara Ann Kipfer, 14,000 Things to Be Happy About, Workman, 1990/2007, ISBN 978-0-7611-4721-3.
  • Neil Kaufman "Happiness is a choice", 1991
  • Stefan Klein, The Science of Happiness, Marlowe, 2006, ISBN 1-56924-328-X.
  • Koenig HG, McCullough M, & Larson DB. Handbook of religion and health: a century of research reviewed (see article). New York: Oxford University Press; 2001.
  • McMahon, Darrin M., Happiness: A History, Atlantic Monthly Press; 2005. ISBN 0-87113-886-7
  • McMahon, Darrin M., The History of Happiness: 400 B.C. – A.D. 1780, Daedalus journal, Spring 2004.
  • Richard Layard, Happiness: Lessons From A New Science, Penguin, 2005, ISBN 978-0-14-101690-0.
  • Mark Harper, The Effect of Gambling and Happiness, Kripto88, Winter 2001.
  • Luskin, Frederic, Kenneth R. Pelletier, Dr. Andrew Weil (Foreword). "Stress Free for Good: 10 Scientifically Proven Life Skills for Health and Happiness." 2005
  • James Mackaye "Economy of happiness", 1906
  • Desmond Morris "The nature of happiness", 2004
  • David G. Myers, Ph.D., The Pursuit of Happiness: Who is Happy – and Why, William Morrow and Co., 1992, ISBN 0-688-10550-5.
  • Niek Persoon "Happiness doesn't just happen", 2006
  • Benjamin Radcliff The Political Economy of Human Happiness (New York: Cambridge University Press, 2013).
  • Ben Renshaw "The secrets of happiness", 2003
  • Fiona Robards, "What makes you happy?" Exisle Publishing, 2014, ISBN 978-1-921966-31-6
  • Bertrand Russell "The conquest of happiness", orig. 1930 (many reprints)
  • Martin E.P. Seligman, Authentic Happiness, Free Press, 2002, ISBN 0-7432-2298-9.
  • Alexandra Stoddard "Choosing happiness – keys to a joyful life", 2002
  • Władysław Tatarkiewicz, Analysis of Happiness, The Hague, Martinus Nijhoff Publishers, 1976
  • Elizabeth Telfer "Happiness : an examination of a hedonistic and a eudaemonistic concept of happiness and of the relations between them...", 1980
  • Ruut Veenhoven "Bibliography of happiness – world database of happiness : 2472 studies on subjective appreciation of life", 1993
  • Ruut Veenhoven "Conditions of happiness", 1984
  • Joachim Weimann, Andreas Knabe, and Ronnie Schob, eds. Measuring Happiness: The Economics of Well-Being (MIT Press; 2015) 206 pages
  • Eric G. Wilson "Against Happiness", 2008
Articles and videos

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]