Jurnalisme sains
Jurnalisme sains adalah proses penyampaian kejadian atau peristiwa dengan menggunakan elemen-elemen sains dalam melaporkan peristiwa yang telah terjadi, dan juga pelaporan atas perkembangan sains mutakhir yang disertai dengan sisi politik dari sains tersebut.[1] Jurnalisme sains di era sekarang juga berperan dalam mengatasi misinformasi dan disinformasi yang kerap beredar di media-media sosial.[2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sains mengalami periode emas di Eropa dan Amerika Serikat dan pada tahun 1900-an, masyarakat di wilayah tersebut merasa bahwa sains perlu diangkat oleh jurnalis terkait pemberitaan soal masalah kesehatan, biologi, serta teknologi permesinan. Negara-negara di belahan bumi bagian Utara merujuk kepada salah seorang penerbit surat kabar Amerika yang bernama Edward W. Scripps dan ahli biologi yang bernama William E. Ritter. Pada tahun 1900-an tersebut, beberapa surat kabar seperti The Times (1918-1935) dan Manchester Guardian (1928) berkorespondensi dengan para jurnalis di bidang sains. Sementara itu, pada tahun 1818 di Bengal, India, sudah ada majalah yang terbit sebulan sekali dalam bahasa Bengali, Hindi, dan Inggris yang bernama Digdarshan.[3]
Pada tahun 1934, didirikan National Association of Science Writer (NASW) yang merupakan sebuah organisasi tempat berkumpulnya para jurnalis, peneliti yang pada akhirnya memunculkan sebuah istilah baru yaitu jurnalisme sains. Para ilmuwan dan jurnalis berpera penting untuk membongkar kelicikan ilmiah yang merugikan masyarakat luas. Di samping itu, kedua profesi tersebut mempunyai tanggung jawab mora ke masyarakat untuk lebih membumikan sains agar dapat dipahami orang banyak.[3]
Dinamika
[sunting | sunting sumber]Hubungan antara jurnalis dengan para peneliti mengalami naik turun. Perbedaan di antara kedua pihak tersebut karena faktor komunikasi karena keduanya memiliki terminologi dan pemahaman yang berbeda. Di samping itu juga, perpaduan antara jurnalisme dan sains dicurigai sebagai bentuk penjajahan baru yang dilakukan negara-negara belahan bumi bagian Utara terhadap negara-negara di bagian Selatan. Perkembangan ilmu pengetahuan di negara maju sedemikian pesatnya sehingga negara-negara berkembang belum merasa perlu mendalami perkembangan sains karena mereka masih dalam tahap membangun negaranya.[3]
Kehadiran dan perkembangan teknologi media sosial memberikan peluang kepada para ilmuwan dan peneliti untuk memaparkan serta menjelaskan bidang yang mereka kuasai lewat berbagai kanal media sosial yang ada. Pada akhirnya, para ilmuwan dan para peneliti hanya perlu meningkatkan kemampuan komunikasi mereka di depan khalayak agar setara dengan para jurnalis dan humas. Namun demikian, memaparkan suatu persoalan ilmiah yang sangat rumit membutuhkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi.[4]
Kritik
[sunting | sunting sumber]Sains sering dianggap sebagai biang keladi kerusakan lingkungan. Perkembangan transportasi dan industri kota-kota besar mengakibatkan adanya polusi yang mencemari lingkungan serta membahayakan manusia. Oleh karena itu, jurnalisme dianggap berperan penting dalam memberikan pemahaman serta kesadaran publik.[5]
Jurnalisme sains juga sering mendapat kritik dari masyarakat karena adanya politisasi sains terhadap lingkungan dan manusia semisal isu mengenai perubahan iklim dan masalah vaksin.[6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "SISJ - Society of Indonesian Science Journalists". SISJ - Society of Indonesian Science Journalists (dalam bahasa Inggris). 2024-11-22. Diakses tanggal 2024-12-17.
- ^ ""Masa Depan Jurnalisme Sains: Tantangan dan Peluang di Era Digital"". Diakses tanggal 2024-12-17.
- ^ a b c Anotasi (2024-06-19). "Ketika Jurnalisme dan Sains Berjumpa: Sebuah Pengantar" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-19.
- ^ Leßmöllmann, Annette; Dascal, Marcelo; Gloning, Thomas (2019-12-16). Science Communication (dalam bahasa Inggris). Walter de Gruyter GmbH & Co KG. hlm. 427. ISBN 978-3-11-025552-2.
- ^ "Pers dan Jurnalisme Sains". Alif.ID. 2024-01-05. Diakses tanggal 2024-12-19.
- ^ Leßmöllmann, Annette; Dascal, Marcelo; Gloning, Thomas (2019-12-16). Science Communication (dalam bahasa Inggris). Walter de Gruyter GmbH & Co KG. ISBN 978-3-11-025552-2.