Lompat ke isi

Efek pemanasan global

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pemanasan global atau global warming adalah suatu fenomena terjadinya peningkatan suhu rata-rata bumi. Peningkatan suhu bumi diatas rata-rata dapat memberikan dampak ekstrem bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Efek negatif yang terjadi di antaranya, mencairnya es di kutub utara, perubahan iklim yang ekstrem, kebakaran hutan, dan berbagai efek lainnya.

Sebagian besar terjadinya pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia, yang diyakini sebagai sumber kontributor utama dalam peningkatan suhu global. Contohnya, pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil mengakibatkan suhu bumi meningkat[1]. Gas rumah kaca merupakan unsur dari karbon dioksida (CO2), metana (CH4), freon (SF6, HFC, dan PFC), dan nitrogen dioksida (N2O).

Pemanasan global terus meningkat sejak pencatatannya pada tahun 1880. Berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), selama periode 1880-1980 suhu bumi mengalami peningkatan 0,08 derajat celcius per 1 dekade. Sedangkan sejak tahun 1981, peningkatan suhu bumi menjadi 0,18 derajat celcius per tahun. Hal ini mengakibatkan, pada tahun 2021 menjadi tahun terpanas keenam dalam catatan NOAA, dengan rata-rata 0,84 derajat celcius.[2] Beberapa efek yang dihasilkan akibat terjadinya pemanasan global.

Efek Fisik

[sunting | sunting sumber]

Efek pada cuaca

[sunting | sunting sumber]

Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan cuaca dan iklim. Efek adanya pemanasan global mengakibatkan kenaikan permukaan air laut serta terjadinya peningkatan perubahan cuaca ekstrem[3]. Efek pemanasan global menyebabkan pola cuaca bergeser sehingga sukar diprediksi. Perubahan iklim yang tidak menentu, hal ini berdampak pada curah hujan yang meningkat, kekeringan berkepanjangan, dan angin badai akan lebih sering terjadi.[4]

Berdasarkan penemuan IPCC, terdapat empat efek yang berpengaruh terhadap cuaca:

  1. Suhu permukaan naik sebesar 1,4°C-5,8°C rata-rata global sejak tahun 1990-2100.
  2. Pemanasan lautan mengakibatkan melelehnya gletser yang menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut.
  3. Cuaca ekstrem seperti terjadinya gelombang panas, banjir, dan kemarau yang diperkirakan meningkat.
  4. Terjadinya penyusutan puncak es dan gletser. Pada beberapa kasus gletser telah menghilang. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan suhu.[3]

Efek pada lautan

[sunting | sunting sumber]

Pemanasan global memiliki sejumlah efek negatif bagi ekosistem pesisir dan lautan. Efek-efek tersebut yang dapat membahayakan keberlangsungan hidup biota laut.[5]

Menggerus kawasan pesisir dan pulau kecil

[sunting | sunting sumber]

Pemanasan global menyebabkan menyusutnya es di Greenland yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Apabila dilihat dari rata-rata pemanasan global sebesar 1,9°C-4°C yang berlangsung selama 10 abad. Maka menyusutnya lapisan es berpotensi menyebabkan kenaikan muka laut yang mencapai 7 m. Hal ini penyebab tenggelamnya kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil.

Kasus kenaikan muka laut juga berdampak ke Indonesia yang berbentuk negara kepulauan. Sekurang-kurangnya terhitung 115 pulau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia akan tenggelam pada tahun 2100.

Pemutihan terumbu karang

[sunting | sunting sumber]

Terumbu karang termasuk komunitas laut dangkal yang hidup di temperatur 25°C-29°C. Adanya kenaikan suhu 1oC saja, dapat mengakibatkan pemutihan karang. Pemutihan karang adalah salah satu fenomena modern yang terkait dengan peningkatan suhu lautan akibat pemanasan global akhir-akhir ini. Karang rentan terhadap perubahan suhu air laut di atas atau di bawah normal. Stres termal yang dialami karang dapat menyebabkan kerusakan simbiosis karang-alga yang merupakan penyebab utama terjadinya pemutihan karang atau coral bleaching.[6]

Fenomena ini terjadi saat warna batu karang memudar dan lama-kelamaan menjadi berwarna putih seluruhnya, kondisi ini menunjukkan kematian karang. Berdasarkan laman World Wide Fund for Nature (WWF) Australia, pada tahun 2016 menjadi kasus pemutihan karang terparah, yang mengakibatkan hancurnya sepertiga Great Barrier Reef di Australia.[2]

Terhambatnya pertumbuhan Fitoplankton

[sunting | sunting sumber]

Fitoplankton memiliki peran untuk menyerap CO2 dari kolom perairan dan atmosfer. Hal ini dikarenakan kemampuan fotosintesis yang dimiliki oleh fitoplankton. Adanya pemanasan global meningkatkan radiasi ultraviolet (UV-B) yang masuk ke perairan, sehingga menghambat proses fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton.[7]

Fitoplankton laut diperkirakan dapat menyerap karbon sekitar 40-50 miliar ton/tahun. Kemampuan ini berperan untuk menjaga keseimbangan panas. Namun, adanya penipisan lapisan ozon hingga 16% mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton mencapai 6%-12%.

Terganggunya kehidupan biota laut

[sunting | sunting sumber]

Radiasi sinar ultraviolet yang berlebihan terutama UV-B membuat kombinasi gen yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan biota laut. Radiasi berlebih juga dapat menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh hewan laut, merusak jaringan tubuh hewan laut, dan menurunnya daya tetas telur. Selain itu, beberapa jenis mamalia rentan terjangkit virus maupun kuman penyakit.

Pemanasan global juga berpengaruh terhadap pembentukan cangkang avertebrata laut. Adanya penghambatan proses penyerapan unsur hara alga dapat mengakibatkan menurunnya kuantitas serta kualitas kandungan produk alga. Selain itu, adanya pemanasan global yang terus meningkat dikhawatirkan dapat mengakibatkan punahnya biota laut secara massal.[5]

Efek regional

[sunting | sunting sumber]

Efek pemanasan global di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Efek pemanasan global di Indonesia dapat dirasakan salah satunya, yaitu perubahan iklim seperti musim kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan perkembangan jamur, virus, bakteri, dan parasit yang meningkat karena kelembaban udara pada musim kemarau yang cukup tinggi.[8]

Seperti contoh penelitian yang dilakukan di Jawa Barat, ditemukan keterkaitan antara perubahan iklim khususnya perubahan curah hujan dengan terjadinya kenaikan kasus demam berdarah pada tahun 2004-2008. [9]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ SMP, Admin (2021-02-01). "Pemanasan Global dan Dampak Buruknya Bagi Kehidupan Bumi". Direktorat SMP. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  2. ^ a b Rismawati, Yasinta Arum. "Dampak Pemanasan Global Bagi Makhluk Hidup dan Lingkungan Bumi". tirto.id. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  3. ^ a b "Ketahui 4 Dampak Pemanasan Global terhadap Cuaca". kumparan. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  4. ^ Idayati, Ratna (2007), "Pengaruh Pemanasan Global (Global Warming) Terhadap Lingkungan Dan Kesehatan", Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 7 (1), diakses tanggal 17 Oktober 2019 
  5. ^ a b Puspita, Melynda Dwi (2021-02-08). "Pemanasan Global Mengancam Ekosistem Pesisir dan Laut". www.national-oceanographic.com. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  6. ^ Lough, J. M.; Anderson, K. D.; Hughes, T. P. (2018), "Increasing thermal stress for tropical coral reefs" (PDF), Scientific reports, 8 (1:6079), doi:10.1038/s41598-018-24530-9, diakses tanggal 22 Oktober 2019 
  7. ^ Latuconsina, Husain (2010), "Dampak Pemanasan Global Terhadap Ekosistem Pesisir dan Lautan", Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate), 3 (1), doi:10.29239/j.agrikan.3.1.30-37, diakses tanggal 20 Oktober 2019 
  8. ^ Iskandar, Muhammad Iqbal. "Dampak Perubahan Iklim di Indonesia, Bahaya, dan Contohnya". tirto.id. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  9. ^ Raksanagara, Ardini; Arisanti, Nita; Rinawan, Fedri (2015), "Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kejadian Demam berdarah di Jawa Barat", Jurnal Sistem Kesehatan, 1 (1), doi:10.24198/jsk.v1i1.10339, diakses tanggal 18 Oktober 2019