Lompat ke isi

Efek induktif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pengaruk efek induktif pada selektivitas pengaktifan ikatan C-H. Untuk oksaziridina (kiri), oksidasi situs pertama lebih disukai karena tidak hanya jarak dari gugus OBz yang menarik elektron tetapi juga karena substitusinya—karbon tersier—dan karenanya lebih kaya elektron. Demikian pula, posisi metilena sekunder dalam trifluorometildioksirana (TFDO, kanan) yang paling jauh dengan gugus penarik elektron secara selektif teroksidasi.[1] Perhatikan bahwa di sini, seperti dengan oksaziridina, substitusi pada karbon juga sangat mempengaruhi selektivitas; posisi metilena sekunder lebih disukai daripada posisi metilena terminal karena yang pertama memiliki karbon sekunder sedangkan yang kedua memiliki karbon primer.

Dalam kimia dan fisika, efek induktif adalah efek eksperimental yang dapat diamati dari perpindahan muatan melalui rantai atom dalam molekul, menghasilkan dipol permanen dalam sebuah ikatan.[2] Efek ini terdapat pada ikatan-σ tidak seperti efek elektromerik yang terdapat pada ikatan-π.[3]

Efek induksi hampir sama dengan efek mesomeri (resonansi) dimana efeknya terpolarisasi secara permanen dalam keadaan dasar molekul.[4] Mesomeri dapat terjadi pada senyawa yang tak jenuh (yang memiliki ikatan rangkap) namun efek induktif dapat terjadi pada senyawa jenuh (tidak memiliki ikatan rangkap) maupun tak jenuh (memiliki ikatan rangkap). Efek induktif hanya terbatas pada jarak yang terbatas namun efek mesomeri terjadi di sepanjang molekul yang masih menyediakan sistem terkonjugasi. Resonansi dan efek induktif tidak perlu bekerja dalam arah yang sama. Di dalam keadaan dasar (ground state) efek-efek ini bekerja secara permanen dan dapat nyata dalam sejumlah sifat-sifat molekul.[5]

Efek induktif terjadi karena adanya perbedaan keelektronegatifan. Gejala elektrostatik diteruskan melalui rantai karbon. Efek induksi terdiri atas dua yaitu I (pendorong elektron) dan –I (penarik elektron). Menurut konvensi, gugus penarik elektron yang lebih besar dari hidrogen merupakan efek induksi –I sedangkan gugus penarik elektron yang lebih lemah dari hidrogen H merupakan efek induksi I.

Polarisasi ikatan

[sunting | sunting sumber]
Ikatan dalam molekul air sedikit lebih positif bermuatan di sekitar atom hidrogen dan sedikit lebih bermuatan negatif di sekitar atom oksigen yang lebih elektronegatif.

Ikatan kovalen dapat terpolarisasi tergantung pada elektronegativitas relatif dari atom yang membentuk ikatan tersebut. Awan elektron dalam ikatan-σ antara dua atom tidak seragam dan sedikit terdorong menuju yang lebih elektronegatif dari dua atom tersebut. Hal ini menyebabkan keadaan permanen polarisasi ikatan, di mana atom yang lebih elektronegatif memiliki muatan parsial negatif (δ-) dan atom yang kurang elektronegatif memiliki muatan parsial positif (δ ).[6]

Misalnya, molekul air H2O memiliki atom oksigen elektronegatif yang menarik muatan negatif. Hal ini ditunjukkan oleh δ- dalam molekul air di sekitar atom O, dan juga oleh δ di sebelah masing-masing dari dua atom H. Penambahan vektor momen dipol ikatan masing-masing menghasilkan momen dipol bersih untuk molekul tersebut.[7]

Efek induktif

[sunting | sunting sumber]

Jika atom elektronegatif kemudian digabungkan ke rantai atom, biasanya karbon, muatan positif diteruskan ke atom lain dalam rantai. Hal ini adalah efek induktif penarik elektron, juga dikenal sebagai efek .

Namun, beberapa gugus, seperti gugus alkil, kurang menarik elektron daripada hidrogen dan oleh karena itu dianggap sebagai pelepas elektron. Hal ini adalah karakter pelepasan elektron dan ditunjukkan oleh efek . Singkatnya, gugus alkil cenderung memberi elektron, yang menyebabkan efek induktif.

Karena muatan yang diinduksi polaritas kurang dari polaritas aslinya, efek induktif cepat mati dan hanya signifikan dalam jarak dekat. Selain itu, efek induktif bersifat permanen namun lemah karena melibatkan pergeseran elektron ikatan σ yang kuat dan faktor kuat lainnya dapat membayangi efek ini.[8]

Efek induktif relatif

[sunting | sunting sumber]

Efek induktif relatif telah diukur secara eksperimental dengan mengacu pada hidrogen, dalam urutan menurunnya efek -I atau peningkatan urutan efek I, sebagai berikut:

–NH3 > –NO2 > –SO2R > –CN > –SO3H > –CHO > –CO > –COOH > –COCl> –CONH2 >
–F > –Cl > –Br > –I > –OR > -OH > –NH2 > –C6H5 > –CH=CH2 > –H

Kekuatan efek induktif juga tergantung pada jarak antara gugus substituen dan gugus utama yang bereaksi; semakin besar jaraknya, semakin lemah efeknya.

Efek induktif dapat diukur melalui persamaan Hammett, yang menggambarkan hubungan antara laju reaksi dan konstanta kesetimbangan berkenaan dengan substituen.

Fragmentasi

[sunting | sunting sumber]

Efek induktif dapat digunakan untuk menentukan stabilitas molekul tergantung pada muatan yang ada pada atom dan gugus yang terikat pada atom. Misalnya, jika sebuah atom memiliki muatan positif dan dilekatkan pada gugus -I, muatannya menjadi 'diperkuat' dan molekul menjadi lebih tidak stabil. Demikian pula, jika sebuah atom memiliki muatan negatif dan dilekatkan pada gugus I, muatannya menjadi 'diperkuat' dan molekul menjadi lebih tidak stabil. Sebaliknya, jika sebuah atom memiliki muatan negatif dan terikat pada gugus -I muatannya menjadi 'tidak-diperkuat' dan molekul menjadi lebih stabil daripada jika efek -I tidak dipertimbangkan. Demikian pula, jika sebuah atom memiliki muatan positif dan dilekatkan pada gugus I, muatannya menjadi 'tidak diperkuat' dan molekul menjadi lebih stabil daripada jika efek -I tidak dipertimbangkan. Penjelasan untuk hal di atas diberikan oleh fakta bahwa muatan lebih pada atom menurunkan kestabilan dan sedikit muatan pada sebuah atom meningkatkan stabilitasnya.

Keasaman dan kebasaan

[sunting | sunting sumber]

Efek induktif juga memainkan peran penting dalam menentukan keasaman dan kebasaan molekul. Gugus yang memiliki efek I menempel pada molekul meningkatkan kerapatan elektron secara keseluruhan pada molekul dan molekul tersebut mampu menyumbangkan elektron, membuatnya menjadi basa. Demikian pula, gugus yang memiliki efek -I yang melekat pada molekul mengurangi kerapatan elektron secara keseluruhan pada molekul sehingga kekurangan elektron yang menghasilkan keasamannya. Karena jumlah gugus -I yang terikat pada molekul meningkat, keasamannya meningkat; karena jumlah gugus I pada molekul meningkat, tingkat kebasaannya meningkat.[9]

Asam karboksilat

[sunting | sunting sumber]
Resonansi pada asam asetat.

Kekuatan asam dari asam karboksilat sangat bergantung pada ionisasinya: Semakin terionisasi, semakin kuat. Apabila asam menjadi lebih kuat, nilai numerik dari pKanya menurun.[10]

Dalam asam, efek induktif pelepasan-elektron pada gugus alkil meningkatkan kerapatan elektron pada oksigen dan karenanya menghalangi pemecahan ikatan O-H, yang akibatnya mengurangi ionisasi. Ionisasi yang lebih besar dalam asam format bila dibandingkan dengan asam asetat membuat asam format (pKa=3.74) lebih kuat dari asam asetat (pKa=4.76). Asam monokloroasetat (pKa=2.82), tetapi demikian, lebih kuat dari asam format, karena efek penarikan elektron dari klor meningkatkan ionisasi.[11]

Dalam asam benzoat, atom karbon yang ada dalam cincin adalah terhibdridisasi sp2. Sebagai hasilnya, asam benzoat (pKa=4.20) adalah asam yang lebih kuat dari asam sikloheksanakarboksilat (pKa=4.87). Juga, dalam asam karboksilat aromatik, gugus penarik elektron tersubstitusi pada posisi orto dan para dapat meningkatkan kekuatan asam.

Karena gugus karboksil itu sendiri adalah gugus penarik elektron, asam dikarboksilat secara umum lebih kuat daripada analog monokarboksilatnya.

Efek induktif juga akan membantu dalam polarisasi ikatan dalam pembuatan atom karbon tertentu atau posisi atom lainnya.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Newhouse, T.; Baran, P. S. (2011). "If C-H Bonds Could Talk: Selective C-H Bond Oxidation". Angew. Chem. Int. Ed. 50: 3362–3374. doi:10.1002/anie.201006368. 
  2. ^ Richard Daley. Organic Chemistry, Part 1 of 3. Lulu.com. hlm. 58–. ISBN 978-1-304-67486-9. 
  3. ^ Stock, Leon M. (1972). "The origin of the inductive effect". Journal of Chemical Education. 49 (6): 400. doi:10.1021/ed049p400. ISSN 0021-9584. 
  4. ^ Wheland, G. W. (1955). Resonance in Organic Chemistry. Wiley. hlm. 345. 
  5. ^ Reynolds, W. F.; Peat, I. R.; Freedman, M. H.; Lyerla Jr, J. R. (1973). "An Investigation into the Nature of π-Inductive Effects: π Polarization Effects in Phenylalkanes with Polar or Charged Substituents". Canadian Journal of Chemistry. 51 (11): 1857–1869. doi:10.1139/v73-277. 
  6. ^ Notasi ini diperkenalkan pada tahun 1926 oleh Christopher Ingold dan istrinya: (Inggris) Jensen, William B. (2009). "The Origin of the "Delta" Symbol for Fractional Charges". J. Chem. Educ. 86: 545. 
  7. ^ H. Heinz; U. W. Suter (2004). "Atomic Charges for Classical Simulations of Polar Systems". J. Phys. Chem. B. 108: 18341–18352. doi:10.1021/jp048142t. 
  8. ^ Gillespie, R. & Popelier, P. (2001). Chemical Bonding and Molecular Geometry (Bab 6). Oxford: Oxford University Press. 
  9. ^ Silva, P. J. (2009). "Inductive and Resonance Effects on the Acidities of Phenol, Enols, and Carbonyl α-Hydrogens". J. Org. Chem. 74 (2): 914–916. doi:10.1021/jo8018736. 
  10. ^ Siggel, Michele R. F.; Streitwieser, Andrew; Thomas, T. D. (1988). "The role of resonance and inductive effects in the acidity of carboxylic acids". J. Am. Chem. Soc. 110 (24). doi:10.1021/ja00232a011. 
  11. ^ Siggel, Michele R. F.; Streitwieser, Andrew; Thomas, T. D. (1988). "Resonance delocalization in the anion is not the major factor responsible for the higher acidity of carboxylic acids relative to alcohols". Journal of Molecular Structure: THEOCHEM. 165: 309–318. doi:10.1016/0166-1280(88)87028-3. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]