Lompat ke isi

Dataran tinggi Gayo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Dataran Tinggi Gayo)
Pemandangan Kota Takengon dari Pantan Terong

Dataran Tinggi Gayo atau Tanah Gayo adalah daerah yang berada di salah satu bagian punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatra. Secara administratif dataran tinggi Gayo meliputi wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

Terdapat tiga kota utama di Dataran Tinggi Gayo ini, yani Takengon, Blang Kejeren dan Simpang Tiga Redelong. Jalan yang menghubungkan ketiga kota ini melewati daerah dengan pemandangan yang sangat indah. Pada masa lalu daerah Gayo merupakan kawasan yang terisolir sebelum pembangunan jalan dilaksanakan di daerah ini.

Mata pencarian masyarakat Gayo pada umumnya adalah bertani dan berkebun antara lain padi, sayur-sayuran, kopi dan tembakau. Kegiatan perkebunan kopi dan tembakau dilakukan dengan membuka wilayah hutan yang ada di wilayah ini.

Pada umumnya mayarakat di Aceh, orang Gayo juga dikenal karena sifat mereka yang sangat menentang segala bentuk penjajahan dan daerah ini dulu dikenal sebagai kawasan yang sangat menentang pemerintahan kolonial Belanda. Masyarakat Gayo adalah penganut agama Islam yang kuat. Masyarakat di Gayo banyak yang memelihara kerbau sehingga ada yang mengatakan jika melihat banyak kerbau di Aceh maka orang itu pasti berada di Gayo.

Pada awalnya terdapat empat kerajaan di Tanah Gayo, yakni Linge, Bukit, Petiamang, dan Syiah Utama.[1] Ketika Belanda berkuasa di Tanah Gayo, Belanda meningkatkan status Cik Bebesen setara dengan empat kerajaan lainnya. Peningkatan status ini diberikan karena Cik Bebesen telah memberikan bantuan kepada Belanda. Sebelumnya Cik Bebesen hanya merupakan komunitas kecil yang tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Bukit.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, kelima wilayah ini beserta wilayah Alas disatukan ke dalam Kabupaten Aceh Tengah. Pada tahun 1967 wilayah Alas dan Petiamang dijadikan kabupaten tersendiri dengan nama Kabupaten Aceh Tenggara. Kemudian, wilayah Petiamang berpisah dari Kabupaten Aceh Tenggara menjadi Kabupaten Gayo Lues pada tahun 2002. Sementara itu, sebagian wilayah Kerajaan Bukit dan Syiah Utama membentuk Kabupaten Bener Meriah berpisah dengan Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2004. Oleh karena itu, wilayah Kabupaten Aceh tengah saat ini merupakan gabungan wilayah dari Linge, Cik Bebesen, dan Bukit.

Perkebunan kopi

[sunting | sunting sumber]

Pada akhir abad ke 19, seorang pedagang Belanda berhasil mencuri bibit kopi dari saudagar Arab di sebuah Pelabuhan di Mocha, Yaman. Oleh Belanda, bibit kopi yang dicuri itu dibawa ke wilayah koloni negaranya, Jawa, tepatnya di lereng pegunungan Ijen di bagian ujung timur pulau ini. Ternyata kopi tumbuh subur di sana. Dan dengan itu berakhirlah monopoli Arab pada komoditas Kopi, Belanda kini jadi pemain baru. Sejak saat itu tidak hanya Arabica yang dikenal dalam istilah kopi, tetapi juga muncul istilah Java untuk menyebut minuman kopi, kadang istilah ini dipadukan dengan Mocha, menjadi Mocha Java. Ini merujuk pada Kopi Jawa yang berasal dari bibit yang dicuri Belanda di Mocha. Sekarang istilah JAVA ini menjadi lebih terkenal lagi ketika seorang programmer pecandu kopi mengabadikannya menjadi nama sebuah program komputer dengan logo secangkir kopi hangat yang mengepulkan asap.

Dari Jawa kopi mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia. Awalnya Kopi dari Jawa dibawa ke Prancis untuk diteliti dan dimuliakan di pusat pengembangan tanaman di Prancis. Dan lagi-lagi seorang Prancis yang memiliki tanah di koloni negara itu di Amerika Selatan berhasil mencuri tanaman ini, dan mengembangkannya di sana dan kemudian Amerika Selatan pun menjadi produsen kopi terbesar di dunia hingga hari ini. Akhirnya Kopi menjadi komoditas dunia yang konon sekarang merupakan komoditas perdagangan terbesar kedua di dunia setelah Minyak.

Awalnya, Belanda menanam kopi di semua tempat. Tapi ternyata mutu kopi tersebut tidak sama di semua tempat. Melalui riset Belanda menemukan bahwa kopi yang tumbuh di dataran tinggi mutunya lebih baik dibanding kopi yang ditanam di dataran rendah. Belakangan diketahui, ini terjadi karena kopi yang ditanam di dataran rendah, terlalu cepat matang karena diakibatkan hawa panas sehingga bijinya menjadi ringan karena belum cukup banyak nutrisi yang diserap dari tanah. Lebih parah lagi, pada tahun 30-an, hampir semua perkebunan kopi milik Belanda di Jawa hancur akibat terserang hama karat daun. Riset kembali dilakukan, akhirnya ditemukan fakta bahwa di wilayah tropis yang dekat dengan khatulistiwa, tanaman kopi hanya bisa tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian di atas 800 meter. Masalahnya, di Jawa dan seluruh koloni Belanda di Hindia, tidak banyak daerah yang memenuhi syarat itu. Belakangan ditemukan spesies kopi lain yang tahan hama karat daun dan bisa tumbuh di dataran rendah, jenis kopi ini kemudian dikenal dengan nama Kopi Robusta, berasal dari kata ROBUST yang kurang lebih berarti tangguh, tetapi sayangnya spesies kopi ini kurang disukai para peminum kopi di eropa.

Pada awal abad ke-20, Belanda menaklukkan Aceh. Meskipun secara de jure sebenarnya Belanda tidak pernah benar-benar menaklukkan Aceh. Tapi secara fakta, sejak awal abad ke-20 Belanda lah yang menjadi penguasa memerintah dan menjadikan Aceh sebagai koloninya. Di Aceh Belanda menemukan sebuah dataran tinggi luas yang dikenal dengan nama Tanoh Gayo, terletak di jantung wilayah ini, yang berdasarkan riset yang mereka lakukan ternyata sangat cocok untuk ditanami Kopi. Dan dari sinilah keajaiban itu bermula.

Di Tanoh Gayo, Belanda membangun basis pemerintahannya di Takengon yang terletak tepat di tepi danau Laut Tawar yang permukaannya ada di ketinggian 1250 Mdpl. Belakangan kota ini berkembang menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan dan menjadi kota terbesar di Tanoh Gayo. Perkebunan kopi pertama yang dikembangkan Belanda di daerah yang bernama Belang Gele yang terletak tidak jauh dari Kota ini. Sampai hari ini, daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Tanoh Gayo. Dari Belang Gele, Kopi tersebar ke segala penjuru Tanoh Gayo yang berhawa dingin. Ketika pada tahun 1945, Belanda hengkang. Seperti yang terjadi di pulau Jawa, segala aset mereka termasuk perkebunan kopi tinggal di Gayo. Tapi berbeda dengan di Jawa yang operasional perkebunannya dilanjutkan oleh perusahaan pemerintah dan pekerjanya tetap dipekerjakan di Jawa. Di Gayo, yang terjadi berbeda.

Setelah Belanda hengkang, kebun-kebun kopi yang tertinggal dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat, terutama yang sebelumnya bekerja di sana. Seperti di Jawa, pasca revolusi fisik pemerintah Indonesia terkadang menghadiahkan perkebunan kopi peninggalan Belanda tersebut kepada para petinggi militer sebagai penghargaan atas jasa dan perjuangan mereka. Contohnya seperti perkebunan Kali Klatak di Banyuwangi, perkebunan kopi seluas 1300 hektare yang dulunya milik Belanda dihadiahkan oleh Pemerintah Indonesia kepada seorang perwira militer bernama Suhud. Di Gayo pun begitu, sebuah perkebunan milik Belanda beserta Pabriknya yang terletak di desa Bandar Lampahan (kini masuk wilayah administratif Bener Meriah), tepat di kaki gunung berapi aktif Burni Telong, dihadiahkan oleh pemerintah kepada seorang perwira militer asal Gayo bernama Ilyas Leubee yang pada masa revolusi fisik menyabung nyawa di medan perang Medan Area. Tapi berbeda dengan Suhud, Ilyas Leubee tidak mengambil hadiah itu untuk dirinya sendiri. Ilyas Leubee yang kini telah almarhum, membagikannya kepada masyarakat sekitar dan tidak melanjutkan pengelolaan kebun itu, sehingga pabrik peninggalan Belanda itupun terbengkalai dan menjadi besi tua sampai sekarang.

Mendapati bahwa ternyata tanaman Kopi sangat menguntungkan. Para petani yang tidak kebagian kebun kopi pun, mulai menanami lahan-lahan kosong di sekitarnya dengan tanaman kopi, sehingga saat ini terdapat sedikitnya 90 ribu hektare perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo yang sekarang dipisahkan menjadi dua kabupaten. Ini menjadikan dataran tinggi Gayo sebagai produsen kopi Arabica terbesar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga Asia. Karena kebun kopi di Gayo dikelola oleh petani individual dengan rata-rata kepemilikan lahan maksimum 2 hektare. Karakter kopi Gayo menjadi sangat beragam, sudahlah jenis tanah dan ketinggian tumbuh yang berbeda bahkan terbilang ekstrem. (Tanah Vulkanis di Lukup Sabun, Bandar lampahan, Simpang Balik dan wilayah Bener Meriah lainnya dan bukan vulkanis di Jagong Jeget, Batu Lintang dan sekitarnya. Ketinggian sekitar 700-an Mdpl di Singah Mulo, sampai 1500-an Meter di Lukup Sabun). Varietas kopi yang ditanam pun berbeda-beda, mulai dari Bourbon sampai Catimor dengan aneka ragam variasinya. Belum lagi kita bicara penanganan pascapanen.

Semua ini menjadikan Kopi Gayo menjadi kopi yang sangat unik dalam pandangan para pecinta kopi di dunia. Rasa kopi Gayo tidak pernah stabil tetapi skor-nya selalu di atas rata-rata. Dan ajaibnya belakangan ditemukan, segala perbedaan ekstrem yang ada di Tanoh Gayo ini, membuat segala macam rasa khas kopi istimewa Dunia ada di Tanoh Gayo.

  1. ^ Arfiansyah (2020). "Islam dan Budaya Masyarakat Gayo, Provinsi Aceh:Kajian Sejarah dan Sosial". Jurnal Sosiologi Agama Indonesia. 1 (1): 1–31. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]