Dagpo Rinpoche
Dikenal dengan kerendahan hati, kebaikan, dan kesabaran tak terbatas, beliau adalah wujud hidup ajaran Buddha yang nyata-nyata diterapkan. Pengetahuan agung berikut instruksinya yang dalam dan murni, yang secara langsung dapat diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari, menarik sejumlah besar pengikut yang terus meningkat.
Dagpo Rinpoche | |
---|---|
Gelar | Reinkarnasi dari Dagpo Lama Jhampel Lhundrup |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1932 Kongpo, sebelah tenggara Tibet |
Agama | Agama Buddha |
Yang Mulia Dagpo Rinpoche (lahir 1932), juga diketahui sebagai Bamchoe Rinpoche,[1][2] ialah seorang lama dalam tradisi agama Buddha di Tibet. Dagpo Rinpoche dikenali oleh Yang Maha Suci Dalai Lama XIII sebagai reinkarnasi dari Guru Dagpo Lama Rinpoche Jampel Lhundrup.
Pada kehidupan lampau, beliau juga adalah Suwarnadwipa Dharmakirti, pemegang silsilah instruksi batin pencerahan (Bodhicita) yang tinggal di Palembang pada masa kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Pada tahun 1960, Rinpoche diundang ke Prancis untuk mengajar bahasa dan kebudayaan Tibet di School of Oriental Studies di Paris. Beliau mengajar di lembaga tersebut selama 30 tahun. Hingga saat ini, Rinpoche menetap di Prancis dan mendirikan Dharma Center yang telah tersebar di berbagai kota di berbagai negara seperti Prancis, Belanda, Malaysia, dan Indonesia. Sampai sekarang Beliau masih aktif mengajar di berbagai Dharma Center Beliau termasuk di Indonesia. Untuk Indonesia sendiri, Beliau telah aktif mengajar selama kurang lebih 30 tahun.
Biografi
[sunting | sunting sumber]Dagpo Rinpoche yang bernama lengkap Dagpo Lama Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampa Gyatso lahir pada tahun 1932 di distrik Kongpo, tenggara Tibet. Pada usia 2 tahun, Dagpo Rinpoche dikenali oleh Dalai Lama ke-13 sebagai reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup. Saat berusia 6 tahun, beliau memasuki Biara Bamchoe, dekat distrik Dagpo. Di sana, beliau belajar membaca dan menulis, juga mempelajari sutra dan tantra.[2]
Beliau adalah guru Tibet pertama yang tiba di Prancis. Setelah mempelajari bahasa Prancis dan Inggris serta menyerap pola pikir orang Barat, pada tahun 1978, beliau akhirnya bersedia mulai mengajar Dharma. Beliau mendirikan pusat Dharma bernama Institut Ganden Ling di Veneux-Les Sablons, Prancis. Di sana, beliau memberi pelajaran tentang Buddhisme, doa, serta meditasi. Sejak tahun 1978 hingga sekarang, beliau telah banyak mengunjungi berbagai negara antara lain Italia, Belanda, Jerman, Singapura, Malaysia dan Indonesia.[3]
Dagpo Rinpoche adalah salah satu dari sedikit guru pemegang banyak silsilah ajaran Buddha.[2] Selain filsafat Buddhis, beliau juga menekuni astrologi, puisi, tata bahasa dan sejarah.[3]
Kelahiran Kembali
[sunting | sunting sumber]Dari seorang Bodhisatwa ke Dagpo Rinpoche melalui Lama Serlingpa, Marpa, Longdol Rinpoche, Jampel Lhundrup, Kelsang Jampel, dan Jampel Lhundrup, yang mana semua adalah satu kesinambungan batin, tanpa ada putus-putusnya. Walaupun silsilah yang begitu agung dimiliki oleh Dagpo Rinpoche, beliau tidak suka merujuknya. Tentu beliau diakui secara resmi sebagai reinkarnasi dari Jampel Lhundrup dan tentu beliau juga membaca serta mengenal semua kisah mengenai silsilahnya, tetapi beliau tidak memamerkannya. Kadang-kadang beliau membuat isyarat dalam pembicaraan, ini menurut penerjemah beliau. Pada suatu hari beliau berujar ketika melihat gambar dari Marpa, “Ia tidak seperti itu”, tanpa menambah satu kata pun. Atau beliau memesan, di Nepal, sebuah rupang Lama Serlingpa sambil memberi Petunjuk yang jelas.
Bodhisatwa Sadaprarudita atau Taktungu yang hidup jauh sebelum zaman Buddha Sakyamuni (556 – 476 SM) dan dikenal karena terus menangis putus asa karena tidak bisa menemukan seorang guru yang dapat membantunya untuk memahami kesunyataan, kunci untuk mencapai Kebuddhaan.
Dikisahkan bahwa setelah melihat penampakan langsung dari Buddha Manjushri, Buddha Kebijaksanaan, beliau akhirnya mengetahui dimana bisa mendapatkan guru, yaitu di India. Beliau pergi ke negeri itu dan disana mendapatkan pemahaman langsung akan kesunyataan dan mencapai tingkat Arya Bodhisatwa. Ini adalah tingkat dimana seseorang hanya mementingkan orang lain, dan tidak terikat lagi oleh proses kelahiran dan kematian yang ditentukan oleh karma. Tingkat dimana seseorang bisa secara bebas menentukan kelahiran dan kematiannya di masa mendatang, tergantung kebutuhan para mahkluk lain. Seorang Arya Bodhisatwa bebas dari kemelekatan terhadap materi, tetapi bisa memanfaatkannya bila keadaan membutuhkan. Ia juga bisa mewujudkan diri dalam berbagai bentuk sekaligus. Ia bisa membuat sebanyak mungkin perwujudan yang dia inginkan dan yang diperlukan untuk kebaikan para makhluk. Semakin dekat ke pencapaian Kebuddhaan, semakin banyak perwujudan yang bisa diemanasikan. Singkat kata, ketika beliau muncul kembali ratusan tahun kemudian, pada abad 10, bisa diperkirakan bahwa beliau sudah menjadi seorang Buddha, walaupun berwujud manusia.
Suwarnadwipa Dharmakirti atau Lama Serlingpa adalah seorang pangeran, raja dari suatu daerah di pulau Sumatra, seorang politikus, berada, dan dikelilingi oleh banyak pelayanan. Beliau menjadi seorang biksu dan terkenal dalam dunia Buddhis abad X sebagai guru yang menerima semua silsilah ajaran tentang batin pencerahan (bodhicita), atau metode-metode latihan untuk menjadi seorang Buddha.
Beliau seorang guru yang sangat agung, guru yang begitu terkenal hingga pandit Atisha menempuh satu perjalanan panjang untuk bertemu dengannya dan tinggal bersamanya selama 12 tahun untuk menerima ajaran tentang batin pencerahan. Yang Mulia Atisha adalah pangeran dari Bengal yang lahir pada tahun 962, seorang dengan pengetahuan tinggi tetapi juga seorang yogi, seorang biksu, seorang yang mempraktikkan Tantra dengan lebih dari 100 guru. Yang Mulia Atisha akan mengunjungi Negeri Tibet dimana beliau akan menyebarkan Buddhisme untuk kedua kalinya di negeri tersebut mulai tahun 1042. Beliaulah yang menyusun risalah pertama yang menguraikan tentang Lamrim atau jalan Bertahap Menuju Pencerahan.
Marpa lahir tahun 1012 di Tibet dalam sebuah keluarga petani yang berada. Tokoh yang sangat menarik yang mana beliau mempunyai 9 istri dan banyak anak. Beliau punya banyak tanah, berkarakter pemarah, dan bertengkar terus dengan para tetangga. Tetapi beliau juga seorang berpengetahuan tinggi dan guru agung. Karena tidak tahan dengan sifat pemarahnya, ayahnya menitipkan anaknya yang masih muda kepada seorang guru yaitu Brokmi Lotsawa, yang mengajarkannya bahasa Sanskerta. Kemudian, karena beliau tidak bisa membayar uang emas kepada gurunya tersebut sebagai imbalan, beliau pergi ke India untuk mencari guru yang kurang menuntut dan berpengetahuan lebih tinggi. Beliau berguru antara lain kepada Naropa, seorang petapa. Gurunya tersebut mentransmisikan banyak transmisi lisan kepada beliau -sesuai dengan tradisi- dan kemudian beliau membawa banyak silsilah ajaran ke Negeri Tibet serta mentransmisikan lagi ajaran-ajaran tersebut kepada murid-muridnya sambil mengurus ladang dan peternakannya.
Seperti yang dilakukan Lama Serlingpa kepada Yang Mulia Atisha, Marpa – sebelum meninggal pada tahun 1097- mengajarkan semua pengetahuannya kepada Jetsun Milarepa (1040-1123) setelah beliau memberikan banyak cobaan yang sangat berat kepada muridnya tersebut, untuk memperkuat imannya dan membersihkan karma buruknya. Contohnya, Milarepa harus membangun banyak menara seorang diri dan setiap kali dia hampir menyelesaikan tugas itu, Marpa memberitahukan bahwa bentuk menara itu tidak sesuai dengan keinginannya dan muridnya tersebut harus mulai membangun yang baru. Milarepa patuh dan menjalankan permintaan baru dari gurunya itu tanpa putus asa. Milarepa tinggal di gua-gua, hidup sebagai petapa di gunung-gunung, menjadi yogi dan memulai salah satu aliran Kagyu bernama Dagpo Kagyu. Beliau berhasil mencapai tingkat Kebuddhaan dalam satu kehidupan dan mempunyai banyak murid yang tertarik oleh teladan hidupnya, yang juga memprakarsai terbentuknya satu aliran baru yaitu Gelugpa. Seperti kisah San Fransiscus Asisi, beliau menarik perhatian dan melindungi binatang-binatang yang dikejar oleh para pemburu. Para pemburu terkesima oleh kebajikannya dan lalu menjadi murid-murid beliau, seperti yang diceritakan oleh penulis biografi dari Marpa dan Milarepa.
Marpa dianggap sebagai salah seorang guru Tibet yang paling penting dan juga sebagai penerjemah yang luar biasa. Beliau menerjemahkan banyak kitab penting seperti sutra-sutra dari Sang Buddha, dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tibet, dan mentransmisikan pula kepada muridnya banyak silsilah ajaran Marpa merupakan guru utama dari Milarepa. Beliau adalah tokoh utama dari aliran Dagpo Kagyu, dan dihormati oleh semua orang Buddhis di Tibet
Catatan Kaki
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]Rinpoche, Dagpo. (2017). Pratityasamutpada 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan. Penerbit Saraswati.