Candi Sawentar
Candi Sawentar | |
---|---|
Informasi umum | |
Gaya arsitektur | Candi |
Kota | Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar |
Negara | Indonesia |
Data teknis | |
Sistem struktur | Piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci |
Ukuran | Luas dasar 9,53 X 6,86 meter, tinggi 10,65 meter |
Candi Sawentar terletak di Desa Sawentar. Desa ini secara administratif masuk wilayah Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Sejalan dengan adanya sistem pemerintahan otonomi daerah, segala pengelolaan dan tanggung jawab kelestarian Candi Sawentar dan lingkungannya berada pada pemerintah Kabupaten Blitar. Sedangkan secara teknis arkeologis Candi Sawentar menjadi tanggung jawab Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulan.
Berkenaan dengan lokasi dan lingkungannya, sangat disayangkan bahwa akses jalan menuju Candi Sawentar lumayan sulit dilewati, karena jalan menuju candi ini berlubang-lubang. Candi Sawentar terletak kira-kira delapan kilometer dari jalan Raya Garum jurusan Malang-Blitar. Secara geografis Candi Sawentar berada di sebelah timur lereng Gunung Kelud. Juga ditinjau dari topografi lingkungannya, kawasan Sawentar dikelilingi oleh sungai. Sungai yang paling dekat dengan situs Sawentar adalah Ngasinan yang saat ini sudah tidak berfungsi lagi. Sungai ini sekaligus menjadi pemisah antara Candi Sawentar I dan II. Data topografi tersebut menjadikan iklim sekitarnya termasuk dalam kategori tropis, dengan curah hujan 173 mm/tahun dan jumlah hujan rata-rata 124 hari/tahun.[1] Iklim serta pantauan topografi inilah yang memberikan informasi bahwasanya wilayah situs Sawentar dan sekitarnya merupakan tanah yang subur.
Candi Sawentar tidak memiliki sistem zonasi. Untuk sementara ini zonasi yang terdapat dalam Situs Sawentar 1 sudah cukup baik, namun pada Situs Sawentar 2 masih butuh pemugaran dan penjagaan yang lebih tertata. Belum tertatanya Sawentar 2 karena masih dalam proses penelitian dan pengungkapan lagi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.
Candi ini terbuat dari batu andesit berukuran panjang 9,53 m, lebar 6,86 m dan tingginya 10,65 m. Pintu masuk menuju bilik berada di sebelah barat, dengan ornamen makara pada pipi tangga, sedangkan relung-relungnya terdapat pada setiap dinding luar tubuh candi. Di dalam ruangan bilik ditemukan reruntuhan arca dengan pahatan burung garuda, yang dikenal sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Candi Sawentar merupakan bangunan suci yang berlatar belakang agama Hindu.
Nama Sawentar
[sunting | sunting sumber]Setiap bangunan keagamaan purbakala di Indonesia dinamakan candi. Nama candi Sawentar disebut-sebut di dalam Kitab Negarakertagama, Candi Sawentar disebut juga Lwa Wentar sebagai salah satu tempat yang dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk, seperti yang diungkapkan dalam kitab itu menyebutkan daerah bernama “Lwa Wentar”. Dalam Pupuhnya disebutkan,
“Ndan ring śaka tri tanu rawi ring wēsākā, śri nāthā mūja mara ri palah sābŗtya, jambat sing rāmya pinaraniran lānglitya, ro lwang wentar manguri balitar mwang jimbē”
Artinya:
Lalu pada tahun saka Tritanurawi—1283 (1361 Masehi) Bulan Wesaka (April-Mei), Baginda raja memuja (nyekar) Ke Palah dengan pengiringnya, berlarut-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan Jimbe[2]
.
Dari ulasan Kitab Negarakretagama di atas diketahui nama Lwa Wentar yang berada di dekat Jimbe dan Blitar. Pada saat ini hanya dijumpai satu wilayah yang memiliki toponimi sama dengan Lwa Wentar, yakni Sawentar, yang juga terdapat situs di wilayah tersebut. Bangunan candi ini dahulunya merupakan sebuah kompleks percandian, karena disekitarnya masih ditemukan sejumlah fondasi yang terbuat dari bata, dan candi ini diduga didirikan pada awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Riwayat penemuan dan perawatan
[sunting | sunting sumber]Candi Sawentar 1
[sunting | sunting sumber]Awalnya candi ini tertimbun tanah dari bagian tengah hingga bawahnya. Pada tahun 1915 dan tahun 1920 – 1921 Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) Hindia Belanda melakukan penggalian pada bagian bawah candi yang tertimbun lahar Gunung Kelud. Diketahui Gunung Kelud yang dituliskan dalam prasasti Palah, merupakan tempat dari Sang Hyang Acalapati atau dewa gunung yang pada masa Kertajaya diagungkan agar tidak murka. Hal ini juga diketahui dari bukti dan catatan geografis yang mengatakan bahwa Gunung Kelud sering meletus. Dari sini dapat dipastikan bahwa situs-situs sekitar Gunung Kelud termasuk Sawentar tertimbun abu vulkanik. Pada saat ini jika kita amati Candi Sawentar berada di bawah permukaan tanah permukiman penduduk sekitarnya. Adapaun lapisan tanah yang bisa kita jumpai hasil bentukan dari vulkanik Gunung Kelud jika kita berada di tanah bagian selasar batur candi. Tanah asli pada saat candi ini dibangun adalah tanah yang berada di bawah selasar batur/kaki candi, bukan tanah yang menjadi pijakan rumah penduduk sekitar. Pada tahun 1992 - 1993 Candi Sawentar dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (nama yang dipakai sejak 2011) Trowulan, Jawa Timur.[3] Setelah dipugar, candi ini dijaga oleh juru pelihara (jupel) Bapak Sugeng Ahmadi (2000 hingga sekarang). Beliau ditemani oleh Mbak Punawati yang menjadi jupel 2. Perawatan dan pemeliharaan sebuah situs diserahkan pada dua instansi negara. Di Candi Sawentar untuk pengolahan wisata dan pengembangan situs diserahkan pada Dinas Kebudayaan wilayah Sawentar. Perawatan dan pemeliharaan situs ditangani oleh BPCB Trowulan. Bentuk perawatan yang dilakukan oleh BPCB Trowulan antara lain mengenai perawatan lingkungan dan penjagaan yang diembankan pada juru pelihara. Juga pendataan kemiringan dan kestabilan bangunan oleh arkeolog dan pegawai pusat. Untuk pengontrolan kemiringan dan kestabilan bangunan dilakukan ± dua tahun sekali.
Candi Sawentar 2
[sunting | sunting sumber]Bermula dari Bapak Sugeng Ahmadi yang sedang menggali sumur di sekitar Pasar Sawentar, saat menggali tanah yang akan dibuat sumur, beliau menemukan bongkahan atau pecahan batu andesit yang berbentuk rapi. Setelah penggalian diteruskan, ditemukanlah sebuah benda seperti candi kecil. Bapak Sunarno yang pada saat itu menjadi juru pelihara di Candi Sawentar I mencoba melihat temuan yang menjadi geger penduduk setempat. Beberapa batu memang sempat dipindahkan oleh Bapak Sugeng Ahmadi, lantaran ia belum mengetahui tentang adanya Undang-Undang Benda Cagar Budaya (UU BCB). Namun Bapak Sunarno yang kesehariannya bekerja sebagai juru pelihara Candi Sawentar I, menghentikan sementara penggalian tersebut dan melaporkan temuan itu pada BPCB Trowulan. Pada Agustus 1999, BPCB Trowulan dibantu Balai Arkeologi Yogyakarta melihat dan mencoba menampakkan kembali situs tersebut, yang akhirnya diberi nama Candi Sawentar II. Candi ini juga merupakan salah satu kompleks percandian yang terdapat di wilayah Sawentar dan tertimbun oleh endapan lahar Gunung Kelud.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Candi Sawentar 1
[sunting | sunting sumber]Sejarah Candi Sawentar 1 masih belum jelas benar. Namun ada yang mengatakan bahwa Candi Sawentar adalah pendharmaan dari Hayam Wuruk. Hal ini didapati dari bukti motif sayap ayam yang terdapat pada pipi tangga kiri dan kanan pintu masuk. Motif sayap ayam tersebut dikorelasikan dengan nama Hayam, sehingga didapati pemikiran bahwa candi tersebut pendarmaan dari raja Hayam Wuruk. Jika dicermati lebih jauh, ternyata motif sayap yang terdapat pada pipi tangga masuk Candi Sawentar 1 adalah sayap dari naga yang kepalanya menjorok dan menjadi ujung dari tangga tersebut. Hal ini dapat dikorelasikan dengan bangunan-bangunan Hindu pada saat ini. Motif naga bersayap pada tangga masuk juga didapati pada beberapa pure di Bali dan Lombok pada saat ini. Motif naga yang kerap disinkronkan dengan alam bawah memang acapkali berada pada bagian kaki candi (bhurloka). Jadi dapat disimpulkan bahwasannya pendapat yang menguraikan tentang motif sayap ayam yang dikorelasikan dengan Hayam Wuruk kurang tepat, karena sayap tersebut bukan sayap ayam, melainkan sayap naga.
Dalam Kitab Negarakertagama terdapat keterangan yang berbunyi:
“...jambat sing rāmya pinaraniran lānglitya, ro lwang wentar manguri balitar mwang jimbē..”
Artinya:
...berlarut-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan Jimbe...[4]
.
Dari ulasan dalam kitab tersebut mengatakan Raja Hayam Wuruk selain berziarah juga menghibur hati di Sawentar dan sekitarnya. Kata-kata ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut dapat dikatakan sebuah tempat peristirahatan. Tentunya sebuah tempat peristirahatan memiliki sebuah tanah yang subur, sejuk, dan memiliki banyak bangunan. Hal inilah yang membuktikan pula bahwasanya Sawentar adalah salah satu komplek percandian yang luas. Dengan bukti adanya temuan baru pula yakni situs Sawentar 2 memperkuat tentang bukti kompleks percandian pada situs tersebut. Jadi belum diketahui secara pasti bangunan yang manakah yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk di Sawentar pada tahun 1283 saka (1361 masehi). Bisa jadi pula ketika Hayam Wuruk berkunjung ke wilayah Sawentar saat itu, yang kita sebut dengan Candi Sawentar 1 belum dibangun.
Untuk fungsi Candi Sawentar 1 ditinjau dari sebuah kalimat yang terdapat pada Kitab Pararaton yang selesai ditulis pada tahun 1535 śaka (1613 masehi) di Icasada di Desa Sela-pênêk. Pada bait-bait akhir Kitab Pararaton menyebutkan:
“...Bhre Paguhan sira sang mokta ring Canggu dhinarmeng Sabyantara. Bhra Hyang mokta dhinarme Puri. Bhre Jagaraga mokta. Bhre Kabalan mokta dhinarmeng Sumêngka tunggal dhinarma. Bhre Pajang mokta tunggal dhinarmeng Sabyantara..”
Artinya:
...Baginda di paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat dicandikan di Puri, Baginda di Jagaraga wafat, Seri ratu di Kabalan wafat, dijadikan menjadi satu di Sumêngka. Seri ratu di Padjang wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara...[5]
.
Dari kalimat diatas didapati kata Sabyantara. Hal inilah yang menjadi bukti kuat mengenai fungsi dari Candi Sawentar satu. Karena kata Sabyantara syarat dengan Sawentar. Mengapa demikian, harus ditinjau dari rumpun bahasa bahwasaanya aksen B dan W ini selalu bersinggungan. Dapat dijumpai pada perkembangan bahasa saat ini antara Jawa yang menyerap dari aksen Sanskerta dan Bahasa Indonesia yang banyak menyerap dari aksen Melayu.[6] Huruf W pada Aksen Bahasa Sanskerta yang diserap oleh Jawa, sering bersinggungan dengan huruf B pada bahasa Melayu yang diserap oleh Bahasa Indonesia. Menurut sumber tertulisnya, yakni Kitab Pararaton, Sabyantara merupakan sebuah pendharmaan dari Bhre Paguhan. Maka pada ulasan kali ini dengan dibuktikan pada berita tertulis, menguatkan Candi Sawentar 1 merupakan pendharmaan dari Bhre Paguhan.
Candi Sawentar 2
[sunting | sunting sumber]Candi Sawentar 2 merupakan bangunan baru yang ditemukan pada tahun 1999 oleh bapak Sugeng Ahmadi ketika menggali sumur dan diekskavasi oleh BPCB Trowulan dibantu oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Mengenai latar belakang sejarah bangunan ini, menurut Baskoro Daru Tjahjono, adalah sebagai bangunan pengenang/monumen perang paregreg yang didirikan oleh Suhita atas meninggalnya ayah Suhita. Hal ini diketahui karena adanya relief yang berhubungan dengan sebuah angka tahun candrasengkala memet. Candra sengkala kira-kira ada di Indonesia mulai tahun 700-1400 śaka, dan diduga berasal dari India. Candra sengkala memiliki arti filosofis tersendiri sehingga menghasilkan nilai atau angka yang sesuai dengan jumlah tafsir lambangnya. Uraian tersebut dapat dijelaskan pada ulasan di bawah ini.
Dalam buku candra sengkala yang ditulis oleh R.M. Sajid, Naga berarti ular besar, memiliki nilai 8 karena naga memiliki 8 sifat, yaitu:
- Naga darbe kumara, yaiku mustika, minangka dadi pramanane, yen bengi bisa kanggo madhangi, mripate katon mancorong.
- Naga, darbe kasantosan linuwih, betah pati raga.
- Naga Andarbeni karoan.
- Naga andarbeni wisa mandi, Manawa manembur agawe sangsara.
- Naga andarbeni pang emekan bisa mulet sarta anggubet.
- Naga darba panguwasa panglulusan angulu, sarta bisa angling sungi.
- Naga andarbeni pangraketan, yaiku plengketan bisa cepet ngambah ing witwitan.
- Naga andarbeni aji nirmala, yaiku lenga sangkalputung aneng pethite, bisa nuntumake balung sungsum muwah kulit lan getah.
Raja memiliki nilai 1, karena dalam sebuah kerajaan tidak mungkin dipimpin oleh dua atau lebih raja. Dapat dianalogikan dengan saat ini bahwa setiap negara pasti punya 1 pemimpin. Begitu pula Indonesia yang memiliki 1 presiden. Anahut memiliki nilai 3, hal ini karena diidentikkan dengan sifat api yang selalu menyahut/menyambar-nyambar. Selain itu makna filosofis dari api memiliki 3 sifat yang identik dengan timbulnya/munculnya api:
- Soko pangreko (korek, batu titikan)
- Soko sarono (arang, batu bara)
- Soko glap (petir)
Surya memiliki nilai 1 karena surya berarti matahari. Dalam alam semesta ini matahari tentunya hanya ada 1.[7] Ulasan candra sengkala di atas yang akhirnya didapati angka tahun 1318 śaka (1396 Masehi). Hal inilah seperti yang dikatakan Baskoro Daru Tjahjono merupakan sebuah monumen peringatan. Memang sekilas bentuk Sawentar 2 bagian selatan hampir sama dengan candi Kama yang terdapat di Trawas Mojokerto. Sekilas dilihat memang ada keserupaan bentuk walau ukurannya tidak sama. Hanya pada candi Sawentar lebih kompleks temuannya sehingga diketahui dengan jelas fungsi dan sejarahnya.
Pendirian sebuah candi biasanya bertalian erat dengan peristiwa meninggalnya seorang raja. Hal ini dapat diketahui dari keterangan-keterangan yang termuat dalam kitab Nagarakrtagama dan kitab Pararaton. Candi didirikan untuk mengabadikan “dharma”nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya. Misalnya: Candi Jago merupakan tempat pendarmaan Raja Wisnuwardhana, Candi Singasari dan Candi Jawi untuk memuliakan Raja Kertanegara, dan Candi Simping untuk memuliakan Raja Kertarajasa. Namun selain sebagai tempat pendarmaan raja yang telah meninggal apakah tidak ada tujuan lain dalam pendirian suatu bangunan suci. Apakah tidak mungkin pula suatu bangunan suci didirikan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi dalam suatu kerajaan atau latar belakang naik tahtanya seorang raja tampaknya juga mengilhami pendirian suatu bangunan suci. Pemahatan relief “nagaraja anahut surya” di candi Sawentar II kemungkinan merupakan penggambaran adanya peristiwa atau upaya perebutan tahta kerajaan di kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Wikramadharma telah terjadi pertentangan keluarga, antara Wikramadharma yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan Bhre Wirabhumi yang memerintah wilayah bagian timur (daerah Balambangan). Di dalam serat Pararaton peristiwa itu disebut paregreg, yang mulai terjadi tahun 1323 saka. Tahun 1318 saka yang tersirat dalam sengkalan “nagaraja anahut surya” sangat dekat dengan mulai terjadinya peristiwa paregreg. Jadi kemungkinannya sebelum terjadi peristiwa paregreg telah didahului dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upaya perebutan tahta tersebut. Atau kemungkina angka tahun itu menunjuk tahun mulainya peristiwa paregreg. Kemungkinan tahun yang disebut oleh penulis Pararaton kurang tepat, mengingat penulisan Pararaton jauh setelah peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII Masehi), sedangkan Candi Sawentar II yang memuat sangkalan “nagara anahut surya” berasal dari tahun 1357 atau 1358 saka (1435/1436 Masehi). Jadi candi Sawentar II didirikan oleh Suhita untuk memperingati peristiwa upaya perebutan tahta (paregreg) yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya.
Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang mengenakan mahkota, sangat mungkin hal itu merupakan simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan sedang berusaha menelan matahari. Sedangkan matahari yang dicaplok naga raja tersebut merupakan simbolisasi dari kekuasaaan Majapahit yang sedang dicabik-cabik untuk diruntuhkan. Sebab matahari yang digambarkan pada panil itu adalah “Surya Majapahit” yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Dengan demikian penggambaran “nagaraj anahut surya” adalah untuk menggambarkan adanya upaya-upaya untuk meruntuhkan kekuasaaan Majapahit melalui perebutan tahta oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan Wikramawardhana yang oleh Pararaton disebut “paregreg”. Jadi maksud pendirian bangunan suci Sawentar II adalah untuk memperingati peristiwa Paregreg yang telah terjadi 40 tahun lalu sebelum bangunan itu didirikan.[8]
Struktur candi
[sunting | sunting sumber]Candi Sawentar 1
[sunting | sunting sumber]Struktur Candi Sawentar merupakan bentuk dari bangunan masa Jawa Timur yang berkembang pada abad XII – XIII M., Karena bangunan yang berkembang pada abad VIII – X M didominasi oleh bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, bentuknya tidak seperti itu. Bangunan candi masa Jawa Tengah cenderung gemuk dan buntak (tambun), sedangkan bangunan candi masa Jawa Timur berbentuk ramping dan tinggi. Candi sawentar juga memiliki kesamaan bentuk dengan candi Kidal dan candi bangkal, yang sama-sama berada di Jawa Timur. Hanya untuk Candi Bangkal memang sebagian besar terbuat dari batu bata dan bukan andesit layaknya Candi Kidal dan Sawentar 1.
Denah alas atau batur candi Sawentar 1 hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang 9,53 m, lebar 6,86 m. Tinggi bangunannya 10,65 meter.[9] Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Sawentar memiliki pagar keliling dari batu dengan denah halaman hampir bujur sangkar. Halaman ini merupakan halaman pusat, karena pada umumnya bangunan candi memiliki 3 tingkatan bangunan. Bangunan candinya terbuat dari batu andesit dengan pola pasang tidak beraturan/acak.
Dahulu di depan candi terdapat sebuah bangunan tembok tepat di depan tangga pintu masuk ke ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk tersebut. Bagian fondasi dari tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari tembok itu diduga sebagai ‘kelir’ atau ‘aling-aling’ dari bangunan candinya. Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah sebagai penangkal atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negatif/jahat. Dengan demikian tembok kelir atau aling-aling tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis perlindungan (protektif). Sisa fondasi pagar seperti pada gambar dibawah ini (membujur, utara-selatan). Candi Sawentar sesuai dengan strukturnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kaki, badan, dan puncak.
- Bagian kaki (Upapitha) disebut BHURLOKA, gambaran dari alam manusia atau dunia manusia
- Bagian badan (Vimana) disebut BWAHLOKA, gambaran alam atau langit
- Bagian puncak (Cikhara) disebut SWAHLOKA, gambaran alam sorgawi atau kahyangan para dewa
Struktur bangunan candi, baik candi Hindu maupun candi Budha mengacu kepada gambaran gunung suci, yaitu Meru. Menurut mitologi Hindu dan Budha bahwa alam semesta atau jagat raya ini berpusat pada gunung Meru yang merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karena itu candi-candi dibangun sebagai usaha untuk menciptakan gunung Meru tiruan. Dengan demikian struktur bangunan candi harus sesuai dengan struktur Meru, yaitu ada kaki, lereng/badan, dan puncak. Karena sebuah gunung mengandung unsur flora atau fauna, maka hiasan-hiasan pada dinding candi juga mengandung unsur flora dan fauna. Disamping itu dihias dengan makhluk-makhluk ajaib penghuni sorga. Semuanya itu untuk menegaskan bahwa candi merupakan gambaran dari Meru tempat tinggal para dewa.[10]
Diskripsi masing-masing bagian Candi Sawentar adalah sebagai berikut:
Bagian Kaki
[sunting | sunting sumber]Kaki candi dibuat tinggi dengan sebuah penampil pada pintu masuk yang memiliki tangga. Bagian kaki ditopang oleh adanya alas yang berbentuk persegi panjang (mendekati bujur sangkar). Di bagian kaki candi di sisi utara, timur dan selatan, terdapat relief yang bermotif palang. Pada sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk. Pipi tangga berbentuk lengkungan dengan berujung kepala naga atau ular bermahkota, sekaligus sayap naga yang menutup pipi kanan kiri tangga masuk. ‘Kepala naga’ atau ‘ular bermahkota’, dalam mitologi Hindu dihubungkan dengan alam bawah, yaitu tanah air atau wanita. Di dalam mitos kesuburan, ular dianggap sebagai kekuatan hidup dan pelindung utama dari segala kekayaan yang terkandung di dalam tanah maupun air. Oleh karena itu wajarlah bahwa di Candi Sawentar, ia ditempatkan pada bagian bawah sebagai ‘lambang alam bawah’ dan berada di depan pintu masuk sebagai ‘kekuatan yang melindungi segala kekayaan/daya gaib yang terkandung di dalam tanahnya’.[11]
Bagian Badan
[sunting | sunting sumber]Pada bagian badan candi, terdapat relief kepala kala. Ini berfungsi magis, yaitu berfungsi menakuti kekuatan jahat yang berada di sekeliling candi (banaspati). Kepala kala yang terdapat pada candi sawentar umumnya merupakan gambaran kelapal kala yang terdapat pada candi-candi hindu Jawa Timur, dan sangat berbeda bentuk dengan kepala kala yang terdapat pada percandian Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini. Tapi sangat disayangkan, karena kepala kala yang terdapat di atas pintu candi telah rusak. Dan seperti pada candi-candi Hindu lainnya, terdapat ruang induk yang dikelilingi oleh relung-relung. Dinding badan candi dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah, dan pelipit atas, yang dihias pula dengan hiasan lingkaran-lingkaran yang hampir serupa dengan yang ada pada kaki candi. Pada sisi barat terdapat pintu dengan penampil. Di kanan kiri pintu masuk terdapat relung kecil. Relung sebelah kiri pintu (utara) dahulunya berisi arca Mahakala, sedangkan relung sebelah kanan pintu (selatan) dahulunya berisi arca Nandiswara. Mahakala adalah salah satu aspek Dewa Siwa sebagai ‘perusak’. Oleh karena itu bentuk Mahakala berwajah raksasa (demonis). Senjata yang dibawa adalah gada atau pedang. Atribut lainnya adalah ular, berambut gimbal. Sedangkan Nandiswara merupakan bentuk antropomorpic dari lembu ‘Nandi’ kendaraan Siwa. Oleh karena itu Nandiswara merupakan aspek Siwa juga. Bentuknya seperti manusia biasa, senjata yang dibawanya adalah trisula (senjata Siwa) yang menandakan bahwa dia masih dekat hubungannya dengan Siwa.
Dinding sisi utara terdapat sebuah relung yang dahulunya berisi arca ‘Durgamahisasuramardini’, yaitu Dewi Parwati sebagai Durga sedang membinasakan seorang raksasa yang menjelma sebagai kerbau. Arcanya berbentuk figur seorang dewi yang berdiri di atas punggung kerbau. Menurut cerita Hindu, seorang raksasa, yaitu Mahesasura merusak kahyangan para dewa. Para dewa terutama Brahma, Wisnu, dan Siwa marah melihat keadaan tersebut. Dari kemarahan mereka itulah muncul kekuatan baru yang terjelmakan dalam figur seorang dewi yang sangat cantik, yaitu Durga.
Berikutnya kita berjalan menuju sisi Timur (bagian belakang candi). Di sini kita mendapatkan relung yang kosong. Dahulu di relung ini berisi arca Ganesa. Tanda-tanda dari Ganesa, di dalam mandala percandian ia selalu digambarkan duduk. Sikap kakinya seperti duduknya anak balita. Bertangan dua, delapan, sepuluh, duabelas, atau enam belas. Berperut buncit sebagai tanda bahwa ia kaya akan ilmu pengetahuan. Bermata tiga (trinetra seperti ayahnya). Berselempang ular. Senjata yang dibawanya secara standart adalah kapak (parasu), tasbih (aksamala), gading (danta) nya yang patah, serta mangkuk berisi madu (modaka). Dewa Ganesa dipuji sebagai dewa ilmu pengetahuan, dewa pembawa keberuntungan, serta dewa ‘penghancur segala rintangan/gangguan jahat’ (Vignavignecvara).
Berikutnya adalah relung sisi selatan. Relung ini telah kosong tanpa arca. Dahulu di sini bersemayam arca Siwa Guru atau Siwa Mahaguru (Dewa Siwa sebagai seorang pertapa/yogi). Dalam anggapan lain ada yang menyebutnya arca Resi Agastya. Tanda-tanda dari arca ini digambarkan berwujud seorang pertapa tua dengan rambutnya yang disanggul. Kumis dan jenggot panjang meruncing, serta berperut gendut. Bertangan dua yang masing-masing membawa tasbih (aksamala) dan kendi amerta (kamandalu). Pada sandaran sisi kanan terdapat senjata ‘Trisula’. Senjata tersebut terkadang ditempatkan di sisi lengan kanannya, kadang pula tangan kanannya memegang tangkai trisula. Selain itu, didapati reluang ruang utama Candi yang berisikan Yoni dan Lingga. Namun saat ini, jika kita melihat dilokasi tidak akan menjumpai lingga yang biasanya tertancap pada yoni. Diduga hal tersebut dikarenakan hilang dicuri atau sengaja dileburkan oleh orang. Dalam percandian memang diketahui daya magis inti candi terletak pada lingga dan yoni yang merupakan symbol veminim dan maskulin dari Siva dan Parvati. Penyatuan symbol tersebut dilambangkangkan kesucian yang menghasilkan air amrta. Pada upacara agama Hindhu yang dilakukan dipercandian selalu mengguyurkan air biasa pada lingga dan yoni untuk menghasilkan sebuah air yang dianggap sebagai air amerta/ air suci sebagai berkah umat. Hal ini hingga saat ini masih dijumpai pada kebudayaan masyarakat Hindu di India, yakni negara asal ajaran Hindu. Upacara penyiraman air pada lingga yoni yang menghasilkan amerta tidak hanya pada lingga yoni yang terdapat dalam percandian, namun pada lingga yoni yang juga berada di luar percandian sebagai lingga yoni semu dari lingga yoni inti yang berada di percandian.
Pada Yoni Candi Sawentar memiliki keunikan karena terdapat motif garudea. Garudea memang syarat dengan ceritera amerta maupun samodramantana. Keunikan lainnya pada relung tengah yakni sebuah motif dewa surya yang terdapat pada bagian atap sentrum. Motif Dewa Surya ini sama halnya dengan motif yang terdapat pada ruang tengah Candi Jawi. Perlu diketahui pula bahwa motif Dewa Surya (Matahari) yang mengendarai kuda bertelinga seperti kelinci bukanlah ciri khas dari Majapahit. Ciri khas dari Kerajaan Majapahit hanyalah Surya Majapahit tanpa ada Dewa surya pengendara kuda. Motif Dewa surya ini diduga sebagai penerang karena letaknya tepat di centrum atas ruang tengah candi.
Bagian atap candi
[sunting | sunting sumber]Bagian atap candi sebagian runtuh terutama pada puncaknya. Bentuk asli puncaknya berbentuk kubus, hal ini dapat diketahui karena bentuk asli puncak telah dikumpulkan bersama dengan puing-puing candi yang lain di dekat Candi Sawentar ini. Bagian atap candi terdapat relief bermotif meander, naturalis (tumbuh-tumbuhan), dan motif tumpal (lancip). Fragmen puncak diduga mirip dengan puncak dari Candi Kidal di Kabupaten Malang dan Candi Bangkal di Kabupaten Mojokerto. Yang memang struktur dari kaki hingga tubuh banyak memiliki kesamaan antara ketiga candi ini, jadi didugapula adanya kesamaan puncak, walaupun puncak dari ketiga candi tersebut sudah tidak utuh lagi.
Bagian puncak dari candi ini sebagaimana yang telah diulas dihiasi oleh motif suluran. Motif suluran ini bermakna tumbuh-tumbuhan yang melambangkan puncak dari gunung yang syarat dengan hutan dan tetumbuhan.[12] Selain itu didapati pula motif Meander yang pada umumnya merupakan hiasan pinggir yang bentuk dasarnya berupa garis berluki atau berkelok-kelok. Kata meander berarti kelokan sungai, hiasan meander berasal dari Yunani dan perkembangannya di Cina hingga diserap di Nusantara.[13] Dan yang terakhir pada kemuncak Candi Sawentar didapati motif tumpal, yang memiliki dasar bentuk bidang segitiga. Bentuk segitiga ini biasanya membentuk deratan dengan bagian lancip di atas atau kebawah. Motif tumpal terpengaruh oleh Cina dan berasal dari wilayah pesisir.[14] Tidak seperti halnya puncak candi gaya masa Jawa Tengah, yang puncaknya merupakan pengulangan struktur di bawahnya. Puncak candi gaya masa Jawa Timur tidak berbentuk pengulangan struktur di bawahnya, tetapi terdiri dari tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang makin ke atas juga semakin kecil.[15]
Candi Sawentar 2
[sunting | sunting sumber]Candi Sawentar II adalah situs bangunan candi pada masa Hindu-Buddha yang ditemukan didukuh Centong, desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Situs ini berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi candi Sawentar I, tepatnya sebelah selatan candi sawentar I. Lokasi situs candi Sawentar II berada di sekitar pasar Desa Sawentar. Penemuan yang didapat dari situ candi sawentar dua yang pertama yaitu sebuah batu candi yang terbuat dari batu andesit berwarna agak keputihan. Batu ambang candi berukuran panjang 73 cm, lebar 36 cm, dan tebal 20 cm. Batu ini memiliki angka tahun dan hiasan kepala kala pada kedua sudutnya. Batu candi berukuran panjang 24 cm, lebar 23 cm dan tebal 17 cm.
Penemuan yang kedua yaitu sebuah komponen candi dan dua buah kepala kala, dua buah batu sudut berhias antefix, dua buah batu yang tidak berhias antefix mungkin sudah runtuh, dan semuanya terbuat dari batu andesit yang berwarna keputihan. Dan selanjutnya ditemukan 3 buah batu persegi berelief binatang dan 2 buah fragmen batu kemuncak. Ketiga batu berelief hewan tersebut berukuran sama, masing-masing mempunyai panjang 61 cm, lebar 32 cm, dan tebal 29 cm. batu relief 1 menggambarkan adegan Ghanesa yang sedang menggigit matahari diapit dua ekor harimau. Batu relief 2 yang menggambarkan adegan dua ekor kuda sedang berkejaran, kuda di depan menoleh ke belakang. Batu relief 3 menggambarkan adegan dua ekor kuda saling berhadapan memperebutkan sebuah bola. Dan ketiga panil berelief binatang tersebut terbuat dari batu andesit yang berwarna agak keputihan. Penemuan selanjutnya yaitu sebuah fragmen miniatur candi bagian tubuh, sebuah ambang atap dengan hiasan kepala kala, 14 buah batu persegi bertakik, dua buah batu sudut kemuncak berpelipit, dan sebuah bata. Fragmen batu kemuncak berukuran panjang 85 cm dan tinggi 27 cm. Fragmen miniatur candi bagian tubuh mempunyai relung pintu dan berukuran panjang 74 cm, tingi 56 cm. Ambang atap berhias kepala kala berukuran panjang 65 cm, tebal 30 cm, dan tinggi 29 cm. Sedangkan batu-batu persegi mempunyai ukuran bervariasi, panjang antara 51 sampai 62 cm, lebar antara 24 sampai 26, dan tebal antara 13 samp[ai 15 cm. bata berukuran panjang 31 cm, lebar 18 cm, dan tebal 6 cm.
Berikutnya yang ditemukan adalah sebuah kompleks candi, kompleks itu berbentuk struktur bangunan dari batu andesit yang berupa dua batur empat persegi pajang berjajar membujur utara-selatan. Di tengah-tengah batur itu terdapat sebuah lantai yang terbuat dari bata. Di sebelah barat batur terdapat dua buah struktur bangunan bata yang kemungkinan berdenah bujur sangkar. Dan di sebelah timur terdapat dinding yang tertimbun tanah membujur dari utara ke selatan, dan mungkin itu adalah sebuah pagar. Selanjutnya bulan Oktober 2000 berhasil diketahui pula bahwa halaman candi ini dibagi menjadi dua halaman. Denah pagar berbentuk empat persegi panjang melintang utara-selatan dengan ukuran 38,80 × 29,70 m2. Halaman bagian utara terdapat gugusan bangunan berupa batur-batur dan fondasi miniatur candi, halaman ini berukuran 29,70 × 21,30 m2. Sedangkan halaman selatan belum ditemukan gugusan bangunan, halaman ini berukuran 29,70 × 17,50 m2.
Penelitian tahap IV yang dilakukan pada bulan Septermber 2004 berhasil membuka 9 buah parit gali (P.30 – P.38). Penelitian yang difokuskan untuk mencari gugusan bangunan lain dan pintu masuk ke halaman candi hanya berhasil menemukan gugusan candi lain. Gugusan bangunan candi lain itu ditemukan di halaman selatan pada kuadrant timur laut juga. Di halaman selatan ini ditemukan dua buah bangunan berbentuk kubus berjajar utara selatan dengan hiasan relief binatang kuda di masing-masing dindingnya. Bangunan di selatan masih agak utuh, sedangkan yang di utaranya tinggal separuh. Pintu masuk ke halaman candi belum berhasil ditemukan. Penelitian berlanjut hingga tahap V dan VI masing-masing pada tahun 2005 dan 2006.
Temuan lain di wilayah Sawentar
[sunting | sunting sumber]Angka tahun
[sunting | sunting sumber]Angka tahun tersebut ditemukan di kompleks makam Kanigoro, ± 2Km dari Sawentar. Dari temuan tersebut jelas ini adalah sebagian dari banguan percandian. Oleh sebab itulah wilayah Sawentar diduga kuat merupakan kompleks percandian yang luas dan besar. Angka tahun tersebut terbilang 1274 Śaka (1352 M). Pada tahun itu pemerintahan kerajaan Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk. Kemungkinan candi ini adalah hadil pemugaran dari Hayam Wuruk yang diberitakan pada Negarakertagama.
Huruf berkalimat
[sunting | sunting sumber]Batu yang bertiluskan huruf jawa kuno tersebut juga ditemukan di makam Kanigoro. Batu ini diduga ditempatkan pada ambang pintu bangunan. Huruf yang terdapat pada batu tersebut terbalik tata polanya karena batunya memang terbalik saat meletakkan. Jika ingin membacanya kita harus memutar 180º. Huruf tersebut berbunyi “ita cangkaha ya hala” yang berarti sombong itu ya jelek/buruk. Kata-kata tersebut merupakan sebuah pesan moral yang bisa jadi berhubungan dengan sejarah candi tersebut. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap hal ini, berkaitan dengan raja siapa atau pendharmaan dari siapakah dan apa fungsinya bangunan pada kompleks makam Kanigoro tersebut.
Struktur batu andesit
[sunting | sunting sumber]Struktur batu tersebut selain dari runtuhan puncak Candi Sawentar 1 juga merupakan temuan yang terdapat di makam Kanigoro. Terdapat juga dua buah fragmen nisan kuno yang terbuat dari batu andesit (masih perlu dibuktikan keasliannya). Puing-puing atap bangunan yang bercampur dengan beberapa bagian badan tersebut memberikan informasi sekali lagi pada kita bahwasaanya di kompleks makam Kanigoro dahulunya didapati bangunan percandian.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Ngadiono (2003), halaman 1
- ^ Riana (2009), halaman 302
- ^ Abbas (2001), halaman 39
- ^ Riana (2009), halaman 302
- ^ Padmapuspita (1966), halaman 90
- ^ Collins (2009), halaman 93
- ^ sajid (tahun?), halaman 7-15
- ^ Tjahjono (1999), halaman 72-74
- ^ Abbas (2001), halaman 39
- ^ Suwardono (2008), halaman 10-11
- ^ Sunaryo (2009), halaman 103
- ^ Sunaryo (2010), halaman 159
- ^ Sunaryo (2010), halaman 22
- ^ Sunaryo (2010), halaman 30
- ^ Mangunwijaya (1988), halaman 127
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Abbas. 2001. Peninggalan Sejarah dan kepurbakalaan di Jawa Timur 1. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
- Abbas. 2002. Peninggalan Sejarah dan kepurbakalaan di Jawa Timur 2. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
- Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J. Van Der Peet.
- Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Huyler, Stephen P. 1999. Meeting God, Elements Of Hindu Devotion. London: Yale University Pers.
- Lutfi, Ismail. 1991. Telaah Prasasti Palah Dalam Hubungannya dengan Candi Panataran. Yogyakarta: Skripsi Arkeologi FS UGM.
- Mangunwijaya. 1988. Wastucitra (Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis). Jakarta:PT. Gramedia.
- Ngadiono. 2003. Candi Penataran. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
- Padmampuspita, ki J. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
- Poerwadarminta, WJS. t.t. Katrangan Tegesing Temboeng-Temboeng. Groningen-Batavia: JB. Wolters.
- Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
- Sajid. —— . Serat Kawruh Bab Candra Sengkala. Solo: Pura Mangku Nagara.
- Soebantardjo, RM. 1969. Geohistori tentang Djawa Timur. Dalam Mimbar Ilmu Fak. Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang No.3 Th.III Hal. 16-21. Malang: IKIP Malang
- Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius.
- Soekmono, R. 1974. Candi Fungi dan Pengertiannya. Depok: Dist FS UI.
- Sulaiman, Setyawati. 1980. Pengembangan Seni Arca Kuno di Indonesia. Dalam Analisis Kebudayaan Tahun 1 No. 1 Hal. 50-59. Jakarta: Balai Pustaka.
- Sunaryo, Aryo. 2010. Ornamen Nusantara, Kajian Khusus Tentang Ornamen Indonesia. Semarang: Effhar Offset Semarang.
- Suwardono. 2008. Candi Kidal. Malang.
- Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia. Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
- Tjahjono, Baskoro D. 1999. Paregreg Dalam Sebuah Monumen. Dalam Berkala Arkeologi Tahun XIX Edisi No.2 . Yogyakarta: Balai Arkeologi.
- Tjahjono, Baskoro D. 2006. Candi Sawentar II (kidul): Arsitektur Peralihan Pada Abad 15 M. Dalam Berita Penelitian Arkeologi No.21. Yogyakarta: Balai Arkeologi.
- Zoetmulder, P. J. dan Robson, BD. 2004. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Gramedia.