Lompat ke isi

Astrofisika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Astrofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari sifat-sifat fisika fenomena dan objek astronomi di jagat raya. Astrofisika membahas objek-objek di luar angkasa dan juga Bumi. Terkadang, penamaannya dapat berganti dengan astronomi karena lingkup studinya yang mirip pada masa modern.[1]

Astronomi adalah ilmu kuno, lama terpisah dari studi fisika terestrial. Dalam pandangan dunia Aristoteles, benda-benda di langit tampak seperti bola yang tidak berubah dan gerakan satu-satunya adalah gerakan seragam dalam lingkaran. Sementara itu, dunia teresterial adalah alam yang mengalami pertumbuhan dan pembusukan, dan gerakannya berada dalam garis lurus yang berakhir ketika benda tersebut mencapai tujuannya. Terdapat anggapan bahwa luar angkasa terbuat dari jenis materi yang berbeda dari materi yang ditemukan di dunia terestrial; diyakini oleh Aristoteles sebagai Aether,[2] atau sebagai Api oleh Plato.[3] Selama abad ke-17, filsuf alam seperti Galileo,[4] Descartes,[5] dan Newton[6] mulai berpendapat bahwa daerah angkasa dan terestrial terbuat dari jenis bahan yang serupa dan tunduk pada hukum alam yang sama. Tantangan mereka adalah saat itu belum ditemukan alat untuk membuktikan pernyataan ini.

Selama abad kesembilan belas, penelitian astronomi berfokus pada pengukuran dan perhitungan rutin posisi dan gerakan objek astronomi.[7] Cabang astronomi baru, yang kemudian disebut astrofisika [8], baru muncul ketika William Hyde Wollaston dan Joseph von Fraunhofer secara terpisah mendapati bahwa banyak garis gelap (daerah yang terdapat sedikit atau tidak ada cahaya) yang diamati dalam spektrum ketika cahaya Matahari diuraikan.[9] Pada tahun 1860, fisikawan Gustav Kirchhoff dan ahli kimia, Robert Bunsen, mengamati bahwa garis-garis gelap pada spektrum Matahari berhubungan dengan garis-garis terang pada spektrum gas yang diketahui, berhubungan dengan unsur kimia yang unik.[10] Kirchhoff menyimpulkan bahwa garis-garis gelap pada spektrum Matahari disebabkan oleh penyerapan unsur kimiawi di atmosfer Matahari. Dengan cara ini terbukti bahwa unsur kimia yang ditemukan di Matahari dan bintang juga ditemukan di Bumi.[11]

Pada tahun 1868, Norman Lockyer mempelajari garis-garis terang dan gelap dalam spektrum Matahari. Dia bekerja dengan ahli kimia Edward Frankland untuk menyelidiki spektrum unsur-unsur pada berbagai suhu dan tekanan tetapi tidak dapat menghubungkan garis kuning dalam spektrum Matahari dengan unsur-unsur yang telah diketahui saat itu.[12] Dia kemudian menyatakan garis tersebut mewakili elemen baru, disebut helium, dari bahasa Yunani Helios, dewa Matahari.[13]

Pada tahun 1885, Edward C. Pickering menjalankan program klasifikasi spektrum bintang di Harvard College Observatory,[11] di mana tim komputer wanita, terutama Williamina Fleming, Antonia Maury, dan Annie Jump Cannon, mengklasifikasikan spektrum yang terekam pada pelat fotografi.[14] Pada tahun 1890, tersusun katalog lebih dari 10.000 bintang yang dikelompokkan ke dalam tiga belas jenis spektral. Pada 1924, Cannon memperluas katalog menjadi sembilan volume dengan lebih dari 250 ribu bintang, mengembangkan Skema Klasifikasi Harvard yang digunakan di seluruh dunia pada tahun 1922.[11]

Pada tahun 1895, George Ellery Hale dan James E. Keeler, bersama dengan sepuluh rekan editor dari Eropa dan Amerika Serikat, mendirikan The Astrophysical Journal. Jurnal tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dalam jurnal dalam astronomi dan fisika, menyediakan tempat untuk publikasi artikel tentang aplikasi spektroskop dalam astronomi; penelitian laboratorium yang terkait erat dengan fisika astronomi; eksperimen pada radiasi dan absorpsi Matahari; teori Matahari, Bulan, planet, komet, meteor, dan nebula; dan instrumentasi untuk teleskop dan laboratorium.[15]

Sekitar 1920, saat diagram Hertzsprung-Russell masih digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan bintang dan evolusinya, Arthur Eddington mengantisipasi penemuan dan mekanisme proses fusi nuklir pada bintang dalam makalahnya The Internal Constitution of the Stars.[16] Pada saat itu, sumber energi bintang masih belum diketahui. Eddington dengan tepat berspekulasi bahwa sumbernya adalah fusi hidrogen menjadi helium, melepaskan energi yang sangat besar memenuhi persamaan Einstein . Ini adalah sebuah terobosan baru karena pada saat itu reaksi nuklir belum sepenuhnya diketahui.[17]

Pada tahun 1925, Cecilia Payne-Gaposchkin menulis disertasi doktoral di Radcliffe College. Dia menerapkan teori ionisasi pada atmosfer bintang untuk menghubungkan kelas spektral dengan suhu bintang.[18] Dia mendapati bahwa hidrogen dan helium adalah penyusun utama sebuah bintang. Namun, pada saat tesisnya diterbitkan, Henry Norris Russell dari Universitas Princeton meyakinkan Payne bahwa kesimpulannya pasti salah. Russell kemudian mempelajari temuan Payne selama empat tahun, dan dalam Astrophysical Journal edisi Juli 1929 menyatakan bahwa penemuan Payne tidak dapat diragukan.[19]

Pada akhir abad ke-20, studi tentang spektrum astronomi telah meluas hingga mencakup panjang gelombang yang membentang dari gelombang radio hingga panjang gelombang optik, x-ray, dan gamma.[20] Pada abad ke-21, teori ini diperluas dengan memasukkan pengamatan berdasarkan gelombang gravitasi.[21]

Metode studi

[sunting | sunting sumber]

Astrofisika teoretis

[sunting | sunting sumber]

Astrofisika teoretis mencakup model analitis dan simulasi numerik komputasi. Model analitis umumnya lebih baik untuk memberikan wawasan inti tentang objek yang sedang diamati sementara model numerik dapat mengungkapkan keberadaan fenomena dan efek yang tidak terlihat.[22]

Astrofisika observasional

[sunting | sunting sumber]

Pengamatan jarak jauh mengakibatkan penelitian Astrofisika tidak dapat dilakukan dalam lingkungan terkendali dan bergantung pada fenomena yang terjadi di alam. Informasi didapat dari radiasi elektromagnetik yang dikumpulkan oleh instrumen astronomi.[23]

  1. ^ Maoz 2016, hlm. 1.
  2. ^ Lloyd, G. E. R. (Geoffrey Ernest Richard) (1968). Aristotle : the growth and structure of his thought. Internet Archive. London : Cambridge University Press. hlm. 134. ISBN 978-0-521-07049-2. But the region of the heavenly bodies, from the moon to the outermost circle of the fixed stars, is constituted not by any of these four elements singly or in any combination, but by a fifth element, aither, which has the property of moving naturally in a circle. 
  3. ^ Plato; Cornford, Francis M. (1997). Plato's Cosmology: The Timaeus of Plato (dalam bahasa Inggris). Hackett Publishing. hlm. 118. ISBN 978-0-87220-386-0. 
  4. ^ Galilei, Galileo (1610). Sidereus Nuncius [Sidereal Messenger] (PDF). Diterjemahkan oleh Helden, Albert Van. Venice. hlm. 13. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-05-13. Diakses tanggal 2020-10-31. By oft-repeated observations of them we have been led to the conclusion that we certainly see the surface of the Moon to be not smooth, even, and perfectly spherical, as the great crowd of philosophers have believed about this and other heavenly bodies, but, on the contrary, to be uneven, rough, and crowded with depressions and bulges. And it is like the face of the Earth itself, which is marked here and there with chains of mountains and depths of valleys. 
  5. ^ Slowik, Edward (2017). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2017 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University. "It is obvious that when God first created the world, He not only moved its parts in various ways, but also simultaneously caused some of the parts to push others and to transfer their motion to these others. So in now maintaining the world by the same action and with the same laws with which He created it, He conserves motion; not always contained in the same parts of matter, but transferred from some parts to others depending on the ways in which they come in contact."
  6. ^ Bricker, Phillip; Hughes, Professor of Philosophy R. I. G.; Hughes, R. I. G.; Hughes, R. I. (1990). Philosophical Perspectives on Newtonian Science (dalam bahasa Inggris). MIT Press. hlm. 140. ISBN 978-0-262-02301-6. 
  7. ^ Case, Stephen (2015-10-02). "'Land-marks of the universe': John Herschel against the background of positional astronomy". Annals of Science. 72 (4): 417–434. doi:10.1080/00033790.2015.1034588. ISSN 0003-3790. PMID 26221834. The great majority of astronomers working in the early nineteenth century were not interested in stars as physical objects. Far from being bodies with physical properties to be investigated, the stars were seen as markers measured in order to construct an accurate, detailed and precise background against which solar, lunar and planetary motions could be charted, primarily for terrestrial applications. 
  8. ^ Kolesnikova Tasha (2023-07-17). "The Difference Between Astronomy and Astrophysics". studybay.com. 
  9. ^ Hearnshaw, J. B. (1990-04-19). The Analysis of Starlight: One Hundred and Fifty Years of Astronomical Spectroscopy (dalam bahasa Inggris). CUP Archive. hlm. 23, 27. ISBN 978-0-521-39916-6. 
  10. ^ "Robert Bunsen and Gustav Kirchhoff". Science History Institute (dalam bahasa Inggris). 1 Mei 2016. Diakses tanggal 31 Oktober 2020. 
  11. ^ a b c "Spectroscopy and the Birth of Astrophysics (Cosmology: Tools)". history.aip.org. Diakses tanggal 31 Oktober 2020. 
  12. ^ Cortie, A. L. (1921-05-01). "Sir Norman Lockyer, 1836-1920". The Astrophysical Journal. 53: 237. doi:10.1086/142602. 
  13. ^ Jensen, William B. (2004-07-01). "Why Helium Ends in "-ium"". Journal of Chemical Education. 81 (7): 944. doi:10.1021/ed081p944. ISSN 0021-9584. As a result, Lockyer concluded that it belonged to a unknown element for which the name “helium” (from the Greek, helios, meaning “sun”) was contrived. 
  14. ^ November 2016, Elizabeth Howell 12. "Annie Jump Cannon: 'Computer' Who Classified the Stars". Space.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-31. 
  15. ^ Hale, George E. (1895-01-01). "The Astrophysical Journal". The Astrophysical Journal. 1 (1): 81–82. doi:10.1086/140011. 
  16. ^ Eddington, A. S. (1920-09-10). "The Internal Constitution of the Stars". Science (dalam bahasa Inggris). 52 (1341): 233–240. doi:10.1126/science.52.1341.233. ISSN 0036-8075. PMID 17747682. This remarkable condition has been made known through the researches of H. N. Russell and E. Hertzsprung; the way in which their conclusions, which ran counter to the prevailing thought of the time, have been substantiated on all sides by overwhelming evidence, is the outstanding feature of recent progress in stellar astronomy. (...) As this diffuse mass of gas contracts its temperature must rise, a conclusion long ago pointed out by Homer Lane. The rise continues until the star becomes too dense, and ceases to behave as a perfect gas. A maximum temperature is attained, depending on the mass, after which the star, which has now become a dwarf, cools and further contracts. Thus each temperature-level is passed through twice, once in an ascending and once in a descending stage-once as a giant, once as a dwarf. Temperature plays so predominant a part in the usual spectral classification that the ascending and descending stars were not originally discriminated, and the customary classification led to some perplexities. The separation of the two series was discovered through their great difference in luminosity, particularly striking in the case of the red and yellow stars, where the two stages fall widely apart in the star's history. 
  17. ^ McCracken, Garry; Stott, Peter (2013-01-01). McCracken, Garry; Stott, Peter, ed. Fusion (Second Edition) (dalam bahasa Inggris). Boston: Academic Press. hlm. 13. doi:10.1016/b978-0-12-384656-3.00002-7. ISBN 978-0-12-384656-3. Eddington had realized that there would be a mass loss if four hydrogen atoms combined to form a single helium atom. Einstein’s equivalence of mass and energy led directly to the suggestion that this could be the long-sought process that produces the energy in the stars! It was an inspired guess, all the more remarkable because the structure of the nucleus and the mechanisms of these reactions were not fully understood. 
  18. ^ Payne, C. H. (1925). Stellar Atmospheres; a Contribution to the Observational Study of High Temperature in the Reversing Layers of Stars (Tesis PhD). p. iv. http://articles.adsabs.harvard.edu//full/1925PhDT.........1P/0000001,009.html. 
  19. ^ Glorfeld, Jeff (9 Mei 2018). "This week in science history: The woman who found hydrogen in the stars is born". Cosmos Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 31 Oktober 2020. 
  20. ^ Biermann, Peter L.; Falcke, Heino (1998-02-05). "Frontiers of Astrophysics—Workshop summary". AIP Conference Proceedings. 423 (1): 236–248. doi:10.1063/1.55085. ISSN 0094-243X. Since the highlights of early 1997 were the first detection of a redshift and the optical and X-ray afterglows of gamma-ray bursts, as well as the first well-documented flares of TeV-Blazars across a large fraction of the electromagnetic spectrum, we will concentrate on these topics. 
  21. ^ Sathyaprakash, B. S.; Schutz, Bernard F. (2009-12-01). "Physics, Astrophysics and Cosmology with Gravitational Waves". Living Reviews in Relativity (dalam bahasa Inggris). 12 (1): 110. doi:10.12942/lrr-2009-2. ISSN 1433-8351. PMC 5255530alt=Dapat diakses gratis. PMID 28163611. 
  22. ^ Van Nostrand's Scientific Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). American Cancer Society. 2006. hlm. 5. doi:10.1002/0471743984.vse8722. ISBN 978-0-471-74398-9. Theoretical astrophysicists use a wide variety of tools which include analytical models (for example, polytropes to approximate the behaviors of a star) and computational numerical simulations. Each has some advantages. Analytical models of a process are generally better for giving insight into the heart of what is going on. Numerical models can reveal the existence of phenomena and effects that would otherwise not be seen. 
  23. ^ Lena, Pierre; Lebrun, Francois; Mignard, Francois (2013-03-09). Observational Astrophysics (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. hlm. 1–2. ISBN 978-3-662-03685-3. 

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]