Lompat ke isi

Hudud

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hudud (bahasa Arab: حدود, translit. Ḥudūd, har. 'batasan') diartikan memisahkan sesuatu agar tidak tercampur dengan yang lain.[1] Bentuk tunggal dari kata ini, yakni Had juga ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.[2] Turunan dari kata Had, yakni menghadkan diartikan menentukan batasnya supaya tidak melebihi jumlah, ukuran, dan sebagainya; membatasi.[3]

Di dalam Al-Qur'an, telah banyak hukuman atas had yang ditetapkan. Pencurian adalah dipotong tangannya.[4] Perampokan dan perusuhan (hirabah) mendapat had dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kakinya, atau dibuang dari negeri kediamannya.[5] Hubungan seksual terlarang (zina) adalah kedua pelaku masing-masing dihukum seratus kali dera.[6] Menuduh perempuan baik melakukan zina tanpa mendatangkan empat saksi (qadzaf) dihukum delapan puluh kali dera dan kesaksian pelaku tidak dapat diterima selama-lamanya.[7] Hadis juga berfungsi dalam menetapkan hukuman atas had yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an, contohnya adalah had meminum-minuman keras dimana Al-Quran hanya memerintahkan untuk menjauhinya.[8]

Had dan Hukuman

[sunting | sunting sumber]
  • Pencurian (sariqah). Dihukum potong tangan.[4]
  • Perampokan (hirabah) dan merusak bumi (mufsidun fil-ard). Dihukum dengan penyaliban, dibunuh dengan cara lain, dipotong tangan dan kakinya, atau dibuang.[5] Mazhab berbeda pendapat tentang penerapan hukuman, namun mayoritas mengatakan bahwa hakim memutuskan hukuman berdasar seberapa berat derita korban.[butuh rujukan]
  • Pemberontakan (bughat). Menentang khalifah yang sah akan mendapat perundingan terlebih dahulu. Jika masih menentang maka diperbolehkan untuk melawan dan membunuh pemberontak.[9]
  • Keluar dari agama Islam (riddah). Dihukum mati dalam kebanyakan mazhab.[10][11]
  • Hubungan seksual terlarang (zina). Dihukum seratus kali dera jika belum menikah (gairu muhsan)[6] dan dilempari batu sampai mati (rajam) jika sudah menikah (muhsan).[12][13]
  • Tuduhan zina tidak berdasar (qadzaf). Dihukum delapan puluh kali dera dan kesaksian pelaku tidak akan diterima selama-lamanya.[7]
  • Minum minuman keras (syurb al-khamr). Dihukum empat puluh atau delapan puluh kali dera tergantung mazhab.[14]

Pembunuhan, cedera dan kerusakan properti bukan merupakan bagian dari tindakan yang mendapat had dalam Hukum Pidana Islam (jinayat), dan dimasukkan dalam kategori lain dari hukum pidana Islam, yaitu:

  • Pembalasan (qisas).
  • Kompensasi finansial (diyat).
  • Hukuman keputusan hakim (ta'zir)

Syarat Penetapan Hukuman

[sunting | sunting sumber]

Dalam kebanyakan mazhab, hukum rajam atau dera dapat dikenakan kepada pelaku zina apabila terbukti dengan cara empat laki-laki dewasa pertama menyaksikan hubungan seksual dengan yakin pada waktu yang sama atau pelaku mengaku.[15][16]

Jika seseorang menuduh perempuan yang baik berbuat zina dan tidak mendatangkan empat saksi Muslim dengan kesaksian konsisten atau jika para saksi tidak memberikan kesaksian konsisten, maka barulah hukum delapan puluh kali dera ditetapkan sebagai hukuman atas melanggar had qadzaf.[17]

Imam Malik sebagai pencetus mazhab Maliki, telah mencatatkan dengan rinci dalam Muwatta Malik kapan pencurian diterapkan hukum potong tangan atau tidak. Yusuf Ali dalam menafsirkan Al-Quran mengatakan bahwa kebanyakan ulama berpendapat pencurian kecil dibebaskan dari hukuman tersebut dan hanya satu tangan yang harus dipotong saat pencurian pertama.[18] Taqiyuddin as-Subki menfatwakan untuk kesepakatan penerapan hukuman terhadap had pencurian sebagai berikut:

  1. Diambil dari tempat yang aman (hirz) dan tidak memiliki akses sehari-hari ke tempat tersebut;
  2. Bukan rampasan perang (mughannam);
  3. Pelakunya Muslim yang merdeka, baligh dan berakal, sendiri dalam mengambil dengan tangan tanpa menggunakan alat. Dia tidak mabuk atau dalam keadaan sadar, bukan karena kemiskinan, tanpa paksaan.
  4. Tidak berada di Al-Haram, Mekkah atau Darul Harbi.
  5. Bukan milik istri jika pelakunya pria atau milik suami jika pelakunya perempuan, bukan pula milik orang yang ada hubungan kekerabatan.
  6. Barang yang dicuri harus jelas kepemilikannya dan bisa dijual kepada Muslim.
  7. Barang yang dicuri bukan: daging, hewan sembelihan, sesuatu yang bisa dimakan atau diminum, unggas atau hewan buruan, anjing atau kucing, kotoran hewan atau manusia, oker merah (maghara), arsenik (zirnīkh), kerikil, bebatuan, kaca, arang, kayu bakar, alang-alang (qaṣab), kayu, buah, keledai atau hewan gembalaan, salinan Al-Quran, tanaman yang ditarik dari akarnya atau hasil taman dinding, pohon atau orang merdeka. Jika yang dicuri adalah budak: budak tersebut bisa bicara dan berakal, tidak melawan sebelum dipindahkan ke tempat yang sebelumnya tidak diizinkan dari tempat amannya dengan tangan pelaku sendiri, disaksikan oleh dua laki-laki yang akan dan tidak menolak untuk hadir di persidangan dan tidak mengurungkan kesaksian mereka.
  8. Korban pencurian tidak memberikan barang curian sebagai hadiah, hadir di persidangan dan mengklaim barang curian.
  9. Pelaku pencurian tidak menjadi pemilik sah barang setelah mencuri dan tidak mengembalikan barang curiannya maupun mengklaim dan pelaku pencurian tidak menagih hutang seharga barang curian.
  10. Pelaku pencurian memiliki tangan kiri atau kaki yang sehat, atau tidak kehilangan anggota badan.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ ibn Manzur, Muhammad ibn Mukram. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Sadir. hlm. 353. 
  2. ^ "had". Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Diakses tanggal 26 Januari 2021. 
  3. ^ "menghadkan". Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Diakses tanggal 26 Januari 2021. 
  4. ^ a b Q.S. al-Maidah[5]:38
  5. ^ a b Q.S. al-Maidah[5]:33
  6. ^ a b Q.S. an-Nur[24]:2
  7. ^ a b Q.S. an-Nur[24]:4
  8. ^ Q.S. al-Maidah[5]:90
  9. ^ Q.S. al-Hujurat[49]:9
  10. ^ Peters & De Vries (1976), Apostasy in Islam, Die Welt des Islams, Vol. 17, Issue 1/4, pp 1-25
  11. ^ J Rehman (2010), "Freedom of expression, apostasy, and blasphemy within Islam: Sharia, criminal justice systems, and modern Islamic state practices", Criminal Justice Matters, 79(1), pp. 4-5, DOI:10.1080/09627250903569841
  12. ^ Julie Chadbourne (1999), Never wear your shoes after midnight: Legal trends under the Pakistan Zina Ordinance, Wisconsin International Law Journal, Vol. 17, pp. 179-234
  13. ^ Reza Aslan (2004), "The Problem of Stoning in the Islamic Penal Code: An Argument for Reform", UCLA Journal of Islamic and Near East Law, Vol 3, No. 1, pp. 91-119
  14. ^ Bassiouni, M. Cherif (1997). "Crimes and the Criminal Process". Arab Law Quarterly. 12 (3): 269–286. 
  15. ^ Z. Mir-Hosseini (2011), Criminalizing sexuality: zina laws as violence against women in Muslim contexts, SUR-International Journal on Human Rights, 8(15), pp 7-33
  16. ^ Camilla Adang (2003), Ibn Hazam on Homosexuality, Al Qantara, Vol. 25, No. 1, pp. 5-31
  17. ^ A. Quraishi (1999), Her honour: an Islamic critique of the rape provisions in Pakistan's ordinance on zina, Islamic studies, Vol. 38, No. 3, pp. 403-431
  18. ^ Ali, Abdullah Yusuf (2004). The Meaning Of The Holy Qur'an (11th Edition). Amana Publications. hlm. 259. ISBN 1-59008-025-4.