Filsafat budi (gabungan dari filsafat budi) adalah cabang filsafat analitik modern yang mempelajari sifat dasar budi,[a] peristiwa budi, fungsi budi, properti budi, kesadaran, dan hubungannya dengan tubuh fisik, terutama otak. Masalah budi-tubuh, yaitu hubungan antara budi dengan tubuh, biasanya dipandang sebagai masalah utama dalam filsafat budi, meskipun masih ada masalah-masalah lain yang tidak terkait dengan hal tersebut.[2]

Pemetaan otak frenologis.[1] Frenologi adalah salah satu usaha untuk mengaitkan fungsi-fungsi budi dengan bagian-bagian otak, walaupun kini frenologi dianggap tidak akurat.

Dualisme dan monisme adalah dua mazhab utama yang mencoba menyelesaikan masalah budi-tubuh. Dualisme dapat ditilik kembali ke masa Plato,[3] Aristoteles[4][5][6] dan mazhab Samkhya dan Yoga dalam filsafat Hindu,[7] namun gagasan tersebut persisnya dirumuskan oleh René Descartes pada abad ke-17.[8] Pendukung dualisme substansi menyatakan bahwa budi adalah substansi yang berdiri sendiri, sementara penganut dualisme properti meyakini bahwa budi adalah kelompok properti independen yang muncul dari dan tidak bisa direduksi ke otak, tetapi budi bukan merupakan substansi yang berbeda.[9]

Monisme adalah pandangan bahwa budi dan tubuh bukan merupakan entitas yang terpisah secara ontologis. Pandangan ini pertama kali dianjurkan dalam filsafat Barat oleh Parmenides pada abad ke-5 SM dan selanjutnya dianut oleh tokoh rasionalis Baruch Spinoza pada abad ke-17.[10] Fisikalisme menyatakan bahwa hanya entitas yang didalilkan oleh teori fisik yang ada, dan entitas budi akhirnya akan dijelaskan seiring dengan berkembangnya teori fisik. Idealis meyakini bahwa budi adalah semua yang ada dan dunia luar merupakan budi itu sendiri, atau ilusi yang diciptakan oleh budi. Pendukung monisme netral bersandar pada pandangan bahwa ada substansi lain yang netral, dan baik materi maupun budi merupakan properti substansi yang tak dikenal ini. Monisme yang paling umum pada abad ke-20 dan ke-21 merupakan variasi fisikalisme; posisi-posisi tersebut meliputi behaviourisme, teori identitas tipe, monisme ganjil dan fungsionalisme.[11]

Sebagian besar filsuf budi modern menerapkan pandangan fisikalis reduktif atau non-reduktif, bahwa budi bukanlah sesuatu yang terpisah dari tubuh.[11] Pendekatan tersebut telah memengaruhi ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sosiobiologi, ilmu komputer, psikologi evolusioner, dan neurosains.[12][13][14][15] Filsuf-filsuf lain meyakini pandangan non-fisikalis yang mempertanyakan gagasan bahwa budi murni merupakan konsepsi fisik. Fisikalis reduktif menegaskan bahwa semua keadaan dan properti budi pada akhirnya akan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.[16][17][18] Fisikalis non-reduktif bersikukuh bahwa meskipun otak ada untuk budi, predikat dan khazanah yang digunakan dalam penjelasan-penjelasan budi sangat diperlukan, dan tidak dapat disusutkan ke bahasa dan penjelasan ilmu fisik dalam tingkatan yang lebih rendah.[19][20] Perkembangan ilmu neurosains telah membantu memastikan masalah-masalah tersebut, tetapi masalah itu masih jauh dari selesai, dan filsuf-filsuf modern terus bertanya bagaimana kualitas subjektif dan intensionalitas keadaan dan properti budi dapat dijelaskan secara naturalistik.[21][22]

Masalah budi-tubuh

sunting

Masalah budi-tubuh berhubungan dengan penjelasan hubungan antara budi atau proses budi dengan tubuh atau proses tubuh.[2] Tujuan utama filsuf yang berkelut dalam bidang ini adalah menentukan sifat dasar budi dan keadaan/proses budi, dan bagaimana — atau jika — budi dipengaruhi oleh dan dapat memengaruhi tubuh.

Pengalaman persepsi kita bergantung kepada stimuli yang muncul dari dunia luar ke sistem indra, dan stimuli tersebut mengakibatkan perubahan pada keadaan budi kita, bahkan akhirnya menimbulkan sensasi pada diri kita, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Contohnya, keinginan untuk memperoleh sebungkus nasi liwet akan mengakibatkan seseorang menggerakan tubuhnya dengan sikap tertentu dan arah tertentu untuk memperoleh apa yang ia mau. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengalaman di alam sadar muncul dari gumpalan materi abu-abu yang disertai oleh properti-properti elektrokimia?[11]

Masalah lain yang berhubungan adalah bagaimana sikap proposisional (misalnya kepercayaan dan keinginan) mengakibatkan neuron seseorang mengirimkan pesan (impuls) dan ototnya berkontraksi. Hal tersebut menjadi teka teki yang menantang epistemolog dan filsuf budi dari masa René Descartes.[8]

Penyelesaian dualis untuk masalah budi-tubuh

sunting
 
Potret René Descartes yang dilukis oleh Frans Hals (1648).

Dualisme adalah pandangan tentang hubungan antara budi dan materi (atau tubuh). Pandangan tersebut dimulai dengan klaim bahwa fenomena budi bersifat non-fisik.[9] Perumusan dualisme budi-tubuh dapat ditilik kembali ke masa mazhab Samkhya dan Yoga pada filsafat Hindu (c. 650 SM). Menurut mazhab tersebut, dunia terbagi menjadi purusha (budi/jiwa) dan prakriti (substansi materi).[7] Secara khusus, Sutra Yoga dari Patanjali menggunakan pendekatan analitik terhadap budi.

Dalam filsafat Barat, perbincangan pertama mengenai gagasan dualis dapat ditemui dalam tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Masing-masing meyakini, dengan alasan yang berbeda, bahwa "kecerdasan" manusia (kemampuan budi atau jiwa) tidak dapat dikenali dengan, atau dijelaskan dalam ranah tubuh fisik mereka.[3][4] Versi dualisme yang paling dikenal digagas oleh René Descartes (1641). Ia meyakini bahwa budi adalah substansi non-fisik, sebuah "res cogitans".[8] Descartes adalah orang pertama yang dengan jelas mengidentifikasi budi dengan kesadaran, dan mampu memisahkannya dari otak, yang merupakan tempat bermukimnya kecerdasan. Maka ia adalah orang pertama yang merumuskan masalah budi-tubuh dalam bentuk yang masih ada hingga kini.[8]

Argumen untuk dualisme

sunting

Argumen yang paling sering digunakan untuk mendukung dualisme adalah bahwa pandangan tersebut sesuai dengan intuisi berakal sehat bahwasanya pengalaman di alam sadar berbeda dengan materi tidak bernyawa. Apabila ditanya apa itu budi, orang awam akan menjawab bahwa budi itu adalah diri mereka, kepribadian mereka, jiwa mereka, atau entitas lainnya yang sejenis. Mereka akan menentang bahwa budi itu otak, atau sebaliknya, sehingga gagasan bahwa hanya ada satu entitas ontologis itu terlalu mekanistik, atau tidak dapat dipahami.[9] Banyak filsuf-filsuf budi modern meyakini bahwa intuisi-intuisi tersebut menyesatkan dan kita harus menggunakan kemampuan kritis kita, ditambah dengan bukti empiris dari ilmu pengetahuan, untuk memeriksa asumsi-asumsi tersebut agar kita dapat menentukan apakah pada gagasan-gagasan tersebut mempunyai dasar yang kuat.[9]

Argumen penting lain adalah bahwa budi dan fisik tampaknya cukup berbeda, dan mungkin merupakan properti yang tidak dapat direkonsiliasi.[23] Peristiwa budi mempunyai sifat subjektif, sementara sifat fisik tidak. Contohnya, seseorang dapat bertanya bagaimana rasanya jari terbakar, atau seperti apa langit biru itu, atau seperti apa lagu yang bagus bagi seseorang. Sebaliknya, sangatlah tidak berarti, atau paling tidak aneh, untuk mempertanyakan bagaimana rasanya menerima asam glutamat pada bagian dorsolateral hipokampus.

Berdasarkan argumen dari alasan, apabila (seperti yang disiratkan monisme) semua pemikiran kita adalah akibat dari sebab fisik, maka kita tidak bisa mengasumsikan bahwa pemikiran kita juga merupakan akibat dari alasan yang masuk akal. Pengetahuan, bagaimanapun, dipahami melalui penalaran dari alasan ke akibat. Maka, apabila monisme benar, tidak ada jalan untuk mengetahui hal tersebut - atau hal lain yang bukan merupakan akibat langsung dari sebab fisik - dan kita bahkan tidak bisa memisalkannya.

Filsuf-filsuf budi menyebut aspek-aspek subjektif peristiwa budi sebagai 'qualia' atau 'perasaan mentah'.[23] Ada sesuatu pada hal seperti merasakan sakit, melihat warna biru yang lazim, dan sebagainya. Qualia terlibat dalam peristiwa-peristiwa budi ini, sehingga sulit untuk menyusutkannya ke dalam apapun yang bersifat fisik.[24]

 
Daniel Dennett merupakan salah seorang filsuf yang tidak setuju dengan argumen zombi.

Apabila keberadaan kesadaran (budi) terpisah dari realitas fisik (otak), kaitan kesadaran dengan ingatan fisik harus dijelaskan. Dualisme harus menjelaskan bagaimana kesadaran memengaruhi realitas fisik. Arnold Geulincx dan Nicolas Malebranche menjelaskan bahwa itu semua berasal dari keajaiban, bahwa hubungan antara budi dengan tubuh membutuhkan campur tangan langsung dari Tuhan. Penjelasan lain yang mungkin telah diusulkan oleh C. S. Lewis. Pandangan yang mirip dianut oleh Albert Einstein, yang meyakini pengolahan kesan yang ditangkap indra oleh budi sebagai suatu keajaiban.[25] Meskipun pada masa ia menulis karyanya yang bertajuk "Miracle"[26] mekanika kuantum (dan indeterminisme fisik) belum banyak diterima, Lewis menyatakan kemungkinan logis bahwa jika dunia fisik terbukti indeterministik, maka ada kemungkinan bahwa peristiwa yang mungkin/tidak mungkin terjadi secara fisik yang telah dideskripsikan secara ilmiah dapat dideskripsikan secara filosofis sebagai tindakan entitas non-fisik terhadap realitas fisik.

Argumen zombi didasarkan pada percobaan pikiran yang diusulkan oleh Todd Moody, dan dikembangkan oleh David Chalmers dalam bukunya The Conscious Mind. Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang dapat membayangkan tubuhnya, dan lalu sebagai akibatnya dapat memikirkan keberadaan tubuhnya tanpa ada hubungannya dengan kesadaran. Chalmers berargumen bahwa yang-ada semacam itu sangat mungkin ada karena yang dibutuhkan adalah semua dan hanya deskripsi-deskripsi sains fisik yang benar mengenai sebuah zombi. Peralihan dari kemungkinan dibayangkan menjadi kemungkinan keberadaan itu tidak besar karena konsep-konsep dalam sains fisik tidak mengacu pada kesadaran atau keadaan budi lainnya, dan secara definitif entitas fisik manapun dapat dideskripsikan secara ilmiah melalui fisika.[27] Filsuf lain seperti Daniel Dennett menentang gagasan ini dan menyebutnya tidak koheren[28] atau tidak mungkin.[29] Dalam fisikalisme, seseorang harus meyakini antara bahwa ia dan orang lainnya mungkin adalah zombi, atau bahwa tidak ada orang yang bisa menjadi zombi; karena keyakinan seseorang dalam menjadi (atau tidak menjadi) zombi merupakan produk dunia fisik dan maka tidak berbeda dengan yang lain. Argumen ini telah diungkapkan oleh Dennett yang menyatakan bahwa "Zombi berpikir bahwa mereka sadar, berpikir bahwa mereka punya qualia, berpikir bahwa mereka menderita karena rasa sakit; mereka hanya 'salah' (berdasarkan tradisi yang patut disayangkan ini) dengan cara yang tidak dapat ditemukan oleh mereka maupun kita!" [28]

Dualisme interaksionis

sunting
 
Ilustrasi René Descartes tentang dualisme. Input masuk melalui organ sensoris ke otak untuk kemudian dilanjutkan ke bagian non-materi.

Dualisme interaksionis atau interaksionisme adalah bentuk dualisme yang pertama kali didukung oleh Descartes dalam tulisannya yang berjudul Meditations.[8] Pada abad ke-20, pendukung utamanya adalah Karl Popper dan John Carew Eccles.[30] Dualisme interaksionis adalah pandangan bahwa keadaan budi, seperti keyakinan dan hasrat, berinteraksi dengan keadaan fisik.[9]

Argumen Descartes yang terkenal dapat dirangkum sebagai berikut: Inem punya gagasan yang "jelas dan berbeda" bahwa budi merupakan suatu benda budi yang tidak punya ruang (contohnya tak dapat diukur panjang, massa dan tingginya). Ia juga punya gagasan yang "jelas dan berbeda" bahwa tubuh itu punya ruang, bisa dikuantifikasi, dan tidak dapat berpikir. Maka budi dan tubuh tidak sama karena properti-propertinya sangat berbeda.[8]

Namun, pada saat yang sama, jelas bahwa keadaan budi Inem (hasrat, keyakinan, dll) memengaruhi tubuhnya dan sebaliknya: Inem menyentuh kompor panas (peristiwa fisik) yang mengakibatkan rasa sakit (peristiwa budi) dan membuatnya berteriak (peristiwa fisik), yang lalu memunculkan rasa takut dan hati-hati (peristiwa budi), dan lain-lain.

Argumen Descartes sangat bergantung kepada premis bahwa apa yang diyakini Inem sebagai gagasan yang "jelas dan berbeda" di budinya itu benar. Banyak filsuf kontemporer yang meragukannya.[31][32][33] Contohnya, Joseph Agassi menyatakan bahwa semenjak abad ke-20, penemuan-penemuan ilmiah telah mengacaukan gagasan mengenai akses istimewa terhadap gagasan seseorang. Freud telah menunjukkan bahwa pengamat yang dilatih secara psikologis dapat lebih memahami motivasi bawah sadar seseorang daripada orang itu sendiri. Duhem telah membuktikan bahwa filsuf sains dapat lebih mengetahui metode penemuan seseorang daripada orang itu sendiri, sementara Malinowski telah menunjukkan bahwa seorang antropolog dapat lebih mengetahui adat dan perilaku seseorang daripada orang yang memraktikkan adat dan perilakunya. Agassi juga menekankan bahwa percobaan psikologis modern yang mengakibatkan orang-orang melihat hal yang tidak ada merupakan dasar untuk menolak argumen Descartes karena ilmuwan dapat lebih mendeskripsikan persepsi seseorang daripada orang itu sendiri.[34][35] Akan tetapi, kritik ini punya titik lemah karena meremehkan kemampuan introspeksi manusia. Memang benar bahwa orang melakukan kesalahan di dunia, tetapi mereka tidak selalu melakukan kesalahan. Maka, mengasumsikan bahwa seseorang selalu salah mengenai keadaan dan sifat budinya sendiri merupakan sesuatu yang menggelikan.

Ragam dualisme lainnya

sunting
 
Empat macam dualisme. Panah menunjukkan arah interaksi sebab-musabab. Okasionalisme tidak digambarkan.
  1. Paralelisme psikofisik atau paralelisme adalah pandangan bahwa budi dan tubuh tidak memengaruhi satu sama lain meski mempunyai status ontologis yang berbeda. Properti-properti tersebut malah berjalan dalam jalur paralel (peristiwa budi berinteraksi dengan peristiwa budi dan peristiwa otak berinteraksi dengan peristiwa otak) dan interaksi yang tampak antara budi dan tubuh itu hanya ilusi.[36] Pandangan ini didukung oleh Gottfried Leibniz. Meski Leibniz adalah seorang monis ontologis yang meyakini bahwa hanya ada satu jenis substansi saja (monad) di alam semesta, dan bahwa semuanya dapat disusutkan ke monad, ia menyatakan bahwa ada pemisahan antara "budi" dan "fisik" dalam ranah sebab-musabab. Menurutnya, Tuhan telah mengatur hal-hal sedemikian rupa sehingga budi dan tubuh akan saling seirama. Pendapat ini dikenal sebagai doktrin harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya (harmonie préétablie).[37]
  2. Okasionalisme adalah pandangan yang dikemukakan oleh Nicholas Malebranche. Menurutnya, semua hubungan sebab-musabab antara peristiwa-peristiwa fisik, atau antara peristiwa fisik dengan budi, tidak sungguh merupakan sebab-musabab. Meski tubuh dan budi merupakan substansi yang berbeda, sebab (Baik fisik maupun budi) berkaitan dengan akibat karena intervensi Tuhan di setiap peristiwa.[38]
  3. Dualisme properti adalah pandangan yang menyatakan bahwa dunia ini hanya terdiri dari satu substansi saja - yang fisik - dan ada dua macam properti yang berbeda: properti fisik dan budi. Dalam kata lain, berdasarkan pandangan ini, properti budi yang non-fisik (seperti kepercayaan, hasrat dan emosi) menjadi bagian dari substansi fisik tertentu (misalnya otak).
    1. Emergentisme kuat menekankan bahwa saat materi diatur dengan cara yang tepat (contohnya pengaturan tubuh manusia), properti budi akan muncul. Maka, pandangan ini merupakan salah satu bentuk materialisme emergen.[9] Properti-properti emergen tersebut akan punya status ontologis yang independen dan tak dapat disusutkan ke, atau dijelaskan dalam ranah substrat fisik tempat mereka muncul.
    2. Epifenomenalisme adalah doktrin yang dirumuskan oleh Thomas Henry Huxley.[39] Menurutnya, fenomena budi itu tak berguna secara kausal; satu atau banyak keadaan budi tidak memengaruhi keadaan fisik sama sekali. Peristiwa fisik dapat mengakibatkan peristiwa fisik lain dan peristiwa fisik dapat mengakibatkan peristiwa budi, tetapi peristiwa budi tak dapat mengakibatkan apa-apa karena mereka hanya epifenomena dunia fisik.[36] Pandangan ini didukung oleh Frank Jackson.[40]
    3. Fisikalisme non-reduktif adalah pandangan yang meyakini bahwa properti budi membentuk kelas ontologis yang terpisah dari properti fisik: keadaan budi (seperti qualia) tidak dapat disusutkan ke keadaan fisik. Posisi ontologis terhadap qualia dalam kasus fisikalisme non-reduktif tidak menunjukkan bahwa qualia itu tidak berguna secara kausal; inilah yang membedakannya dari epifenomenalisme.
    4. Panpsikisme adalah posisi yang meyakini bahwa semua materi punya aspek budi, atau (alternatifnya) semua objek punya pusat pengalaman atau sudut pandang yang bersatu. Secara dangkal, pandangan ini seolah merupakan salah satu bentuk dualisme properti karena pandangan ini menganggap semuanya punya properti budi dan fisik. Akan tetapi, beberapa pendukung panpsikisme menyatakan bahwa perilaku mekanis itu berasal dari mentalitas atom dan molekul primitif - begitu pula mentalitas mutakhir dan perilaku organik, dan perbedaannya dikaitkan dengan keberadaan atau ketidakberadaan struktur kompleks dalam objek campuran. Selama reduksi properti non-budi menjadi budi berlangsung, panpsikisme bukanlah bentuk dualisme properti (kuat); jika tidak, panpsikisme merupakan bentuk dualisme properti.

Penyelesaian monis untuk masalah budi-tubuh

sunting

Monisme berlawanan dengan dualisme karena tidak mendukung pemisahan manapun. Sifat realitas yang tidak terpisah telah menjadi perhatian filsuf-filsuf timur selama dua milenium. Di India dan Tiongkok, monisme melengkapi pemahaman mengenai pengalaman. Saat ini, bentuk monisme yang paling umum dalam filsafat Barat adalah fisikalis.[11] Monisme fisikalistik menekankan bahwa hanya substansi yang ada yang fisik dan hal tersebut dapat dipastikan oleh sains terbaik kita.[41] Namun, perumusan lain juga mungkin. Idealisme merupakan gagasan yang menyatakan bahwa satu-satunya substansi yang ada adalah budi. Meskin idealisme murni seperti yang dikemukakan oleh George Berkeley itu tidak umum dalam filsafat Barat, varian yang disebut panpsikisme, yang mengungkapkan bahwa pengalaman dan properti budi dapat menjadi fondasi pengalaman dan properti fisik, telah diutarakan oleh beberapa filsuf seperti Alfred North Whitehead dan David Ray Griffin.[42]

Fenomenalisme adalah teori yang mengungkapkan bahwa representasi objek eksternal adalah satu-satunya yang ada. Pandangan semacam ini sempat dianut oleh Bertrand Russell dan banyak positivis logis lainnya selama awal abad ke-20.[43] Kemungkinan ketiga adalah menerima keberadaan substansi dasar yang bukan fisik maupun budi. Budi dan fisik lalu akan menjadi properti substansi netral ini. Pandangan yang dikenal dengan nama monisme netral ini dikemukakan oleh Baruch Spinoza[10] dan dipopulerkan oleh Ernst Mach[44] pada abad ke-19.

Monisme fisikalistik

sunting

Behaviorisme

sunting

Behaviorisme mendominasi filsafat budi selama abad ke-20, terutama pada separuh awal.[11] Dalam psikologi, behaviorisme berkembang sebagai reaksi terhadap ketidakmampuan introspeksionisme.[41] Laporan introspektif terhadap kehidupan budi dalam seseorang bukanlah subjek penyelidikan keakuratan dan tak dapat digunakan untuk membentuk generalisasi prediktif. Tanpa generalisabilitas dan kemungkinan penyelidikan orang ketiga, para behavioris berargumen bahwa psikologi itu tidak ilmiah.[41] Maka, satu-satunya jalan keluar adalah menghapuskan gagasan kehidupan budi dalam (dan maka budi independen ontologis) dan memusatkan perhatian pada deskripsi perilaku yang dapat diamati.[45]

Sejalan dengan perkembangan tersebut, behaviorisme filosofis (kadang-kadang disebut behaviorisme logis) pun dikembangkan.[41] Pandangan tersebut berciri verifikasionisme kuat, yang biasanya menganggap pernyataan mengenai kehidupan budi dalam yang belum diverifikasi tidak masuk akal. Bagi para behavioris, keadaan budi bukanlah keadaan dalam tempat seseorang bisa membuat laporan introspektif. Keadaan budi hanyalah deskripsi perilaku atau disposisi untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu, yang dibuat oleh pihak ketiga untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku orang lain.[46]

Behaviorisme filosofis sudah tidak didukung semenjak akhir abad ke-20 karena bangkitnya kognitivisme.[2] Para kognitivis menolak behaviorisme karena beberapa masalah tertentu. Contohnya, behaviorisme dikatakan tidak intuitif karena menyatakan bahwa seseorang akan berbicara mengenai perilaku saat sedang mengalami sakit kepala yang menyakitkan.

Teori identitas

sunting

Fisikalisme tipe (atau teori identitas tipe) dikembangkan oleh John Smart[18] dan Ullin Place[47] sebagai tanggapan langsung terhadap kegagalan behaviorisme. Filsuf-filsuf tersebut menalar bahwa apabila keadaan budi merupakan sesuatu yang material, tetapi tidak behavioral, maka keadaan budi mungkin identik dengan keadaan internal otak. Sederhananya: keadaan budi M itu tidak lain daripada keadaan otak B. Keadaan budi "hasrat untuk secangkir kopi" tidak berbeda dengan "penembakan impuls oleh neuron tertentu di wilayah otak tertentu."[18]

 
Perbandingan teori identitas klasik dan monisme ganjil. Dalam teori identitas, setiap token tipe budi berkorespondensi (ditandai dengan panah) dengan token tipe fisik tertentu, sementara dalam monisme ganjil, hubungan antar token berlangsung tanpa tipe, sehingga menghasilkan identitas token.

Meskipun masuk akal, teori identitas ditentang oleh tesis realisabilitas ganda yang dirumuskan oleh Hilary Putnam.[20] Jelas bahwa selain manusia, hewan juga bisa merasakan rasa sakit. Namun, tidak mungkin organisme-organisme tersebut memiliki keadaan otak yang sama. Dan jika hal tersebut mungkin, rasa sakit tidak mungkin identik dengan keadaan otak tertentu. Maka teori identitas secara empiris tidak berdasar.[20]

Di sisi lain, meskipun dikritik seperti itu, bukan berarti teori identitas harus ditinggalkan. Menurut teori identitas token, fakta bahwa keadaan otak tertentu terkait dengan satu keadaan budi tidak menunjukkan bahwa ada korelasi absolut antara tipe-tipe keadaan budi dengan tipe-tipe keadaan otak. Perbedaan antara tipe dengan token dapat digambarkan melalui contoh sederhana: kata "green" terdiri dari empat jenis huruf (g, r, e, n) dengan (kemunculan) dua token huruf e dan satu huruf untuk yang lain. Menurut gagasan identitas token, hanya kemunculan keadaan budi tertentu yang identik dengan kemunculan atau penokenan peristiwa fisik tertentu.[48] Monisme yang ganjil (lihat di bawah) dan fisikalisme non-reduktif lainnya merupakan teori identitas token.[49] Meskipun ada masalah, masih ada orang-orang yang tertarik dengan teori identitas tipe saat ini, terutama karena pengaruh dari Jaegwon Kim.[18]

Fungsionalisme

sunting

Fungsionalisme dirumuskan oleh Hilary Putnam dan Jerry Fodor sebagai tanggapan terhadap ketidakcukupan teori identitas.[20] Putnam dan Fodor memandang keadaan budi dalam ranah teori budi komputasional yang empiris.[50] Pada saat yang sama atau segera setelahnya, D.M. Armstrong dan David Kellogg Lewis merumuskan salah satu versi fungsionalisme yang menganalisis konsep-konsep budi dalam psikologi rakyat berdasarkan peran fungsionalnya.[51] Akhirnya, gagasan Wittgenstein bahwa "makna suatu kata bergantung pada penggunaannya" menyebabkan munculnya fungsionalisme sebagai teori makna, yang selanjutnya dikembangkan oleh Wilfrid Sellars dan Gilbert Harman. Fungsionalisme lain, yaitu psikofungsionalisme, adalah pendekatan yang diterapkan oleh filsuf budi yang naturalistik, seperti Jerry Fodor dan Zenon Pylyshyn.

Ragam-ragam fungsionalisme tersebut memiliki tesis yang sama bahwa keadaan budi dicirikan oleh hubungan sebab-musababnya dengan keadaan budi lain dan dengan input indra dan output perilaku. Fungsionalisme terpisah dari detail implementasi keadaan budi secara fisik dan berada dalam ranah properti fungsional non-budi. Contohnya, ginjal dicirikan secara ilmiah berdasarkan peran fungsionalnya dalam menyaring darah dan menjaga keseimbangan kimiawi. Dari sudut pandang ini, pertanyaan mengenai apakah ginjal terbuat dari jaringan organik, nanotube plastik, atau silikon tidak bermasalah: peran yang dimainkan dan hubungannya dengan organ lainnya-lah yang mencirikannya sebagai sebuah ginjal.[50]

Fisikalisme non-reduktif

sunting

Terkait dengan hubungan budi-tubuh, filsuf non-reduksionis meyakini dua hal: 1) Fisikalisme itu benar dan keadaan budi adalah keadaan fisik, tetapi 2) Semua usulan reduksionis tidak memuaskan karena keadaan budi tidak dapat direduksi menjadi perilaku, keadaan otak, atau keadaan fungsional.[41] Pertanyaan berikutnya adalah apakah fisikalisme non-reduktif itu memang ada. Monisme ganjil Donald Davidson[19] berupaya merumuskan fisikalisme semacam itu.

Davidson menggunakan tesis supervenien: keadaan budi bergantung pada keadaan fisik, tetapi tidak dapat direduksi menjadi keadaan fisik. Maka "supervenien" mendeskripsikan kebergantungan fungsional: budi tidak dapat berubah bila tidak terjadi beberapa perubahan redusibilitas fisik-kausal antara budi dan fisik tanpa melibatkan redusibilitas ontologis.[52]

Teori fisikalis non-reduktif tidak hanya berupaya mempertahankan pemisahan ontologis antara budi dan tubuh, tetapi juga menyelesaikan masalah tersebut. Akibatnya, para kritikus memandangnya sebagai sebuah paradoks dan menekankan kemiripannya dengan epifenomenalisme, yaitu dalam pernyataan bahwa penyebab keadaan budi adalah otak, bukan budi.

Epifenomenalisme menganggap keadaan budi sebagai efek samping dari keadaan budi fisik yang tidak memengaruhi keadaan fisik. Interaksi berlangsung satu arah, tetapi menyisakan keadaan budi yang tak dapat direduksi (sebagai efek samping keadaan otak) baik secara ontologis maupun sebab-musabab. Bagi para epifenomenalis, rasa sakit disebabkan oleh keadaan otak namun tidak memengaruhi keadaan otak lain, walaupun mungkin memengaruhi keadaan budi lain (misalnya penderitaan).

Emergentisme lemah

sunting

Emergentisme lemah adalah salah satu ragam "fisikalisme non-reduktif" yang memandang alam dalam beberapa tingkatan, dan tingkatan-tingkatan tersebut tersusun berdasarkan kompleksitas dan masing-masing berhubungan dengan ilmu khususnya sendiri. Beberapa filsuf meyakini bahwa properti emergen berinteraksi secara kausal pada tingkatan yang lebih mendasar, sementara yang lain menyatakan bahwa properti tingkatan tinggi bergantung pada properti tingkatan rendah tanpa interaksi sebab-musabab langsung. Kelompok kedua ini menganut definisi emergentisme yang lebih "lemah", yang dapat dirangkum sebagai berikut: properti P dari objek komposit O itu emergen bila objek lain secara metafisik tidak dapat tak memiliki properti P apabila objek tersebut terdiri dari bagian dengan properti intrinsik yang identik dengan yang ada dalam O dan bagian-bagian tersebut memiliki konfigurasi yang identik.

Kadang-kadang para emergentis menggunakan contoh air yang memiliki properti baru setelah Hidrogen H dan Oksigen O digabung untuk membentuk H2O (air). Ini adalah contoh "emergensi" (kemunculan) properti baru, yaitu sebuah cairan transparan yang tak dapat diprediksi hanya dengan memahami hidrogen dan oksigen sebagai suatu gas. Hal ini serupa dengan properti fisik otak yang menghasilkan keadaan budi. Para emergentis mencoba menyelesaikan masalah budi-tubuh dengan pendekatan ini. Namun, terdapat satu masalah, yaitu gagasan "penutupan sebab-musabab" di dunia yang tidak memungkinkan sebab-musabab budi-ke-tubuh.[53]

Materialisme eliminatif

sunting

Seorang materialis meyakini bahwa semua aspek psikologi akal sehat manusia dapat direduksi menjadi neurosains kognitif, dan bahwa materialisme non-reduktif itu salah. Namun, terdapat posisi yang lebih radikal lagi, yaitu materialisme eliminatif.

Terdapat beberapa macam materialisme eliminatif, tetapi semuanya menganut pandangan bahwa "psikologi rakyat" tidak menggambarkan sifat dasar beberapa aspek kognisi dengan baik. Pendukung materialisme eliminatif seperti Patricia dan Paul Churchland menekankan bahwa meskipun psikologi rakyat menganggap kognisi seperti kalimat, model vektor/matriks non-linguistik suatu teori jaringan saraf atau koneksionisme merupakan penjelasan otak yang lebih akurat.[16]

Churchland sering menggunakan "takdir hal lain", teori populer yang keliru, dan ontologi yang muncul dalam sejarah untuk menekankan argumennya.[16][17] Misalnya, astronomi Ptolemeus mencoba menjelaskan dan memprediksi pergerakan planet-planet selama berabad-abad, tetapi pada akhirnya model ini digantikan oleh model Copernicus. Churchland yakin bahwa takdir eliminatif menanti model "penghancur kalimat" yang menyatakan bahwa pikiran dan perilaku disebabkan oleh keadaan seperti kalimat yang manipulatif (yang disebut "sikap proposisional").

Monisme non-fisikalis

sunting

Idealisme

sunting
 
Bertrand Russell mendukung monisme netral dalam tulisannya yang berjudul "What is The Soul?".

Idealisme adalah salah satu bentuk monisme yang menyatakan bahwa dunia terdiri dari budi, isi budi, dan/atau kesadaran. Pendukung idealisme tidak menjelaskan bagaimana budi muncul dari tubuh. Malahan, menurut mereka, dunia, tubuh, dan objek dianggap sebagai kenampakan yang dialami oleh budi. Namun, yang mendorong para idealis bukanlah masalah budi-tubuh, tetapi skeptisisme, intensionalitas, dan keunikan gagasan ide. Idealisme merupakan gagasan yang penting dalam pemikiran filosofis dan religius di Timur. Dalam sejarah filsafat Barat, gagasan ini juga beberapa kali menjadi populer walaupun kemudian terabaikan.[54]

Terdapat beberapa ragam idealisme:

Monisme netral

sunting

Dalam filsafat, monisme netral adalah pandangan metafisik bahwa budi dan fisik merupakan dua cara untuk mengorganisasi atau mendeskripsikan unsur yang sama yang bersifat "netral", atau dalam kata lain merupakan sesuatu yang tidak bersifat fisik maupun mental. Monisme netral menolak pandangan bahwa budi dan tubuh merupakan dua hal yang sepenuhnya berbeda. Malahan, pandangan ini mengklaim bahwa alam semesta terdiri dari satu jenis substansi yang netral.[55] Substansi netral ini mungkin punya warna atau bentuk sama seperti yang kita alami sehari-hari, tetapi bentuk dan warna tersebut tidak ada dalam budi (dianggap sebagai entitas substansial, baik dualistik ataupun fisikalistik) karena warna dan bentuk tersebut ada dengan sendirinya.

Misterianisme

sunting

Beberapa filsuf menggunakan pendekatan epistemik dan menyatakan bahwa masalah budi-tubuh masih belum dapat diselesaikan, dan mungkin tidak akan pernah diselesaikan. Pandangan ini biasanya disebut misterianisme baru. Colin McGinn berpendapat bahwa manusia tertutup secara kognitif dari konsep budi. Baginya, budi manusia tidak memiliki prosedur yang dapat membentuk konsep untuk memahami bagaimana properti budi seperti kesadaran dapat muncul.[56] Contohnya, gajah tertutup secara kognitif dari konsep fisika partikel.

Konsep yang lebih moderat telah diutarakan oleh Thomas Nagel, yang meyakini bahwa masalah budi-tubuh saat ini belum dapat diselesaikan dan mungkin perlu terjadi pergeseran paradigma atau revolusi pada masa depan untuk menjembatani celah dalam penjelasan. Nagel juga menyatakan bahwa suatu hari "fenomenologi objektif" mungkin dapat menjembatani celah antara pengalaman kesadaran subjektif dengan dasar fisiknya.[57]

Kritik bahasa terhadap masalah budi-tubuh

sunting
 
Ludwig Wittgenstein menggunakan bahasa untuk mengkritik masalah budi-tubuh.

Setiap upaya untuk menjawab masalah budi-tubuh menghadapi masalah besar. Beberapa filsuf meyakini bahwa hal ini disebabkan oleh kebingungan konseptual.[58] Filsuf-filsuf tersebut, seperti Ludwig Wittgenstein dan pengikutnya dari tradisi kritik bahasa, menganggap masalah ini sebagai sebuah ilusi.[59] Menurut mereka, adalah suatu kesalahan untuk bertanya bagaimana keadaan budi dan biologis dapat disesuaikan. Malahan, pengalaman manusia sebaiknya dideskripsikan dengan cara yang berbeda—misalnya dalam kosakata budi dan biologis. Masalah yang merupakan ilusi ini muncul bila seseorang mencoba mendeskripsikan salah satu hal dalam ranah kosakata hal yang lain atau jika kosakata budi digunakan dalam konteks yang salah.[59] Inilah yang terjadi bila seseorang mencari keadaan budi di otak. Otak merupakan konteks yang salah untuk menggunakan kosakata budi—maka pencarian keadaan budi di otak merupakan kesalahan kategoris atau merupakan salah satu kesesatan dalam penalaran.[59]

Kini, pandangan ini dianut oleh para penafsir karya Wittgenstein seperti Peter Hacker.[58] Namun, Hilary Putnam, pencetus fungsionalisme, juga berpendapat bahwa masalah budi-tubuh adalah suatu ilusi yang perlu dihilangkan sesuai dengan cara Wittgenstein.[60]

Naturalisme dan permasalahannya

sunting

Menurut fisikalisme, budi merupakan bagian dari dunia materi (atau fisik). Posisi semacam itu bermasalah karena budi memiliki properti yang tak dimiliki oleh materi. Maka fisikalisme harus dapat menjelaskan bagaimana properti tersebut dapat muncul dari materi. Upaya untuk menjelaskan hal tersebut disebut "naturalisasi budi."[41] Beberapa masalah utama yang diupayakan untuk diselesaikan meliputi keberadaan qualia dan sifat dasar intensionalitas.[41]

Qualia

sunting

Banyak keadaan budi yang tampaknya dialami secara subjektif oleh berbagai individu.[24] Salah satu ciri keadaan budi adalah keberadaan "kualitas" pengalaman tertentu, seperti rasa sakit. Namun, rasa sakit yang dialami dua orang mungkin tidak sama, karena tidak ada cara sempurna yang dapat mengukur tingkatan rasa sakit atau untuk mendeskripsikan seperti apa sebenarnya rasa sakit itu. Maka para filsuf dan ilmuwan mencoba mencari asal usul pengalaman tersebut. Keberadaan peristiwa otak tak dapat menjelaskan mengapa pengalaman kualitatif tersebut muncul. Misteri kemunculan aspek pengalaman pada proses otak seolah tak dapat dijelaskan.[23]

Namun, banyak juga yang merasa bahwa sains pada akhirnya harus menjelaskan hal tersebut.[41] Hal ini merupakan akibat dari asumsi mengenai kemungkinan penggunaan penjelasan reduktif. Menurut pandangan ini, bilafenomena berhasil dijelaskan secara reduktif (misalnya air), maka asal usul properti pada fenomena tersebut dapat dijelaskan (misalnya bentuk yang cair dan bening).[41] Akibatnya, perlu ada penjelasan mengapa keadaan budi memiliki properti pengalaman tertentu.

Filsuf Jerman abad ke-20 Martin Heidegger mengkritik asumsi ontologis yang melandasi model reduktif tersebut, dan mengklaim bahwa pengalaman tidak dapat dijelaskan dengan cara tersebut karena sifat dasar pengalaman subjektif dan "kualitas" nya tidak dapat dipahami dalam artian "substansi" Descartes yang mengandung "properti". Dalam kata lain, konsep pengalaman kualitatif tidak sesuai, atau secara semantik tidak sepadan dengan konsep substansi yang mengandung properti.[61]

Masalah yang muncul dalam "upaya untuk menjelaskan aspek keadaan budi dan kesadaran orang pertama dengan menggunakan neurosains kuantitatif orang ketiga" ini disebut celah penjelasan.[62] Terdapat beberapa pendapat mengenai celah ini. David Chalmers dan Frank Jackson menafsirkan bahwa celah tersebut bersifat ontologis; dalam kata lain, mereka menyatakan bahwa qualia tidak akan pernah bisa dijelaskan oleh sains karena fisikalisme itu salah. Terdapat dua kategori terpisah dan salah satu kategori tidak dapat direduksi menjadi kategori lain.[63] Sudut pandang alternatif yang dianut oleh filsuf seperti Thomas Nagel dan Colin McGinn adalah bahwa celah tersebut bersifat epistemologis. Bagi Nagel, sains belum mampu menjelaskan pengalaman subjektif karena belum mencapai tingkatan pengetahuan yang diperlukan. Kita bahkan belum mampu merumuskan masalah dengan jelas.[24] Sementara itu, menurut McGinn, masalah ini merupakan salah satu batasan biologis yang permanen dan inheren. Kita tidak mampu menyelesaikan masalah celah penjelasan karena ranah pengalaman subjektif tertutup secara kognitif sama seperti fisika kuantum tertutup secara kognitif dari gajah.[64] Filsuf lain menganggap celah ini hanya sebagai masalah semantik. Masalah semantik ini menyebabkan munculnya "pertanyaan Qualia" yang terkenal, yaitu: "apakah merah menyebabkan kemerahan"?

Intensionalitas

sunting
 
John Searle—salah satu filsuf budi terkemuka dan pendukung naturalisme biologis (Berkeley 2002).

Intensionalitas adalah keterarahan keadaan budi pada dunia luar.[22] Properti keadaan budi ini mengharuskan adanya isi dan acuan semantik dan maka dapat diberikan nilai kebenaran. Ketika seseorang mencoba mereduksi keadaan tersebut menjadi proses alam, maka muncul masalah: proses alam tidak mengandung nilai benar ataupun salah karena hanya merupakan sebuah proses.[65] Mengatakan bahwa proses alam itu benar atau salah tidak masuk akal. Namun, gagasan atau pertimbangan budi mengandung nilai benar dan salah. Maka, bagaimana bisa keadaan budi (gagasan atau pertimbangan) dianggap sebagai proses alam? Kemungkinan pemberian nilai semantik pada gagasan menunjukkan bahwa gagasan tersebut terkait dengan fakta. Misalnya, gagasan bahwa Julia Perez adalah seorang artis merujuk pada fakta bahwa ia memang seorang artis. Jika fakta ini benar, maka gagasannya benar; jika tidak, maka salah. Namun dari mana asalnya hubungan ini? Di otak, hanya berlangsung proses elektrokimia dan proses tersebut tampaknya tidak ada kaitannya dengan Julia Perez.[21]

Filsafat persepsi

sunting

Filsafat persepsi terkait dengan sifat dasar pengalaman perseptual dan status objek perseptual, terutama bagaimana pengalaman perseptual berhubungan dengan penampilan dan kepercayaan mengenai dunia.[66] Pandangan utama dalam filsafat persepsi saat ini meliputi realisme naif, enaktivisme, dan pandangan representional.[67][68][69]

Filsafat budi dan sains

sunting

Manusia memiliki jasmani dan akibatnya dapat diselidiki dan dideskripsikan oleh sains. Karena proses budi sangat terkait dengan proses tubuh, deskripsi yang dibuat oleh sains berperan penting dalam filsafat budi.[2] Terdapat banyak bidang keilmuwan yang mempelajari proses-proses yang terkait dengan budi, seperti biologi, ilmu komputer, sains kognitif, sibernetika, linguistik, kedokteran, farmakologi dan psikologi.[70]

Neurobiologi

sunting

Seperti sains modern pada umumnya, latar belakang teoretis biologi bersifat materialistik. Objek penelitiannya adalah proses-proses fisik, yang dianggap sebagai dasar aktivitas dan perilaku budi.[71] Keberhasilan biologi dalam menjelaskan fenomena budi dapat dilihat dari fakta bahwa tidak ada bantahan empiris terhadap prasangka dasarnya: "keadaan budi seseorang tak akan dapat berubah tanpa perubahan keadaan otak."[70]

Dalam bidang neurobiologi, terdapat banyak subdisiplin yang terkait dengan hubungan antara keadaan dan proses budi dan fisik:[71] Neurofisiologi sensoris menyelidiki hubungan antara proses persepsi dan stimulasi.[72] Neurosains kognitif mempelajari hubungan antara proses budi dan saraf.[72] Neuropsikologi mendeskripsikan kebergantungan kemampuan budi pada wilayah otak tertentu.[72] Biologi evolusioner mempelajari asal usul dan perkembangan sistem saraf manusia dan juga mendeskripsikan perkembangan ontogenesis dan filogenesis fenomena budi dari tahap-tahap primitif.[70] Lebih lagi, biologi evolusioner menmpatkan batasan pada teori filosofis karena mekanisme seleksi alam berdasarkan gen tidak memungkinkan lompatan besar dalam perkembangan kompleksitas saraf; kompleksitas muncul melalui proses yang berangsur-angsur dalam waktu yang panjang.[73]

 
Semenjak tahun 1980-an, prosedur pencitraan saraf yang mutakhir seperti fMRI telah memperkaya pengetahuan tentang cara kerja otak manusia, sehingga membantu menyelesaikan masalah-masalah filosofis.

Terobosan metodologi neurosains (terutama ditemukannya prosedur pencitraan saraf berteknologi tinggi) telah membantu ilmuwan dalam melakukan program penelitian yang semakin ambisius: salah satu tujuan utamanya adalah untuk mendeskripsikan dan memahami proses saraf yang terkait dengan fungsi budi.[71] Beberapa kelompok terilhami oleh kemajuan ini.

Ilmu komputer

sunting

Ilmu komputer adalah bidang yang terkait dengan pemrosesan informasi secara otomatis (atau paling tidak dengan sistem simbol-simbol yang memuat informasi) oleh alat seperti komputer.[74] Dari awal, pemrogram komputer dapat mengembangkan program yang memberikan perintah kepada komputer untuk menjalankan tugas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk organik yang memiliki budi. Contoh sederhananya adalah perhitungan. Namun jelas bahwa komputer tidak menggunakan budi untuk menghitung. Mungkinkah mereka suatu hari dapat memiliki budi? Pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan filosofis berkat penyelidikan yang dilakukan dalam bidang kecerdasan buatan.

Dalam bidang kecerdasan buatan, program penelitian biasa dan yang lebih ambisius biasanya dibedakan: perbedaan ini dicetuskan oleh John Searle dengan menggunakan istilah "kecerdasan buatan lemah dan kuat." Menurut Searle, tujuan "kecerdasan buatan lemah" adalah untuk mensimulasikan keadaan budi tanpa memberi kesadran pada komputer. Sementara itu, tujuan kecerdasan buatan kuat adalah untuk membuat komputer yang memiliki kesadaran seperti manusia.[75] Program kecerdasan buatan kuat dapat ditilik kembali pada pelopor komputer Alan Turing. Untuk menjawab pertanyaan "apakah komputer dapat berpikir?", ia merumuskan tes Turing yang terkenal.[76] Dalam percobaan pikiran tersebut, sebuah komputer ditempatkan di dalam sebuah ruangan bersama dengan seorang manusia. Kemudian, seorang wasit mengajukan pertanyaan kepada mereka. Bila jawaban komputer tidak dapat dibedakan dari manusia, maka komputer itu sudah berpikir. Intinya, cara Turing memandang kecerdasan mesin mengikuti model budi yang behaviouris. Tes Turing banyak dikritik; salah satu kritik yang paling terkenal adalah percobaan pikiran ruangan Tiongkok yang dirumuskan oleh Searle.[75]

Pertanyaan mengenai kemungkinan sensitivitas (qualia) komputer atau robot masih terbuka untuk dijawab. Beberapa ilmuwan komputer yakin bahwa bidang kecerdasan buatan masih dapat membantu menyelesaikan masalah budi-tubuh. Mereka menyatakan bahwa berdasarkan hubungan timbal balik antara perangkat lunak dan keras di semua komputer, mungkin suatu hari dapat ditemukan suatu teori yang membantu kita memahami hubungan timbal balik antara otak dan budi manusia (wetware).[77]

Psikologi

sunting

Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki keadaan budi secara langsung. Ilmu ini menggunakan metode empiris untuk mempelajari keadaan budi seperti kebahagiaan, rasa takut, atau obsesi. Psikologi juga menyelidiki hukum yang mengatur hubungan antara keadaan budi tersebut atau antara keadaan budi dengan input atau output pada manusia.[78]

Contohnya adalah psikologi persepsi. Ilmuwan dalam bidang ini telah menemukan asas-asas umum dalam persepsi bentuk. Menurut hukum psikologi bentuk, objek yang bergerak mengikuti arah yang sama dianggap terkait satu sama lain oleh pengamat.[70] Hukum ini mendeskripsikan hubungan antara input visual dengan keadaan perseptual budi. Namun, hukum ini tidak berhubungan dengan sifat dasar keadaan perseptual. Hukum dalam bidang psikologi sesuai dengan jawaban untuk masalah budi-tubuh yang telah dideskripsikan.

Sains kognitif

sunting

Sains kognitif adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari budi dan proses-prosesnya. Bidang ini berusaha menyelidiki apa itu kognisi, apa yang dilakukan olehnya, dan bagaimana cara kerjanya. Cakupannya meliputi kecerdasan dan perilaku, terutama bagaimana informasi diwakili, diproses, dan diubah (dengan kemampuan seperti persepsi, bahasa, memori, penalaran, dan emosi) dalam sistem saraf (manusia dan hewan lain) atau mesin (seperti komputer). Sains kognitif terdiri dari beberapa bidang penelitian, seperti psikologi, kecerdasan buatan, filsafat, neurosains, linguistik, antropologi, sosiologi, dan pendidikan.[79] Ilmu ini melingkupi banyak tingkatan analisis, dari pembelajaran dan mekanisme keputusan tingkat rendah hingga logika dan perencanaan tingkat tinggi; dari sirkuit saraf hingga organisasi otak modular.

Filsafat budi dalam tradisi kontinental

sunting
 
Hegel mendiskusikan tiga jenis budi, yaitu "budi subjektif", "budi objektif", dan "budi absolut".

Sebagian besar isi artikel ini didasarkan pada satu tradisi filsafat dari budaya Barat modern, yang biasanya disebut filsafat analitik (kadang-kadang disebut filsafat Anglo-Amerika).[80] Namun, ada juga banyak mazhab lain yang kadang-kadang digolongkan dalam label filsafat kontinental.[80] Walaupun topik dan metode dalam filsafat ini sangat luas, berbagai mazhab dalam label ini (fenomenologi, eksistensialisme, dll) berbeda dari mazhab analitik karena tidak hanya memusatkan perhatian pada analisis bahasa dan logika, tapi juga mempertimbangkan bentuk pemahaman yang lain. Maka, dalam diskusi filsafat budi, mazhab-mazhab ini mencoba memahami konsep pikiran dan pengalaman perseptual tidak hanya dengan menggunakan analisis bentuk linguistik.[80]

Dalam buku Phenomenology of Mind karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Hegel mendiskusikan tiga jenis budi yang berbeda: "budi subjektif", yaitu budi seorang individu; "budi objektif", budi masyarakat dan negara; dan "budi absolut", kesatuan dari semua konsep.[81] Sementara itu, pada tahun 1896, dalam Matter and Memory Henri Bergson menulis esai yang berjudul "Essay on the relation of body and spirit", yang mendukung perbedaan ontologis antara tubuh dan budi dengan mereduksi masalah tersebut menjadi masalah memori yang lebih definit, sehingga memungkinkan perumusan solusi yang didasarkan pada "ujicoba empiris" aphasia.

Pada masa modern, dua mazhab utama yang berkembang sebagai tanggapan atau kritik terhadap tradisi Hegel ini adalah fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi, yang didirikan oleh Edmund Husserl, memusatkan perhatian pada isi budi manusia (lihat noema) dan bagaiman proses fenomenologis membentuk pengalaman kita .[82] Eksistensialisme, yaitu mazhab yang didasarkan pada karya-karya Søren Kierkegaard, terkait dengan isi pengalaman dan bagaimana budi berhubungan dengan pengalaman semacam itu.

Budi dalam filsafat Timur

sunting

Budi dalam filsafat Hindu

sunting
 
Patung Adi Shankara, filsuf mazhab Adwaita Wedanta (abad ke-8).

Dualisme

sunting

Dualisme substansi adalah ciri yang lazim ditemui pada beberapa mazhab Hindu ortodoks seperti Samkhya, Nyaya, Yoga, dan Dwaita Wedanta. Dalam mazhab-mazhab tersebut, terdapat perbedaan yang jelas antara materi dan jiwa nonmateri; jiwa nonmateri bersifat abadi dan melewati samsara, siklus kematian dan kelahiran kembali. Menurut mazhab Nyaya, kualitas seperti kognisi dan hasrat merupakan kualitas yang inheren dan tidak dimiliki oleh materi, sehingga melalui proses eliminasi maka kualitas tersebut merupakan bagian dari atman, jiwa nonmateri.[83] Tujuan mazhab-mazhab tersebut adalah mencapai moksa, pembebasan dari siklus reinkarnasi.

Idealisme monistis Wedanta

sunting

Menurut filsuf Adi Shankara dari mazhab Adwaita Wedanta (abad ke-8), budi, tubuh, dan dunia dianggap sebagai bagian dari suatu entitas kesadaran kekal yang disebut Brahman. Adwaita berarti "tiada duanya" dan merupakan sejenis idealisme yang menekankan bahwa semua yang ada adalah kesadaran absolut. Walaupun dunia tampak terdiri dari entitas yang berubah-ubah, itu hanyalah sebuah ilusi atau maya. Satu-satunya yang nyata adalah Brahman, yang dideskripsikan sebagai Satcitananda (keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan). Adwaita Wedanta dapat dijelaskan oleh ayat yang menyatakan bahwa "Hanya Brahman yang sejati, dan dunia yang majemuk ini semu; diri seseorang tidak berbeda dengan Brahman."[84]

Ragam Wedanta monistis lainnya adalah Wisistadwaita seperti yang diungkapkan oleh filsuf Ramanuja dari abad ke-11. Ramanuja mengkritik Adwaita Wedanta dan menyatakan bahwa kesadaran itu selalu intensional dan merupakan properti dari sesuatu. Ramanuja mendefinisikan Brahman melalui keberagaman kualitas dan properti dalam entitas monistis tunggal. Doktrin ini disebut 'samanadhikaranya' (beberapa hal dalam substrat yang sama).[85]

Materialisme

sunting

Ditinjau dari sejarahnya, uraian awal tentang materialisme empiris dalam sejarah filsafat terdapat dalam mazhab Carwaka alias Lokayata. Mazhab Carwaka menolak keberadaan apapun selain materi (yang menurut mereka terbagi menjadi empat unsur), termasuk Tuhan dan jiwa. Maka mereka meyakini bahwa kesadaran itu tersusun dari atom-atom. Sebagian dari mazhab Carwaka menganut pandangan bahwa jiwa material terbuat dari udara atau napas, tetapi substansi-substansi tersebut akan mati karena juga merupakan salah satu bentuk materi.[86]

Filsafat budi Buddhisme

sunting
 Lima Gugusan (pañcakkhandha)
sesuai dengan Tripitaka Pali.
 
 
materi (rūpa)
  4 unsur
(mahābhūta)
   
   
   
      
kontak
(phassa)


    
 
kesadaran
(viññāṇa)

 
 
 
 
 



 
 
 
  faktor mental (cetasika)  
 
perasaan
(vedanā)

 
 
 
persepsi
(saññā)

 
 
 
formasi
(saṅkhāra)

 
 
 
 
 Sumber: MN 109 (Thanissaro, 2001)  |  rincian diagram

Ciri penting yang membedakan filsafat Buddhisme adalah pentingnya doktrin "tiada aku" (anatta). Doktrin ini memandang manusia sebagai gabungan dari lima aspek psikologis dan fisik yang tak kekal, bukan sebagai diri yang tunggal. Maka dari itu, ego dan diri merupakan ilusi yang tidak berlaku untuk melihat kenyataan; keduanya merupakan cara pandang yang keliru karena panca khanda (lima kelompok pemelekatan) yang senantiasa bergejolak.[87] Hubungan antarkelompok ini disebut "pratītyasamutpāda", yang berarti semua hal—termasuk peristiwa budi—memiliki keterkaitan dengan berbagai sebab dan keadaan lainnya. Pandangan ini bertentangan dengan determinisme sebab-musabab dan epifenomenalisme.[87]

Teori budi Abhidharma

sunting

Tiga abad setelah kematian Buddha Gautama (sekitar tahun 150 SM), terjadi penyusunan sastra Buddhis yang disebut Abhidharma di sejumlah perguruan Buddhis. Menurut analisis budi dalam Abhidharma, pikiran didefinisikan sebagai prapañca (‘penyebaran konseptual'). Berdasarkan teori ini, pengalaman perseptual terikat dalam beberapa konseptualisasi (harapan, pertimbangan, dan hasrat). Penyebaran konseptualisasi ini membentuk konsep diri yang merupakan sebuah ilusi.[87] Teori budi Abhidharma juga meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara kemampuan kesadaran dengan persepsi indra terhadap berbagai fenomena. Kesadaran sendiri dibagi menjadi enam, lima untuk lima indra dan enam untuk persepsi fenomena budi.[87] Munculnya kesadaran kognitif dikatakan bergantung pada persepsi indra, kesadaran kemampuan budi yang disebut "kesadaran introspektif" (manovijñāna), dan perhatian (āvartana); perhatian adalah pemilihan objek dari kesan-kesan yang diterima oleh indra.

Penolakan keberadaan agen permanen menyebabkan munculnya masalah filosofis, yaitu masalah keberlanjutan budi dan penjelasan bagaimana kelahiran kembali dan karma tetap menjadi doktrin yang relevan tanpa keberadaan budi yang abadi. Masalah ini dijawab oleh mazhab Theravada dengan memperkenalkan konsep budi sebagai faktor keberadaan. "Aliran kehidupan" (Bhavanga-sota) membentuk keadaan yang-ada. Keberlanjutan karma seseorang dipastikan oleh aliran budi (citta-santana) yang berasal dari kesadaran pasif (Bhavanga-citta), isi budi, dan perhatian.[87]

Mahayana India

sunting

Mazhab Sautrāntika memiliki pandangan yang mirip dengan fenomenalisme dan menganggap bahwa dunia tidak dapat dipersepsikan. Menurut mereka, objek luar ada sebagai tumpuan untuk kognisi, yang hanya dapat menangkap representasi budi. Pandangan ini nantinya memengaruhi mazhab Yogacara dalam aliran Buddhisme Mahayana. Mazhab Yogācāra sering disebut mazhab "hanya budi" karena pandangan bahwa kesadaran adalah realitas yang pada dasarnya memang ada. Sementara itu, karya-karya Vasubandhu sering dianggap mendukung idealisme karena ia menggunakan argumen mimpi dan bantahan mereologis terhadap atomisme untuk menentang realitas objek luar sebagai sesuatu yang berbeda dari entitas budi.[88] Penafsiran karya Vasubandhu yang dilakukan oleh para ahli berbeda-beda; ada yang menafsirkannya sebagai fenomenalisme, monisme netral, dan fenomenologi realis.

Mazhab-mazhab Mahayana India memiliki pendapat yang berbeda mengenai kemungkinan keberadaan kesadaran refleksif (svasaṃvedana). Dharmakīrti menyetujui gagasan kesadaran refleksif yang diutarakan oleh mazhab Yogacara, dan membandingkannya dengan sebuah lampu yang menerangi dirinya bersamaan dengan objek lain. Pandangan ini ditolak oleh ahli-ahli Mādhyamika seperti Candrakīrti. Dalam filsafat Mādhyamika, semua benda dan peristiwa budi dicirikan oleh kekosongan (shunyata), sehingga mereka menyatakan bahwa kesadaran bukan realitas refleksif yang sesungguhnya karena jika dikatakan seperti itu maka kesadaran memvalidasi dirinya sendiri dan tidak dicirikan oleh kekosongannya.[87] Pandangan ini pada akhirnya dirukunkan oleh Śāntarakṣita pada abad ke-8. Ia menerapkan gagasan idealis Yogacara tentang kesadaran refleksif sebagai kebenaran konvensional dalam struktur doktrin dua kebenaran. Maka ia menyatakan bahwa "dengan bergantung pada sistem hanya budi, ketahuilah bahwa entitas luar tidak ada. Dan dengan bergantung pada sistem jalan tengah ini, ketahuilah bahwa diri itu tidak ada, bahkan di dalam [budi]." [89]

Mazhab Yogācāra juga mengembangkan teori gudang kesadaran (ālayavijñāna) untuk menjelaskan keberlanjutan budi saat kelahiran kembali dan akumulasi karma. Gudang kesadaran merupakan penyimpanan bibit karma (bija) saat indra-indra lain sedang tidak ada selama proses kematian dan kelahiran kembali.[87] Maka, menurut B. Alan Wallace:

Tidak ada bagian dari tubuh—di otak atau yang lainnya—yang berubah menjadi keadaan dan proses budi. Pengalaman subjektif semacam itu tidak muncul dari tubuh, tetapi pengalaman tersebut juga tidak muncul dari ketiadaan. Justru semua kenampakan budi objektif muncul dari substrat, dan semua keadaan dan proses budi subjektif berasal dari kesadaran substrat [90]

Buddhisme Tibet

sunting
 
Menurut Dalai Lama ke-14, budi terdiri dari "kejelasan dan pengetahuan".

Teori budi Buddhisme Tibet berkembang dari gagasan-gagasan Mahayana India. Maka dari itu, Je Tsongkhapa, pendiri mazhab Gelug, mendiskusikan sistem Delapan Kesadaran Yogācāra.[91] Ia kemudian menentang idealisme pragmatis Śāntarakṣita.

Menurut Dalai Lama ke-14, budi dapat didefinisikan sebagai "entitas yang memiliki sifat dasar pengalaman, yaitu 'kejelasan dan pengetahuan.' Sifat pengetahuan inilah yang disebut budi, dan ini bersifat nonmateri."[92] Maka dua sifat dasar budi adalah sebagai berikut:

1. Kejelasan (gsal) - Aktivitas budi yang menghasilkan fenomena kognitif (snang-ba).
2. Pengetahuan (rig) - Aktivitas budi yang memersepsikan fenomena kognitif.

Filsafat budi Tibet bersifat soteriologis, sehingga lebih memusatkan perhatian pada praktik-praktik meditasi seperti Dzogchen dan Mahamudra yang dapat dilakukan untuk merasakan sifat refleksif budi secara langsung. Pengetahuan akan sifat kebuddhaan seseorang yang ada sejak awal, sunyi, dan tunggal disebut rigpa. Berbagai mazhab mendeskripsikan jati diri budi yang paling dalam sebagai 'cahaya terang' (‘od gsal) dan sering membandingkannya dengan bola kristal atau cermin. Maka, Sogyal Rinpoche menganalogikan budi sebagai berikut: "Bayangkan langit yang kosong, memiliki ruang, dan murni dari awal; esensinya itu seperti ini. Bayangkan matahari, bercahaya, terang, tak terhambat, dan ada secara spontan. Jati dirinya seperti ini."

Buddhisme Zen

sunting

Bahasan utama dalam filsafat budi Zen Tiongkok adalah perbedaan antara budi yang murni dan terbangun dengan budi yang bernoda. Ahli Chan Tiongkok Huangpo mendeskripsikan budi sebagai sesuatu yang tanpa awal dan tanpa bentuk atau batas, sementara budi bernoda adalah budi yang dikaburkan karena terikat dengan bentuk dan konsep.[93] Budi Buddha yang murni dapat melihat hal-hal sebagaimana yang sebenarnya, sebagai hakikat yang absolut dan non-dual (Tathatā). Penglihatan non-konseptual juga meliputi fakta bahwa tidak ada perbedaan antara budi yang murni dengan yang bernoda, sama seperti tidak ada perbedaan antara samsara dengan nirwana.[93]

Dalam Shobogenzo, filsuf Jepang Dogen menulis bahwa tubuh dan budi tidak berbeda secara ontologis atau fenomenologis, tetapi dicirikan oleh suatu kesatuan yang disebut shin jin (tubuh-budi). Menurut Dogen, "membuang budi dan tubuh" (Shinjin datsuraku) dalam zazen dapat membuat seseorang mengalami hal-hal sebagaimana benarnya (genjokoan) yang merupakan sifat dasar pencerahan (hongaku).[94]

Topik yang terkait dengan filsafat budi

sunting

Terdapat banyak subjek yang terpengaruh oleh gagasan yang dikembangkan dalam bidang filsafat budi. Beberapa contohnya adalah sifat dasar kematian dan ciri definitifnya, atau sifat dasar emosi, persepsi, dan memori. Pertanyaan mengenai definisi individu dan identitasnya juga memiliki keterkaitan yang erat dengan filsafat budi. Namun, ada dua subjek yang menarik perhatian khusus: kehendak bebas dan diri.[2]

Kehendak bebas

sunting
 
Grafik yang menggambarkan posisi filosofis mengenai kehendak bebas.

Dalam konteks filsafat budi, masalah kehendak bebas menjadi lebih sering dibahas, terutama di kalangan determinis materialistik.[2] Menurut cara pandang ini, hukum alam menentukan jalannya dunia material. Maka, keadaan budi dan kehendak bebas juga merupakaan keadaan material, sehingga perilaku dan keputusan manusia sepenuhnya ditentukan oleh hukum alam. Beberapa kalangan seperti Sam Harris bahkan mengatakan bahwa manusia tidak dapat menentukan apa yang ingin mereka lakukan, sehingga mereka tidak memiliki kehendak bebas.[95][96]

Di sisi lain, argumen ini ditentang oleh pendukung kompatibilisme. Menurut pandangan ini, pertanyaan mengenai "apakah kita bebas?" hanya dapat dijawab bila kita telah menentukan arti kata "bebas". Lawan kata dari "bebas" bukanlah "disebabkan", tetapi "diharuskan" atau "dipaksa". Maka menyamakan kebebasan dengan ketiadaan determinisme adalah sesuatu yang tidak tepat. Tindakan yang bebas adalah sesuatu yang dapat dilakukan seseorang bila ia memilih untuk melakukan hal tersebut, sehingga seseorang masih bisa bebas walaupun determinisme itu benar.[95] Tokoh kompatibilis yang paling penting dalam sejarah filsafat adalah David Hume.[97] Kini, posisi ini dipertahankan oleh filsuf seperti Daniel Dennett.[98]

Di sisi lain, terdapat juga banyak tokoh inkompatibilisme yang menentang argumen ini karena mereka yakin bahwa kebebasan tersebut ada dalam artian yang lebih kuat yang disebut libertarianisme.[95] Para filsuf tersebut menekankan bahwa dunia a) tidak sepenuhnya ditentukan oleh hukum alam ketika hukum alam dihadang oleh sesuatu yang independen secara fisik,[99] b) ditentukan oleh hukum alam yang tidak deterministik, atau c) ditentukan oleh hukum alam yang tak deterministik dan sejalan dengan upaya subjektif sesuatu yang tak dapat direduksi secara fisik.[100] Menurut cara pandang libertarianisme, kehendak tidak harus bersifat deterministik, dan maka kemungkinan bebas. Namun, terdapat kritik terhadap pernyataan (b) karena dianggap menggunakan konsep kebebasan yang tidak jelas. Menurut mereka, "jika kehendak kita tidak ditentukan oleh apapun, maka hal yang kita inginkan muncul karena kebetulan, dan bila apa yang kita inginkan itu kebetulan, kita tidak bebas. Maka, bila kehendak kita tidak ditentukan oleh apapun, maka kita tidak bebas."[95]

Filsafat budi juga berimbas pada konsep diri. Jika "diri" atau "saya" merujuk pada inti individu yang esensial dan kekal, sebagian besar filsuf modern malah menyatakan bahwa hal tersebut tidak ada.[101] Gagasan diri sebagai inti yang esensial dan kekal berasal dari gagasan jiwa. Gagasan tersebut ditentang oleh sebagian besar filsuf saat ini karena orientasi fisikalistiknya, dan karena para filsuf mendukung gagasan David Hume yang meragukan konsep 'diri'[102] (Hume menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki konsep diri, tetapi sekumpulan rasa yang dikaitkan dengan diri[103]). Namun, berdasarkan hasil dari penelitian dalam bidang psikologi perkembangan, biologi perkembangan, dan neurosains, gagasan bahwa terdapat inti material yang tidak konstan dan esensial—yaitu suatu sistem representasional yang terintegrasi dan tersebar dalam pola-pola koneksi sinapsis yang berubah-ubah—tampak masuk akal.[104] Namun, pandangan bahwa diri adalah ilusi juga didukung oleh beberapa filsuf, seperti Daniel Dennett.

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ "Budi" di sini berarti serangkaian kapasitas kognitif yang memungkinkan kesadaran, persepsi, pikiran, pertimbangan, dan ingatan.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Oliver Elbs, Neuro-Esthetics: Mapological foundations and applications (Map 2003), (Munich 2005)
  2. ^ a b c d e f Kim, J. (1995). Honderich, Ted, ed. Problems in the Philosophy of Mind. Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press. 
  3. ^ a b Plato (1995). E.A. Duke, W.F. Hicken, W.S.M. Nicoll, D.B. Robinson, J.C.G. Strachan, ed. Phaedo. Clarendon Press. ISBN 1406541508. 
  4. ^ a b Robinson, H. (1983): ‘Aristotelian dualism’, Oxford Studies in Ancient Philosophy 1, 123–44.
  5. ^ Nussbaum, M. C. (1984): ‘Aristotelian dualism’, Oxford Studies in Ancient Philosophy, 2, 197–207.
  6. ^ Nussbaum, M. C. and Rorty, A. O. (1992): Essays on Aristotle's De Anima, Clarendon Press, Oxford.
  7. ^ a b Sri Swami Sivananda. "Sankhya:Hindu philosophy: The Sankhya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-15. Diakses tanggal 2011-01-30. 
  8. ^ a b c d e f Descartes, René (1998). Discourse on Method and Meditations on First Philosophy. Hacket Publishing Company. ISBN 0-87220-421-9. 
  9. ^ a b c d e f Hart, W.D. (1996) "Dualism", in Samuel Guttenplan (org) A Companion to the Philosophy of Mind, Blackwell, Oxford, 265-7.
  10. ^ a b Spinoza, Baruch (1670) Tractatus Theologico-Politicus (A Theologico-Political Treatise).
  11. ^ a b c d e Kim, J., "Mind-Body Problem", Oxford Companion to Philosophy. Ted Honderich (ed.). Oxford:Oxford University Press. 1995.
  12. ^ Pinel, J. Psychobiology, (1990) Prentice Hall, Inc. ISBN 88-15-07174-1
  13. ^ LeDoux, J. (2002) The Synaptic Self: How Our Brains Become Who We Are, New York:Viking Penguin. ISBN 88-7078-795-8
  14. ^ Russell, S. and Norvig, P. Artificial Intelligence: A Modern Approach, New Jersey:Prentice Hall. ISBN 0-13-103805-2
  15. ^ Dawkins, R. The Selfish Gene (1976) Oxford:Oxford University Press. ISBN
  16. ^ a b c Churchland, Patricia (1986). Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain. MIT Press. ISBN 0-262-03116-7. 
  17. ^ a b Churchland, Paul (1981). "Eliminative Materialism and the Propositional Attitudes". Journal of Philosophy. Journal of Philosophy, Inc. 78 (2): 67–90. doi:10.2307/2025900. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-26. Diakses tanggal 2011-01-30. 
  18. ^ a b c d Smart, J.J.C. (1956). "Sensations and Brain Processes". Philosophical Review. 
  19. ^ a b Donald Davidson (1980). Essays on Actions and Events. Oxford University Press. ISBN 0-19-924627-0. 
  20. ^ a b c d Putnam, Hilary (1967). "Psychological Predicates", in W. H. Capitan and D. D. Merrill, eds., Art, Mind and Religion (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
  21. ^ a b Dennett, Daniel (1998). The intentional stance. Cambridge, Mass.: MIT Press. ISBN 0-262-54053-3. 
  22. ^ a b Searle, John (2001). Intentionality. A Paper on the Philosophy of Mind. Frankfurt a. M.: Nachdr. Suhrkamp. ISBN 3-518-28556-4. 
  23. ^ a b c Jackson, F. (1982) “Epiphenomenal Qualia.” Reprinted in Chalmers, David ed.:2002. Philosophy of Mind: Classical and Contemporary Readings. Oxford University Press.
  24. ^ a b c Nagel, T. (1974.). "What is it like to be a bat?". Philosophical Review (83): 435–456. 
  25. ^ "Albert Einstein. "Physics and Reality", Journal of the Franklin Institute (March 1936); 1.1.9., dicetak kembali di Albert Einstein, Out of My Later Years (1956)" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-11. Diakses tanggal 2011-12-26. 
  26. ^ Lewis, C.S (1947). Miracles. ISBN 0688173691. 
  27. ^ Chalmers, David (1997). The Conscious Mind. Oxford University Press. ISBN 0-19-511789-1. 
  28. ^ a b Dennett, Daniel (1995). "The unimagined preposterousness of zombies". J Consciousness Studies. 2: 322\u20136. 
  29. ^ Dennett, Daniel (1991). Consciousness Explained. Little, Brown and Co. hlm. 95. ISBN 0-316-18065-3. 
  30. ^ Popper, Karl and Eccles, John (2002). The Self and Its Brain. Springer Verlag. ISBN 3-492-21096-1. 
  31. ^ Dennett D., (1991), Consciousness Explained, Boston: Little, Brown & Company
  32. ^ Stich, S., (1983), From Folk Psychology to Cognitive Science. Cambridge, MA: MIT Press (Bradford)
  33. ^ Ryle, G., 1949, The Concept of Mind, New York: Barnes and Noble
  34. ^ Agassi, J. (1975). Privileged Access; Science in Flux, Boston Stidues in the Philosophy of Science, 80. Dordrecht: Reidel. 
  35. ^ Agassi, J. (1997). La Scienza in Divenire. Rome: Armando. 
  36. ^ a b Robinson, Howard (2003-08-19). "Dualism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2003 Edition). Center for the Study of Language and Information, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-08. Diakses tanggal 2006-09-25. 
  37. ^ Leibniz, Gottfried Wilhelm (1714). Monadology. ISBN 0-87548-030-6. 
  38. ^ Schmaltz, Tad (2002). "Nicolas Malebranche". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2002 Edition). Center for the Study of Language and Information, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-08. Diakses tanggal 2006-09-25. 
  39. ^ Huxley, T. H. [1874] "On the Hypothesis that Animals are Automata, and its History", The Fortnightly Review, n.s.16:555\u2013580. Reprinted in Method and Results: Essays by Thomas H. Huxley (New York: D. Appleton and Company, 1898).
  40. ^ Jackson, Frank (1986,). "What Mary didn't know". Journal of Philosophy.: 291\u2013295. 
  41. ^ a b c d e f g h i Stoljar, Daniel (2005). "Physicalism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2005 Edition). Center for the Study of Language and Information, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-24. Diakses tanggal 2006-09-24. 
  42. ^ Chalmers, David (1996). The Conscious Mind. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-511789-9. 
  43. ^ Russell, Bertrand (1918) Mysticism and Logic and Other Essays, London: Longmans, Green.
  44. ^ Mach, E. (1886) Die Analyse der Empfindungen und das Verhältnis des Physischen zum Psychischen. Fifth edition translated as The Analysis of Sensations and the Relation of Physical to the Psychical, New York: Dover. 1959
  45. ^ Skinner, B.F. (1972). Beyond Freedom & Dignity. New York: Bantam/Vintage Books. ISBN 0-553-14372-7. 
  46. ^ Ryle, Gilbert (1949). The Concept of Mind. Chicago: Chicago University Press. ISBN 0-226-73295-9. 
  47. ^ Place, Ullin (1956). "Is Consciousness a Brain Process?". British Journal of Psychology. 
  48. ^ Smart, J.J.C, "Identity Theory" Diarsipkan 2013-12-02 di Wayback Machine., The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2002 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
  49. ^ Davidson, D. (2001). Subjective, Intersubjective, Objective. Oxford: Oxford University Press. ISBN 88-7078-832-6. 
  50. ^ a b Block, Ned. "What is functionalism" in Readings in Philosophy of Psychology, 2 vols. Vol 1. (Cambridge: Harvard, 1980).
  51. ^ Armstrong, D., 1968, A Materialist Theory of the Mind, Routledge.
  52. ^ Stanton, W.L. (1983) "Supervenience and Psychological Law in Anomalous Monism", Pacific Philosophical Quarterly 64: 72-9
  53. ^ Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, Westview Press; 2 edition (July 8, 2005) ISBN 0-8133-4269-4
  54. ^ "Idealism". Stanford Encyclopedia of Philosophy. 30 Agustus 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-03. Diakses tanggal 6 November 2018. 
  55. ^ Craig, Edward. (1998). Routledge Encyclopedia of Philosophy. Routledge. hlm. 816. ISBN 0415-07310-3
  56. ^ McGinn, Colin. "Can We Solve the Mind-Body Problem?" Diarsipkan 2023-03-06 di Wayback Machine., Mind, New Series, Vol. 98, No. 391, July 1989 (hal. 349-366), hal. 350.
  57. ^ "Hard problem of Consciousness" Diarsipkan 2015-04-20 di Wayback Machine., The Internet Encyclopedia of Philosophy, Josh Weisberg
  58. ^ a b Hacker, Peter (2003). Philosophical Foundations of Neuroscience. Blackwel Pub. ISBN 1-4051-0838-X. 
  59. ^ a b c Wittgenstein, Ludwig (1954). Philosophical Investigations. New York: Macmillan. ISBN 0-631-14660-1. 
  60. ^ Putnam, Hilary (2000). The Threefold Cord: Mind, Body, and World. New York: Columbia University Press. ISBN 0-231-10286-0. 
  61. ^ Hubert Dreyfus, "Critique of Descartes I" (recorded lecture), University of California at Berkeley, Sept. 18, 2007.
  62. ^ Joseph Levine, Materialism and Qualia: The Explanatory Gap, in: Pacific Philosophical Quarterly, vol. 64, no. 4, October, 1983, 354–361
  63. ^ Jackson, F. (1986) "What Mary didn't Know", Journal of Philosophy, 83, 5, hal. 291–295.
  64. ^ McGinn, C. "Can the Mind-Body Problem Be Solved", Mind, New Series, Volume 98, Issue 391, hal. 349–366. a (online) Diarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine.
  65. ^ Fodor, Jerry (1993). Psychosemantics. The problem of meaning in the philosophy of mind. Cambridge: MIT Press. ISBN 0-262-06106-6. 
  66. ^ Bandingkan http://plato.stanford.edu/entries/perception-episprob/ Diarsipkan 2021-02-27 di Wayback Machine. BonJour, Laurence (2007): Epistemological Problems of Perception. Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses 1.9.2010.
  67. ^ Siegel, S. (2011)."The Contents of Perception Diarsipkan 2020-08-17 di Wayback Machine.", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Edisi Musim Dingin 2011), Edward N. Zalta (penyunting).
  68. ^ Siegel, S.: The Contents of Visual Experience. New York: Oxford University Press. 2010
  69. ^ Macpherson, F. & Haddock, A., editors, Disjunctivism: Perception, Action, Knowledge, Oxford: Oxford University Press, 2008.
  70. ^ a b c d Pinker, S. (1997) How the Mind Works. tr. It: Come Funziona la Mente. Milan:Mondadori, 2000. ISBN 88-04-49908-7
  71. ^ a b c Bear, M. F. et al. Eds. (1995). Neuroscience: Exploring The Brain. Baltimore, Maryland, Williams and Wilkins. ISBN 0-7817-3944-6
  72. ^ a b c Pinel, J.P.J (1997). Psychobiology. Prentice Hall. ISBN 88-15-07174-1. 
  73. ^ Metzinger, Thomas (2003). Being No One - The Self Model Theory of Subjectivity. Cambridge: MIT Press. hlm. 349–366. ISBN 0-262-13417-9. 
  74. ^ Sipser, M. (1998). Introduction to the Theory of Computation. Boston, Mass.: PWS Publishing Co. ISBN 0-534-94728-X. 
  75. ^ a b Searle, John (1980). "Minds, Brains and Programs". The Behavioral and Brain Sciences (3): 417–424. 
  76. ^ Turing, Alan (Oktober 1950), "Computing Machinery and Intelligence", Mind, LIX (236): 433–460, doi:10.1093/mind/LIX.236.433, ISSN 0026-4423, diakses tanggal 2008-08-18 
  77. ^ Russell, S. and Norvig, R. (1995). Artificial Intelligence:A Modern Approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc. ISBN 0-13-103805-2. 
  78. ^ "Encyclopedia of Psychology". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-13. Diakses tanggal 2021-05-08. 
  79. ^ Thagard, Paul, Cognitive Science Diarsipkan 2018-07-15 di Wayback Machine., The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2008 Edition), Edward N. Zalta (ed.).
  80. ^ a b c Dummett, M. (2001). Origini della Filosofia Analitica. Einaudi. ISBN 88-06-15286-6. 
  81. ^ Hegel, G.W.F. Phenomenology of Spirit. ISBN 0-19-503169-5. , translated by A.V. Miller with analysis of the text and foreword by J. N. Findlay (Oxford: Clarendon Press, 1977) ISBN 0-19-824597-1 .
  82. ^ Husserl, Edmund. Logische Untersuchungen. ISBN 3-05-004391-1.  trans.: Giovanni Piana. Milan: EST. ISBN 88-428-0949-7
  83. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-04, diakses tanggal 2013-10-12  Nyāya, Matthew R. Dasti
  84. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-26, diakses tanggal 2013-10-12  Advaita Vedanta, Sangeetha Menon
  85. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-17, diakses tanggal 2013-10-12  Ramanuja, Shyam Ranganathan
  86. ^ The Internet Encyclopedia of Philosophy, diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-21, diakses tanggal 2013-10-12  Lokāyata/Cārvāka – Indian Materialism, Abigail Turner-Lauck Wernicki
  87. ^ a b c d e f g Coseru, Christian, "Mind in Indian Buddhist Philosophy", diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-03, diakses tanggal 2013-10-12 , The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2012 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
  88. ^ Gold, Jonathan C., "Vasubandhu", diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-01, diakses tanggal 2013-10-13 , The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2012 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
  89. ^ Blumenthal, James, "Śāntarakṣita", diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-11, diakses tanggal 2013-10-13 , The Stanford Encyclopedia of Philosophy (fall 2009 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
  90. ^ B. Alan Wallace; Mind in the Balance: Meditation in Science, Buddhism, and Christianity, hal. 95-96
  91. ^ Sparham, Gareth, "Tsongkhapa", diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-18, diakses tanggal 2013-10-13 , The Stanford Encyclopedia of Philosophy (fall 20011 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
  92. ^ Talk by His Holiness the Dalai Lama at Cambridge, MA USA, diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-19, diakses tanggal 2013-10-13 , From MindScience, edited by Daniel Goleman and Robert F. Thurman, first in 1991 by Wisdom Publications, Boston, USA.
  93. ^ a b Zeuschner, Robert B., "The Understanding of Mind in the Northern Line of Ch'an (Zen)", diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-20, diakses tanggal 2013-10-13 , Philosophy East and West, V. 28, No. 1 (January 1978), hal. 69-79, University of Hawaii Press, Hawaii, USA.
  94. ^ David E. Shaner, "The bodymind experience in Dogen's Shobogenzo: a phenomenological perspective", diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-20, diakses tanggal 2013-10-13 , Philosophy East and West 35, no. 1 (January 1985), University of Hawaii Press, Hawaii, USA.
  95. ^ a b c d "Philosopher Ted Honderich's Determinism web resource". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-16. Diakses tanggal 2013-10-13. 
  96. ^ Harris, Sam. 2012. Free Will. Free Press. ISBN 978-1-4516-8340-0
  97. ^ Russell, Paul, Freedom and Moral Sentiment: Hume's Way of Naturalizing Responsibility Oxford University Press: New York & Oxford, 1995.
  98. ^ Dennett, Daniel (1984). The Varieties of Free Will Worth Wanting. Cambridge MA: Bradford Books-MIT Press. ISBN 0-262-54042-8. 
  99. ^ Descartes, René (1649). Passions of the Soul. ISBN 0-87220-035-3. 
  100. ^ Kane, Robert (2009). "Libertarianism". Philosophical Studies. Springer Netherlands. 144 (1): 39. doi:10.1007/s11098-009-9365-y. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-09. Diakses tanggal 2013-10-13. 
  101. ^ Dennett, C. and Hofstadter, D.R. (1981). The Mind's I. Bantam Books. ISBN 0-553-01412-9. 
  102. ^ Searle, John (Jan 2005). Mind: A Brief Introduction. Oxford University Press Inc, USA. ISBN 0-19-515733-8. 
  103. ^ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic, (Penguin, edisi 2001), hal. 135–6
  104. ^ LeDoux, Joseph (2002). The Synaptic Self. New York: Viking Penguin. ISBN 88-7078-795-8. 

Bacaan lanjut

sunting

Pranala luar

sunting