Bahasa Sunda Klasik

masa bahasa Sunda pada sekitar tahun 1600-1800 Masehi

Bahasa Sunda Klasik[3][4] atau Bahasa Sunda Peralihan[3] (juga disebut sebagai Basa Sunda Mangsa II atau dapat dialihbahasakan menjadi Bahasa Sunda Masa II)[5] adalah nama yang diberikan kepada sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara bahasa Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran dengan bahasa Sunda pada masa Kolonial Belanda. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).[3]

Bahasa Sunda Klasik
Bahasa Sunda Peralihan
Edisi faksimil naskah Carita Waruga Guru, sebuah naskah Sunda pada periode transisi yang bernuansa Islam ca 1705, ditulis dengan aksara Sunda Kuno
Wilayahbagian barat pulau Jawa
Eraberkembang menjadi bahasa Sunda Modern Awal menjelang abad ke-19.
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
  • Austronesia Lihat butir Wikidata
    • Melayu-Polinesia Lihat butir Wikidata
      • Melayu-Sumbawa atau Kalimantan Utara Raya (diperdebatkan)
Bentuk awal
Sunda Kuno, Pegon
Kode bahasa
ISO 639-3
Linguasfer31-MFN-aa
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Bahasa Sunda Klasik diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Sunda Zaman Klasik (Peralihan) merupakan tahapan lanjutan dari bahasa Sunda Kuno.[6] Hal ini dapat dilihat di antaranya dalam naskah Carita Waruga Guru. Kosakata yang digunakan dalam naskah tersebut bukanlah kosakata yang arkais (kuno) sebagaimana terdapat dalam bahasa Sunda Kuno. Bahasa Sunda Klasik sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab sebagai akibat dari menguatnya dominasi agama Islam pada masyarakat Sunda kala itu.[7]

Sejarah

sunting

Pra-Islam & Arab

sunting

Pengaruh Islam dan Arab setidaknya tidak pernah terefleksikan secara dominan dalam bahasa Sunda sebelum kerajaan Sunda (Pajajaran)—kerajaan bercorak Sunda-Hindu—runtuh pada tahun 1579. Masa kerajaan ini merupakan masa bahasa Sunda Kuno (Basa Sunda Mangsa I).[8] Pada waktu itu, bahasa Sunda Kuno merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat maupun orang-orang di lingkungan kerajaan untuk berkomunikasi satu sama lain dan digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari bidang kenegaraan, keagamaan, kesenian, serta komunikasi bagi kepentingan kehidupan sehari-hari.[9]

Agama Islam terlebih dahulu berkembang di wilayah tetangga Sunda, seperti di Sumatra dan di sebelah timur Sunda. Walaupun begitu, pada awal abad ke-16, negeri-negeri Islam telah dikenal oleh para penganut agama Hindu di Kerajaan Sunda. Setidaknya mereka memiliki wawasan geografis dan hubungan ekonomi dengan negara-negara luar. Pustaka Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang selesai ditulis pada tahun 1518 mengonfirmasi hal tersebut melalui isinya yang menunjukkan pengetahuan luas tentang wilayah geografis mancanegara (bahasa Sunda Kuno: paranusa) yang mencakup beberapa kawasan-kawasan di benua Asia, disebutkan pula adanya profesi duta bahasa yang disebut jurubasa darmamurcaya yang dituntut untuk menguasai berbagai bahasa asing, ini sesuai dengan uraian berikut:[10]

Aya ma nu uraṅ dek cəta, ulah salah gəsan naña, lamun dek ñaho di carek para nusa ma, carek cina, kəliṅ, parasi, məsir, samudra, baṅgala, makasar, pahaṅ, kalantən, baṅka, buwun, beten, tulaṅbawaṅ, səla, pasay, parayaman, nagara dekan, dinah, andələs, tego, maloko, badan, pego, malangkabo, məkah, buretet, lawe, saksak, səmbawa, bali, jənggi, sabini, ṅogan, kanaṅən, kuməriṅ, simpaṅ tiga, gumantuṅ, manumbi, babu, ñiri, sapari, patukaṅan, surabaya, lampuṅ, jambudipa, seran, gədah, solot, solodoṅ, indragiri, tanjuṅ pura, sakampuṅ, cəmpa, baluk, jawa; sing sawatək para nusa ma saṅ jurubasa darmamurcaya taña. Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, seperti: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Komering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam (bahasa) negara-negara lain, tanyalah juru bahasa darmamurcaya.”

— Sanghyang Siksa Kandang Karesian bab XX[11]

Dari uraian di atas, dapat dilihat pada nama-nama negeri dan kota yang dicetak tebal merupakan negeri dan kota Islam dan menjadi pusat penyebaran agama Islam.[12] Manuskrip lain dari masa Sunda Kuno yang menyebutkan wilayah Islam yaitu Pendakian Sri Ajñana, yang menyebutkan Buana Mekah, salah satu pusat dan kota suci bagi umat Islam sebagai tempat yang disinggahi oleh tokoh utama dalam teks tersebut tatkala mencari kekasihnya di Kahyangan, selengkapnya dapat dibaca pada kutipan berikut:[13]

Saləmpaṅ saṅ Sri Ajñana, diri ti sorga kancana, milaṅ-milaṅ kasorgaan, kaliwat na caturloka, katukaṅ buana Məkah, eta kasorgaan Siak. Setelah Sri Ajnyana pergi, Berangkat dari surga kencana, dia melihat-lihat surga, Caturloka telah terlewati, buana Mekah telah dilalui, itulah surga bangsa Siak.

— Sri Ajñana, 916-921[13]

Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa kedudukan Mekah dan Siak (sebutan untuk orang-orang yang telah memeluk Islam) diposisikan bersama-sama dengan ruang pikiran masyarakat Sunda-Hindu.[14] Naskah Sunda Kuno bernuansa Hindu lain yang cukup terkenal, Sewaka Darma juga menyebutkan Banua Mekah sebagai tempat di kahyangan. Berikut adalah petikannya:

Mojarkən babu pərtiwi, ṅagapay tarajeəmas, dataṅ ka wəkasniṅ sabda, dina sunya liwat taya, hələt bəraṅ hələt pətiṅ, dataṅ ka banua məkah, ngadoṅkap ka catur loka, luput ti pada buana, dataṅ kana manarawaṅ, kateñjo para dewata. Mengisahkan Ibu Pertiwi, meniti tangga emas, sampai pada akhir ucapan, dalam keadaan hampa melampaui ketiadaan, siang dan malam berselang, tibalah di benua Mekah, datang ke empat dunia, yang terlepas dari dunia, datang lalu memandang jauh, terlihat para dewata.

— Sewaka Darma, naskah B, fol. 46[15]

Dari pembahasan mengenai tiga naskah di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan mengenai Islam dan Arab telah masuk ke dalam khazanah masyarakat Sunda-Hindu, terutama dari kalangan agamawan, sehingga kedudukannya cukup mendapat tempat tersendiri, meski bukan sesuatu hal yang diutamakan.[16]

Pasca-Pajajaran

sunting

Jika pada bagian di atas telah dipaparkan mengenai Islam yang mendapatkan tempat istimewa dalam ruang batin masyarakat Hindu-Sunda, hal ini menemui titik balik tatkala Kerajaan Sunda (Pajajaran) menuju masa kehancuran. Kronik Carita Parahiyangan yang diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1580 merekam peristiwa demi peristiwa peperangan yang selalu berakhir dengan kekalahan pihak Sunda dan negara-negara bawahannya atas pihak Islam. Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terekam dengan dramatis:[17]

Disilihan ku nusia mulya, lawasnya ratu sadəwidasa, təmbəy dataṅ na prəbeda, bwana alit sumurup riṅ ganal, mətu saṅhara ti səlam, praṅ ka rajagaluh, eleh na rajagaluh, praṅ ka kalapa, eleh na pakwan, praṅ ka galuh, praṅ ka datar, praṅ ka madiri, praṅ ka patege; praṅ ka jawakapala, eleh na jawakapala; prang ka gəgəlang, ñabraṅ, praṅ ka salajo, pahi eleh ku səlam, kitu, kawisesa ku dəmak dəng ti cirəbon, pun. Diganti oleh Nusia Mulya, lamanya menjadi raja dua belas tahun. Mulai muncul perubahan. Dunia halus tenggelam oleh kasar, muncul prahara dari Islam. [Mereka] berperang ke Rajagaluh, kalah Rajagaluh; perang ke Kalapa, kalah Pakuan, perang ke Datar, perang ke Madiri, perang ke Patege, perang ke Jawakapala, kalah Jawakapala; perang ke Gegelang. Lalu menyeberang, perang ke Salajo. Semua kalah oleh Islam. Begitulah. [Semua] dikuasai oleh Demak dan Cirebon. Tamat.

— Carita Parahiyangan, 28a-29a[17]

Terlihat dengan jelas dari rangkaian peristiwa di atas, səlam (Islam) dianggap sebagai ancaman dan musuh yang memunculkan perubahan yang membawa kesengsaraan.[18] Setelah kekuasaan diambil alih oleh Cirebon, maka kekuatan Islam dianggap menjadi legitimasi dan pewaris sah dari Hindu-Sunda.

Korpus yang terdapat di Kabuyutan memberikan gambaran tentang pengambilalihan mitos-mitos Hindu untuk kemudian diislamkan, contoh nyatanya dapat dilihat dalam naskah Carita Waruga Guru yang menceritakan genalogis raja-raja yang dihubungkan dengan manusia pertama versi mitologi Abrahamik yaitu Adam. Dari Adam inilah diturunkan tokoh-tokoh yang terdapat dalam carita pantun seperti Ciung Manarah dan Hariang Banga yang menceritakan asal muasal Kerajaan Pajajaran. Ini berkesesuaian dengan bunyi naskah Ratu Pusaka di jagat paramodita, eta, kanyahoan Ratu Galuh, kərna bijil ti alam gaib, nya Nabi Adam ti həla.[19]

Pencampuran kisah Adam dengan Ratu Galuh dalam satu kisah kemungkinan dilatarbelakangi oleh keadaan tidak terserapnya secara penuh ajaran Islam, terutama kepada penulis naskah itu sendiri.[20]

Jika sebelumnya ada percampuran mengenai genealogis tokoh Islam dengan Sunda-Hindu, maka ada juga mitos baru yang muncul dari mitos lama yang kemudian dikemas kembali berdasarkan agama yang baru, contohnya mengenai kisah pemujaan masyarakat Nusa Jawa terhadap gunung. Lebih jelasnya perhatikan petikan berikut:[21]

Maṅka uraṅ nusa jawa pada sujud ka gunuṅ anteg dijiən pamujaan, maṅka katiṅalan ku malekat yen ruksak umatna kabeh sujud ka kayu ka batu, maṅka dipanah ku gugutuk batu, mangka sujud ka batullah. Lalu orang semua pulau Jawa bersujud kepada gunung, lalu dijadikan pemujaan. Maka terlihat oleh malaikat [yang menganggap] bahwa semua umatnya akan rusak karena sujud kepada batu, lalu dipanahlah [mereka] dengan bebatuan, akhirnya [mereka] bersujud ke rumah Allah (Kabah).

— Carita Waruga Guru, fol 11-12[22]

Dari petikan di atas, tampaknya penulis ingin menegaskan bahwa batuan yang terdapat di gunung adalah sisa-sisa dari batu yang dihujamkan oleh malaikat yang murka terhadap kebiasaan penduduk yang musyrik. Dengan adanya mitos ini, kabuyutan akhirnya dilegitimasi oleh Islam, sehingga membuat para cendekia di kabuyutan pada masa selanjutnya mengalami perubahan iman.[23]

Penggunaan

sunting

Keruntuhan kerajaan Pajajaran membuat dimulainya periode transisi Hindu ke Islam yang membuat kosakata dalam bahasa Sunda pada masa itu mengalami perubahan, dari yang tadinya dibumbui dengan kosakata bahasa Sanskerta, menjadi digeser dan diisi oleh kosakata bahasa Arab, sehingga hal ini juga memengaruhi struktur bahasa Sunda itu sendiri.[24] Penggunaan bahasa Sunda kuno yang dikatakan masih bersih hanya dijumpai di lingkungan pedesaan yang masih setia menggunakan bahasa tersebut. Sementara itu, di lingkungan pesantren, bahasa Arab mulai tumbuh subur dan berkembang.[25] Selain dalam kosakata dan struktur bahasa, dampak perkembangan Islam juga terlihat dari sistem tulisan yang mulai digantikan oleh penggunaan abjad Pegon (Arab-Sunda)[26] dalam naskah-naskah Sunda pada masa selanjutnya.[3]

Selama periode transisi ini, percampuran unsur Hindu dan Islam merupakan hal yang sangat lumrah dan dapat terasa sangat kuat, salah satunya dalam sebuah mantra bernama Pañukat Aji Cakra, yang berbunyi sebagai berikut:[27]

Saṅ ratu Limbuṅ Gumur, Nu tumetes sakiṅ Məkah, Nu muṅguh sakiṅ kidul, Dat muliya sampurnahidattulah, Saṅ Ratu Kilat Barahma, Nu tumetes sakiṅ Məkah, Nu muṅguh sakiṅ kaler, Twa Darma Makilat, Tumurun sakiṅ Məkah. Sang Ratu Limbung Gumur, Yang berasal dari Mekah, Yang berdiam di selatan, Zat mulia dan sempurna (dari) segala dzat Allah, Sang Ratu Kilat Barahma, Yang berasal dari Mekah, Yang berdiam di utara, Sesepuh Darma Makilat, Yang turun dari Mekah

— Pañukat Aji Cakra, 36-47[27]

Mantra di atas menjelaskan tempat asal para makhluk mitologis yang dimuliakan yang ditulis berdasarkan arah mata angin, yang salah satu tempatnya adalah Mekah.[16]

Naskah

sunting

Naskah-naskah pada masa Sunda Klasik/Peralihan yang masih bertahan hingga kini jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga dapat dikatakan sangat miskin akan sumber. Banyak di antara naskah-naskah Sunda Klasik berasal dari Kabuyutan, yang selain digunakan sebagai tempat peribadatan, juga difungsikan sebagai pusat pendidikan dan skriptorium. Jumlah naskah yang terselamatkan tidak lebih dari 100-an naskah, selain di Kabuyutan, beberapa tersimpan di perpustakaan dan museum. Dari seratusan naskah yang ada, sebagian besarnya belum dilakukan kajian filologis yang mendalam. Penelusuran dan inventarisasi serta penelitian termutakhir mendapatkan setidaknya sepuluh naskah yang baik secara parsial maupun secara total menggunakan bahasa Sunda dan semuanya menggunakan aksara Sunda Kuno yang dikatalogisasi oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).[28] Naskah-naskah tersebut adalah:

Carita Waruga Guru

sunting

Keberadaan naskah ini sudah tidak diketahui lagi dan telah hilang dari koleksi di Perpusnas sejak tahun 1990-an. Namun, Pleyte (1913) sempat menyunting dan mengusahakan naskah ini ke dalam bentuk faksimili bernomor KBG 74. Pleyte (1913) mengestimasi penggubahan naskah ini dilakukan antara tahun 1705-1709.[29]

Wirid Nur Muhammad

sunting

Bahasa Sunda digunakan dalam naskah ini hanya pada bagian kolofon. Naskah ini bernomor KBG 75, berbahan daluang, dan menunjukkan ciri-ciri kodikologis yang menarik. Penulis atau Penyalin naskah ini adalah Kai Raga. Naskah disalin pada Wulan Mukaram Sukra Kaliwon (bulan Muharam hari Jumat Kliwon), kombinasi penanggalan Hindu dan Islam.[30]

Doa Bacaan Shalat

sunting

Teks yang berisi doa ini tergabung dengan teks-teks lain pada naskah lontar bernomor L 421, berisi 15 lembir dengan lempir terpanjang berukuran 38,3 x 3,2 cm, teksnya berbentuk puisi dan kondisinya masih dalam keadaan baik, hanya ada beberapa kerusakan kecil akibat serangga. Bahasa yang digunakan lebih didominasi oleh bahasa Arab daripada bahasa Sunda.[30]

Pañukat Aji Cakra

sunting

Dalam katalog, teks ini berada pada nomor L 421, meski berada pada satu koropak dengan teks Doa Bacaan Shalat, isi teksnya berbeda.[31]

Pakeliṅ

sunting

Teks Pakeliṅ terdapat dalam dua naskah lontar bernomor L 413 dan L 414. Keduanya berasal dari pemberian R.A.A. Kusumadiningrat, bupati Galuh periode 1839-1886. Teksnya berbentuk puisi yang setiap barisnya berjumlah delapan suku kata.[32]

Teks ini membahas tentang syariat/hukum-hukum Islam, seperti yang tampak pada penggalan teks ini yaitu:

Ulah dek bəki ka najis, mulah kalalar ku haram, mulah dek inum makeruh, sasanak rəjəṅ nu wənaṅ, reya hamal rəjəng sunat. Janganlah suka terhadap hal yang najis, Janganlah terganggu oleh hal yang haram, janganlah meminum sesuatu yang makruh, bersaudaralah dengan yang wenang (jaiz), banyak-banyak beramal dan [melakukan] sunat.

— Pakeliṅ, 31-35[33]

Secara keseluruhan, teks ini berisi petunjuk kepada manusia yang hendak menjalankan perintah Allah. Satu hal yang menarik, teks Pakeliṅ ditulis dengan pola delapan suku kata pada setiap barisnya, menunjukkan ciri yang mempertahankan pola pada teks-teks pra-Islam. Selain pada pola penulisan, ciri lain yang menunjukkan warisan Pra-Islam adalah konsep kosmologi yang digunakan, yaitu menekankan tiga jenis manusia utama yang perlu dimuliakan, yaitu ibu, ayah, dan guru. Pengarang teks tampaknya memperingatkan pembacanya agar selalu mena'ati ibu, menyucikan ayah, dan menuruti guru, seperti pada kutipan berikut ini:

Maṅka tuhu di na guru, maṅka suci ka na bapa, maṅka matuk ka na indung. Maka turutilah guru, maka sucikan ayah, maka taatilah ibu.

— Pakeliṅ, 61-63[34]

Apabila hal di atas tidak dilakukan, maka menurut teks ini seseorang akan menemui nasib yang sial, tidak hanya ketika berada di dunia, melainkan juga akan terbawa hingga ke alam akhirat, umur sang pendosa akan pendek, rejekinya tertutup, mengalami kesengsaraan yang lama, menjadi budak di dunia, dan perjalanannya menuju surga akan terhalangi. Konsep neraka yang digunakan pada teks ini masih merujuk pada konsep dari agama Hindu (kawah), seperti pada bagian berikut:[35]

Bisi saat na rajəki, bisina dataṅ na baya, naraka ka na kawahna, hirup hantə pañjaṅ umur, mala pañjaṅ hantə iman. Lamun na hantə nuturkən guru, watəkna kasəbəlan, Na habid di dunya, Di dunya tə mənaṅ rahmat, di batin ləṅit rajəki, halaṅan ka sawarga, gəde jalan kana kawah. Akibatnya kering dalam rejeki, akibatnya tertimpa kemalangan,masuk neraka pada kawahnya, hidupnya tak panjang umur, Celaka berkepanjangan akibat tidak beriman. Jika tidak menaati guru, [dan] sifatnya menyebalkan, [maka] menjadi budak dunia, di dunia tidak mendapat rahmat, kehilangan rejeki dalam batin, terhalangi ke surga, besar jalan menuju neraka.

— Pakeliṅ, 61-63[36]

Jampe Sepi Gəni

sunting

Teks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Teks berupa mantra pendek yang hanya terdiri dari 6 baris.[32]

Jampe Paṅlokatan

sunting

Teks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Walau berada pada naskah bernomor sama, teks ini merupakan teks tersendiri yang berbeda dengan Jampe Sepi Gəni.[37]. Jampe Paṅlokatan berarti "mantra penyucian".[38]

Asihan Sapu Jagat

sunting

Teks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Teks berupa puisi asihan yang terdiri dari 31 baris.[39]

Jampe Kana Bərit

sunting

Teks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Teks berupa mantra yang terdiri dari 30 baris.[39]

Jampe Bətari Solekat Jati

sunting

Teks berupa mantra yang terdiri dari 51 baris.[39]

Selain naskah-naskah di atas, Prawirasumantri (1990) juga menyebutkan karya-karya sastra yang lahir pada masa ini, di antaranya yaitu Babad Galuh (Carita Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa), Sajarah Gunung Galuh jeung Galunggung, dan Carita Nyi Lokatmala.[40]

Galeri

sunting

Referensi

sunting

Sitiran

sunting
  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ a b c d Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 277.
  4. ^ Sumarlina (2009), hlm. 70.
  5. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 13.
  6. ^ Priyanto (2019), hlm. 40.
  7. ^ Priyanto (2019), hlm. 42.
  8. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 11.
  9. ^ Priyanto (2019), hlm. 41.
  10. ^ Gunawan (2016), hlm. 446.
  11. ^ Gunawan (2016), hlm. 446-447.
  12. ^ Gunawan (2016), hlm. 447.
  13. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 447-448.
  14. ^ Gunawan (2016), hlm. 448.
  15. ^ Gunawan (2016), hlm. 448-449.
  16. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 449.
  17. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 450-451.
  18. ^ Gunawan (2016), hlm. 450.
  19. ^ Gunawan (2016), hlm. 451.
  20. ^ Gunawan (2016), hlm. 451-452.
  21. ^ Gunawan (2016), hlm. 452.
  22. ^ Gunawan (2016), hlm. 452-453.
  23. ^ Gunawan (2016), hlm. 453.
  24. ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 275.
  25. ^ Priyanto (2019), hlm. 41-42.
  26. ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 276.
  27. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 449-450.
  28. ^ Gunawan (2016), hlm. 440.
  29. ^ Gunawan (2016), hlm. 441-442.
  30. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 442.
  31. ^ Gunawan (2016), hlm. 442-443.
  32. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 443.
  33. ^ Gunawan (2016), hlm. 456-457.
  34. ^ Gunawan (2016), hlm. 457.
  35. ^ Gunawan (2016), hlm. 457-458.
  36. ^ Gunawan (2016), hlm. 458.
  37. ^ Gunawan (2016), hlm. 443-444.
  38. ^ Gunawan (2016), hlm. 461.
  39. ^ a b c Gunawan (2016), hlm. 444.
  40. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 15.

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting

Bahasa Sunda Klasik

sunting

Bahasa Sunda Umum

sunting