Chapter Text
Halo, ibu. Halo, ayah.
Semoga ibu dan ayah tidak lupa dengan Raka, ya. Raka juga tidak lupa kalian.
Lama rasanya aku sudah tak menyurati kalian. Apa kabarnya? Kuharap kalian masih tetap sehat-sehat saja.
Kehidupanku di sini begitu baik, aku juga nanti bisa membelikan rumah baru yang lebih nyaman bagi kalian. Juga, aku mau membuat agar rumah baru kalian juga lebih nyaman dihuni bagi ibu yang tidak bisa melihat. Aku sudah belajar juga mengenai membuat fasilitas bagi penyandang cacat, akan kuberikan rancangannya saat aku ke Batavia nanti.
Aku mendapatkan seorang guru yang baik juga. Memang pekerjaanku juga berat, tapi aku puas tinggal di sini. Masih ingatkah saat kubilang aku ingin mempelajari semua ilmu di dunia ini? Oh ya, aku bisa melakukan semua itu dengan mudah di sini.
Namun biar hidup begitu indah, aku tetap rindu kalian.
Semoga kita cepat bertemu, ya.
Salam sayang dariku,
Raka.
29 Maret, 1923
Soerabadja
“Eh, Halim. Kau dengar tak, kabar si Semaun itu?”
Razak menggeleng.
Semaun.
Si anak muda sensasional itu jadi pembicaraan. Seperti biasanya. “Kenapa bahas soal si bocah Semaun itu?” Razak kembali bertanya. “Dekat saja juga tidak… pula, bukannya dia sudah diasingkan sekarang? Memang penting buat kita-kita di sini?
Memang tidak. Ia mendaftarkan diri sebagai anggota Sarekat Islam saja juga diam-diam dan memalsukan nama aslinya. Ia hanya butuh informasi dengan berada di sini.
“Penting itu! Ini bukan kasus biasa, tak tahukah kau, Lim?” seorang yang lain balik berseru. Dasar anak-anak tukang gosip. “Masih hangat. Hangat macam tahi ayam.”
Razak kembali diam. Berusaha mendengarkan semua yang bisa ia dapatkan. “Ini macam kasus 2 tahun lalu. Tahu ‘kan, waktu Semaun dan Agus Salim mulai panas itu?”
“Ultimatum pemisahannya sudah keluar dan sudah disahkan. Memang mereka masih ada hubungannya?”
“Makanya dengarkan dulu, Sum. Aku belum selesai cerita.” pada masa ini, Razak sama sekali tidak peduli siapa bercerita pada siapa. Mau itu Lutfi, Sum, atau siapa lagi, terserahlah. Yang penting baginya adalah mendapatkan informasi. “Mereka memang sudah lepas satu sama lain, tapi bukan berarti aku tak punya kabar apa-apa dari sana.”
“Lalu apa ceriteranya, Lut?”
“Jadi… kudengar SI ini mau berubah haluan. Ndak sekadar dagang-dagang lagi. Tahu sendiri si bapak, pak Tjokro, masih aktif di Volkskraad[1] jadi pasti salah satu cita-citanya tuh untuk bawa suara SI sampai ke sana.” pria yang (sepertinya) bernama Lutfi itu bercerita dengan gaya berbisik. “Cuma, ini nih masih rahasia. Tahu sendiri pak Tjokro orangnya mah begitu. Tertutup.”
"Mau dibawa ke Volkskraad? Yang benar saja.” salah satu pria itu menghela napas berat. Ia menenggak kopi tubruknya bulat-bulat, langsung habis. “Kalau sudah begini, bisa-bisa kita tak akan ada bedanya dengan haluan Semaun, cari ribut terus.”
“Sabodo teuing. Allah bakal menyertai kita. Aku yakin itu, karena jalan kita ndak kayak Semaun.”
Razak kembali menengak kopi tubruknya, mata coklat tua mengerling pada gelas kopi putih, kotor oleh residu bubuk kopi. Bibir kering mengatup, ada rasa pahit kopi yang tercecap di ujung lidah Razak.
Di matanya yang cerah, masa depan Hindia-Belanda sudah meredup.
3 April, 1923
Leiden
Raka meneguk air liurnya.
Berada di samping Jan menjadi aneh rasanya. Pria Londo itu tegas, namun anehnya tidak membatasi ruang geraknya. Ada banyak hal yang dapat ia lakukan, dengan bebas, tanpa peduli akan status sosialnya.
“…lalu pukul sebelas nanti akan ada pertemuan dengan meester Bonnefoy…”
Selama ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tentu saja.
Setelah kejadian ia pergi dan tidak melapor ke Jan kalau ia diam-diam mengikuti konferensi ke Geneva, ekspektasi Raka bahwa mungkin ia akan dipecat, dipulangkan ke Batavia, dan dirinya kembali jadi kuli angkut lagi. Tapi ternyata tidak, yang ada pekerjaannya bertambah. Katanya tidak ada untungnya mengembalikan Raka jadi kuli angkut kalau Raka masih bisa dipekerjakan. Dasar londo perhitungan, pikir Raka.
“Jan…”
Raka memanggilnya. Jan masih sibuk sendiri, berbicara sepihak. Membacakan semua yang perlu ia lakukan di hari itu dengan harapan Raka akan mengikuti kata-katanya, mutlak.
“Johann.”
Jan menoleh ke arahnya. Wajah nampak kurang senang dipanggil demikian, terlebih nada yang kuat terdengar dari cara Raka memanggil namanya. Sesaat Raka menyesali caranya memanggil Jan. Ia lupa, caranya memanggil sedikit tidak sopan. Jan memang bukan tuan londo yang harus dipanggil dengan hormat. Ia tidak suka basa-basi, tapi tentu ada beberapa batasan tata krama yang harusnya Raka turuti.
Tatapan Jan terasa dingin. Raka meneguk air liurnya, memperhatikan Jan bergerak mengatur posisi duduknya. Jangan-jangan, pria ini marah.
“Apa?”
.
Apa kabarmu?
.
Pertanyaan itu tiba-tiba terngiang di ujung kepala Raka. Tidak, bukan itu .
“Kau… masih marah padaku?”
Jan menatapnya balik. Pria itu hanya tersenyum sekilas, tertawa kecil, lalu melipat tangannya, dan memasang wajah kesalnya.
“Pertanyaan bodoh itu, tentu saja aku masih marah.”
Siapa yang tidak marah kalau asistennya kabur begitu saja, lagipula?
.
Kau baik-baik di sana, Raka?
.
Jawabannya pasti buruk. Sudah ia duga.
Raka hanya diam, malu mendorong rasa panik mengisi hatinya. Rasanya takut. Jan kalau takut memang menyeramkan. Londo manapun kalau marah memang menyeramkan. Sialan.
“Sudah, berhenti jadi patung. Lanjutkan saja yang tadi. Catat semuanya.” Jan tidak peduli, ia tetap lanjut berbicara. “Lalu kita masih ada pertemuan dengan dekan dari universitas…”
Jan berharap semua kesibukan ini bisa mengesampingkan emosinya. Pria berambut kuning itu jelas sadar kalau ia tidak bisa menghadapi masalah Raka yang seenaknya pergi entah kemana dengan emosi belaka.
.
Aku rindu denganmu, kian hari tanpamu, hampa relung hatiku. Manakala setiap pak pos datang, membawa surat dan kisah-kisahmu, tak lupa dengan laporanmu tentang Leiden, selalu membuatku ceria.
.
“Heh, Raka. Disuruh mencatat malah melamun, kamu ini…”
Satu sentilan mendarat di kepalanya, dan Raka mendesis kesakitan. “M-maaf, aku terlena tadi…” kepala Raka dibayangi akan isi surat yang ia baca pagi ini, dan entah mengapa rasanya kalau sekarang kembali ke Batavia, ia tidak harus lagi berhadapan dengan mentornya yang cerewet ini.
“Jangan melamun saat bertugas. Sudah pergi tak izin, setidaknya sekarang bekerjalah dengan benar.”
Ini semua akibat kelalaiannya, namun tetap saja terjebak dalam hukuman itu mengesalkan.
“…aku sudah bilang maaf, bukan.”
Namun jika ia menyerah sekarang, sama saja Raka membuang kesempatan untuk berbuat sesuatu yang mulia bagi bangsa dan negaranya.
“Maaf saja tidak cukup, Raka. Buktikan kalau kamu benar-benar serius meminta maaf dengan hasil kerjamu.”
Pemuda berkulit sawo matang itu hanya diam mematung. Tentu saja. Ia harusnya merasa beruntung tidak dikembalikan ke Batavia begitu saja.
.
Kutahu bahwa sukar bagimu mendapatkan semua ceritera itu. Namun, Raka, sudikah kau bercerita lebih banyak padaku?
.
“Ada lagi yang bisa kukerjakan?”
Ada Raka yang masih mematung dengan buku catatannya, duduk, dan Jan yang duduk di atas meja dengan santai, meminum teh yang semenjak tadi belum sempat ia minum.
Teh melati di tangan Jan sudah sama seperti suasana kini; dingin, mulai hambar.
“Entahlah, apa aku bisa percaya denganmu, Tuan Mandala?”
.
Aku ingin berhenti membenci para londo itu, maka aku ingin belajar melaluimu, bagaimana mereka bekerja? Mengapa hati mereka bisa demikian tangguh? Atau mengapa pula tata kota mereka begitu apik?
.
Lama-lama lelah juga rasanya jika ia harus terus mendengar kata-kata menyakitkan itu. Iya, Raka masih lamban dalam menerjemahkan. Ditambah ia kabur terus. Tidak seperti gurunya satu ini yang sudah berpengalaman. Tapi Jan harusnya bisa percaya padanya.
“…jadi selama ini aku masih kurang dipercaya.”
Jan bergumam, meletakkan tangannya di dagunya dan kemudian nampak seperti berpikir-pikir. Sadar yang barusan bukan pertanyaan, tapi sebuah pernyataan. “Hmm… kalau boleh jujur, kamu dan etika kerjamu yang suka-suka begitu memang tidak bisa dipercaya. Tapi kita punya kepentingan yang sama untuk saling belajar, jadi ya, aku bisa sedikit lebih sabar padamu.” tuturnya, raut wajahnya mulai sedikit santai, “Tapi kamu yang putus asa begini lucu juga ya.”
Sialan, Raka mendecak, “Oh jadi sejak tadi aku dikerjai. Asu buntung. ” Mulut liarnya kembali mengeluarkan umpatan. Sadar akan kesalahannya, ia segera menutup mulutnya. Wajahnya memucat.
“Hush. Jangan ada umpatan di rumahku.”
Lalu hening. Raut wajah Jan berubah menjadi tegas sekali lagi.
.
Kau mau, ‘kan, memberitahuku, tentang semua itu?
.
Raka paham bahwa dirinya memang sebegitu menyebalkannya, sebegitu kurang terdidiknya, tapi tetap saja ia merasa semakin disebut, semakin ia merasa gagal hidup. “Tapi,” Jan melanjutkan ucapannya lagi. “Berkaitan dengan kepergianmu yang tanpa izin itu, aku bisa paham kalau ada kalanya kau ingin merasakan hal baru. Lagipula aku yakin masalah kau pergi jauh tanpa izin itu bukan sesuatu yang akan selalu kau lakukan, jadi untuk kali ini, buat kejadian ini impas dan terjemahkan semua surat-surat ini ke bahasa Prancis.”
Raka terkejut saat melihat setumpuk surat dalam bahasa Belanda jatuh di depannya. Astaga, banyak sekali. “…hukuman darimu menyiksa sekali.” Raka menjawab lirih, tangannya mengambil satu lembar yang berada di paling atas. Berbicara dalam bahasa Belanda saja sudah membuat Raka kadang pusing, lalu sekarang harus menerjemahkan ke bahasa Prancis? Siksaan batin. Belum lagi yang harus ia terjemahkan adalah surat dari Universitas Leiden untuk Departemen Pendidikan Prancis, tentang inisiasi pertukaran pelajar. Huft, surat formal. Benci. “Tidak harus urut, ‘kan?”
“Tidak, tapi lima puluh surat ini harus selesai sebelum wawancara ke stasiun radio hari Minggu ini.”
“Tiga hari lagi…?”
Mati saja.
“ Ja , Mukamu tampak masam begitu. Tidak suka?”
“Tentu saja tidak…”
.
Jangan ada rasa ragu bersarang di hatimu, Raka. Sebab aku hanya pria yang ingin belajar.
.
“Hadapi resiko, kalau begitu.” Jan akhirnya tersenyum. Bukan senyuman manis, lebih terasa menantang, bercampur puas karena bisa sedikit menyiksa anak ini. “Kalau kau bisa menyelesaikannya dengan cepat, mungkin aku tidak akan jahat lagi padamu.”
Raka terdiam, menatap ke arah Jan dengan tatapan yang tidak bisa dipahami oleh Jan.
“Kenapa?” Jan bertanya lagi saat tidak mendapatkan respon dari Raka. Anak ini malah melotot kepadanya, seram juga, dengan mata bulat besar itu.
“Jan selalu baik padaku, kok.”
Tidak ada senyum, tapi ucapannya tulus.
.
Juga, kudengar bahwa kebaikan akan membawamu sampai ke ujung dunia.
.
Jan mengernyit bingung.
“Kamu mau memanis-manisi diriku, Raka?”
Raka menggeleng. “Tidak, itu pendapat jujurku. Jika aku bekerja dengan orang lain pasti sudah menyuruhku kembali ke Batavia, atau aku dibuang begitu saja di tengah jalan.”
“Menyelesaikan pekerjaanmu adalah kewajibanmu. Itu etika profesionalisme, Raka. Aku tidak percaya dengan cara membuangmu hanya karena satu kesalahan akan menyelesaikan masalahku, yang sedang butuh penerjemah, dan juga masalahmu, yang kurang disiplin.” Jan mengelus pundak Raka. Senyumnya kembali mengembang. “Wajar jika manusia berbuat salah, asal lain kali tidak kau ulangi saja. Janji?”
Raka tersenyum kecil, rasanya senang diberikan semangat dari mentornya itu.
“Ja, aku janji.”
.
Maka, aku percaya bahwa tidak ada yang bisa menandingi ketulusan hatimu.
Sampai jumpa di lain waktu.
Kutunggu kabarmu.
Salam sayang,
Razak.
Bukan Raka Pratama Mandala namanya kalau ia tidak bisa menyelesaikan semua terjemahan tersebut dalam waktu tiga hari. Walau itu berarti tiga gelas kopi sehari (bagi seseorang yang sudah jarang minum kopi), yang penting semuanya selesai. Kalau ada yang salah, itu urusan nanti.
Hari ini sudah hari Minggu. Biasanya ia beristirahat di rumah, tapi hari ini dirinya yang menjadi perbincangan; namun bukannya ia diberi kesempatan untuk berbicara, tentu, seperti biasa, Jan yang akan memperkenalkan tentang dirinya. Bagi orang-orang Eropa itu, dirinya tidak akan pernah dianggap setara. Kulit cokelatnya dan rambut hitam eboni hanya akan jadi alasan bahwa dirinya layak dimasukkan ke kebun binatang manusia. Ada banyak di Amerika Serikat sana, Raka tidak akan pernah mau menjejakkan kakinya ke negeri jahanam itu.
“...kembali lagi di Bincang Sore, kali ini, kami akan menghadirkan tamu kehormatan dari Universitas Leiden, Johann van Kanne.”
Raka menatap si pembawa acara, nampaknya girang sekali padahal di depan matanya hanya ada satu mikrofon besar, sekotak mixer dengan tombol-tombol yang lebih besar ketimbang jemari pria itu. Jan tersenyum ketika namanya disebut, dan pembawa acara itu seperti memberi aba-aba. ‘Dalam hitungan lima,’ jemari sang pembawa acara berkata demikian.
Lima, empat.
Dada Raka berdegup kencang. Baru kali ini ia bisa sampai masuk ke radio. Semua orang akan mendengarkan suaranya.
Tiga, dua.
Dulu ia kira masuk ke radio hanya angan-angan. Jangankan bisa berbicara di radio, memegang rupa radio saja juga jarang-jarangnya. Alat komunikasi macam apapun bukan hal yang dapat dinikmati orang kecil semacam dia. Paling-paling hanya sesekali kalau lewat dekat ke Balai Kota, itu juga harus menunggu seseorang lupa menutup jendelanya.
Satu.
“Selamat datang kembali di acara Bincang Sore! Pada hari ini kita kedatangan bintang tamu yaitu Johann van Kanne dan asisten pribadinya dari Indiës.” suara musik klasik yang sudah direkam sebelumnya terdengar dari belakang, perlahan mengecil menjadi suara latar. “Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk hadir pada kesempatan kali ini, tuan van Kanne.” pembicara lelaki itu menyalami Jan lagi.
“Menjadi sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa hadir di acara Bincang Sore.” Jan tertawa. Dalam hati Raka ada perasaan lucu melihat Jan tertawa. Pria ini, tertawa? Di depannya? Barangkali kalau hanya mengejeknya saja. Raka tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka, ia tahu pasti dirinya akan jadi obyek eksotisme lagi. Bisa bicara banyak bahasa. Jadi terkenal sesaat, lalu jadi bahan omongan orang yang tidak ia kenal dalam bahasa yang tidak enak.
“Jadi, apakah menurut Anda seorang pribumi secara umum dapat memiliki kapasitas belajar yang sama seperti kita?”
Cukup ofensif. Raka sudah terbiasa. Matanya lebih terfokus pada satu ruangan yang terlihat sedikit dari ruang radio itu. Ada satu alat yang terlihat lucu. Nanti ia tanyakan saja pada Jan.
“Oh, tuan. Yang harus diingat bahwa pribumi juga manusia. Saya yakin bahwa mereka dapat memiliki kapasitas belajar yang sama dengan kita juga.”
.
Ah, cepat akhiri saja wawancara bodoh ini. Kuping Jan sudah panas.
Tentu saja radio ini akan menanyakan pertanyaan rasis soal Raka. Bodohnya yang berharap stasiun radio ini akan benar-benar ingin tahu akan penelitiannya. Untung saja masih ada istirahat sebentar.
Ia menghela napas, kesal sebenarnya. Tapi ia tidak bisa menunjukkan itu. Jan hanya bisa tersenyum di depan pembawa acaranya. Jan tahu bahwa sang pembawa acara hanya seorang pekerja bodoh yang melakukan pekerjaannya, tidak usah menambah beban hidup pria ini. Ia hanya kasihan saja pada Raka. Sudah hidup susah, kemana-mana juga jadi bahan omongan orang lain pula.
“Kita ada istirahat 15 menit.” Jan berucap kepada Raka, yang sepertinya masih melamun saja, entah tentang apa. “Hei, Raka.”
“Oh? Uhm, oke.”
Ajaib memang anak satu ini.
“Kalau kamu mau bokongmu memaku di sana, tidak masalah, sih.” Jan berucap dengan wajah datar seperti biasanya. Dalam hatinya ia masih bingung mengapa manusia aneh seperti Raka masih bisa bertahan hidup saja. Pria ini sering sekali melamun, sebenarnya.
“E-eh, Jan—tunggu sebentar.”
Lalu dia akan mengejarnya dengan langkah kaki yang sedikit keras. Tipikal Raka, kadangkala lupa tata kramanya. “Etika, Raka.” kalau sudah seperti ini ia harus ingatkan Raka dengan satu kata itu. Jan tidak mau membandingkan Raka seperti anjing peliharaan tapi anak ini kadangkala perlakukannya seperti itu.
“Ups.”
Keluar dari ruangan itu, mereka tiba di satu ruangan untuk minum, beristirahat. Seperti biasa, semua melihat ke arah Raka dengan tatapan aneh. Mereka berjalan memojok di ujung ruangan, mengambil segelas minuman yang telah disediakan. Raka meminum minumannya dalam diam, begitu pula dengan Jan. Sesaat keheningan ini tidak terasa nyaman; tidak seperti biasanya.
“Kamu melamun terus.”
Seperti biasa, lagi, Jan yang memulai pembicaraan. Sepertinya jarang sekali kalau dalam keadaan seperti ini Raka mau mulai bicara terlebih dahulu. Hal itu membuat Jan jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa gerangan yang ada di pikiran pria ini? Awalnya memang Jan berpikir apa jangan-jangan anak ini kepalanya kosong, tapi setelah diperhatikan lagi, mungkin anak ini hanya tidak mengatakan isi kepalanya saja.
“Baru kemarin kamu bilang aku cerewet.”
“Tapi sekarang kamu sedang melamun. Sejak awal acara tadi kamu tidak bicara sama sekali, padahal biasanya kamu tuan cerewet.” Jan menghela napas. Tentu saja ia tidak perlu bertanya ada apa, tak punya perasaan sekali dirinya kalau ia sampai bertanya begitu. “Sebentar lagi kita akan selesai. Sabar saja.”
“Ya.”
Lalu hening lagi.
Saat-saat seperti ini membuat Jan jadi berpikir ulang lagi, apakah keputusannya untuk membawa orang seperti Raka jauh dari rumahnya adalah benar? Jika ia mau bicara dalam sudut pandang yang egois, dirinya sendiri selalu jadi pandangan. Setiap hari akan ada saja yang menanyakan mengapa ia mau membawa Raka kemanapun ia pergi. Memiliki seorang babu atau jongos inlander [2] memang bukan hal yang aneh, tapi memperlakukan seseorang yang seharusnya dari kaum jongos itu dalam satu pijakan yang sama itu … tidak lazim.
Sama seperti Raka yang barangkali ingin berteriak untuk diperlakukan sama, Jan memiliki keinginan untuk melakukan hal demikian tanpa ditentang oleh orang-orang sekitarnya.
“Kita akan kembali menjalankan siaran. Kembali ke ruangan.”
Andai ia punya keberanian itu.
Kenyataannya Jan adalah pria pengecut yang tidak berani untuk mengatakan isi hatinya.
21 Agustus, 1924
Batavia
Razak kira setelah setahun berlalu, dendamnya akan surut.
Namun sudah setahun berlalu, hidup berjalan, dan bisnisnya semakin makmur, tetap saja tidak ada satu hal pun yang berubah. Razak masih seorang manusia yang pahit dengan dendam. Batavia terasa mati bagi Razak, sama seperti rumahnya yang sepi, dan seperti kebunnya yang kering, hingga hanya tersisa satu pohon yang hidup pun segan, mati pun tak mau.
Barangkali itu juga representasi dari dirinya. Menyedihkan.
Sudah beberapa hari ia tidak keluar dari kamarnya, jika keluar pun paling-paling hanya untuk buang air kecil dan minum kopi saja. Lain dari itu, Razak tetap di kamar, duduk diam di kursi, jemari sibuk mengetik manuskrip. Sudah beberapa hari orang-orang dari kantornya bahkan tidak melihat wajah sang pimpinan. Semuanya khawatir, tidak biasanya, bisik orang-orang yang mengenal Razak. Apakah dia sakit? Si mbok yang selalu membersihkan rumah Razak hanya menjawab ‘ya’, walau kenyataannya tentu saja Razak sehat bukan main. Paling-paling yang sakit hanya hatinya, dan si mbok juga tidak perlu tahu akan hal itu.
.
Sahabatku, Razak, apa kabarmu?
.
“Aku tidak baik.”
Sejak kapan dirinya pernah baik? Malam di mana ia menatap Raka, melihat laki-laki dengan kulit gelap yang matang karena matahari, adalah waktu di mana ia menyadari bahwa ia tidak akan pernah baik jika itu bukan Raka. Malam pertama ia tidur di samping Raka, ia tahu bahwa tidak akan ada wanita semolek apapun yang dapat memuaskannya. Razak tahu, biar tangannya belum pernah merasakan sentuhan fisik dari tangan Raka yang kasar, biar ia belum pernah mencium tengkuknya hingga ia bisa mencium bau keringat bercampur matahari dari lehernya, Dewi Kwan Im sekalipun tidak akan bisa menggodanya untuk berpaling.
.
Kadang aku berharap kau ada di sini. Aku kangen dengan antik-antikmu, berbicara dalam bahasa Melayu lagi. Aku kangen, Zak. Semuanya di Leiden cantik, nyaris sempurna, jika saja ada karibku di ini.
.
Kadang Razak berharap Raka mungkin lupa, lalu mengganti kata karib itu dengan kekasih. Ia terdengar seperti orang yang haus. Tidak apa, ia tidak peduli juga. Hanya dirinya yang tahu, tidak ada siapapun yang tahu tentang perasaannya.
Tidak Raka sekalipun.
Sudahlah ia hentikan saja rasa menyedihkan ini. Tidak ada gunanya ia berlarut-larut dalam sedih. Tidak ada gunanya juga ia terus membaca ulang paragraf pertamanya tanpa lanjut. Yang penting dari surat Raka bukanlah kata-kata manis, atau basa-basi yang Razak tahu pada akhirnya bukan berniat untuk membalas perasaan terdalamnya.
Razak berjalan menuju kamar mandi, mengambil silet, dan mencukur janggut yang sudah mulai tumbuh tidak beraturan. Ia tidak bisa datang ke pertemuan malam ini dengan berantakan. Ia harus terlihat rapi, tampan, dan berwibawa.
.
Aku tidak menyangka bahwa aku akan belajar di tempat salah satu penghancur perlawanan kita. Kau pasti tahu soal Hurgronje. Bapak tua itu ternyata salah satu akademisi di sini. Semua orang di sini mengelu-elukan bapak tua itu, tapi aku, dan seharusnya sama seperti sesama saudara setanah airku, seharusnya membenci dia.
.
“ Mas Razak?”
Mbok tua yang menjagai rumah ini terkejut; pasalnya tidak menyangka bahwa sang tuan muda akan keluar dari kamarnya, sudah rapi pula. Terakhir kali ia melihat tuan muda Razak keluar itu semalam, dan jelas-jelas tuan mudanya tidak terlihat dalam keadaan baik; berantakan, seperti tidak bernyawa. Entah apa yang merasuki pria itu, mbok tidak bisa memikirkan apapun saking terkejutnya. “ Mas mau keluar sekarang? Tidak apa-apa, mas ?”
“Tidak apa-apa.” Razak menjawab dengan dingin. Tidak ada lagi senyum sopan yang ia berikan kepada ibu tua yang sudah merawat rumah ini sejak dirinya masih seonggok bocah tengil. Pria muda itu berjalan pergi, membawa berkas-berkas yang nampak penting, entah buat apa gerangan.
.
Benar katamu, ada banyak orang-orang Islam palsu. Bapak ini salah satunya. Katanya bersumpah dalam nama Allah tapi ia malah bangga dengan pencapaiannya untuk menjatuhkan Indonesia kita. Setiap aku bertemu dengannya, rasanya ingin sekali aku menonjok wajahnya, berteriak, ‘Karenamu, Atjeh jatuh lagi!’. Tapi tentu saja aku tidak bisa berkata demikian.
Seperti katamu, Razak, karibku terkasih, aku punya tugas yang lebih besar dengan berada di sini, bukan?
.
Razak punya mobil, juga jongos yang bisa disuruh-suruh untuk menyetir mobilnya. Namun ia tidak merasa ingin berada di kotak sempit itu, dengan kesendiriannya. Razak lebih baik berada di kerumunan yang ramai, membiarkan pikirannya kalah suara dengan kencangnya sorak-sorai para pemuda dan buruh yang ingin lepas dari kungkungan feodal.
“Kami ingin bebas, para londo sudah terlalu lama menjadikan kita kuli !”
Razak menikmati tenggelam dalam teriakan benci mereka. Ia datang dari satu demi satu organisasi kekiri-kirian yang bisa ia datangi, sebab mereka yang paling banyak menyarangi benci. Dulu ia seorang pemuda dengan pikiran yang jelas. Dulu ia ingin menjadi pedagang yang sukses. Lalu kemudian bapaknya tiba-tiba hilang dari kehidupannya, entah kemana. Ia tidak tahu, tidak peduli juga. Buat apa juga peduli pada ayahanda yang tak peduli pada ibunda yang diperkosa oleh para londo asu itu?
Pada akhirnya Razak hanya punya sisa bangkai dari usaha ayahanda, mendirikannya lagi dari awal, selagi pikiran dan hatinya selalu kalut. Bayangkan mata terbuka dan mimpi buruk tetap menutupi pandanganmu. Itu Razak, sehari-hari.
“Razak, kau tidak mau mencari karib lain?”
Dulu ayahanda pernah bertanya demikian. Dulu ia menjawab “…sahabatku banyak.” dengan penuh keraguan. Sekarang, andaikata ayahanda masih ada di sampingnya, ia akan berkata bahwa mimpi buruk adalah karib barunya setelah Raka. Sayang ayahanda sudah hilang entah ke mana.
“Hei, Halim! Kami sudah menunggumu!”
Pria-pria dengan tubuh lebih kekar darinya datang menghampiri Razak, menyalami dirinya. Razak tersenyum saja. “Kukira kalian akan mulai duluan.”
“Tidak kalau kamu belum datang, sobat.”
“Diskusi hari ini, tentang apa?”
“Semaoen sudah balik dari Kongres Komintern. Malam ini katanya ia akan mendiskusikan hasil diskusi itu…”
Pria itu sudah kembali rupanya. “Oh.” sebenarnya hari ini ia datang bukan ingin terlibat dalam tetek-bengek orasi ini lebih lama lagi. Sudah sekian lama pun masih ada perasaan tidak nyaman ketika ia berada di antara orang-orang yang berbeda warna kulit dengannya. “Aku ingin bertemu dengannya.”
Lelaki yang menyapanya tadi langsung membawanya pergi, suaranya jadi lebih pelan, dan setelah ia menyalami beberapa sobatnya yang sudah bersiap mendengarkan orasi, ia berucap lagi kepada Razak. “Kalau ada yang ingin kau sampaikan pada Semaoen, sebaiknya tunggu sampai akhir saja. Tunggu dululah sebentar.”
Sepertinya ia tidak bisa pulang dalam waktu dekat. Ya sudahlah.
.
Karena itu aku percaya, kamu yang akan menyampaikan mimpiku
di tanah air kita sana.
.
Diskusi tanpa arah.
Tidak ada gunanya memang kalau ia terlibat di sini lebih lama lagi. Akal sehat Razak berkata bahwa baiknya ia berhenti saja, jangan lagi terlibat dengan orang-orang gadungan ini. Mereka hanya menyuarakan kemerdekaan tapi tidak tahu bagaimana dan apa konsekuensi kemerdekaan. Bisnisnya pribadi akan hancur juga jika negeri ini merdeka. Habis ini jika tidak ada lagi para londo yang ia benci, bisa-bisa Razak bukan saudagar lagi.
Sayang.
Tapi Razak sudah menyelam terlalu dalam. Biar siapa dan apa pekerjaannya masih belum diketahui oleh mereka, para petinggi dari ISDV sudah tahu Halim. Jika ia menghilang mendadak tanpa memberikan apapun, mereka akan curiga. Razak hanya bisa menunggu, hingga orasi sudah selesai, selagi meminum kopi tubruk yang dijual di warung seberang tempat pertemuan. Lidahnya sudah terlalu banyak mencecap kopi pahit, hingga yang kuat begini pun terasa hambar.
“Kopi lagi?”
Razak menoleh, pria itu tidak lain dari Semaoen; dia yang sudah ditunggu-tunggu sejak tadi. Razak tidak menjawab, hanya melihat dengan tatapan dari matanya yang sudah berkantung, terlihat gelap, selagi menghabiskan kopi tubruknya. “Kau terlihat berantakan.” lanjut Semaoen.
“Terima kasih.” Razak menjawab dengan dingin, seringainya muncul, ia terlihat tidak ada bedanya dari orang mabuk sekarang. “Aku tidak ingin lama-lama, ingin tidur.”
“Hoh, orang sibuk.”
Razak mengangguk saja. Memang kenyataannya ia sibuk, tapi pikiran buruk dan kopi sudah membuatnya bangun berhari-hari. Ia benar-benar butuh tidur nyenyak. “Kalau kau kasihan padaku, sebaiknya kita selesaikan ini sesegera mungkin.” ia menghela napas. “Ini.”
Razak memberikan satu berkas, dibundel rapi dalam satu amplop.
“Kamu tidak memberikanku penjelasan apa-apa tentang apa ini?”
Razak terdiam sesaat. Mungkin kalau itu dirinya yang dulu, ia punya keinginan untuk memberikan pengaruhnya kepada pria ini. Tapi sekarang ia sudah merasa hampa, dan terlanjur terlibat dalam semua masalah yang tidak seharusnya ia ikut terjun. Perkara kemerdekaan atau lepas dari pengaruh imperialis serta tetek-bengeknya tidak pernah mengikat dirinya. Toh, Razak adalah pedagang. Pedagang pada hakikatnya harus fleksibel.
Ia hanya perlu mengambil untung sebesar-besarnya, dan tidak ada waktu untuk menyesali keputusannya.
“Tidak perlu penjelasan. Gunakan saja informasi ini dengan bijak, maka kita pasti akan merdeka dari londo - londo jahanam itu.”
Razak menyampaikan salam pamit, berjalan balik ke arah rumahnya, hanya menyimpan satu lembar surat dari Raka. Surat yang ia dekap erat di dadanya, hingga kusut.
“Maafkan aku, Raka.”
.
Sebab jika itu bukan karenamu, wahai karibku, aku yakin mataku tidak akan terbuka, dan kakiku tidak akan melangkah sejauh ini.
Sampai jumpa nanti, karibku.
15 Mei, 1926
Leiden
Razak, karibku.
Lama tidak kudengar kabarmu, kau baik-baik saja?
.
“Apa ini?”
Di antara mereka, ada sebuah meja. Di atas meja, ada selembar kertas. Di langit-langit ada lampu yang mulai meredup. Namun biarpun redup, Jan dapat melihat jelas wajah Raka yang begitu pucat, nampak tidak tahu apa yang harus ia katakan, membeku begitu saja.
Jan tahu bahwa Raka adalah pria yang senang bekerja. Ia rajin membaca buku di waktu luangnya, buku-buku sulit yang butuh dibaca berkali-kali hingga akhirnya mengerti esensinya. Raka memang haus pengetahuan, dan selama ini Jan membiarkan anak muda itu menjelajahi semua buku dan karya tulis yang ada.
“...surat?”
Tapi tidak sekalipun ia menyangka bahwa Raka ternyata punya maksud lain. Tentu saja Jan tidak semata-mata mengambil seorang anak dari Indies tanpa paham sebagian bahasanya. Ia menemukan surat-surat Raka kepada Razak, dan semuanya berisi tentang kabar dari koran pagi yang biasa ia baca. Atau, kalau tidak, berisi transkrip berita dari radio lokal mengenai keadaan kolonial dari sudut pandang Belanda.
Ia tahu. Ia tidak mau berburuk sangka dulu.
Jan hanya ingin mendengar langsung dari Raka.
.
Aku tak mendengar kabarmu lagi, apa kau baik-baik saja?
.
“Aku tahu itu surat, Raka. Aku tidak bodoh.”
Raka ketakutan bukan main. Ia bingung harus bagaimana. Jan kalau sudah begini menyeramkan sekali. Ia bahkan tidak berani menatap matanya, lagipula memang ini salahnya juga. Sudah dikasih hati, masih minta ampela. Sudah berapa kali Jan memaafkan kesalahan-kesalahan bodohnya?
“Itu surat untuk… sahabatku. Namanya Razak.”
“Razak itu siapa?”
“Dia yang awalnya mengenalkanku pada orang di stadhuisplein Batavia. Teman sejak kecilku, yang kalau bukan karena dia, aku… tidak akan bisa sampai kemari. Bertemu denganmu.”
Bagian itu memang tidak bohong. Hanya saja ia sudah pernah menceritakan tentang Razak sebelumnya. Sering, malah. “Aku sudah tahu yang bagian itu. Kamu anak yang cerdas, Raka.” Jan menghela napasnya, dan helaan napas itu membuatnya merinding, selalu . “Razak itu sebenarnya siapa?”
.
Dalam telegrammu waktu itu, kau memintaku untuk cepatlah kembali ke tanah air. Aku ingin kembali, namun sepertinya aku menemukan panggilan baruku di tanah ini. Ironis, karena awalnya kemari aku ingin mencari tahu bagaimana caranya untuk memajukan bangsa kita.
Tapi aku ingin tinggal di sini sedikit lebih lama lagi, Zak.
.
“Dia hanya teman. Tidak lebih. Tidak kurang.”
Dia berbohong. Tidak ada teman yang berbicara dengan nada penuh kasih bagai berbicara pada duhai belahan jiwa seperti itu.
Oh, tapi betapa bodohnya Johann van Kanne untuk tetap masih punya hati kepada pembohong kecilnya ini. Tapi apalah yang bisa ia percaya dari mulut pembohong? Apakah dari surat terakhir yang hendak ia kirim? Ataukah dari semua balasan dari tuan Razak yang nampak begitu rindu kepadanya, dan memiliki afeksi lebih dari sekadar karib sejak belia?
Apa gerangan yang ada di kepala Raka? Apakah dia tidak sadar?
“Kau yakin ia hanya teman?”
“Yakin.”
Mantap, tanpa ragu. Hal itu malah membuat Jan semakin ragu. Jadi manakah yang benar? Manakah yang tipuan belaka?
.
Untuk pertama kalinya aku punya mimpi, untuk jadi seorang akademisi pertama di tanah penjajah kita ini. Aku ingin membuktikan diri dan membawa nama bangsa kita, hingga satu hari nanti mereka tidak lagi memperlakukan kita jadi kuli saja.
Aku… juga ingin mengikuti Jan sebentar lagi.
Aku sangat kagum kepadanya. Masih ada banyak hal yang ingin kulakukan dengannya, dan ada banyak pula yang masih belum kupelajari darinya. Aku masih ingin tahu semuanya, tentang dia, tentang tanah penjajah ini, dan tentang… kita. Kita, Zak, dari mata mereka.
Aku tidak pernah merasa begitu haus akan pengetahuan sampai sekarang.
.
“Kau yakin… tidak punya hubungan apapun? Yang lebih dari teman dengannya?”
Apa.
“Kau bicara apa? Tentu saja tidak.” Raka mengernyit kebingungan. Ia kira akan dibahas bagaimana, mungkin tentang informasi lainnya, tapi ternyata, ia malah mencurigai hal lain? “Tunggu, Jan. Aku tidak paham apa maksudmu…”
“Kau benar-benar tidak paham…?”
“Sama sekali.”
Astaga, Raka kira ia akan ditanyai soal informasi yang ia kirim ke Razak. Ada apa dengan Jan dan setiap kali ia mengajak berbicara… rasanya menyeramkan sekali. Jangankan diajak serius, yang biasa saja sudah menyeramkan. Dasar londo pelit bicara, sudah begitu wajahnya seram pula. Ia hanya berpikir terlalu banyak bukan untuk apa-apa. Sayang sekali. “Wajahmu menyeramkan sekali, itu saja yang ingin kau tanyakan, Jan?” Raka bertanya sekali lagi pada pria itu, sebenarnya masih merasa sedikit tidak yakin, tapi ia ingin keadaannya sedikit lebih ringan ketimbang sekarang.
Apa daya, hawa ruangan ini terasa berat lagi setelah Jan hanya diam, tidak menjawab apapun.
.
Razak, karibku tersayang.
Terima kasih sudah mau membawaku melangkah sampai sejauh ini. Sekali lagi, jika ini bukan karenamu, aku tidak akan tiba di sini. Aku tidak akan bisa melihat apa yang kau lihat. Jika bukan karenamu, aku hanya akan jadi kuli di dermaga Sunda Kelapa yang selamanya hanya akan melihat horizon saja, tanpa bisa menggapainya.
.
Jan masih tidak percaya. Dari kata-katanya, Raka sama sekali tidak sadar bahwa Razak nampaknya memiliki perasaan yang lebih. Jika demikian, apakah memang benar Raka…
Ah, tidak.
Kalau ia tanyakan sekarang, pasti akan jadi perkara lagi. Raka tidak akan mau bicara, dan semuanya akan jadi masalah. Anak ini mudah-mudah sukar untuk dibaca, dan Jan tidak ingin mengambil resiko. “Tidak apa-apa. Hanya…” Jan memberikan selembar kertas lain, yang seharusnya bagian dari surat yang sejak awal ada di atas meja itu. “...aku tidak ingin kamu mengirimkan informasi seperti ini lagi ke Indies .”
Itu semua tulisan tangannya.
“K-kenapa?”
“Kau tidak tahu ini bahaya?” Jan mulai berbicara dengan suara yang sedikit tinggi, Raka terkejut saat melihat kerutan wajah Jan seiring dengan suaranya yang meninggi. “Belakangan keadaan politik di Indies sedang panas-panasnya. Kamu bisa-bisa disangka informan, dan kamu serta keluargamu bisa ditangkap atas pengkhianatan pada negara…”
Lalu Jan akan kehilangan Raka.
Sampai ia kehilangan anak didiknya ini, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Sepertinya memang ini akibat dari dirinya yang terlalu membebaskan Raka untuk melakukan apapun semaunya.
Tapi tentu saja Raka tidak tahu. “T-tapi kalau begitu ‘kan, itu hanya konsekuensi dariku…”
“Kamu tidak memikirkan bagaimana tentang keadaanku? Reputasiku?” Jan memotong kata-kata Raka. “Kamu… tidak memikirkan bagaimana kelanjutan dari hubungan kita ?”
Ada penekanan di kata kita. Raka tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tidak menyangka bahwa hubungan mereka memang begitu spesial bagi Jan. Ia tidak pernah mempertanyakan hal itu. Ia kira selama ini Jan hanya melihatnya karena nilai bisnis yang dibawakan, dan sepatutnya sebuah aset, harus dirawat baik-baik. Raka tidak pernah sekalipun diperlakukan lebih daripada sekadar aset, selain oleh Razak.
Aneh rasanya.
“...kita?” Raka masih berusaha untuk menyangkal. Ia tidak mau percaya akan hal ini. “Kau… bisa membuangku begitu saja, seperti tuan-tuan lainnya, membuang jongos …”
“Mana bisa aku begitu kepadamu!”
Jan menggebrak meja dengan kencang, lampu yang sudah redup semakin terputus-putus. Beberapa saat kemudian baru kembali menyala dengan benar. Ada suara bisikan ‘maaf’, sebelum akhirnya Jan kembali duduk lagi. “Jangan menganggap dirimu jongos- ku. Kamu jauh dari kata terkutuk itu…” suaranya seperti tertahan, ada banyak emosi yang terpendam saat Jan mengatakan semuanya itu.
Raka benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang. Ada banyak perasaan berkecamuk dalam dirinya, tidak menyangka bahwa hal itu akan keluar dari seorang londo yang selama ini ia hina dina. Ia tidak menyangka bahwa Jan akan memikirkan dirinya sampai sejauh itu, dan ia mendadak merasa bodoh. Ignoran.
“Maafkan aku…”
Raka berbisik pelan, memajukan tubuhnya ke arah Jan. Ia mengulangi lagi permintaan maafnya, dalam suara yang lebih lirih.
“Janji padaku, jangan melakukan hal-hal yang membahayakan dirimu lagi…”
Raka tidak yakin ia bisa berjanji akan hal itu. Dalam lubuk hatinya ia masih ingin berjuang untuk memerdekakan bangsanya, dan harga kemerdekaan tentu saja tidak jauh dari kata bahaya.
Di malam itu Raka tidak mampu menjawab apapun. Hanya hening yang mengisi rumah van Kanne, dan dinginnya angin musim dingin yang mengetuk dari jendela.
26 Nopember, 1926
Batavia
Aku tahu ini keinginanku yang sungguh-sungguh egois, tapi jika aku boleh meminta satu hal lagi kepadamu, sudikah kau menungguku sebentar lagi, Razak, karibku tersayang?
Biarkan aku menetap di sini, mengikuti Jan, sebentar lagi saja. Aku juga rindu kepadamu, tapi aku tidak ingin berbohong kepadamu bahwa aku menemukan semangat dan ambisi baru untuk kujalani hingga aku tua nanti.
.
Tetes air mata itu merembes ke kertas yang mulai menguning.
Di genggaman Razak ada sebuah surat yang baru ia terima. Ia tahu bahwa ia sudah lama tidak mengontak Raka lagi, namun inikah yang harus ia terima, setelah sekian lama? Apakah ini ganjaran atas semua dosanya?
Rupanya Raka ingin bersama pria bajingan itu, bukan kepadanya.
.
Jangan khawatir, aku pasti akan kembali.
.
“Apakah ini rumah Razak Halim Putra?”
Dan harus sekali pemberontakan itu gagal. Harus sekali mereka-mereka yang gagal malah melimpahkan kesalahan mereka kepadanya.
“Ya… ini rumah tuan Razak. Ada yang bisa saya bantu?”
Dasar inlander tak tahu berterima kasih. Sudah diberikan informasi, bukannya malah menanggung resikonya, malah mengorbankan yang sudah berbaik hati untuk membantu mereka. Ya, sudahlah. Sejak awal juga ia tidak tahu harus bagaimana. Dua tahun belakangan memang hidupnya sudah hancur, kalut. Habis membunuh pembunuh emaknya, hampa. Lalu Raka tidak ada, semakin hampa. Ditambah, bisnisnya yang mulai sulit untuk berkembang.
“Kami harus membawa Razak Halim Putra untuk diadili.”
Semakin kukuh alasannya untuk tidak lagi di dunia ini. Pekerjaannya sudah selesai semua, sebenarnya.
Takdir memang menyesatkan, dan elu-elu tentara yang berteriak dalam bahasa Belanda, mendekat kepadanya. Bila ia kabur dari rumahnya, ia akan menjadi pengkhianat. Bila ia lanjut, ia akan hilang di hutan, barangkali ditemukan jika sudah menjadi bangkai. Lebih baik ia tidak kembali. Tak apa bila badan ini kotor oleh lumpur, yang penting hidup dan matinya tidak ditentukan oleh bajingan-bajingan londo itu.
.
Sampai jumpa lagi, karibku tersayang.
.
Razak mengeluarkan sepucuk pistol, warisan sang ayah dari hasil berdagang di luar negeri. Dulu ia berpikir sepertinya keren jika ia bisa membunuh pemerkosa ibunda dengan pistol ini. Tapi nyatanya ia malah menggunakannya untuk hal lain.
Ia memasukkan satu peluru ke dalam silinder, dan menguncinya lagi. Menghela napas, memperhatikan pistol yang tergenggam di tangannya.
Dari kejauhan ada derap langkah para tentara, dan kemudian, ketukan pintu.
“Razak Halim Putra? Buka pintunya!”
.
Jangan lupa untuk berkabar denganku, ya.
Salam sayang,
Raka.
.
Bahagianya, di momen terakhirnya yang ia baca adalah tulisan tangan Raka. Razak menghela napas, tersenyum kecil. Jemari sudah siap di pelatuk pistolnya, ia meletakkan moncong pistol di pelipisnya, dan menarik napas pelan.
“Kita berjumpa lagi nanti di akhirat, Raka.”
Masih lebih baik lagi daripada suatu hari nanti harus menghadapi Raka; Raka yang kini sudah jelas tak akan membalas cintanya.
Dor.
Lalu, darah. Membalas surat.
Batavia
Hetalia : Axis Powers adalah milik Hidekazu Himaruya . Tidak ada hak milik apapun yang diambil dari pembuatan fanfiksi ini terlepas daripada kesenangan pribadi. Semua hal yang ditulis dalam cerita ini adalah fiksi dan tidak merepresentasikan pemahaman pribadi penulis.
Bagian Ketiga, Nestapa (sebab cinta tak lagi ada di Batavia), masih akan berlanjut.