Work Text:
"Tadi aku liat kamu tidur gak pake celana, kenapa coba?"
Yang ditanya hanya membungkam, mengunci bilah bibirnya rapat-rapat. Kedua tangannya ia istirahatkan di dalam kakinya yang bersila, dengan punggung yang membungkuk. Rambut pendek hitam menutupi wajah tak bersalahnya, kedua nanarnya lebih memperhatikan jari-jari tangannya dibanding difokuskan kepada yang mengomeli. Dirinya malah sibuk dengan dunianya sendiri, menghiraukan kekasihnya yang duduk di depannya.
Sebenarnya Leni sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Bukan kali pertama dalam hubungannya dengan Tiana muncul situasi dimana Tiana memilih untuk bungkam dan menghindari pertanyaan-pertanyaannya ketimbang menjawab dengan jujur. Leni tidak masalah dengan jawaban-jawaban yang diberikan, namun ia hanya ingin Tiana untuk menatapnya dan memberi jawaban yang valid.
"Cantik, jawab dulu boleh?" Raut wajahnya menekuk, tidak suka dengan perilaku si cantik kepadanya. Padahal dirinya hanya ingin penjelasan dari Tiana, sesingkat apapun itu.
Nakal memang salah satu sifat buruk yang dimiliki Tiana, sifat yang membangkang dan tidak mau dengar-dengaran. Leni cukup lihai dalam mengatasi sifatnya itu, hanya saja Leni juga seorang pribadi dengan kesabaran tingkat manusia pada umumnya. Sabarnya tidak akan lama-lama ia pendam, tidak akan ia tumpuk-menumpuk sampai setinggi Menara KL118. Menurut dirinya, seseorang yang sudah melewati batas memang harus diberi pelajaran.
Tiana akhirnya menoleh, memberi tatapan tidak suka dan seolah ingin membangkang. "Cuma kepanasan."
Seketika alis kanan Leni terangkat. Cuma kepanasan katanya? Padahal AC selalu diatas dua puluh dua celcius. Padahal Tiana bisa saja membersihkan dirinya sebelum tidur. Dimana sih letak logika punya Tiana? Alasannya gak logis sama sekali di kepala Leni.
"Remote AC gak pernah aku jauhin, dan kamu juga boleh mandi sebelum pergi tidur, terus kamu tadi punya alasan kalau kamu cuma kepanasan? Yang bener aja, Tiana?"
Tiana tahu, Leni marah padanya sekarang. Tiana sangat mengenal pribadi Leni, hanya saja untuk saat ini ia harus defensive.
"Ya iya, cuma kepanasan. Emang mau dikasih alasan apalagi sih? Lagian emang kenapa kalau aku tidur gak pake celana? Rese."
Dalam kamusnya, Leni tidak pernah menyetujui ada lontaran kata menyinggung dari mulut kecil Tiana. Dengan begitu, ia menegakkan tubuhnya seolah-olah menunjukkan dominannya. Kini amarahnya cepat membludak, tidak seperti biasanya. Tambahan, Tiana sama sekali tidak punya pengalaman tentang apa yang akan terjadi jika Leni sudah capai titik batas sabarnya.
Dengan sigap, kedua tangannya mencengkram paha mulus Tiana, membuat yang memiliki harta benda terperangah.
"Apaan sih, mih?!" Refleks, Tiana membentak Leni. "Kamu yang mulai."
Leni merangkak, bergerak maju seperti singa kelaparan yang hendak menyantap mangsanya. Ia bawa tubuh si kucing nakal untuk berbaring, sedangkan kepalanya berada tepat di sela-sela selangkangan Tiana. "Buka lebar kakinya, mommy kasih pelajaran buat kucing nakal."
Seluruh tubuhnya menegang, tentu Tiana merinding. Entah karena terpaksa atau memang sebagian kecil dari dalam dirinya ingin melakukan hal serupa, Ia menurut pada perintah mommy-nya. Tiana buka dua tungkainya lebar-lebar, secara langsung memperlihatkan bagian bawahnya yang masih terbalut kain tipis. Dengan tambahan keringat yang tercampur dengan basahnya. Sementara di sisi lain, Leni terkekeh sembari memperhatikan celana dalam warna pink serenade dengan basah di tengahnya.
"Kamu ini kepanasan, atau emang lagi sange aja sih?"
Suaranya terdengar berat dalam kepala Tiana, panas mulai meraupnya kembali secara perlahan. Kakinya gemetar, hembusan angin yang sengaja ditiup-tiupkan oleh si singa seolah meraba memeknya.
"Dijawab dong, cantik." Plak! Tamparan keras pada memek tembam Tiana membawa suara yang menggema di seluruh ujung ruangan.
Erangan keras dari si kucing menyauti tamparan tersebut. "Eumh! Keh- Kepanasan, Mommy.." Tuh kan, pasti akhirnya begini. Leni selalu berhasil membuatnya tunduk, membuatnya lemah bagai kucing birahi yang perlu dan mesti juga harus dibelai.
Leni mengulas senyum puas. "Pinter banget sih jawabnya? Kucingnya siapa coba?" Plak! Tamparan kedua mendarat pada area sensitif Tiana.
"Nyanh! I- Iyah pinter... Kucingnyah mommy.." Udah beneran kayak hybrid kucing, padahal dirinya seratus persen asli manusia, anak Hawa.
Leni menyukai, atau lebih tepatnya terobsesi dengan bagaimana kondisi kucingnya sekarang. Jari telunjuknya ia acungkan untuk mengelus-elus lipatan memek Tiana dalam celana dalamnya yang mudah sekali basah. Memek si cantik murahan ternyata.
"Aangh! Mom- Mommyh! Basah.. Basah! Mau pipish! hahh.." Plak! Tamparan ketiga, tamparan terakhir pada memeknya.
"Kenapa udah mau pipis duluan? Murahan banget sih kamu, Tiana. Jago banget tuh tadi ngelawan, gak mau natep mommy sama sekali. Sekarang giliran kamu diginiin gampang banget pipis? Gak jadi pinter dong namanya."
Bibir bagian bawahnya ia gigit, berusaha menahan airnya agar tidak bocor begitu saja. Kondisinya miris, kakinya bergetar hebat. Sayangnya, Tiana bukan seorang yang kuat menahan godaan duniawi. Tanpa rasa malu, ia biarkan airnya bocor, membasahi celana dalam dan spraynya. Leni tidak heran, ia juga tahu sangat bagaimana Tiana dalam permainan seksual seperti ini.
"I haven't even told you to come out?" Ekspresinya ia buat-buat, menunjukkan ekspresi bingung dan marah yang hanyalah bualan belaka. "Bad kitty." Plak! Oh, belum berakhir ternyata.
"Very bad kitty." Plak! Plak! Plak! Triple kill! Tamparan demi tamparan tampaknya berhasil membuat Tiana lemas.
Si kucing nakal hanya bisa meremati spray yang sudah kusut ditambah meloloskan berbagai desahan nikmat. "MOMMY! ANGH! S-Stoph..! Hhaah... Mih... Sorry mommy.."
Kedua telapak tangannya ia manfaatkan untuk menutupi wajahnya yang semakin memerah akibat rangsangan yang ia dapat. Kucing yang malang.
Leni memajukan tubuhnya. Sementara tangan kirinya bermain dengan memek tembam si cantik, tangan kanannya yang sudah terlumuri cairan kental Tiana ia posisikan tepat di depan mulut si kucing nakal.
"Suck it, naughty." Awalnya Tiana ragu, bimbang akan konsekuensi yang akan ia peroleh jika salah memilih. Plak! "Hurry up, naughty kitty." Setelah dikejutkan oleh tamparan yang kini membuat memeknya memerah, Tiana dengan cepat menghisap dan menjilati jari jemari cantik kepunyaan mommy.
Puas dengan lumatan si kucing, jarinya ia keluarkan dari mulut kecil itu secara paksa. Tanpa seizin dari pemilik -karena sudah tau akan diizinkan-, Leni melepaskan celana dalam Tiana yang sudah basah total, membuang kain itu ke sembarang arah.
Kaki Tiana ia buka lebih lebar lagi, agar memek tembam di bawahnya menghirup udara dengan lega. Cuih! Liurnya ia balur pada kemaluan si kucing, sudah seperti lube yang biasa ia pakai untuk masturbasi.
Jari jemari lentiknya ia masukkan ke dalam lubang memek tembam Tiana yang hangat. Beruntung sudah ia baluri dengan liurnya, jadi kesannya tidak terlalu memaksa. "Hold still, naughty." Perintahnya dibalas dengan anggukkan Tiana.
Walau dirinya ingin sekali mendesah, ia coba tahan segala nafsunya untuk sekarang ini. Tiana memang pengecut, tidak mau mengambil konsekuensi sama sekali.
Semakin lama bersarang, semakin cepat pula gerakan yang ia salurkan. Memberikan kenikmatan lebih pada si empu.
"Eungh.. Mmhh, mommyh.." Karena suara bisikkan Tiana dan merdunya kecipakan memeknya bertabrakan, Leni tidak bisa mendengar dirinya.
"Hahh.. SHhh mommy!" Tubuhnya menggelinjang. Sensasi panas dan nafsu seperti memutar balikkan otaknya. Tiana seperti kucing birahi yang tolol.
Suara cipakan antara jari Leni dan memek Tiana benar-benar bikin candu.
"Mommyh... AhAHh.. Pusinh! Mau pipish! Mau pipis banghet- hUWAh..!"
Tak kuat menahan ikatan hasrat dan nafsu yang membelenggunya, Tiana mengerang nyaring. Bilur air matanya berjatuhan, dirinya sudah seperti anak kucing yang mencari induknya.
"Mauh dijilat.. Mommyh! Memeknyahh mau dijilat sampai Hahh! ..munchrat-muncrat!" Leni menyeringai. Kalau ini dijadikan ajang perlombaan, seharusnya medali yang ia peroleh sudah banyak, sudah di dalam satu lemari yang besar.
"Hmm? Mau apa sayang? Mau pipis, iya? Sini pipisin mommy, sampai lega ya, kitten."
Belum ada satu menit, bahkan tiga puluh detik berjalan, she did squirting infront her mommy. Memeknya bagai air terjun yang sulit dihentikan, seluruh airnya membasahi kaos hitam Leni.
Tiananya menghirup udara banyak, membiarkan oksigen masuk ke dalam paru-parunya. Leni masih berbaik hati padanya untuk kali ini.
"Huwah! Mom.. Mommyh! Ahhn.."
Spray putih sudah bercorak basah, celana dalam yang entah kemana mendaratnya, dan sosok Tiana yang masih mendesah pelan dan terisak akibat angin yang menggelitik. Satu kecupan mendarat di dahi si cantik.
"Good girl, so proud of you, kitty."