Work Text:
Cobaan hidup Narumi dirasa-rasanya bukan saat ia harus memutar otak di waktu senggangnya yang sedikit, bukan juga saat banting tulang (literally, tulangnya hampir patah) memerangi Kaiju dengan gaya sok supaya terlihat keren atau rela buang rasa malunya ke jurang untuk caper demi menaklukan hati sang wakil ketua divisi tiga Defence Force, Hoshina Soshiro.
Jangan salah, mengambil perhatian Hoshina ini bukan hal mudah, misi dengan tingkat kesulitan S-ranked –sangat tidak direkomendasikan untuk yang minim nyali dan bertekad lemah. Narumi di kamarnya menepuk dada bangga karena kebal dengan celoteh pedas dan lagi-lagi sikap masa bodoh Hoshina padanya. Bahan bakar yang jadi kekuatannya adalah sepasang mata cantik dan lekuk tubuh berseragam yang tak kalah cantik. Sederhana, tetapi berhasil jadi pegangan untuk Narumi bangun dari kegagalannya lagi–Hoshina, Hoshina, Hoshina. Itu yang dirapalkan dalam hatinya dan semangatnya menyala lagi untuk bergerak mendapatkannya.
Akhir cerita bahagia yang diharapkan Narumi harusnya sudah berhasil tercapai saat Hoshina, yang ditatapnya intens di ruang kerjanya di malam setelah keberhasilan gabungan para divisi menyelamatkan ibu kota dari serangan bertubi-tubi Kaiju, dibalas balik oleh Hoshina. Bukan dengan tatapan yang kuatnya setara, tetapi malah berupa kecupan kejutan di ujung bibirnya dan bisikan tepat di telinganya yang lebih didominasi oleh hembusan nafas karena Hoshina ketagihan dengan wine mahal yang dibawa salah satu bawahannya, “keren juga lo hari ini, Gen.”
Narumi merinding sebadan-badan , mengutuk aliran listrik yang mengalir dari ujung kaki ke pucuk kepalanya tetapi juga berterima kasih karena daya adrenalinnya ikut terisi dan membuatnya berani mengutarakan isi hatinya, “pacaran sama gue, ‘Shina.” celetuknya tanpa banyak berpikir, yang dijawab santai oleh pemuda di depannya, tangan mengalung di leher Narumi begitu saja, “boleh.”
Harusnya tak ada lagi episode selanjutnya berisi kemalangan Narumi dan perjalanan hubungannya dengan Hoshina. Harusnya yang tersisa hanyalah bunga yang bermekaran, matahari yang bersinar cerah dan malam-malam yang panas penuh rahasia, tetapi tidak, tentu saja semesta malas untuk berpihak padanya.
Cobaan hidup Narumi, tak disangkanya, dimulai saat berpacaran dengan Hoshina Soshiro sendiri– ralat, semua ini disebabkan oleh apa yang dibawa Hoshina bersamanya, hal yang tak bisa dilepaskannya, selamanya–adalah daya tariknya yang menjadi magnet orang-orang di sekitarnya, tepatnya para pemuja yang malu untuk mendekati Hoshina secara langsung dan akhirnya memilih untuk mengaguminya dari jauh karena mereka sadar diri bahwa mereka tak punya kesempatan– semua orang dinilai tak punya kesempatan begitu disandingkan dengan Hoshina Soshiro.
Menurut mereka, pemuda itu terlalu serius dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Andai ada peringatan awal bahwa dunia akan hancur sebab 10 ribu telur Kaiju akan menetas secara bersamaan dan akan bergerak menghancurkan kota berikut populasinya, Hoshina tidak akan berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya untuk menghabiskan detik-detik kehidupan sebelum kiamat. Sang wakil ketua divisi tiga Defence Force itu akan mengerahkan tenaganya sampai titik darah penghabisan, sampai darah dan keringatnya kering dan tak bisa lagi dikorbankan. Ia akan bertaruh pada segala macam peluang untuk menyelamatkan dunia.
Narumi dalam hati mengangguk setuju, karena pacar tercintanya memang sekeren itu. Lagipula Ia juga akan melakukan hal yang persis sama. Bersama. Mengorbankan nyawa bersama dengan Hoshina. Wih, keren juga . Narumi akan memastikan dirinya mendapat ciuman selamat tinggal sebelum wafat. Oke. Noted.
Sekarang tidak ada Kaiju dengan 10 ribu telur yang akan menetas dan pastinya tidak ada yang akan wafat, tetapi Narumi takut kelepasan mematahkan kepala seseorang kalau ia mendengar sekali lagi ujaran kekaguman yang berlebihan dengan pacarnya sebagai bintang utama.
Narumi melotot, hampir mengeluarkan senjatanya saat mendengar ada yang mengomentari soal pinggang kecil nan singset Hoshina dan bagaimana seragam tempurnya ketat sempurna di tubuhnya.
“Narumi?”
Oke, selamat. Narumi tidak jadi bertindak. Tidak ada kepala terbang apalagi wafat–ada Hoshina yang tiba-tiba muncul di sampingnya, memanggilnya bukan dengan “Gen” atau “Geeen”, tetapi marga keluarganya yang membosankan, yang tak disukainya, yang diucapkan dengan tegas.
Narumi benci jam kerja.
“Kenapa muka lo? Eh… lo mau ngapain?” tanya pacarnya sambil memandangi tangan Narumi yang siaga.
Sumber masalah dari cobaan Narumi itu bertanya dengan polos, benar-benar tak tahu menahu bahwa Narumi Gen hampir memporak-porandakan dunia mendahului Kaiju karena orang-orang tengik itu membicarakan pinggang super mungilnya.
Mengacuhkan pertanyaannya, ia mendorong Hoshina menjauh, ingin menyembunyikan Hoshina dari berpasang-pasang mata kurang ajar dari dunia.
Pikirnya, ia harus melakukan sesuatu. Sekarang juga.
Narumi membawanya berjalan untuk mencari ruangan kosong . Narumi melirik ke bawah, ke bagian tubuh Hoshina yang dielu-elukan banyak orang. Lenggak-lenggok berjalan sambil didorongnya. Sialan. Bukannya Narumi tak pernah berpikir soal Hoshina dan pinggang sempitnya–dia selalu memikirkannya, tetapi mengetahui bukan cuma dia saja yang pikirannya ada di tempat berdosa dengan Hoshina sebagai bahan bakarnya membuatnya kesal setengah mati.
“Narumi? Narumi- Gen! Masih siang?!” bisik-desis Hoshina karena Narumi berhasil membuat mereka berakhir di ruang penyimpanan senjata dengan akses terbatas.
“Gak peduli,” Hoshina dihujani ciuman, tepat di bibir dan meleset di dagunya, “nungging ke pintu dong.”
“Orang gila- gak mau- ah! Aduh, Gen!”
“Gak mau” hanyalah tameng tipuan yang dipasang Hoshina untuk membuktikan bahwa ia tak segila Narumi, bahwa ia tak menyukai ide ngeseks di jam kerja yang jauh dari ruangan aman dan tertutup. Sayangnya, sikap denial-nya itu tak pernah dianggap ada oleh Narumi, selalu terbaca olehnya seakan tamengnya terbuat dari kaca yang mengilat; Hoshina sama gilanya dan tidak menyangkal pesona kegiatan tak bermoral di jam siaga. Buktinya? Kecupan di sana-sini dan remasan di pantat cukup buat Hoshina membuka sabuknya dan menurunkan celana seragamnya yang luar biasa ketat di paha. Narumi sampai harus berlutut membantunya, melabuhkan gigitan keras di paha kuat pacarnya sebelum kembali berdiri.
Hoshina seketika menungging– wow, jago banget nunggingnya, pikir Narumi – dan mendesis, “buruan, kalau lama gue tinggal.”
Sejujurnya, Narumi cuma mau gesek-gesek dan melakukan sesuatu , tetapi ditawari pantat… wah, siapa Narumi untuk menolak? Ia cuma budak dari hawa nafsu dan kuasa Hoshina.
Akhirnya babak belur, sih. Narumi ditendang keluar duluan dengan bekas cubitan di perut dan luka cakaran di leher belakangnya yang berdenyut bahkan sampai ia berpijak di kamarnya. Biarlah, tujuannya sampai harus menepis resiko tertangkap basah dengan selangkangan yang tak kalah basahnya sudah dilakukannya.
Narumi merasa rencananya benar-benar berhasil saat malamnya, di jam makan malam, ia melihat Hoshina memasuki ruang makan utama markas besar yang mampu menampung ratusan anggota divisi Defence Force. Narumi sukses, karena itu artinya ratusan orang melihat cupang semerah ikan cupang tersemat di perbatasan garis rahang dan pangkal leher Hoshina. Lelaki itu tidak bisa menyembunyikannya, juga terlihat tak berusaha menyembunyikannya karena lelaki berambut bulat itu cuek dan duduk menyantap makanannya dengan pakaian longgar yang lebih santai, siap untuk kembali ke kamar dan tidur setelah makan malam ini selesai.
Tak sampai disitu, Narumi makin puas saat bisik-bisik gosip sampai di telinganya. Bibirnya hampir terangkat saat mendengar rentetan kekecewaan, “Kak Hoshina ternyata punya pacar?!” “Nyamuk kali ya?” “Mana ada nyamuk yang gigitannya segede gorilla–liat bekas merahnya!” “Loh, berarti pacarnya di sini? Pacar Hoshina juga di anggota Defence Force ?!” “Siapa?!”
Narumi menghampiri meja lain untuk me- refill minumannya saat mendengar hal yang paling ditunggunya. Senyum penuh kemenangan terpatri di wajahnya.
“Narumi kali ya? Tadi… kayaknya siang gue liat mereka berdua.”
Narumi mengangguk samar-samar. Bagus. Kepekaan dan kebolehan analisis anggotanya itu pada situasi sekelilingnya cukup bagus dan tepat. Narumi melirik dan mengingat wajah anggotanya tersebut untuk diberi rekomendasi kenaikan pangkat atau pemindahan divisi yang dikhususkan untuk meneliti Kaiju dan perkembangannya daripada bertempur di lapangan. Oke.
“Gak lah, gak mungkin.” yang lainnya menepis satu-satunya alasan paling logis, “Narumi Gen kayaknya bukan tipe Hoshina, apalagi mereka adu mulut terus, gak bisa gak ribut setiap kali ketemu.”
Oke. Anggota yang barusan itu diingatnya untuk besok dipecat keluar dari barisan Defense Force.
Narumi mendengus, hampir meremukkan gelasnya gemas. Andai orang-orang itu tahu. Memang betul ia dan Hoshina mengadu mulut, bagian itu benar, tetapi adu mulut yang tidak diketahui orang-orang ini lebih kotor, lebih banyak air liur dan kemesraan daripada cuma kebencian semata.
‘Adu kelamin juga’ celetuk Narumi dalam hati.
Tidak sampai di situ, setelahnya Narumi mendengar nama Hasegawa, Kafka sampai Aoi disandingkan dengan Narumi beserta analisis bahwa Hoshina mungkin menyukai laki-laki yang besar dan tinggi–’size difference, kyaaa’ heboh salah satunya–juga Mina, yang katanya, “mungkin Kak Mina lebih agresif dan posesif kalo udah berhubungan sama Kak Hoshina! Apalagi Hoshina secakep itu, cewek atau cowok pasti naksir.”
Narumi menggeram, tak tahan mendengar perkembangan spekulasi soal ‘siapa pacar Hoshina?’ menjadi makin konyol. Ia meninggalkan ruangan itu dengan perut yang belum setengahnya terisi sebelum ia melayangkan piring ke ujung ruangan dan mengamuk.
Di langkahnya menuju pintu keluar, matanya bersinggungan dengan Hoshina. Kekasihnya itu menatap malas, tak peduli, malah seakan makanannya akan makin nikmat ditelan apabila Narumi keluar dari ruang makan itu, tetapi jari kelingkingnya yang naik berkali-kali di atas meja makan menjadi sebuah isyarat yang biasa dibagi cuma berdua; Malam ini Hoshina akan datang mengendap ke kamarnya untuk berbagi ranjang bersama dan meneruskan urusan yang belum kelar tadi siang .
Oh, Waktunya pas. Narumi butuh sekali distraksi dan pelampiasan . Fantasi terliarnya adalah membuat semua orang di ruangan ini menyantap makanan penutup sambil menyaksikan Narumi menyantap Hoshina di atas meja utama di pusat ruangan, menjadikan lantunan desah Hoshina sebagai lagu pengiring minuman keras pasca hari yang melelahkan–dan semua orang akhirnya akan tahu dan mengerti bahwa satu-satunya yang pantas dan diinginkan Hoshina adalah Narumi Gen.
Jelas fantasi liar tersebut akan selamanya menjadi fantasi , ia akan belok ke rencana B yang lebih realistis, yakni dengan khusyuk menikmati Hoshina di atas ranjangnya yang aman, di balik pintu kamarnya yang tertutup. Mungkin kalau ia beruntung dan Hoshina mau menurut, ia akan memohon Hoshina untuk menungging di pangkuannya untuk ditampar pantatnya sampai merah-merah dan tak bisa duduk di ruang rapat besoknya atau membuat Hoshina gemetar kakinya karena squirting banyak. Wah, Narumi rela mengganti spreinya . Dua puluh kali seminggu juga boleh.
Gila. Ralat. Dapat membaringkan Hoshina yang kehabisan nafas karena ciuman serta goyangan pinggulnya bertubi-tubi di atas kasurnya sambil menyandang status sebagai kekasihnya terdengar tidak realistis, tetapi ternyata bisa dikabulkan dengan usahanya sendiri–pencapaian tertingginya, yang bukanlah menjadi ketua divisi dari organisasi pertahanan terbesar negara; Hoshina adalah pencapaian tertingginya yang tadinya cuma mimpi di kala demam saja–demam tinggi, yang bahkan tak akan melesat di kepalanya di hari biasa.
Harusnya Narumi puas dengan itu saja, tetapi tidak, ia belum puas sampai ia berhasil membanggakan Hoshina sebagai kekasihnya, membanggakan dirinya sendiri yang berhasil meluluhlantakkan Hoshina yang dikenal tak bisa disanding, tak ada yang pantas mendampinginya.
Narumi Gen merasa pantas. Bukan hanya dari status yang berhasil dimilikinya–statusnya sebagai Kapten divisi satu Defence Force, tetapi Hoshina yang ada di dekapannya hampir setiap malam adalah buktinya. Bukan di dekapan Hasegawa, Kafka, Aoi atau Mina, tetapi Narumi Gen.
Hoshina memilihnya, menyerahkan dirinya seutuhnya. Luar dan dalam. Jiwa dan raga. Hati dan tubuhnya. Semua itu sudah menjadi bukti kuat bahwa ia pantas.
Yang harus dilakukannya adalah membuktikan dirinya kepada dunia dan penggosip jelek itu bahwa ia lebih dari pantas.
-
Narumi Gen tidak tahu harus mulai darimana untuk membuktikan diri menjadi si pantas.
Besoknya ia bangun pagi-pagi buta dengan Hoshina di dekapannya dan sejenak resolusinya untuk ‘merubah diri’ terjun bebas dari kamarnya di lantai tiga. Kalau dipikir lagi, untuk apa? Ia tak masalah melakukan ini lagi dan lagi; mengakhiri hari yang lelah dengan Hoshina mampir masuk ke dalam selimutnya, kangen yang bisu terucap lewat gerumul tubuh semalaman dan berakhir dengan kasur yang kosong dan dingin sebelum matahari kembali menyambut hari. Yang penting, Hoshina sama memujanya. Seketika tekadnya yang kemarin hilang, lebur dibawa ciuman khidmat yang dibagi bersama kekasihnya itu ke udara. Apa pedulinya dengan omongan orang-orang tolol di luar sana?
Begitu. Sampai siangnya Narumi melihat Hoshina dan Kafka sedang asik berceloteh setelah sparring dan lagi-lagi menemukan suara bising anggota yang lain terdengar kembali. Bahkan ada pekik gembira saat Hoshina merubuhkan si besar Kafka dengan mudahnya. Kedua kakinya menjulang di kiri-kanan tubuh Kafka yang tergeletak di atas tanah. Sialan. Tangan besar Kafka dengan cepat meraih pergelangan kaki Hoshina yang kurus untuk menjatuhkannya ke tanah. Kafka berhasil dan Hoshina menyungging senyum dari bawah sana. Sialan, Sialan.
Cukup. Narumi kembali dengan resolusinya. Akan ia buktikan bahwa ia pantas. Akan dibuatnya semua orang membayangkan Hoshina hanya dengan Narumi. Akan ia rubah pandangan semua orang padanya bahwa Narumi cocok dikurung dua tungkai kaki milik Hoshina untuk kemudian bisa membuatnya terlipat dan akhirnya duduk di atasnya dan di bawah kuasanya.
Narumi mengernyitkan kening saat yang diingatnya adalah omelan-omelan Hasegawa yang selalu berakhir dengan kalimat, “kelakuan lo ini yang kadang bikin gue mikir lo gak serius sama posisi lo sebagai ketua divisi.” meh. Narumi tak peduli. Toh pada akhirnya ia dapat diandalkan saat di lapangan, tetapi… mungkin ia harus mulai mengubah diri berdasarkan keluhan-keluhan Hasegawa tentang kelakuannya.
Setelah berdebat hebat dengan diri sendiri, mengecup dan mengucapkan sampai jumpa pada semua macam controller permainan di kamarnya, Narumi mengepalkan tangan bertekad.
Ia tak lagi melakukan hal konyol dengan memainkan game- nya di waktu kerja dan mengganggu semua orang dengan bunyi pow! pow! boom! dari perangkat yang selalu dikantonginya. Narumi tak lagi menghabiskan jam demi jam, menyikat level demi level permainan di kamarnya saat pekerjaannya kosong. Kini ia memilih pergi keluar, berlatih menggunakan senjatanya dan bahkan memanggil anggota divisinya yang dikenal buruk menargetkan Kaiju untuk melatih mereka. Setelah seminggu perbaikan diri, Narumi bahkan memasang alarm dan bangun 90 menit lebih pagi dari jadwal hariannya untuk benar-benar mandi, bercukur, memastikan kukunya pendek dan menyemprotkan banyak parfum ke tubuhnya.
Kebiasaan baru Narumi ini tanpa sadar, sedikit demi sedikit, merubah… penampilannya . Bukan, bukan karena gel yang membuat rambutnya rapi, tetapi eksistensinya yang tidak kasat mata– aura yang dibawa Narumi dan keberadaannya . Pemuda itu tidak lagi begadang bermain game sampai lelah, membuat kantung matanya yang tadinya hitam kini memudar, digantikan dengan Narumi yang bangun lebih segar, lebih fokus dengan tugas-tugasnya dan berbadan tegap di tiap langkahnya tanpa rasa kantuk yang kadang mengganggu di siang bolong.
Dengan energi baru yang meluap-luap Narumi juga menghabiskan waktu di gym lebih lama, membuat proses pembentukan badannya lebih intens dari biasanya. Perubahannya ini bahkan mempengaruhi kegiatan malam- nya dengan Hoshina, menjadikan tiap-tiap malamnya lebih panas dari biasanya. Peningkatan drastis pada staminanya membuat Hoshina harus memukul kepala Narumi untuk berhenti menegak dan siap kembali bertempur untuk membiarkannya istirahat. Hoshina mengerang lelah, gak kuat, tapi Narumi bisa melihat wajah terheran-heran pacarnya itu dibarengi dengan rasa puas, berakhir dengan pergumulan mereka yang tak berakhir– lanjut terus sampai Narumi juga puas.
Setidaknya itu yang terlihat dari luar.
Vakum bermain game, tak bisa dipungkiri mempengaruhi Narumi secara mental. Jelas, kini badannya lebih bugar karena tidur cukup dan olahraga yang teratur, tetapi Narumi tetap butuh hiburan, butuh penyegaran otak. Tanpa bermain game membuatnya kerap kali bad mood. Walau dengan mukanya yang sehat mengilat pun ada kejengkelan yang membuatnya sering memasang wajah datar. Dia bahkan kelihatan mengintimidasi di meeting dengan para petinggi, padahal dia hanya mendengarkan celoteh Director Shinomiya soal taktik dan formasi baru. Sesi latihan tarung Narumi dengan para anggotanya, menurut mereka, juga seperti latihan di neraka. Narumi membantu melatih anggotanya terlalu serius, seringnya urat lehernya naik karena bentakan-bentakan “Salah! Ulang!” dan “Oke, Bener! Ulang!” tanpa celetukan lelucon apalagi main-main.
Selain menjadikan anggota Defence Force sebagai samsak tinju atas keresahannya, Narumi juga melampiaskannya ke uji coba senjata di lapangan, ke sesi belajar pengetahuan baru soal Kaiju yang dikirim oleh tim peneliti, sampai sparring dengan petinggi beda divisi (Narumi mengalahkan Hoshina di salah satu sesi mereka dengan cukup mudah, damn, Hoshina yang tubuhnya terbaring di tanah tersenyum miring dan kuku jari tangannya yang menancap di kulit lehernya–Narumi tidak sabar dengan agenda malam mereka hari itu.)
Hasegawa, untuk pertama kalinya, menyenggolnya dengan wajah… terkejut? Senang? “Jadi beda ya lo sekarang?”
Iya lah , tentu saja. Itu yang jadi tujuan Narumi–menjadi berbeda, lebih baik, lebih pantas untuk disandingkan–digosipkan–dengan Hoshina, tetapi yang tak dimengertinya adalah alih-alih datangnya gosip dengan Hoshina, akhir-akhir ini, menurut perasaannya, malah banyak anggota Defence Force yang memperhatikannya. Bukan dalam konteks menghormati sebagai Ketua Divisi Satu yang biasa diterimanya dari anak-anak di bawah komandonya, tapi entahlah… Narumi merasakan tatapan lama yang intens, yang naik dan turun dari ujung kepala ke ujung kakinya dan lainnya. Pikirnya, ia salah memakai baju atau lupa menyemprot parfum.
“Kak Narumi!” panggil salah satu anggotanya di sore hari saat kegiatan outdoor diakhiri. Narumi yang menuju kamarnya untuk mandi, untuk beristirahat sebelum makan malam bersama mengernyitkan dahi, “apa?”
Oh . Sebentar. Orang yang barusan memanggilnya adalah salah satu dari gerombolan berisi tiga orang yang pernah membicarakan Hoshina dan memasangkan kekasihnya itu dengan Hasegawa dan Kafka dan Aoi dan Mina dan semua orang yang bukan Narumi. Ia juga meyakini bahwa Narumi bukanlah tipe yang akan diizinkan Hoshina untuk meninggalkan jejak merah-merah padam di lehernya; adalah hal yang mustahil apabila Hoshina memacari Narumi.
Dengan kata lain, tiga orang ini adalah sumber dari segala sumber gosip, pencetus nama-nama kemungkinan orang yang bersanding dengan Hoshina yang sama sekali bukan Narumi.
Pemuda itu berdehem, tanpa sadar menegapkan tubuhnya saat tiga orang anggotanya itu berjalan cepat ke arahnya.
Entah apa yang diharapkan Narumi, yang pasti, yang dikira akan didengarnya adalah bukan pertanyaan aneh seperti, “Kak Narumi ikut makan malam?” “Kami kira gak ikut soalnya kami lihat Kak Narumi lagi jaga badan!” “Kalau di gym, ngapain aja Kak? Cepet banget kebentuknya…” “Kak maaf, boleh pegang lengannya? Mau lihat hasilnya aja, sih.” “Oh ya, nanti malem mau makan apa, Kak?” “Kalau lagi jaga badan begini, pantangannya apa?” “Mau makan di sebelah mana ya, Kak?” “Kalau kami ikut bareng Kak Narumi keberatan, gak?” “Kak, boleh pegang lagi lengannya, gak?”
Wah. Apa sih, maksudnya? Makin ngaco.
Setelah lumayan lama meladeni mereka dan dirasa cukup apalagi dengan obrolan yang makin-makin ngalor-ngidul, Narumi membuka mulutnya untuk undur diri–walau ia bisa tinggal berbalik badan saja dan pergi seperti biasanya, toh mereka bukan siapa-siapa, tetapi ia mengingat soal citranya yang akan kembali rusak dan gosipnya dengan Hoshina tidak akan pernah naik. Sebelum apa-apa keluar dari mulutnya, ada suara yang memotong putus segala kalimat keroyokan dari tiga orang di depannya.
“Lo bukannya mau mandi, Gen?”
Narumi mengedip berkali-kali, memastikan matanya tak salah karena yang berdiri menengahi posisi mereka berempat dengan tangan bersedekap, yang baru saja memanggilnya dengan ‘Gen’ bukan ‘Narumi’ seperti biasanya, yang menatap tak suka tiga orang yang bengong melihatnya, yang ada sedikit manyun di bibirnya adalah Hoshina– Hoshina Shoshiro, penyebab kenapa Narumi kuat berdiri meladeni tiga orang gak penting di depannya.
“Mau mandi, kok, ‘S-’Shiro,” Narumi hampir gagap, cukup salting membalas panggilan Hoshina dengan nama kecilnya, nama yang lebih lembut dan mesra di bibirnya, yang biasanya dibisikkan saat Hoshina mendesah senang diciumi sampai rahang-rahangnya, “ini-”
“Udah ‘kan latihannya?” tegur Hoshina, memalingkan pandangannya ke tiga orang yang masih melongo, “balik ke pos masing-masing gih, atau ke kamar kalian, terserah.” perintah Hoshina dengan mata memicing; perintahnya mutlak tanpa celah untuk disela, yang membuat seruan pamit dan langkah kaki kabur dari koridor menggema.
Narumi nyengir-nyengir sendiri. Senang karena ternyata ia tak perlu repot-repot ba bi bu kalau ada pacarnya sendiri yang maju. Lidahnya geli di dalam mulutnya setelah menyebut nama favorit-nya yang cuma biasa diucap saat mereka cuma berdua, sedang intim. Membuat orang lain mendengarnya terasa membiarkan mereka mengintip ke dalam kamar mereka, ke dalam ruangan yang penuh privasi.
“Soshiro-”
Rangkulan tangannya pada pinggang Hoshina ditepis kemudian ditarik–Narumi ditarik Hoshina untuk berjalan.
“Eh- eeeh, mau kemana?”
Hoshina mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan Narumi di sepanjang jalan ke kamarnya, di tiap naik deretan tangga-tangga untuk sampai ke lantai kamarnya.
Genggaman tangannya terlepas saat mereka tiba di kamar Narumi dan Hoshina mendorong-dorong tubuh Narumi ke arah pintunya tanpa bicara. Kedua matanya menatap tanpa canda.
“Oke- Oke! Bentar ini gue buka dulu.” Padahal Hoshina tahu kodenya, tapi ia malah menyuruh Narumi memencet buru-buru password kunci kamarnya seakan apabila Hoshina lengah sedikit, Narumi akan kabur. ‘ Mau kabur kemana juga? Aneh.’
Pintu terbuka dan Narumi langsung memasuki kamarnya. Melihat Hoshina tak mengeluarkan suara sedikitpun membuat Narumi ngeri walaupun terheran-heran.
“Nih, gue udah masuk, gue mau mandi. Makasih lo udah nganter-”
Jelas, maksud Hoshina bukan untuk sekedar mengantar Narumi ke kamarnya untuk mandi; Hoshina mendorong dirinya sendiri masuk dan menutup rapat pintu di belakangnya. Tak sampai di situ, Narumi ditarik lagi untuk dipojokkan ke pintu kamarnya. Punggungnya menghantam pintu cukup keras. Oh, Narumi yakin akan menemukan biru di punggungnya besok pagi.
“Lo kena-”
“Gue udah nahan buat gak nanya ini, tapi lo,” brugh, “lo lagi caper sama siapa sih?”
Kalau mereka sedang ada di situasi lain, Narumi mungkin akan memekik gila karena Hoshina bukan hanya memojokkannya, tetapi juga meninju tembok di sebelah kepalanya. Kabedon. Seksi. Argh. Bibir pacarnya agak maju karena… kesal? Duh, semoga Narumi panjang umur karena maunya urusannya dengan Hoshina harus lebih panjang dari sekedar seumur hidup.
Tetapi, Narumi harus fokus lagi pada realita karena Hoshina menatapnya serius dengan pertanyaannya yang…
hah? Apa tadi maksudnya?
Narumi menatap bingung pacarnya, “caper… apa? Gue? Sama siapa?”
“Lo!” Hoshina menerbangkan dua tangannya ke udara, menunjuk-nunjuk Narumi dari atas sampai bawah, “lo ngapain?! Lo kenapa jadi begini?”
“Apa sih, ‘Shiro? Gue gak ngerti? Apa hubungannya gue sama caper?”
Hoshina menghela nafas, meredakan dirinya yang di awal berapi-api dan meneruskan hipotesisnya soal Narumi akhir-akhir ini dengan lebih tenang.
“Lo berubah belakangan ini; lo gak main game, lo fokus dan ngedengerin meeting, lo latihan mulu, lo lama nge- gym sampe badan lo begitu– apa sih? Lo pake pomade aja udah aneh, eh ini lo wangi banget tiap latihan!” tarikan nafas, “gue pikir lo mau berubah karena Hasegawa marahin lo mulu dan lo sadar kalo lo harus- layak lah di depan umum karena lo ketua divisi tapi ternyata- ternyata lo lagi caper sama junior lo?”
Narumi terdiam, berusaha mencerna Hoshina dan kalimat-kalimatnya yang tumpang tindih , “lo pikir gue begini karena gue mau caper sama junior gue?”
“Terus apa? Caper sama gue? Gak mungkin
‘kan?”
“Berarti lo… nuduh gue mau selingkuh?”
Kini Hoshina yang terdiam, pundaknya yang naik, ngotot akan amarah , menurun, “gak- gak tau… gue gak mikir sejauh itu.”
“Loh, itu ‘kan maksud lo? Kenapa lo gak ngira gue capernya ke lo?”
“Buat apa lo caper ke gue? Gue pacar lo! Lo pacar gue!” amarah Hoshina yang mereda kembali naik, pikirnya pembelaan Narumi adalah hal konyol, “gue nerima lo apa adanya! Gue terima aja lo males, lo main game mulu sampe gak ada kehidupan– emang sih, gue kadang mau pukul kepala lo, tapi gak apa-apa lah? Gue juga terima lo yang kadang bodo amat sama posisi lo yang penting itu, gak mau dengerin aturan dan perintah orang sana dan malah tidur pas pertemuan penting karena gue liat lo tetep megang tanggung jawab– lo tanggung jawab sama posisi lo apalagi pas di lapangan dan gue kagum sama hal itu. Gue gak perlu lo nge- gym lah atau lo bangun pagi terus jadi seger bugar-” dengan suara kecil Hoshina melanjutkan, “walaupun gara-gara itu stamina lo pas ngeseks mantep sih– oke gue suka sama yang satu itu.”
“Hah?”
“Pokoknya! Lo sekarang ngaku, lo caper sama siapa?!”
Narumi sakit kepala. Tak menyangka masalahnya yang kecil–cemburu karena gosip–malah melebar kemana-mana.
“Gini, dengerin gue karena gue mau ngomong serius.”
Hoshina mengerang kesal, berbalik menuju tempat duduk terluas di ruang tersebut; kasur, menunggu Narumi yang akhirnya mengikutinya juga setelah melempar sepatunya terlepas.
“Jadi,” Wah, malu banget. Narumi merasakan gatal di belakang lehernya karena harus mengaku, “gue begini gara-gara cem…buru.”
“Cemburu apa-”
“Lo tau gak, lo diomongin sama anak-anak yang lain? Bisa dibilang lo ini kembang desa di sini-” plak! Untung cuma satu pukulan yang diterima di belakang kepala Narumi, “gue serius!”
“Gak peduli, terus apa hubungannya?”
Narumi mencibir, untuk pertama kali akan mengatakannya secara lisan setelah selama ini membiarkannya berkerubung di kepalanya, “mereka tuh masang-masangin sama yang lain–Kafka! Hasegawa! Banyak! Tapi tau gak, dari segitu banyak orang yang digosipin ‘mau lo pacarin’ tuh, siapa yang gak kesebut? Gue! Gue pacar asli lo gak kesebut! Konyol gak menurut lo?”
Kesal sendiri, Narumi membaringkan tubuhnya, menatap Hoshina yang duduk di sebelahnya, mengernyitkan dahi kebingungan.
“Cuma… gara-gara itu? Gosip?”
“Yaaa sori, gue gak nyangka lo bakal mikir ke mana-mana, ke selingkuh lagi.”
“Gue gak mikir gitu-”
“Padahal gue ngelakuin ini karena lo,” Narumi meraih jari-jari tangan Hoshina, bagian pacarnya yang paling dekat, “gue gak suka, walaupun cuma gosip doang, gue gak suka lo dipasang-pasangin sama yang lain.”
“Apalagi ada yang terang-terangan ngomongin badan lo– gila! Mau gue ledakin semua orang disini.”
“Hei-”
“Bercanda, tapi cinta gue ke lo gak bercanda, “Shiro.”
Hoshina memutar bola mata, “najis.”
Narumi terkekeh, mengais-ngais tangan Hoshina yang terus-terusan menyabet uluran tangannya.
“Ya udah, gitu doang. Sori, gue salah. Harusnya gue gak bertindak sendirian dan ngobrol sama lo.”
“Gak, gak apa-apa, gue paham,” Hoshina ikut berbaring di sebelahnya, pelindung pada bagian pundak seragam mereka bergesekkan, “tapi mereka juga ngomongin lo akhir-akhir ini.”
“Hah?” Narumi sedikit bangkit dari posisinya, “apa?”
Hoshina bergeser mendekat, menatap Narumi tepat di mata, retinanya yang violet menyala-nyala disinari matahari senja yang berada dalam perjalanan untuk tenggelam.
“Katanya lo jadi makin keren, bukan cuma pas lagi berantem sama Kaiju aja,” Narumi menyenggol pundak Narumi di tiap koma kalimatnya dengan jarinya, “mereka ngomongin lo yang lagi diem dengerin Director Shinomiya, balik mandi habis nge- gym, terus pas lo bantuin yang lain latihan–lo galak, serem. Urat leher lo ketarik semua, rahang lo keras tiap kali lagi marah-marah,” jari-jari Hoshina berpindah haluan, mengelus kulit Narumi mengikuti deskripsinya, “katanya, lo seksi banget. Kemarin gue denger ada yang rela ditelanjangin lo di tengah puing-puing bangunan bekas latihan.”
Oh. Oh. Narumi suka sekali arah obrolan mereka yang ini.
“Hmm,” dengung Narumi pura-pura bodoh, pura-pura tak paham bahwa Hoshina sedang mengadu soal dirinya sendiri . Senyum Narumi karena gemas dengan pacarnya hampir terbit, “kalo lo gimana? Mikir gitu juga gak?”
“Gak,” bisik Hoshina namun tegas, “soalnya kalo gue bukan di puing-puing bangunan aja.”
Narumi kalah. Narumi terkekeh, menggigit bibirnya menahan diri– menahan untuk tidak mencium Hoshina sampai pingsan saat itu juga dan memberikan kekasihnya itu apa yang dia mau.
“Kalo lo mau dimana aja, hm?”
Hoshina mengangguk. Kedua belah tangannya bergulir, mengalung pada leher Narumi dan membawanya mendekat untuk mengurung tubuhnya.
“Di ruang makan nanti malem gimana? Biar semua orang liat siapa yang melorotin celana lo.”
“Mau, Gen.”
Seterbangnya nama ‘Gen’ dari bibir manis kekasihnya, Narumi menyegerakan diri, menagih cium dari bibir Hoshina yang sudah menunggu.
Gerak dua bibir yang bergumul terasa sudah lima tahun lamanya tak bersua, seakan bukan baru saja semalam bertegur sapa dan saling menggigit. Narumi mengingat soal orang-orang kurang ajar yang menggumam, bertanya-tanya, apa yang Hoshina pakai di bibirnya untuk terlihat merekah di latihan pagi? Narumi makin mendorong maju tubuhnya, puas, bangga, karena jawaban dari segala pertanyaan itu adalah bibirnya, bahwa bekas gigitannya yang meruam pada bibir Hoshina lah yang membuat bibirnya menggoda yang lain.
Mungkin Hoshina merasakan hal yang sama dengan kasus yang berbeda–soal Narumi yang terlihat seksi saat membentak anak buahnya–rahang kerasnya, urat di lehernya yang kini talinya diciumi Hoshina, yang digigiti keras-keras membuat Narumi khawatir takut-takut putus.
Puas, Hoshina mendorongnya keras untuk berbaring, untuk mudah dilucuti pakaian tempurnya dari tubuhnya. Hoshina hanya butuh satu senjata dari Narumi untuk pertempuran mereka di ranjang dan Hoshina dengan mudah mendapatkannya; pemuda berambut gelap langsung saja menduduki gunung di tengah kakinya. Tubuh pacarnya bergoyang ke kiri dan ke kanan, menggesek-gesek selangkangan keduanya, masih dengan seragamnya yang semi-lengkap. Oh, Hoshina Soshiro. Selain tahu betul cara memerangi monster yang mengambil alih kota, juga tahu betul bagaimana menangani monster yang ada di balik celana Narumi–bahkan bersenang-senang dengannya sepanjang malam.
Tak ingin pacarnya bersenang-senang sendiri, Narumi meraih pinggang Hoshina dan menggerakkan pinggulnya lebih keras, membuat Hoshina di atasnya membuka mulut, mengizinkan desah-desah kecilnya bebas.
“Ahh, Geeen.” desahnya manja.
“Ayo , sayang. Cepet. Gue gak sabar.”
Hoshina menggigit bibir sambil ikut menekan selangkangannya untuk diberi rangsangan oleh Narumi lebih kuat, “gak sabar apa? Lo mau apa, Gen?”
“Lo, ‘Shiro– hmmh– gue mau lo. ”
“Kenapa gue harus nurut?” Hoshina menurunkan tubuh depannya, membuat bibirnya bergerilya di kuping Narumi dengan sengaja, untuk berbisik, “kalau gue tinggalin lo sekarang, gimana?”
“Gak mungkin,” cibir Narumi, menghentakkan selangkangannya untuk menabrak Hoshina, yang hanya direspon pejaman mata, “lo juga mau gue, ya ‘kan sayang”? Mau dientot sama gue sampai besok?”
“Lagian lo harus nurut, Soshiro Hoshina,” lanjut Narumi tanpa ampun, “gue Kapten lo.”
Kalimat barusan menghasilkan erangan kecil sekaligus satu set lagi pakaian yang terdampar di lantai ruangan; Hoshina menaunginya tanpa busana, menyisakannya dengan celana dalam hitam satin yang ketat, yang berbahaya karena mengundang hasrat yang besar untul Narumi mencakarnya sampai robek tak tersisa.
“Soshirooo, gila lo,” Narumi mengurut penis Hoshina yang mengacung di balik celana dalamnya, “cantik banget.”
“Mulut lo nih–pinter banget ngerayunya, Kapten Gen.”
Kapten Gen, katanya. “Brengsek-”
“Si cantik ini mau tau dong,” Hoshina berjalan dengan lututnya, masih mengangkangi Narumi, ke bagian atas tubuhnya yang terbaring, “mulut Kaptennya bisa apalagi?” bisiknya.
Hoshina berhenti, dengan kaki terbuka mengangkangi leher Narumi, membuat pemuda yang berada di bawah harus menengadah tinggi untuk menatap Hoshina yang menjulang tinggi. Narumi tak bisa menemukan retina violet favoritnya yang bersinar, yang ditemukannya adalah violet yang gelap, berkabut, penuh tekad atas kemauannya yang mutlak.
Biasanya Narumi melihatnya saat Hoshina dengan frustasi mencari kelemahan Kaiju yang dilawannya. Lucu, karena saat ini Hoshina menatapnya dengan mata yang sama hanya karena ingin merasakan mulutnya unjuk kebolehan pada tubuhnya.
Selain tumbuh menjadi pejuang kedamaian yang setia, Narumi juga biasa menemukan dirinya sebagai pecundang yang menyembah Hoshina. Hoshina mau? Narumi akan pergi ke ujung dunia untuk mencarinya. Hoshina mau mulut Narumi bergerilya di tubuhnya? Dengan senang hati-
-Narumi menjulurkan mulutnya, menggenggam kedua pinggang kecil Hoshina untuk diangkatnya dengan mudah mendekati wajahnya. Nah. Ini contoh hasil latihan Narumi yang disukai Hoshina.
Mulut Narumi mampir di celana satin kekasihnya untuk dibasahi, untuk dibuat kuyup tak berguna malam ini dengan mengemut penis Hoshina dari luar. Lelaki di atasnya mengerang, menggesek bagian depan tubuhnya pada wajah Narumi.
Tak diragukan, Narumi memang punya tampang, tapi Narumi favorit Hoshina adalah Narumi yang wajahnya fokus penuh konsentrasi dan tenggelam di selangkangannya.
Kedua tangan Narumi yang betah mangkir di pinggang mungil sang pacar bergerak, menguleni kulit yang polos sampai kesepuluh jarinya berpencar untuk menjangkau lebih luas, untuk membuktikan apakah kedua telapak tangannya mampu menangkup Hoshina secara keseluruhan. Genggamannya kuat, keras, penuh kebanggaan, seakan yang ditangkupnya bukan pinggang tetapi sebuah piala, yang mengilat, yang cuma bisa disentuh sang juara satu– si paling pantas.
Usahanya gagal. Bagaimanapun tangannya bersikeras menekan tubuh Hoshina sampai tangannya ikut melekat dan meninggalkan bercak merah untuk bertemu dengan satu sama lain pun masih ada celah di antara kedua belah telapak tangannya. Tetapi Narumi tak mempermasalahkannya, karena fokusnya langsung dibelokkan habis dengan Hoshina yang memutar tubuhnya, menyodorkan bokongnya pada mulutnya.
Hoshina ingin duduk dan sang penurut yang baik seperti Narumi hanya bisa menyediakan tempat duduk kelas atas dengan servis terbaik sedunia.
Narumi meludah tepat di pintu anal Hoshina dan menjebloskan langsung lidahnya ke dalam. Hoshina dan tubuhnya yang siap sedia hanya bisa mengerang dengan anal yang gak rewel, yang bisa dimasuki Narumi semaunya.
“G-geeen-”
Bokongnya ditampar, “Gen?” tanya Narumi tak setuju.
“K-Kapten Gen- Ah! Hmmmh! ”
Puas, Narumi melanjutkan penetrasi lidahnya pada anal sang kekasih. Walaupun sudah menyambut lidahnya dengan antusias–sudah longgar bekas semalam–Narumi tetap keras kepala meludah hanya karena ia ingin merasakan becek di lidahnya saat menyantap tubuh pacarnya. Keluar-masuk. Mengitari dindingnya yang berkedut. Keluar-masuk lagi.
“Gimana menurut kamu, sayang?” pipi bokong yang basah digigit, “Kapten lo melakukan tugasnya dengan baik, gak?”
“T-terbaik,” Hoshina menggerakkan bokongnya, menekannya lagi ke wajah Narumi, menginginkan Narumi berhenti berbicara dan kerja, kerja, kerja, “enak- bangsat- hhh- enak, Kapten.”
Narumi membubuhkan cium di hamparan kulit di depan mata, tetapi tiba-tiba ia merasa tak puas karena dengan posisi begini ia tak bisa leluasa–lehernya tak mengizinkannya. Jangan salah, Narumi rela mematahkan hidung atau membiarkan lehernya dislokasi agar sedia menjadi singgasana dimana kekasihnya layak untuk duduk, tetapi malam ini masih panjang dan Narumi tak mau ngeseks dengan nyawa sekarat.
Ditepuk Hoshina untuk bangun yang langsung dituruti pacarnya walaupun kelihatan sekali pemuda itu tak senang kursi -nya bangun dan memerintahnya kemudian.
“‘Shiro, nungging?”
Hoshina mengernyit bingung kemudian mendengus, sebelum menempatkan dirinya di posisi yang diinginkan Narumi; dengan ditumpu lututnya, bokongnya naik ke udara, naik sekali, sampai tubuhnya menukik membentuk busur dan Narumi pikir tidak ada manusia di dunia ini yang lebih jago menungging daripada Hoshina.
Alih-alih langsung tunduk dengan keinginan primalnya, Narumi dengan sabar mencekik nafsunya yang meletup-letup dalam dirinya untuk diam. Ia ingin menikmati waktunya, ingin mensyukuri Hoshina yang adalah kekasihnya, yang taat mempersembahkan mentah-mentah jiwa raga untuknya, yang menggoyangkan tubuhnya tak sabar karena Narumi tak kunjung mendatanginya.
“Gen, ngapain sih -”
“Sebentar,” Narumi turun, mengecup pundak Hoshina yang hampir menyatu dengan sprei kamarnya, “mau bener-bener ngerasain lo.”
“Hah? Ya udah cepetan-”
“Sssh, kenapa sih buru-buru?” Narumi menyeret bibirnya dari pundak ke leher Hoshina, menggigit-hisap kulitnya, mengundang desah dari Hoshina yang meninggikan leher semampunya dalam posisi yang sulit, untuk Narumi menjejaki lebih banyak tubuhnya, “kenapa, sayang?”
“Mau lo, Gen-”
“Gue ‘kan disini, ‘Shiro.” jawabnya enteng, mengejek.
“Nngh-” satu gigitan keras di bagian tengah leher Hoshina, satu lonjakan keras bokongnya ke belakang kemudian. Begitu caranya meminta, dengan frustasi, memohon , untuk Gen menghentikan omong kosongnya dan melakukan sesuatu, untuk mengisi penuh tubuhnya yang kosong, “Geeen, please, sialan- ayo… ”
Menyumbat telinga, Narumi bangkit, menyibukkan diri dengan upacara puji syukurnya; tangannya bergerilya di atas kanvas putih kotor yang rajin dilukisnya karena tak pernah bebas dari jentik kecupnya yang basah di tiap malam dan akhirnya samar di pagi hari, untuk kembali ditimpa pewarna yang baru di malam berikutnya.
Narumi memujanya, membiarkan tangannya memeta tubuh pacarnya yang ditinggali bekas luka akibat pertarungan menjaga kedamaian dunia, tetapi merupakan tubuh tercantik, yang paling menggoda yang pernah berhasil dibawanya ke atas ranjang.
Permintaannya tak kunjung dikabulkan, nafsu Hoshina yang berusaha diredam membuat nafasnya menderu, membuat punggungnya naik turun di bawah tangan Narumi yang mengusapnya dengan halus. Narumi bahkan bisa merasakan langsung detak jantungnya yang melolong ribut, yang tak jauh beda dengan miliknya. Hal itu tak menghentikan Narumi untuk memperburuknya dengan mengikuti irama tubuh kekasihnya dan membiarkan telapak tangannya menelusuri lekuk naik turun tubuhnya dan akhirnya menggenggam keras dada pacarnya yang padat, mencubit ujung putingnya yang mekar. Oh. Gila. Narumi melupakan kegiatan wajibnya. Ia mencatat di kepalanya untuk menyusu sebelum tidur nanti.
Tangannya masih ingin menggapai lebih jauh, tetapi rengek Hoshina makin nyaring, makin mupeng dan membuat Narumi tak tega.
“Gen, ayo- ayo cepet,” begitu rengeknya, “lo bilang- hhh- lo bilang, gue punya lo.” lanjut pemuda yang menungging, yang kuasa terhadap tubuhnya hampir berserakan.
“Iya lah,” katanya dengan remasan kasar di bokong Hoshina, “lo emang punya gue.”
“Kalau gitu ambil gue,” pinta Hoshina, “gue punya lo sepenuhnya, Kapten.”
Abu-abu; entah kuasa ada di tangan Narumi atau selalu ada pada Hoshina. Walau pada akhirnya Narumi yang membolak-balikkan tubuhnya di ranjang, Narumi adalah yang lemah, yang mengikuti iya-dan tidaknya Hoshina, padahal sebaliknya ia tak pernah mengenal ‘tidak’ untuk menjawab segala pinta–perintah–Hoshina, apalagi perintah yang dibarengi bokong yang menungging setinggi langit.
“Gue gak mau pake kondom.” seru Narumi memperingatkan, melonggarkan celana dalamnya tergesa-gesa dan tangannya langsung sibuk mengocok penisnya agar makin keras, makin siap.
“Boleh-”
“Gue bakal keluar di dalem lo, dalem banget, sampe gak bisa keluar lagi.”
Khawatir yang keluar adalah desah, bukannya memberi jawaban lisan, Hoshina menutup bibir terbukanya dan memilih mengangguk keras-keras. Setuju. Ia begitu menyukai ide Narumi.
“Lo bakal ngerasain sperma gue ngerembes ke celana lo pas besok latihan.”
Oh. Hoshina menaikkan bokongnya makin tinggi, “mau- Gen, m-mau-”
Narumi menampar bokong Hoshina dengan penisnya sebelum mendorong penisnya masuk. Penuh. Tanpa ba bi bu. Bukan satu senti, dua senti atau tiga senti; semuanya ia berikan untuk Hoshina. Begitu mudahnya, begitu lah tubuh Hoshina menyambutnya dengan antusias seakan memang disitu Narumi harusnya tinggal, mendiami tubuhnya sepanjang hari karena tubuhnya adalah rumah.
Desah yang kembar menggema. Nikmat pada penis Narumi saat merasakan panas melingkupi gulungan dagingnya. Nikmat pada lubang anal Hoshina yang dinding-dinding di dalam tubuhnya dirojok tanpa ampun.
Narumi menggerakkan pinggulnya, merogoh isi tubuh Hoshina untuk menemukan titik manis ternikmat yang akan membuat Hoshina kelimpungan. Ditariknya terbuka pintu masuk anal Hoshina dengan jempolnya untuk membiarkan penisnya keluar-masuk tanpa resistensi–tubuh Hoshina memeluknya erat, enggan melepasnya untuk mundur demi hentakan maju yang lebih nikmat.
“Geeen- Nngh! Gen!” desah Hoshina hampir terbungkam oleh kain sprei yang warnanya menggelap akibat keringat dan liur dari mulut Hoshina yang menganga.
“Enak banget- sinting, selalu enak di dalem lo, Soshiro,” Gen menabrakkan keras, keras, pinggangnya maju, berseteru dengan kulit bokong Hoshina yang warnanya menjadi merah padam, “pinter, pinter, selalu pinter–doyan, sayang? Enak?”
“E-enak- Ahhng! Enak banget, Gen! Di situ –Di situ!”
“Dimana, sih? Sini, sayang?”
Ah. Apa akan ada yang percaya apabila Narumi mendongeng bagaimana Hoshina–Soshiro Hoshina, sang wakil ketua divisi tiga, dengan jutaan pengagum, yang terkenal tak kenal ampun menggorok leher dan menyayat jantung Kaiju di medan perang juga cerdik mengambil keputusan bahkan di saat paling genting dengan nyawa sebagai taruhannya saat ini terlonjak-lonjak tubuhnya tak berdaya melawan besarnya api gairah hanya karena sebuah penis–penis milik Narumi Gen, yang harusnya adalah lawan ributnya di muka umum?
“Ini? Atau ini, sayang?” Narumi menghentikan segala geraknya, sebelum menampar bokong pacarnya yang menempel di pinggulnya, “coba, kamu aja yang gerak.” perintah Narumi dengan lidah yang digigit penuh penantian akan pertunjukkan terbaik yang jarang Hoshina penuhi karena kekasihnya adalah– oh, siapa sangka– sering malas mengambil alih laju genjotan, terlalu gila kuasa untuk membuat Narumi saja yang melayaninya.
“Brengsek! Gen, please, gak mau!” Hoshina memukul balik pahanya yang bisa diraih tinjunya, “lo gerak! Sekarang!”
“Lo bilang enak, ambil aja sendiri– tuh, ayo, kasian lubang lo laper.”
Kepalang nafsu, kepalang lapar akan nikmat, Hoshina mengerangkan desah dan kesal. Merasakan penis kekasihnya yang bersarang diam di analnya membuatnya jengah, membuatnya lebih sensitif dan bahkan bisa merasakan belitan urat pada penis Narumi yang memenuhi tubuhnya. Penis Narumi terasa lebih besar, tetapi terasa percuma karena diam saja.
Hoshina, dengan nafasnya yang acak-acakan, mengangkat tinggi bokongnya, dengan gemetar maju menjauhi Narumi untuk kemudian mundur tiba-tiba– berkali-kali Hoshina maju mundur melahap penis Narumi yang mengacung tegak. Sesekali bokongnya memutar, membangkitkan desah dari keduanya.
Laju yang hati-hati berubah terburu-buru; Hoshina dengan wajah yang tenggelam mendorong-tarik tubuhnya untuk lebih giat menggunakan penis Narumi seakan pemuda itu hanyalah alat pemuas nafsunya saja.
Narumi menatap lapar pinggang mungil dengan bokong montok yang bergoyang melahap penisnya. Jakunnya naik turun. Liur di mulutnya banjir dan gairahnya untuk menonjok Hoshina sampai ke dalam-dalamnya muncul bertubi-tubi ke permukaan.
“Punya gue,” plak, plak, tamparan pada goyangan bokong Hoshina diberikan yang dibarengi ulenan tangan tanda kasih sayang, “lo punya gue, Soshiro.”
Dua tangan besarnya, lagi, menggenggam pinggang favoritnya, pinggang kecil nan lacur yang tak berguna kecuali untuk dililit dua tangan besarnya–dan Narumi menghentakkan maju tubuhnya. Membuat Hoshina terkesiap dan ambruk di landasan tubuhnya.
“Ahn! Gen!!!”
Hoshina tak lagi berguna, hanya lubang untuk dinikmati Narumi, hanya lubang untuk menikmati Narumi. Kakinya lunglai tak berdaya, pegangannya hanya dua pasang tangan Narumi yang mengangkat kuat tubuhnya untuk tetap bangun dan menungging.
“Bangun, sayang. Bangun.”
Lelaki di bawahnya menggeleng dengan cicitan desah keluar dari mulutnya.
Narumi menarik tubuh Hoshina yang tak lagi bertulang untuk menegap dan kembali menggempurnya kuat-kuat. Hoshina tersentak-sentak, dengan payah memegang kepala ranjang agar tidak bertabrakan.
“Gue- Ah, ‘Shiro- gue bucat ya, sayang?”
“D-di dalem- Geeen, Gen, di dalem!”
Narumi terkekeh, mengecup pipi Hoshina yang ditangkup tangannya dan buyar, menyemprot spermanya keras dan banyak di dalam anal Hoshina sesuai dengan janjinya.
Tangan Narumi turun, mengocok penis Hoshina dengan brutal untuk ikut merasakan puncak nikmat bersamanya. Lolongan desahnya keras, penuh ekstasi serta ancaman terdengar oleh satu gedung asrama markas besar dan Hoshina akhirnya ambruk ke depan, sperma mengucur deras genangi sprei di bawahnya.
Engahan nafas keduanya menggema. Masih dengan peluh yang mengalir dari kepalanya, Narumi menyaksikan kondisi pacarnya yang jadi ulahnya. Matanya menatap Hoshina- nya, yang tubuhnya meringkuk gemetar dengan sperma Narumi berceceran keluar dari analnya yang megap-megap dan bengkak karena terjangan penisnya.
Ini, adalah pemandangan nomor satu yang paling disukainya–Hoshina yang paling cantik adalah Hoshina yang kelelahan karena digempur genjotan nikmat yang cuma bisa dilakukan oleh Narumi.
Merah-merah di sekeliling pinggang kecil pacarnya menarik perhatiannya. Merah begitu merona, membelit sekeliling pinggangnya bagai sabuk.
Narumi merunduk melabuhkan kecup-kecup, melayangkan jilatan dari lidah panjangnya dan menikam mesra dengan barisan giginya kulit Hoshina seperti akan menyantapnya. Bukan sebagai obat, tetapi sengaja memperparah tanda di tubuh Hoshina– tanda, bukti bahwa Narumi singgah di tubuhnya malam ini dan malam lainnya kemudian.
Lelaki yang lemas meringis, tak berpaling dari Narumi dan kelakuannya di tubuhnya. Malah, tangannya yang masih gemetar meremas gelisah rambut abu yang menggelitik tubuh sensitifnya untuk membiarkan, menyemangati, Narumi untuk meninggalkan jejaknya, bukti kepemilikannya .
Sampai remasan tangan Hoshina mengarahkan Narumi untuk lebih turun, turun– Narumi berhadapan dengan anal Hoshina yang becek berantakan.
“Kapten Gen,” bisik Hoshina menggoda, “bersihin ulah lo yang ini .”
Narumi Gen mengangguk, tanpa janji karena akhirnya ia malah mengotorinya lagi.
-
“Menurut gue,” satu kecup di dada telanjang Hoshina, “lo bener deh, pindah ke divisi gue.”
Hoshina memutar bola mata, Narumi masih belum menyerah dengan permintaan yang berkali-kali diusul itu, padahal jawabannya akan sama saja, “udah lah, nyerah. Gue gak bakal mau.”
“Kenapa siiih?” Narumi mencubit-tarik pipi Hoshina untuk menengok ke bawah, ke arahnya yang nyaman menjadikan tubuh pacarnya itu sebagai bantalan, “padahal gue bakal kasih posisi bagus di divisi gue kalo lo mau.”
“Apa? Wakil ketua divisi? ‘Kan sama aja. Lagian gue betah bareng Mina.”
“Iya sih, tapi kalo lo pindah ke divisi gue, bakalan ada kursi khusus buat lo.”
Matanya melirik; Hoshina tertarik, “khusus apanya?”
“Muka gue,” Narumi terkekeh geli, “dudukin muka gue tiap meeting-”
Mulut Narumi habis dicubit.
Dicium beringas kemudian.
-
“Anjing, Capt,” seru Tachibana dengan mata melotot, “lo habis latihan langsung sama Kaiju atau gimana?”
Narumi yang baru saja duduk di meja, mengikuti anggota divisi satu yang lain dengan sarapan di kedua tangan menaikkan alis bingung, “apaan?”
Hasegawa menatapnya dengan mata menyipit dan menunjuk-nunjuk sekeliling lehernya– oh, bekas gigitan plus cupang yang merah benderang. Heh. Tidak ada yang tahu, di balik kaosnya, kalau nyeri saat tubuhnya diguyur air panas benar, di punggungnya mungkin saja ada banyak bekas sayatan kuku dari Hoshina. Belum lagi bekas benturan keras saat ia dipojokkan ke pintu. Mungkin bekasnya membiru atau malah menghijau.
Narumi puas dengan segala jejak yang ditinggal Hoshina padanya. Narumi mengedikkan bahu, seringai di wajahnya tak disembunyikan sama sekali.
Rin mengamatinya, ke rambut lembab yang tak keburu dikeringkan dan ekspresi menjengkelkan yang segar, kinclong. Perempuan itu menggeleng, kembali mengaduk makanan di mangkuknya, “bukan Kaiju sih kalau kayak gitu.” yang direspon anggukan setuju oleh Kikoru yang kelihatan malas menanggapi.
Tiba-tiba ia ingat Hoshina yang tidak mengendap keluar dari kamarnya walau pagi sudah tiba, yang melanjutkan tidur nyenyaknya dan bertanya, “nanti gue pinjem baju lo, ya.” sebelum Narumi keluar dari kamarnya lebih dulu karena mengeluh lapar.
Itu… kabar baik ‘kan? Artinya main kucing-kucingan dengan Hoshina soal hubungannya berakhir hari ini, ‘kan? Jadi, Narumi hanya tinggal menunggu Hoshina muncul di ruang makan, menyusul untuk ikut sarapan dengan memakai bajunya yang akan terlihat besar di tubuhnya itu. Iya ‘kan?
Ya udah. Untuk apa lagi ia sembunyikan?
Narumi berdehem meminta perhatian, menatap satu-satu anggota divisinya yang kembali menuruti perintah bisunya.
“Gue pacaran sama Hoshina.”
Sepanjang meja terdiam. Senyap. Kunyahan pada lauk pauk di mulut terhenti. Bahkan sumpit stainless steel tak menghasilkan bunyi denting sama sekali.
Sampai tawa geli yang diketuai Tachibana memecah suasana dan semua orang di mejanya ikut tertawa terbahak, kecuali tiga orang yang kemarin menyaksikan langsung interaksi Narumi dan Hoshina dan panggilan kecil yang dilayangkan untuk satu sama lain.
“Lo? Sama Hoshina yang berantem kayak anjing-kucing itu?” saut salah satu anggotanya.
“Sori, Narumi,” Hasegawa menepuk pundaknya, mengalihkan Narumi dari kata kotor yang hampir tergelincir dari lidahnya, “lo berubah, jadi keren, kita semua ngakuin itu. Lo sekarang bener-bener kelihatan kayak ketua divisi kita-”
“Sialan-”
“Tapi, bukan berarti lo tiba-tiba bisa jadiin Hoshina pacar! Hoshina Soshiro yang itu! Gila-”
“Kalo lo lupa, gue fighter terbaik se-Jepang! Bahkan sebelum gue berubah-”
“Hoshina sedikit lagi bisa nyusul lo kayaknya.”
“Anjing-” kalimatnya terputus saat Narumi merasakan sesuatu di pipinya.
Narumi tak sadar, di sela sibuk keributannya dengan Hasegawa dan yang asal nyeletuk lainnya, Hoshina masuk ke dalam ruang makan, berjalan menghampirinya dengan santai, menangkup rahangnya-
-untuk mencium pipinya.
Bukan hanya meja divisi satu, satu ruangan kini senyap dengan beberapa orang yang dengan lantang terkesiap. Ada pula yang kelepasan memekik karena kaget.
Hoshina Soshiro baru saja mencium Narumi Gen di pagi hari, di tengah hiruk pikuk sarapan yang sukses membangunkan para anggota yang menyantap sarapannya dengan mata setengah terpejam hampir tertidur.
Hoshina Soshiro berdiri di belakang Narumi Gen dengan kaus yang biasa dipakai Narumi untuk santai, dengan merah-merah di leher yang sama persis dengan yang ada di leher Narumi–bahkan lebih merah sedikit, dengan wajah yang sama segarnya walau kantuk dan lelah masih terhias di wajah Hoshina.
Karena ulah Hoshina, semua orang kini tahu lelah yang bagaimana dan siapa penyebabnya.
“Masih pagi, Gen,” tegur Hoshina dengan halus, tangannya terangkat bukan untuk berada tinju dengan Narumi seperti yang biasa dilakukannya di depan banyak orang, tetapi Hoshina mengelus–mengacak–rambut Narumi penuh sayang sambil berjalan pergi ke mejanya, “jangan berisik.”
Hoshina pergi meninggalkan kerusuhan dan lolongan kacau dari semua anggota Defence Force seakan keributan tersebut bukan disebabkan olehnya, berikut Narumi yang terdiam– cengo– sepanjang menyantap sarapannya.