Work Text:
Menurut pemahaman Jeno, tidak ada yang salah dari tampilan cermin pemberian Ibu ketika ia berkunjung ke rumah. Rasanya, cermin itu tidak berhak dilimpahi curiga. Sampai ketika Jeno mengalami kejadian yang tidak bisa dimengerti nalarnya.
Semuanya berawal dari permohonan Ibu untuk bertemu dan rasa kangennya yang menggebu. Kangen anak kesayanganku yang paling cantik, Ibu yang selalu terdengar antusias menyampaikan rasa rindunya dalam hampir setiap panggilan telepon. Anak kesayangan karena Jeno adalah anak perempuan satu-satunya Ibu. Dimandikan dan disuapi sendiri sejak Jeno belum tahu ia tidak lahir dari rahim Ibu.
Ibu bilang, sudah biar aku saja yang rawat, ketika tubuh mungil Jeno merengek kedinginan di depan yayasan milik Nenek. Biasanya, Nenek akan melarang. Nenek selalu menyarankan Ibu untuk mengejar karirnya, masa depannya. Apalagi dari dulu Ibu sama sekali tidak tertarik dengan ikatan pernikahan ataupun meneruskan keturunan. Ibu lebih suka menjalani hidupnya sendiri dengan mengencani perempuan yang selalu ia temui di sebuah bar pinggir kota selepas perjalanan kerja. Namun, ketika Ibu mendengar rengekkan Jeno, entah bagaimana hatinya terenyuh. Kamu kecil, cantik, ingin Ibu kasih cinta, jawab Ibu ketika Jeno bertanya ‘kenapa’. Jeno sudah tinggal di rumah Ibu dari awal merengek di teras sampai ia masuk sekolah menengah atas. Waktu berlalu dan Jeno harus menjalani pendidikan di luar kota. Tentu, jauh dari Ibu. Dua minggu sekali, satu bulan sekali, bahkan sampai tiga bulan mereka bisa tidak bertemu. Sampai Ibu sering meluapkan protes di setiap panggilan telepon. Sudah lupa, ya? Sudah tidak sayang, ya? Mana mungkin. Walaupun sebenarnya Ibu tidak pernah seserius itu meragukan rasa sayang Jeno. Pertanyaan setengah candaan Ibu masih sering dilayangkan sampai Jeno kini sudah menginjak umur dua lima.
Maka dari itu, di kuartal tiga kemarin, Jeno memutuskan untuk mengambil cuti. Tiga hari ia habiskan dengan temu kangen mengunjungi kediaman Ibu — rumah masa kecilnya. Kini, Ibu tinggal berdua dengan pacarnya yang lebih sering Jeno panggil Bunda. Jeno percaya usia itu hanyalah sebatas angka karena Ibu tidak banyak berubah seperti ketika ia masih sering melantunkan tembang nina bobo karangannya apabila Jeno tidak bisa terlelap. Ibu masih sehat dan bugar. Yang tidak kalah penting, Ibu masih punya banyak cinta.
“Ambil saja cermin di kamar depan. Jarang ada yang pakai.” ujar Ibu, setelah Jeno cerita tentang cermin di apartemennya beberapa hari lalu jatuh hingga pecah.
“Nggak usah, ah. Susah juga bawanya.” Tolakan Jeno secara instan ditepis dengan usulan untuk dikirim saja menggunakan penyedia jasa antar. Sebelum kembali berceloteh dengan segala omelan andalan Ibu, Jeno mengangguk setuju.
✶
Dua hari setelah kembali, Jeno dihubungi oleh pihak resepsionis terkait kiriman paket — cermin yang dibalut oleh kayu jati asli dengan pahatan rupawan. Butuh dua orang untuk mengantar ke lantai dua puluh dengan selamat. Tidak ada pesan istimewa selain secarik kertas wangi melati disertai tulisan tangan Ibu: Dijaga ya, Sayang. Jeno memotret cermin yang sudah bertengger di sudut kamarnya, lalu mengirimkannya ke nomor Ibu dengan pesan: Sudah mendarat dengan cantik di kamarku. Terima kasih. Aku sayang Ibu.
Seminggu berlalu, Jeno semakin meyakini pilihan menyetujui tawaran Ibu adalah keputusan yang tepat. Cermin pemberian Ibu begitu kawin dengan tatanan interior kamar Jeno yang dihiasi oleh aksen kayu. Layaknya memiliki mainan baru, Jeno jadi lebih suka mematut dirinya di depan cermin dari Ibu. Setiap ia bangun, memasang riasan wajah, mengenakan pakaian, merapikan rambutnya, sampai ia mengecek kondisi tubuhnya ketika hendak terlelap — semua dilakukan di depan cermin pemberian Ibu. Hari demi hari, Jeno merasa semakin ada saja yang menarik dirinya untuk berkutat di depan cermin itu.
Kali ini, ia teringat pujian dari teman-teman kantornya yang semakin sering ia terima terkait penampilannya yang kian memukau. Jeno penasaran. Apa iya? Selesai mandi, dengan handuk masih melingkari tubuh, Jeno meliuk-liuk di depan cermin. Rambut basahnya meneteskan air ke permadani coklat tua di lantai. Kemudian, Jeno sampai pada kesimpulan bahwa teman-temannya itu terkadang bisa sangat berlebihan. Jeno sudah memandangi lekuk pada pantulan dirinya dengan lamat-lamat dan ia langsung dilanda kecewa. Mau seberapa lama Jeno pandangi tubuhnya, ia yakin tidak ada yang berubah. Jeno masih sama.
“Cantik.”
Jeno terperanjat. Pandangannya segera dilayangkan ke seluruh sudut kamar. Jeno yakin barusan ia mendengar suara asing, suara yang bukan keluar dari mulutnya. Kosong. Jeno mengambil napas panjang, lalu berdecak kesal. Pasti hanya pikiran letihnya saja. Terkadang, Jeno bisa hilang kendali akan konsepsi ruang dan waktu ketika dilanda letih. Apalagi kalau sudah mendekati masa menstruasi di mana kondisi tubuhnya sering menjadi tidak bisa diprediksi. Selagi meraba-raba keadaan sekitar, tiba-tiba hidungnya mencium wangi mawar yang menusuk sekelebat.
Tidak menggubris dengan serius apa yang ia alami barusan, karena saat ini Jeno mempunyai sesuatu yang lebih serius dan lebih butuh perhatian. Agenda kencan. Jeno langsung mengirim pesan ke perempuan yang sudah ia ajak berkunjung — bertemu di aplikasi kencan daring, seorang periset, lima tahun lebih tua, berambut pendek, cantik, kakak cantik. Sebetulnya, hanya ingin memastikan bahwa ia jadi datang. Sekilat cahaya, kakak cantik membalas pesannya dan masih dengan janjinya semula yang akan datang waktu makan malam. Selagi memilih pakaian yang akan dikenakan, Jeno hanya berharap ia akan turut menjadi santapan makan malam kakak cantik. Malam ini akan menjadi pertemuan ketiga mereka; pertama di rumah makan ala Italia, kedua di rumah kakak cantik yang berada lima belas menit dari kantornya, ketiga di apartemennya. Jeno bolak-balik memandangi penampilannya di depan cermin — ia mengenakan gaun hitam tanpa lengan selutut, polesan perona pipi dan bibir merah keunguan, minyak wangi musky andalannya, serta tidak lupa empat cincin kesayangan yang senantiasa melingkar di jemarinya. Cantik.
Kencan Jeno berjalan sesuai harapannya kecuali bagian kakak cantik hampir mengeluarkan kembali beef brisket yang mereka santap tiga puluh menit sebelum hendak berciuman.
“Jen, kok bau busuk, ya?” Pertanyaan itu keluar dari mulut kakak cantik di sela suara ‘huek’ yang tidak kunjung berhenti. Sorot matanya penuh tuduh seolah bau itu tersekresi dari tubuh Jeno dan ia menjadi perempuan paling menjijikan di mata kakak cantik. Tentu saja, Jeno kebingungan. Pasalnya, ia sama sekali tidak mencium bau tidak sedap. Jeno berani bersumpah mulutnya wangi anggur. Kamarnya wangi kamomil. Kakak cantik cari-cari alasan supaya mereka tidak jadi ciuman? Sudah lima menit kakak cantik berlutut di depan kloset duduk. Ia selalu berteriak histeris ketika Jeno berusaha mendekat. Wajahnya pucat pasi dan matanya berubah merah gelap. Dahinya sudah bercucuran keringat dingin. Jeno yakin ada yang tidak beres terlebih lampu kamar mandinya tiba-tiba mati dan kakak cantik bergelagat ingin buru-buru pergi.
“Aku mau pulang,” ujar kakak cantik sambil bergegas membawa semua barang-barangnya. Sama sekali tidak berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Maaf—huek, maaf aku nggak bermaksud ganggu kamu.” Jeno tidak mengerti. Jeno yang mengajak kakak cantik bertemu di apartemennya, lalu darimana asalnya narasi ia terganggu. Belum sempat Jeno mempertanyakan kejanggalan yang kian menumpuk, kakak cantik sudah lenyap dari kamarnya. Lampu kamar mandinya tiba-tiba kembali menyala setelah langkah terakhir kakak cantik dari apartemennya. Sungguh, malam yang membingungkan.
“Cantik. Punyaku.”
Lagi, suara itu. Terdengar geram walaupun hanya berupa sayup-sayup semata. Kali ini ekor mata Jeno menangkap sekelebat angin yang lagi-lagi menebarkan wangi mawar. Lebih menusuk di hidung daripada sebelumnya. Ia buru-buru simpulkan bahwa rasa letih juga kecewanya semakin membuatnya berhalusinasi. Jeno masih enggan menghubungkan apa yang baru saja ia alami dengan sesuatu yang tidak masuk di akalnya. Meskipun dari kecil Jeno sudah kenyang dicekoki cerita-cerita serupa yang sering didongengkan Ibu — tidak pernah ada yang Jeno yakini. Kepekaannya memang cukup mutakhir namun ia selalu memilih skeptis dengan sesuatu yang berkaitan dengan entitas tidak kasat mata. Menurut Jeno, manusia bisa lebih menyeramkan, menyerupai iblis. Bahkan, bisa lebih kejam daripada iblis. Hanya membayangkan saja seketika membuat pundak Jeno bergidik.
Setelah tragedi tidak mengenakan yang menimpanya ketika akan berciuman dua hari lalu, kakak cantik sempat mengirim satu pesan: kamu nggak sendirian. hati-hati. Lalu, memblokir nomor ponsel Jeno sebelum ia sempat menanyakan apa maksud dari pesannya itu. Urusannya dengan kakak cantik ia anggap selesai detik itu juga. Walaupun sedikit kecewa karena sempat merasa ia dan kakak cantik akan berakhir bahagia, setidaknya seperti Ibu dan Bunda. Jeno senantiasa meyakinkan dirinya sendiri bahwa masih banyak cinta di luar sana. Masih banyak juga yang mau menciumnya tanpa melihatnya seperti seonggok daging kadaluwarsa.
Belum selesai urusan patah hatinya, juga tumpukan deadline pekerjaannya, kini tempat tidurnya kian terasa asing. Sebetulnya, Jeno masih enggan memikirkannya, namun suara-suara yang tidak ia kenali semakin sering Jeno dengar di kamarnya. Ragam wewangian asing kerap menusuk hidungnya, padahal pewangi di kamarnya hanya ada dua — dupa di dekat jendela dan stik pengharum di samping kasurnya. Entah kenapa, firasat Jeno membuatnya merasa seperti selalu diawasi. Belum lagi pesan terakhir dari kakak cantik tentang ia tidak sendiri. Konyol saja rasanya kalau Jeno sampai harus memasang kamera pengawas di kamarnya. Haruskah? Entahlah, Jeno selalu berpikir bahwa ia hanya kelelahan saja. Beban pekerjaannya pada kuartal empat memang sangat menguras tenaga. Sampai kepalanya lebih sering berjalan di luar kuasa logika. Wajahnya kusut. Cantik. Muncul jerawat hormonal di bawah dagunya. Cantik. Cekung hitam di bawah matanya benar-benar menunjukan sejarang apa ia bercengkrama dengan kasur seperti sudah lupa bagaimana caranya tidur. Kalau bisa menghentikan detik waktu, Jeno ingin tidur sedikitnya dua minggu. Ia ingin rehat sejenak saja.
Puncaknya, Jeno merasa ia sudah melewati batas kewarasan ketika telinganya menangkap tembang lagu yang sering dinyanyikan Ibu sebagai pengantar tidur sewaktu kecil. Tapi, jelas sekali ini bukan suara Ibu. Suaranya lebih mirip dengan suara yang selama ini hadir mengisi hari-hari Jeno namun setengah mati ia coba abaikan.
Hari sudah gelap.
Anak cantik terlelap.
Mimpi indah melahap.
Seolah dibacakan mantra oleh peri tidur, bersamaan dengan usapan di rambutnya yang terasa menenangkan seraya tembang itu dinyanyikan, mata Jeno terasa berat dan ia betulan terlelap. Di dalam tidurnya, Jeno berdiri di tengah kegelapan. Tidak begitu lama, matanya melihat sosok bayangan asing. Ia yakin itu bukan pantulan dirinya sendiri. Pandangannya gelap dan buram, sampai ada perempuan berambut hitam bergelombang sepanjang dada dengan gaun merah menyala di depannya — di dalam cermin pemberian Ibu. Ia masih berada di kamarnya. Mulut Jeno hanya mampu terbungkam ketika perempuan itu menyunggingkan senyuman. Sebenarnya, hal pertama yang dilakukan Jeno justru memandang wajah perempuan itu dengan seksama. Sebagaimana sorot matanya membisikan ajakan: lihat aku. Jeno terpaku. Sebab, di antara semua perempuan yang pernah Jeno temui selama seperempat abad hidupnya, ia yakin wajah perempuan di depannya tidak diperuntukkan bagi mata manusia.
“Cantik.”
Suhu delapan belas derajat dari pendingin udara di kamarnya terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Jeno menggigil. Badannya seperti tenggelam dalam air dengan bongkahan es yang menggunung. Tidak terelakan, ia hanya bisa berdiri mematung.
“Cantikku.”
Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa yang ia dengar barusan adalah suara serupa dengan yang sebelumnya tidak pernah Jeno gubris. Mungkin selama ini ia tidak berhalusinasi. Mungkin suara itu memang mempunyai mulut. Jeno coba untuk memejamkan matanya kembali, lalu perlahan mengintip hanya demi memperoleh lanskap bahwa sosok perempuan itu masih ada di depannya lengkap dengan senyuman memikat.
“Cantik, lihat aku.” Bola mata Jeno hampir keluar tatkala menyaksikan jemari lentik dengan kuku panjang berpoles merah menjulur keluar dari cermin menikam buah dadanya. Payudaranya diremas. Empuk, kenyal, cantik.
“Hanya aku yang boleh bikin kamu enak, Cantik.” Perempuan bergaun merah itu masih memilin payudara Jeno, putingnya ditarik tidak peduli akan wajah Jeno yang dipenuhi tanda tanya besar. Rasanya, ingin teriak. Namun, tubuhnya tidak mengelak.
“Cantik, mau aku bikin enak?” Rayuannya mengalir seperti sesuatu paling menggiurkan yang pernah Jeno dengar. Jemari perempuan itu mengayun perlahan menyusuri kulit mulus Jeno. Rasanya dingin, sampai menusuk ke tulang rusuk. Mata Jeno penuh selidik mengikuti belaian jemari lentik perempuan itu. Dan, badannya betulan tidak bisa diajak kompromi. Napasnya masih tersisa banyak, namun badannya sama sekali tidak bisa bergerak. Layaknya ada puluhan paku yang menancap di pijakan kakinya. Kini, lehernya yang diberi usap, digenggam kedua sisinya bagaikan memburu setiap tarikan napas. Jeno terbuai.
“Nghh…” Lenguhan itu melesat di luar kendalinya. Terlebih ketika sosok perempuan yang sedang menaklukan tubuhnya semakin nyata di depannya. Jeno benar-benar ingin protes, namun mulutnya hanya mampu melesatkan desahan kelu.
Jeno merasa kalau semua akan benar-benar berakhir ketika lehernya terasa nyeri dan payudaranya tersedot perlahan. Mata yang dipejamkan membawanya ke dalam fantasi paling liar yang tidak akan Jeno duga dalam raga yang sadar. Jeno sekarat. Aliran darahnya terasa turut disesap habis melalui puting. Lidah dingin perempuan itu meliuk-liuk meninggalkan tetesan liur. “Mmnhg…” Lantunan desahan Jeno dianggap soraian candu oleh perempuan itu. Sehingga, lidah dingin itu segera menyongsong surga yang diam-diam selalu diimpikan.
“Cantik, memeknya juga cantik.” Seringainya memperlihatkan dua taring di deretan gigi. Ia menarik napas dalam-dalam, menghidu rambut yang sudah cukup lebat tumbuh. Hembusan haus terasa di vagina Jeno yang sedang ditelusuri perlahan. Tidak ada yang bisa Jeno lakukan selain pasrah, sedikit memekik ketika kuku panjang milik perempuan itu mencokel klitorisnya. Ia mainkan sampai membengkak merah. Lidahnya kembali meneteskan liur basah di tubuh Jeno. Lengket, basah, dingin, cantik.
“Ahhh…” Jemari perempuan itu sudah menancap mantap di sela bibir vagina Jeno sehingga memantik erangan yang melesat begitu saja. Sungguh, Jeno ingin mengerjap, namun tubuhnya hanya sanggup menegang. Kakinya melebar kaku.
“Hanya aku yang bisa bikin kamu lupa diri begini,” Jeno mendengar itu sebagai sebuah gertakan atau bahkan kutukan. Jemari lentik dengan kuku panjangnya masih mengeruk vagina Jeno seolah ada harta karun tersembunyi di sana, tidak peduli yang punya sudah tergolek layu. “Hanya aku, Cantik.”
“Nghhh…!” Badan Jeno yang kaku mulai terasa gemetar. Kemudian, vaginanya berkedut hebat ditambah gerak bibir merah perempuan itu tidak henti membubuhkan cium. Liurnya sudah bercampur dengan cairan-cairan yang keluar dari vagina Jeno, lalu perempuan itu sesap sekaligus. Ia habiskan sisa-sia kesadaran Jeno.
“Ini layaknya surga, Cantik.” Sudah cukup bunga tidur Jeno untuk malam ini. Perempuan itu memutuskan. “Selamat tidur nyenyak, Cantik.”
Paginya, Jeno bangun dengan kepala yang lebih ringan. Bunga tidur semalam tiba-tiba saja menyelinap masuk ke ingatannya ketika matanya menangkap cermin di ujung kamar. Harapan Jeno bahwa memorinya semalam semata manifestasi dari siklus ovulasinya langsung tergoyahkan ketika ia melihat pantulan dirinya di depan cermin. Badan Jeno dipenuhi lebam merah keunguan. Terlebih, ketika Jeno menyadari ada jejak perona bibir merah yang menempel dari leher sampai selangkangannya — seketika membuat kepalanya hampir meledak. Perempuan itu meninggalkan jejak, bagaikan memberi pesan bahwa sosoknya nyata dan bisa kembali kapan saja. Semaunya. Pijakannya seketika goyah.
Jeno mengirim pesan ke manajernya bahwa hari ini ia akan mengambil jatah bekerja dari rumah.
✶
Hari-hari berikutnya Jeno habiskan dengan kepala penuh tanya. Salah satu pertanyaan terbesarnya tentang sosok perempuan cantik bergaun merah yang tidak kunjung hilang dari kepalanya. Pertanyaan ia nyata atau tidak senantiasa berputar-putar mematahkan pijakan nalarnya. Anehnya, sejak ia datang ke mimpi Jeno, suaranya tidak pernah terdengar lagi sampai membuat Jeno sering menempelkan daun telinganya di depan cermin sambil mengetuk-ngetuk jemarinya di sana. Kapan bertamu lagi, secepatnya kalau bisa. Suara yang hilang di telinganya malah menjadi lebih menggema terngiang memenuhi semua ruang kosong di tubuhnya. Sudah beberapa malam Jeno tidur tanpa busana dengan harap perempuan itu akan menyambanginya. Wangi-wangian yang biasa hidung Jeno tangkap tanpa sengaja pun bagaikan menguap begitu saja. Perempuan itu sirna begitu saja seolah memang tidak pernah ada, hanya halusinasi Jeno semata. Bodohnya, Jeno sempat mengira bahwa bayang-bayang sosok perempuan itu akan segera sirna dari ingatannya. Sudah jelas jawabannya, ia salah besar. Jejak perempuan itu memang hanya tersisa di kepalanya. Namun, berhasil membuat Jeno hampir gila. Jeno merindukannya.
Jeno masih belum berminat untuk mengaku kalah dengan menelpon Ibu bahwa sepertinya cerita-cerita pengantar tidur masa kecilnya ada benarnya juga. Tidak kuasa juga menahan malu tentang mimpinya dengan perempuan cantik bergaun merah itu. Tidak dapat dibayangkan oleh Jeno apa yang akan Ibu katakan padanya apabila ia mengaku: aku dientot setan cantik dan aku suka — ingin minta tambah kalau bisa! Meskipun Jeno yakin, Ibu tidak akan banyak komentar tentang fantasi ranjangnya seperti biasa apabila ia bercerita tentang perempuan-perempuan sebelumnya. Tapi, perempuan ini beda, yang ini tidak nyata! Setan!
Makanya, tidak sedikit di sela tumpukan pekerjaannya, sisa harinya dihabiskan dengan berkutat di depan komputer bersama puluhan laman menumpuk di layar. Jeno masih belum menyerah. Ia mencari dan terus mencari. Dari laman bertajuk ‘Forum Diskusi Klenik’ hingga ‘Jasa Santet Online’ dikunjunginya satu-satu sampai aliran darahnya terasa semakin bergejolak. Tidak ada yang menjelaskan secara konkret terkait kejadian-kejadian yang menimpanya belakangan ini. Semuanya dilandasi katanya, sudah percaya saja. Di sebuah laman tanya jawab bahkan ada yang menyebut Jeno mengalami sesuatu peristiwa ‘ketindihan’. Penjelasannya memang cukup serupa dengan yang dialami Jeno. Tapi, sungguh betapa kesalnya Jeno ketika membacanya karena perempuan itu tidak menindihnya secara harfiah. Jujur saja, ia ingin. Memang murahan! Namun, bisa apa Jeno apabila setiap memandang tubuhnya, ia malah teringat perempuan itu, terbayang akan sentuhannya yang berhasil mematahkan segala tatanan logika di kepalanya. Semakin lama, bayangannya semakin jelas, semakin menggoda.
Lalu, Jeno teringat perkataan Ibu: konon, setan hanya mendatangi manusia-manusia penakut. Sudah jelas, ini masalah besar. Masalahnya adalah Jeno sama sekali tidak takut, ia hanya penasaran juga ketagihan. Jemari yang semula menggenggam tetikus, kini diketuk-ketuk ke meja kerjanya. Harus apa lagi? Bagaimana cara mengubah gundukan gairahnya menjadi rasa takut? Memangnya bisa?
Di tengah putus asanya, Ibu datang bagaikan cahaya. Jangan cari gara-gara, jangan pernah menantang mereka. Jeno tiba-tiba ingat wejangan itu. Wejangan ketika Jeno enggan masuk rumah setelah hari mulai larut dan meragukan keaslian cerita Ibu tentang perempuan dengan buah dada besar menggontai yang gemar menculik anak kecil. Dulu, umur Jeno masih belum genap sepuluh, makanya perilakunya masih sering membuat Ibu geleng-geleng kepala. Sekarang, dengan lobus frontal yang sudah sepenuhnya matang, Jeno sadar betul yang akan dilakukannya jauh dari batas nalar manusia. Sudah pasti Ibu juga akan geleng-geleng kepala apabila yang akan dilakukan anak perempuan kesayangannya sampai di telinganya. Tapi, semua dilakukan demi menjawab segala tanya di kepalanya. Demi menemukan perempuan itu. Juga, demi menuntaskan gairahnya. Jeno akan mereka ulang apa yang muncul di mimpinya. Ia harus bertemu perempuan cantik bergaun merah itu lagi — perempuan yang menggerogoti isi kepalanya, juga membuatnya orgasme luar biasa. Jeno beranjak dari kursi lalu menghampiri cermin di sudut kamarnya. Cermin yang mengawali semuanya.
“Cantik.” Jeno berbisik lirih selagi memandang pantulannya di cermin. Ia meletakan jemarinya tepat di lurusan matanya, lalu perlahan membelai pantulannya dari ujung kepala hingga ujung kaki layaknya perempuan itu menyentuh badannya tempo hari. Kemudian, Jeno duduk di permadani coklat tua dengan kaki terbuka lebar. Ritme degub jantungnya mengencang, sadar yang dilakukannya tidak rasional — sebab siapa lagi yang sudi mengemis untuk bersetubuh dengan setan. Namun, adrenalinnya menggebu sehingga Jeno sangat mengantisipasi apa yang akan datang. Celana pendek dan kaos tanpa lengannya ia lepas, sehingga tubuhnya hanya dibalut celana dalam hitam. Matanya masih menjurus ke pantulannya sendiri, menyongsong raga yang sedang berada di ambang waras. Pantatnya sintal, payudaranya kenyal, bibirnya berbisik merayu asal. Di kepalanya muncul rekaman kilas balik sebagai acuan gerakan yang Jeno lakukan sekarang. Jemarinya hinggap di payudara, diremas keduanya lalu disuguhkan ke mulut secara bergantian layaknya hidangan pembuka sebagaimana perempuan itu melakukannya sampai Jeno melenguh tidak berdaya. Lehernya dicekik sendiri, memang patetis tapi ternyata Jeno suka. Telunjuknya digigit, dikulum sampai ujung sebagai rayuan tambahan untuk perempuan yang tidak kunjung datang padahal sudah ia undang. Mungkin aksi Jeno kurang mengundang? Dengan sekejap, jemarinya menyingkap celana dalam hitam sehingga menampilkan vagina dengan rambut cukup lebat di sana. Sengaja tidak cukuran. Jeno ingat, perempuan itu suka.
“Kesukaan kamu ‘kan, Cantik?” Jeno merayu. Ia mengelus bibir vaginanya seolah menyuguhkan hidangan ala surga. Masih belum menampakan diri walaupun sudah dirayu benar-benar membuat Jeno putus asa. Lantas, ia melebarkan bibir vaginanya, melumuri jemarinya dengan air liur lalu menerobos lubang vaginanya sendiri berharap perempuan itu segera menampilkan wujud cantiknya.
“Ahhh…!” Kali ini lenguhannya sedikit dilebih-lebihkan meskipun fokusnya lebih banyak dipenuhi bayangan tentang sentuhan perempuan yang ia dambakan daripada dua jemari yang sedang keluar-masuk secara konstan.
Jeno kesal menyadari kenyataan bahwa jemarinya tidak bisa merasakan kobelan se-nikmat jemari perempuan itu. Sebal juga mengakui kenyataan bahwa dirinya benar-benar sangat terjerat. Perempuan itu benar sejadi-jadinya. Hanya ia yang bisa. “Nghh... Cantik, please… pleas–ahhh…!” Jeno sudah memejamkan mata berharap sampai pada klimaks namun batal seketika karena tiba-tiba ada yang menghentikan gerakan jemarinya.
“Cantik.”
Jeno membuka mata. Terperanjat mendengar suara yang sudah berhari-hari Jeno tunggu-tunggu. Ia datang. Jeno beradu pandang dengan perempuan yang sudah ia nantikan. Ia di sini, bisa Jeno genggam. Perempuan itu nyata, bukan hanya di mimpinya ataupun kepalanya semata. Penampilannya persis seperti yang terekam baik dalam ingatan Jeno. Masih terlalu cantik untuk mata manusia. Rambutnya terurai panjang bergelombang hitam penuh kilau, bibirnya merah merona, gaun merahnya terlihat licin, jemari lentiknya masih terpoles warna merah di kuku-kuku yang rapi. Cantik. Jeno tersenyum simpul seperti baru saja menemukan bidadarinya.
“You’re so desperate, Cantik. Pathetic.” Ujung kukunya menarik dagu Jeno, menancapkan segala ucapannya langsung ke bola mata Jeno. Mungkin, ada benarnya, Jeno memang mendekati putus asa. Benar-benar patetis. Rasanya ingin mengumpat karena dada Jeno malah berdesir hebat. Bibirnya enggan mengatup, hingga air liurnya menyeruak ke dagu. Apalagi ketika lehernya kembali dicekik, bukannya memohon agar berhenti, Jeno malah menyerukan ingin lagi .
“Cantiknya.” Bibir Jeno dilumat, digigit dengan taringnya sampai Jeno mengaduh. Kemudian, liur yang mengalir dari mulut Jeno disesap sampai bersih sehingga pipi Jeno merah merona memanas. Jeno benar-benar berantakan dibuatnya. Ia tidak sadar bahwa kakinya sempat menjadi lebih rapat, sebelum perempuan itu melayangkan perintah untuk membetulkan posisinya. “Lebarin lagi pahanya, Cantik.”
Layaknya tunduk pada perintah seorang nyonya, tanpa bicara apa-apa, Jeno langsung membuka kakinya. "Becek banget memeknya, Cantik. Kayak jalang.” Perempuan itu berbisik seraya melepas ciumannya di bibir Jeno. Dalam hela napasnya, Jeno bergumam. “Jalangnya kamu.”
Tawa perempuan itu menggelegar. “Bukannya mulut kamu cuma bisa dipake mendesah, ya, Cantik?” Jeno enggan menyanggah, karena memang begitu adanya. Mulutnya seperti tidak kuasa membentuk tatanan kalimat yang koheren ketika perempuan itu ada di pangkuannya, dengan jarak hanya beberapa inci saja.
“Mau la—AH! Ruin me, again. Wreck me again… Ple—mhmm…” Belum sanggup menyusun inginnya dengan rapi, bibir Jeno sudah kembali dilahap lebih rakus. Lidah perempuan itu masih terasa dingin, menyebarkan rasa menggigil ke segala aliran darah Jeno. Lidah Jeno disesap lalu dilepeh begitu saja.
“Ada syaratnya, Cantik.” Telunjuknya menyibak helai-helai rambut Jeno yang basah di dahinya. Lalu, menyelipkannya ke daun telinga Jeno. Sebetulnya, Jeno tidak peduli apa syarat yang perempuan itu minta. Jeno sudah benar-benar mabuk kepayang akan sentuhannya. “Apa? Sebut aja. Aku sanggupi.”
“Jadi jalangku selamanya, mau?” Tawaran itu dibisikkan di telinga Jeno. Bibirnya tersenyum penuh pikat. Mungkin ia tahu Jeno tidak akan pernah bisa menolak.
Awalnya, Jeno sempat mengira praktik persembahan semacam pesugihan itu tidak akan pernah menimpa hidupnya. Jeno pikir hanya akan didengar di mitos-mitos dongeng Ibu saja. Tapi, barusan ia diminta untuk menumbalkan dirinya — tubuhnya, selamanya. Sudah mirip ritual pesugihan, detik ini Jeno sedang bernegosiasi dengan setan. Setan cantik! Tidak butuh banyak pertimbangan untuk Jeno mengatakan iya. Jeno rela menyerahkan tubuhnya seutuhnya untuk perempuan itu. Ia mengangguk. "Mau."
“Cantikku. Jalangku.” Perempuan itu tersenyum, melahap puting Jeno sekaligus menancapkan taringnya di sana, seolah mengguratkan tanda kepemilikannya. Perempuan cantik ini milikku. Jangan berani-berani menyentuh. Celana dalam Jeno disingkirkan dengan mudahnya. Pinggul perempuan itu mulai bergerak di antara selangkangan Jeno, klitorisnya sengaja digesekan dengan klitoris Jeno yang sudah membengkak merah.
“Cantik... ah—AH! Nghhh…” Jeno terperangah. Badannya membusur seraya pinggul perempuan itu terus bergerak, maju mundur menyuguhkan rasa nikmat. Payudara perempuan itu ikut menyembul, bergerak selaras dengan goyangan pinggulnya yang semakin lama semakin cepat. Jeno ingin meremas juga menyesapnya dalam-dalam, tapi tangannya ditahan. Napas Jeno sempat terhela ketika perempuan itu menurunkan ikatan gaunnya dengan satu tangannya, kemudian menuntun jemari Jeno yang ia genggam demi mengabulkan keinginannya barusan. Perempuan itu mendesis sewaktu jemari Jeno meremas payudara sintalnya, putingnya dipelintir lalu ditarik bergantian. Jeno tahu sebentar lagi ia akan mencapai klimaks. Maka, kepalanya buru-buru dibenamkan di antara payudara perempuan itu. Di sana ia mengaduh, sekujur tubuhnya bergetar lalu ia meneriakan desahan panjang. “Ahhhhh…. AH!”
“Hmmm… Cantiknya…” Perempuan itu mengendus pucuk kepala Jeno, kemudian mendaratkan bibirnya di sana.
Mereka melebur. Jeno tergolek lemas di dekapan perempuan itu. Permadani coklat tua di lantainya sudah basah tidak karuan terkena cipratan cairan yang keluar dari vagina mereka berdua. Jeno masih mencoba mengatur hembusan napasnya dan seisi kamar Jeno tiba-tiba saja semerbak bunga setaman seakan ada yang menebarkan tangkai bunga setara lautan. Dalam sadarnya yang entah mengapa semakin menipis Jeno coba mengingat perempuan itu — gurat wajahnya, sorot matanya, harum tubuhnya, juga janjinya. Jeno harap perempuan itu akan kembali lagi untuk menagih janjinya. Maka, dengan sukarela Jeno akan melebarkan kakinya lagi. Kali ini, tanpa diminta.
✶
“Cermin yang Ibu kasih ke aku itu, dulu Ibu beli di mana?”
“Nggak beli, Sayang. Hadiah dari Nenek.”
“Ibu tau Nenek beli di mana?”
“Kamu sudah ketemu dia ya, Jen? Cantik ya?”
Ketika mendengar Ibu menyebut kata cantik, sekujur tubuh Jeno sontak menegang. Ibu tahu. Ibu selalu tahu. Dan seperti yang Ibu tahu, Jeno akan menjaga cermin cantik itu. Selamanya.