Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Series:
Part 3 of Gyuhan Series
Collections:
Flufftober 2024
Stats:
Published:
2024-11-02
Words:
1,617
Chapters:
1/1
Comments:
8
Kudos:
8
Hits:
135

Raksi

Summary:

Mingyu terbangun dengan sisi yang sudah lama mendingin. Tubuhnya terbaring sendiri ditinggalkan sang pujaan. Dia menghirup dalam selimut berharap ada resi yang tersisa untuk dihidu.

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Work Text:

Mingyu terbangun dari tidurnya ketika matahari masih jauh bersembunyi. Bahkan mungkin embun pagi belum selesai berkondensasi. Tangannya meraba ke sisi sebelah, dingin. Dengus pelan dibuatnya sebelum bergelung ke samping, berusaha menghangatkan bagian kasur yang lain. Mingyu menghirup lembut bantalnya, berharap aroma favoritnya tertinggal di sana. Jeonghan tidak tahu seberapa rindu Mingyu kepadanya. Rasa-rasanya neuron Mingyu meringis. Hidungnya dipaksa mengendus dalam balutan selimut, berharap ada sisa semerbak wewangian untuk Mingyu kenang. Entah bayangan harum kelapa bercampur bunga bergamot yang tercium atau memang kantuk yang menyerang, Mingyu kembali terlelap. Mimpinya tidak jauh-jauh dari Sang Kekasih Tersayang yang kini entah di mana. Dalam mimpinya, Jeonghan terlihat begitu indah, tersenyum di antara hamparan aster putih. Rambutnya yang masih senada dengan putik, menjadikannya bunga yang paling cantik. Mingyu diajak berlari, mengejar Jeonghan yang tertawa menggoda. Langkah mereka seakan diatur lamban, memaksa untuk berlama-lama di bawah pancaran senja. Mingyu berhasil menangkap Jeonghan ke dalam pelukan, kecupan pertama pada pipi berhasilnya dicuri. Jeonghan mengerang dan membalas mengecupnya di bibir. Mingyu terkekeh, berniat menggelitik perut Jeonghan sebelum telinganya diteriaki. 

“Kim Mingyu! Bangun! Lihat sudah jam berapa ini? Dasar kerbau!” 

Mingyu tersentak kaget, tubuhnya langsung terduduk menjadikannya terbangun dari mimpi. Hela napasnya bisa didengar oleh laba-laba di ujung ruang. Ponselnya masih berdering, menggaungkan nyaring suara Jeonghan yang mengomel membangunkannya dari tidur. Mingyu masih ingat ketika pertama kali dia menjadikan omelan Jeonghan alarm pagi, telinganya harus menahan ocehan dan protesan tidak terima hingga petang. Takut rindu, alibi Mingyu yang membisukan Jeonghan. Seruan Mingyu menjadikannya padam meski kemerahan mulai tampak di wajahnya. Dibanding marah, mungkin dia malu karena tergugu. 

 

Mingyu membiarkan alarm itu mati sendiri. Menjadikannya tetap akan berbunyi hingga nanti. Langkahnya lunglai menuju mesin kopi. Biasanya Jeonghan akan merengek untuk segelas latte di pagi hari. 

“Susu oat tanpa gula ya, Sayang,” pesannya sambil melenggang ke sofa depan layar tv. Biasanya Mingyu akan mendebatnya, membatasi jatah kopi dua kali sehari. Dan Jeonghan akan protes, mengecapnya pelit, memberondongnya dengan perbedaan latte dan kopi, mengangkat botol susu hingga ke depan wajahnya, “lihat! Ada susu, Gyu! Ini bukan hanya kopi!” ucapnya. 

Mingyu akan tetap mengernyit dan menggeleng tidak goyah, tidak ada tambahan kuota kopi. Jeonghan akan menatapnya kecewa dan merunduk. Biasanya Mingyu akan menyogoknya dengan nasi goreng kimchi, atau kupon pijatan ekstra serta kupon bebas mencuci piring sehari, kemudian senyumnya akan kembali. Oh, andai Jeonghan tahu betapa merindunya Mingyu hingga mengganti teh pagi sarapannya dengan segelas latte. Gema suara Jeonghan meneriakinya kerbau sudah terdengar dua kali, jeda lima belas menit di setiap suanya membuat Mingyu sudah hampir setengah jam menatap secangkir kopi susu. Jeonghan akan marah jika Mingyu menyebut lattenya kopi susu, bibirnya akan mencebik dan mulai menyerangnya dengan hinaan tajam, yang terbaru adalah pria tidak berbudaya . Sematan itu membuatnya tambah rindu. Sebut dia gila, Mingyu tidak peduli, yang terpenting baginya adalah jika bisa, Jeonghannya segera kembali. 

Kafein dalam kopi tidak menjadikannya lebih baik. Mingyu beranjak ke balkon, menatap semilir angin bergelayut pada ranting pohok jeruk mandarin di sebelah kanannya. Pohon itu dibelinya dua minggu setelah dirinya dan Jeonghan pindah. Untuk menambah stok oksigen kata Jeonghan, padahal Mingyu tahu Jeonghan hanya merasa perlu karena Myungho dan Jisoo juga membeli pohon serupa. 

“Pohonku lebih besar dan mahal! Kata penjualnya, jerukku akan lebih manis!” jelasnya. Tangannya tidak berhenti menyemprot air pada daun-daun hijau di sana. Mingyu hanya bisa menggeleng gemas dan mengecupi seluruh wajah Jeonghan. Kini pohon jeruk itu sudah pernah berbuah satu kali, dan benar buahnya manis. 

“Lebih manis bibirmu,” Mingyu mencegah Jeonghan yang akan protes dengan lumatan di bilah bibirnya. Jeonghan tentu tidak protes, ciuman Mingyu itu manis. Lebih manis dari jeruk yang ditelannya. 

 

Mingyu menghela napasnya, ini sudah kedua belas kali Jeonghan berteriak. Perutnya berbunyi, lambungnya bernyanyi karena hanya diisi kopi sedari pagi. Memasak tidak pernah semalas ini. Biasanya dia akan selalu menyalakan api kompor, selelah apapun dirinya, memasak akan selalu menyenangkan. Mungkin karena dia tahu akan ada Jeonghan yang menghabisi masakannya. Namun kini dia seorang diri, tidak ada lagi yang akan menemaninya memasak sambil bernyanyi. Atau yang perlahan memeluknya dari belakang sambil bersandar, mengecup bahunya berbisik terima kasih. Mingyu sangat merindu. Entah sudah berapa kali sapuan rindu disenandungkan hatinya. 

Hari Minggu tidak pernah semengecewakan ini. Dibanding berdiri ke dapur atau meraih ponselnya yang masih asik mengingatkannya akan suara Jeonghan, Mingyu menjatuhkan diri pada sofa di ruang tengah. Matanya perlahan menutup, menjadikannya tontonan bagi satwa liar di tayangan televisi. Mungkin jika dia tidur lagi, Jeonghan akan kembali. Tidak dihiraunya perut yang masih keroncongan. Matanya lebih disayang Hipnos. Kelopaknya perlahan menutup mengahalau retina. Cahaya menggelap mencari spektrum warna familiar. Mingyu terlelap, kembali mendorong kenangan episodik tentang Jeonghan terputar. 

Kira-kira Surya sudah meninggi melewati puncak kepala di luar. Mingyu terbangun tanpa lagi mendengar bingar suara Jeonghan dari alarm, mungkin ponselnya mati. Seingatnya tidak lebih dari separuh penuh daya baterai ponselnya. Mingyu baru akan mendudukan diri ketika kepalanya kembali dirasa berat, napasnya panas. Bajunya banjir meski pendingin ruangan tidak pernah padam. Apakah dia demam lagi? Mingyu memaksa tubuhnya untuk bangun. Mungkin ini dampak meninggalkan makanan dan hanya menenggak secangkir kafein di pagi hari. Haruskah dia kembali terpejam? 

Mingyu masih menikmati rasa pusing di kepalanya yang beradu dengan denyut hebat. Perutnya mulai ikut memberontak mengeluarkan isi. Mingyu melirik jam yang bertengger pada dinding di atas televisi, hampir pukul tiga sore. Semangkuk bubur jamur menggugah seleranya. Satu hal yang membuat Jeonghan iri, walaupun sakit Mingyu tetap memiki nafsu makan di atas dirinya. Mingyu memasuki dapur, aroma kembang sedap malam tidak menembus hidungnya yang tiba-tiba terpampat. 

Mingyu mengambil sayur mayur di lemari es sebelum atensinya dialihkan oleh sebungkus mi instan. Sepertinya akan lebih cepat, dipugas dengan telur goreng dan irisan daging cincang terdengar lebih lezat. Mingyu kembali menempatkan wortel dan jamur yang sempat didekapnya ke tempat semula. Jemarinya beralih meraih sebungkus mi instan dan bahan pelengkap. Matanya berembun ketika mencincang dagingnya, biasanya Jeonghan akan berseru lapar, menitahnya untuk bergegas karena perutnya keroncongan. 

“Mingyu! Aku lapar sekali, apakah masih lama?” Lalu dia akan berjalan mendekat, menyergapnya di dapur, “aaargh! Aku adalah Monster Lapar! Berikan aku makanan! Aku lapar!” Dan mulai menggigit bahu, lengan, dan cuping telinganya. Mingyu akan menangkap dan menggelitiknya. 

“Lapar? Kau monster lapar yang nakal! Tidak ada monster yang menggigit telinga,” protes Mingyu. Jeonghan akan tertawa meminta ampun. Keduanya akan berakhir saling berpelukan melupakan masakan yang hampir menghitam. 

 

Mingyu berdecih, memasukkan cincangan dagingnya sembarang di atas wajan. Tidak ada bawang, namun matanya pedih. Sekitar sepuluh menit, mi goreng buatannya selesai. Kakinya melangkah ke tempat kotak obat mereka sebelum memboyong makan siangnya ke hadapan televisi. Tidak ada acara yang menarik di sore hari, hanya ada drama percintaan yang sudah tiga puluh dua episode atau berita dalam negeri tentang kericuhan politik. Mingyu memilih saluran kabel untuk kembali menayangkan film favoritnya, Iron Man. Suapan terakhir menemaninya hingga menit ke tujuh belas. Efek obat yang ditenggaknya bekerja cepat, dia tidak pernah mengantuk menyaksikan Tony, tapi matanya seakan mengkhianati. Mingyu membawa kakinya ke kasur, merebahkan tubuhnya sembarang, meninggalkan piring bekas makannya sebagai penonton pengganti. Rasanya terlalu gelisah untuk tidur sepanjang hari, tapi ini semua salah Jeonghan. Mingyu akan mendakwanya jika dia pulang. 

 


 

Seharusnya Mingyu bisa menunggu sedikit lebih lama, mungkin hingga Tony mencari pengganti Palladium yang dicuri, maka dia berkesempatan mengomeli Jeonghan sedini mungkin. Jeonghan pulang dengan geretan koper dan seruan yang tidak terjawab. Matanya menatap bingung piring kotor dan keriuhan televisi. Aneh, pikirnya. Jeonghan menyeru nama Mingyu kesekian kali dan tetap tidak ada balasan. Langkahnya terhenti di hadapan kasur, ada Mingyu di sana. Terlelap, bergelung dengan selimut memeluk erat bantal tidurnya. Jeonghan kembali ke ruang tengah untuk mencuci peralatan kotor. Menyingkirkan kopernya yang kini bertengger di sisi lemari. Isinya bisa disusun nanti, yang terpenting sekarang adalah agar dia bisa segera mandi dan bergabung meringkuk bersama kekasihnya. 

Jeonghan menarik Mingyu masuk ke dalam pelukannya, menyamankan pucuk kepala di sela lehernya. Si Tampan melenguh sebelum tanpa sadar turut merapatkan diri. Jeonghan tersenyum, dihirupnya helaian Mingyu. Berbeda dengan Mingyu yang hampir gila akan wangi stroberi pada rambutnya, Jeonghan teramat cinta dengan bau Mingyu. Prianya akan selalu seharum malam, lembut menyeruakkan aroma bakung lembah yang pernah dibawanya. Banyak orang menyalahartikan raksinya sebagai melati, jelas berbeda bagi mereka yang tahu. Semilirnya lebih lembut, resinya menelusuk singgah di olfaktori. 

Jeonghan merunduk, mengecup dahi membara Mingyu. Tangannya senantiasa mengusap surainya, berharap segera menghilangkan dedar yang didera. Ada rasa bersalah Jeonghan meninggalkan Mingyu tujuh hari lamanya, sementara keduanya tahu Mingyu akan mulai terserang demam di hari keempat tanpa hadirnya. Selalu begitu sejak mereka mulai berpadu. 

Ibunya bilang itu sikapnya bertahan diri semenjak ditinggal pergi Sang Ayah, Mingyu akan mulai sakit jika tanpa adanya orang terkasih. Awalnya Ibu Mingyu khawatir, bagaimanapun ibu tidak bisa terus hadir di sisinya, takut menghambat mimpi-mimpi, takut membebankan hati, meski lisannya terus menyetujui. Hingga akhirnya Jeonghan hadir, bisa dibilang sebagai substitusi. Ibu Mingyu senang bukan main. Anak kesayangannya tidak lagi takut melangkah pergi, tidak mesti berdiam menahan diri, “asalkan ada Jeonghan, aku akan baik-baik saja,” ujar Mingyu sambil memamerkan senyum semringah. 

Jeonghan merasa bahagia, dirinya begitu berarti. Tapi adakalanya dia bergelut dengan kalut. Tidak sampai hati membiarkan Mingyu sendiri, apa daya dunia menuntutnya tega. Jeonghan hampir ikut terlelap ketika dirasa pelukannya mengerat dan ada kecup kecil di sudut bibirnya. Mingyu menatapnya kuyu. 

“Selamat datang, Sayang,” suara serak Mingyu terdengar. Dakwaannya menguap melihat wajah sang pujaan hati yang begitu indah di hadapannya. 

Jeonghan menyamakan wajah keduanya membalas kecupan Mingyu, “Cepat sembuh, Sayang.” Keduanya saling membenamkan wajah di sela bahu. 

“Aku sayang kamu,” Mingyu berbisik. Jeonghan mengangkat wajahnya, menyesap lembut bilah bibir Mingyu. Hati Jeonghan menghangat menandingi pipi Mingyu. 

“Aku lebih sayang kamu,” balasnya. Mingyu baru akan memprotes sebelum mulutnya dibekap, “tidur, kamu boleh protes dan mengeluh setelah sembuh,” lanjutnya. Mingyu mengerang, menyembunyikan rupanya ke dada Jeonghan. Dihidu wangi yang dirindu. Jeonghan tidak akan pernah mengira seberapa dalam rasa cinta Mingyu kepadanya. Begitu pula Mingyu tidak akan pernah tahu seberapa besar rasa cinta Jeonghan kepadanya. 

Notes:

Terima kasih sudah membaca semuanya

Series this work belongs to: