Work Text:
Denting piano memikat atensi yang hadir mengisi ruang. Dari yang duduk di meja bundar sampai yang berdiri di dekat pintu keluar. Sebagian menari di tengah aula, sisanya hanya diam menikmati musik yang syahdu.
Jaemin masih ingat, kemeja putih berlapis jas hitam membalut tubuh ramping dan tegap di depan sana. Punggungnya yang menjulang, bergoyang ke kiri dan ke kanan, terbuai alunan nada yang ia sendiri sedang mainkan. Pundaknya yang sesekali terangkat ketika jemarinya yang merona berusaha menggapai tuts di ujung paling kanan. Jejak dari sisir bergigi rapat tercetak jelas pada rambut hitam yang masih tampak basah; klimis, ditarik rapi ke belakang.
Bagaimana Jaemin bangkit dari kursinya untuk memberikan tepuk tangan paling keras di antara gemuruh yang lebih elegan kala musik selesai dilantunkan. Netra yang terpaku mengamati gerak pria yang berhasil menarik perhatiannya. Langkah jenjangnya mengikuti idola baru yang akhirnya turun dan berbaur dengan tamu undangan lainnya.
Jaemin jatuh hati.
.
Jaemin menanggalkan fabrik yang melindungi kulitnya. Satu persatu dijatuhkan ke lantai hingga membentuk lingkaran, layaknya kolam mengitari tempat kedua kakinya berpijak. Kulit putih memantulkan hangatnya sinaran lampu minyak dari sudut-sudut ruang. Binar matanya mencerminkan api keberanian—cinta yang membara atau nafsu belaka.
Langkahnya ringan, menjemput eratnya pelukan mesra yang selama ini ia damba. Tangannya membelai kepala, jemari merajut surai yang lembutnya mengalahkan benang sutra. Kecupan mendarat di dahi, menjalar ke pipi, hingga bibir keduanya akhirnya bertemu. Mengecup dan mencium, mencumbu dan merayu.
Jaemin melempar kepala ke belakang, membiarkan yang lain mengendus wangi parfum yang sengaja disemprotkan di pangkal lehernya. Meremas pundak yang lain kala jejak basah mulai dibentuk di permukaan kulitnya. Menahan hembusan nafasnya ketika gigi mulai mencetak luka seperti kawah di permukaan bulan. Mendesahkan nama yang kini tengah ia puja; saat noda merah akhirnya merekah di antara pucat pasi kulitnya.
“Mark…”
.
“Mark Lee.”
Kedua telapak tangan yang asing akhirnya berjumpa. Mark menjabat tangan Jaemin dengan penuh tenaga, seperti seorang paman menjabat tangan mungil keponakannya. Berbanding terbalik dari ekspektasi Jaemin, bagaimana lembutnya jemari kurus itu menekan tuts piano agar suaranya tak menusuk telinga.
“Na Jaemin.”
Mereka berbincang, dibarengi beberapa tamu undangan yang ikut membuat lingkaran. Berawal dari pujian akan penampilan yang baru rampung. Beralih pada cerita seorang bocah yang jatuh cinta dengan musik dan terus menggeluti romansa yang ia yakini tak akan pernah usai.
Jaemin mendengarkan pria di sampingnya bertanya pada Mark, lalu wanita lain ikut menimpali dalam diskusi. Sementara dia hanya bisa diam sambil tersenyum—tertawa di sini dan di sana—mengangguk tiap kali Mark menatap matanya, seolah paham dengan istilah asing yang baru pertama kali ia dengar. Setidaknya Jaemin tahu beberapa nama komponis terkenal yang sempat kabur dari bibir Mark.
Keduanya berpisah setelah si Na menawarkan agar keduanya berbincang di tempat lain. Suatu tempat di luar pesta, di mana keduanya bisa berbincang—dan ia bisa pura-pura mengerti tentang Mozart atau Bach—sambil menyisip minuman yang lebih keras. Mark melempar alasan, Jaemin tak berani memaksa.
Lain hari, Mark menjanjikan, tapi tidak sekarang.
Disebutlah nama hari dan lokasi. Sisanya, hanya harapan yang tersisa dalam hati.
.
Sentuhan kulitnya terasa panas. Ciuman bibirnya bagaikan bara. Namun, kedua matanya tak memancarkan gairah yang sama. Mark sering memejamkan mata. Saat kelopak itu dibuka, tatapan dinginnya menyadarkan Jaemin yang sedang dimabuk asmara.
Mark tidak merasakan cinta yang sama.
Mungkin karena Jaemin hanyalah orang yang belum lama dikenalnya.
Mungkin karena minuman keras yang baru saja ditenggaknya.
Mungkin karena Mark memang belum merasakan getaran jatuh cinta pada seseorang layaknya jatuh cinta pada musik di masa kecilnya.
.
Mark menepati janji. Di sebuah kedai kecil keduanya bertemu.
Senyum di wajah Mark berubah canggung saat Jaemin mengaku dirinya tak paham apa-apa tentang musik. Tak ingin membuat yang lain kecewa, satu kejujuran harus dibalut kebohongan baru. Jaemin mengaku jatuh cinta pada musik saat mendengar permainan piano Mark tempo hari. Ia berujar ingin belajar musik meski untuk orang seusianya sudah dianggap terlambat untuk mulai belajar. Sebab itulah Jaemin ingin berkenalan dengan Mark.
Atau begitulah sandiwara yang mulai ia perankan.
.
Dan Jaemin adalah seorang pelakon yang handal, bermain di atas panggung dengan lihai, membiarkan pemain lain menjadi sorotan seakan mereka adalah tokoh utama. Dalam hal ini, membiarkan Mark mengambil alih atas rasa penasarannya.
“M-mark…”
Desahan lolos dari bibirnya saat dirasa Mark mengenai titik yang membuatnya nikmat. Rematannya di pundak Mark kian mengerat tatkala lelaki itu mempercepat tempo permainan.
Kata-kata yang tertukar tidak banyak karena mereka berbicara melalui tatapan dan cumbuan. Bagaimana Mark membuai Jaemin dengan lihai untuk orang yang mengatakan belum pernah bermain dengan lelaki sama sekali.
Mungkin nafsu yang membawa.
Ya, itu saja.
Berbeda dengan Jaemin.
.
“Tchaikovsky, Waltz of the Flowers.”
Tampak kerutan di dahi Mark ketika kalimat itu terlontar, sementara senyuman terlihat di wajah Jaemin.
“Kau bilang aku harus bisa menebak musik yang dimainkan di pesta.”
Pesta yang dimaksud bukanlah pesta di mana mereka pertama kali bertemu. Sebagai seseorang yang berasal dari kalangan bangsawan, baik Jaemin maupun Mark akan sesekali diundang untuk menghadiri pesta.
Pesta tersebut merupakan pesta kedua mereka bertemu.
“Kau benar,” angguk Mark akhirnya tersenyum.
Sama seperti pertemuan sebelumnya, kedua kalinya mereka berjanji, di tempat berbeda dengan nuansa serupa. Aroma kopi memenuhi tempat tersebut disertai hiruk pikuk suara dari para pria berintelek yang bertukar cakap. Berbagai topik dan gosip dibahas dalam satu ruangan.
Jaemin bisa saja mendapat berbagai informasi dari meja di sebelah atau belakangnya, tapi ia mengabaikan karena pemandangan di hadapannya jauh lebih menarik.
“Apa artinya aku sudah lulus tes?”
Mark berjanji di pertemuan pertama, jika Jaemin serius ingin mendalami musik, lelaki itu harus berhasil menebak komposisi musik yang dibawakan pada pesta berikutnya.
“Kau lulus,” angguk Mark tersenyum tipis lalu menyesap kopinya.
Jaemin balas mengangguk dan ikut menyesap kopi, tak kuasa menahan senyum dan keantusiasan yang muncul. Namun, karena tidak ingin Mark mengetahui, Jaemin menyembunyikan itu dibalik cangkir kopi sambil merilekskan tubuhnya.
“Kapan ingin memulai?” tanya Mark seraya meletakkan cangkir kopinya.
“Aku menyesuaikan jadwalmu.”
Janji ketiga pun terbentuk. Jumat, di minggu kedua bulan Agustus, hanya beberapa hari dari waktu mereka bertemu sekarang, tapi Jaemin merasa tidak sabar.
.
Jaemin terbangun dengan alunan lembut dari piano. Temaram yang dihasilkan oleh lampu minyak adalah pemandangan pertama yang dilihat. Hari belum berganti pagi rupanya.
Melodi yang dimainkan terdengar familiar bagi Jaemin disusul siluet seseorang yang bergerak memainkan tuts-tuts piano.
Jaemin hendak bergerak, tapi menyadari bagian bawahnya yang pegal, ia mengurungkan niat dan memilih untuk menikmati permainan musik tersebut. Melodi indah yang dimainkan seakan membuai Jaemin dengan usapan lembut.
Dia hanya diam memandangi Mark yang nampak terserap dalam dunianya sendiri. Mata lelaki itu akan terpejam, menikmati permainan musiknya.
Sama seperti tadi.
Hanya saja Mark tidak tersenyum seperti kali ini.
.
“Gymnopédie by Satie?”
Mark mengangguk, sementara Jaemin berdiri di sisian piano sambil menikmati melodi tersebut.
“Masih belum banyak dikenal, kurasa karena melodinya terkesan baru, berbeda dengan karya-karya yang sebelumnya dibuat oleh komposer lain,” jelas Mark tak lama setelah menyelesaikan permainannya.
“Menurutku musiknya indah.”
Mark terkekeh mendengar kepolosan dalam nada bicara Jaemin.
“Betul, tapi tidak semua setuju dengan itu.”
“Kenapa?”
“Melodinya sederhana, tidak begitu berkembang dan tidak ada struktur harmoni yang spesifik. Seperti tidak ada cerita dalam musiknya dan mereka bilang Satie melanggar hampir semua aturan itu.”
Jaemin sesaat terpukau dengan penjelasan yang diberikan oleh Mark. Pemuda itu semakin terlihat menawan saat menjelaskan sesuatu di bidang yang dikuasainya.
“Kurasa, melodi sederhana seperti ini tetap bagus. Lama-lama kita merasa dibuat tenggelam ke dalamnya,” tambah Mark sembari mempersilakan Jaemin untuk bergantian, duduk di hadapan piano besar.
“Kita mulai dari yang sederhana dulu, bagaimana?”
“Sederhana seperti apa yang dimaksud oleh Tuan Mark Lee?”
Mark tersenyum mendengar pertanyaan tersebut.
‘Minuet in G Major.”
.
Merasa dibuat tenggelam ke dalamnya.
Seperti pemandangan yang Jaemin lihat sekarang.
Tubuh Mark berayun pelan, ke kanan dan ke kiri mengikuti irama, sementara jari-jarinya bergerak lihai di atas tuts piano.
Lentik dan cantik.
Tidak hanya untuk sepasang jari Mark, melainkan bagaimana pemuda itu berekspresi, samar-samar dapat Jaemin tangkap dari pencahayaan yang diberikan oleh lampu minyak.
Apa seorang manusia bisa jatuh lebih dalam lagi?
Pertanyaan Jaemin malam itu.
Karena, mengapa Mark semakin terlihat memukau dan menggoda di saat bersamaan? Gerakannya lama kelamaan terlihat sensual bagi Jaemin.
Gymnopédie yang diceritakan Mark seharusnya tidak seperti ini bukan?
Atau apa memang para pianis seperti itu?
“Aku membangunkanmu sepertinya, maaf.”
Jaemin tidak sadar melodi itu telah berakhir dan Mark akhirnya mengalihkan atensi padanya. Pemuda itu tidak telanjang seperti yang terakhir kali Jaemin ingat, tubuhnya terbalut baju tidur berbahan linen.
“Kau sepertinya akan membangunkan semua orang,” kelakar Jaemin yang membuat Mark sedikit meringis dan mengerutkan hidungnya.
Kebiasaan lucu yang Jaemin amati setelah beberapa kali pertemuan.
“Beruntungnya kita bukan di rumah utama, para pelayan di sini lebih memilih untuk tidur dibanding ikut campur urusan tuan rumahnya—”
Tiap kalimat yang Mark ucapkan, semakin dekat langkahnya pada Jaemin.
“—dan kamar ini kedap suara.”
Hingga akhirnya dia duduk di tepian tempat tidur, memandang lurus ke arah Jaemin, sementara lelaki bermarga Na itu hanya bergumam pelan seakan baru mendapat informasi baru.
“Seharusnya aku berteriak lebih kencang tadi.”
Ucapan spontannya tak pelak membuat Mark terkesiap, tak menyangka akan mendapat respon seperti itu dari Jaemin. Kaget bercampur bingung. Rona merah samar terlihat di pipinya atau apakah itu hanya ilusinasi Jaemin yang dibantu oleh cahaya lampu?
Tidak ingin kecanggungan merasuki, Jaemin memilih tertawa pelan dan tawa itu menular kepada Mark.
“Bagaimana pengalaman pertamamu, Mark?”
.
“Tidak buruk untuk orang yang baru mempelajari musik di usia sekarang. Perkembanganmu bagus, Jaemin.”
Senyuman terulas di wajah Jaemin ketika mendapat pujian tersebut. Anggukan pelan diberikan pertanda ia menghargai pendapat pemuda itu.
Ini adalah pertemuan ketujuh mereka di luar pesta-pesta yang dihadiri dalam tiga bulan terakhir.
Tentu di sela-sela itu Jaemin berlatih lebih giat demi mendapat pujian seperti saat ini, karena apa pun yang Mark perintahkan padanya, akan Jaemin lakukan.
“Tebak lagu yang kumainkan dan aku akan mengajarimu.”
“Berlatihlah komposisi ini dan kita akan bertemu minggu depan.”
“Hadirlah di pesta karena tidak banyak tamu sebayaku untuk diajak berbincang.”
Ungkapan tersebut mungkin terlihat seperti syarat atau ajakan, tapi bagi Jaemin itu adalah perintah yang harus dilakukan.
Agar Mark memandang ke arahnya.
Agar Mark menghabiskan waktu bersamanya.
Agar Mark menganggapnya lebih dari sekedar kawan.
Sesungguhnya ketika kalimat itu terlontar dari bibir Mark, nyeri sempat Jaemin rasakan, tapi dia menutupi dengan senyuman manis andalannya.
* * *
“Kau bilang bisa melukis, tapi aku tidak pernah melihatmu melakukannya,” ucap Mark dengan dahi berkerut.
Keduanya kini berjalan bersisian menyusuri taman kota, merasakan semilir angin sore musim gugur yang sesekali menusuk tulang. Gemerisik dedaunan tiap kali mereka melangkah jadi teman untuk keduanya.
“Itu hanya untuk mengisi waktu luang,” kilah Jaemin.
“Tetap saja,” balas Mark terdengar sedikit merajuk. “Aku ingin melihatnya.”
Untuk sesaat, nafas Jaemin seakan tercekat. Agaknya butuh waktu untuk mempercayai pendengarannya.
“Kenapa?” tanya Mark memandang heran ke arah Jaemin.
“Tidak, tidak apa-apa,” geleng Jaemin seketika.
Tiba-tiba merasa bersemangat hanya karena mendengar ungkapan lugu dari Mark.
"Kapan?" tanya Jaemin menoleh ke arah Mark.
"Kapan saja kau bisa, aku akan menyesuaikan," jawab Mark sambil tersenyum.
Saat itu Jaemin harap Mark tidak terkejut melihat lukisannya, karena beberapa kanvas hanya terisi oleh satu orang.
* * *
“Wow.”
Satu kalimat lolos dari bibir Mark, entah dia terpukau atau tercengang melihat lukisan-lukisan Jaemin, karena dibalik lukisan pemandangan yang Jaemin bagikan, ada beberapa yang dirasa kontroversial.
“Terkejut?” tebak Jaemin melihat ekspresi Mark.
“Tidak,” geleng Mark sambil berdehem. “Hanya baru melihat saja.”
Jaemin mengikuti arah pandang Mark pada salah satu lukisan, di mana lukisan tersebut menampilkan dua orang lelaki yang sedang bercumbu, ada pula lukisan lain yang menggambarkan dua orang lelaki melakukan hal abstrak, tapi jika dilihat lebih seksama lukisan tersebut terkesan erotis.
“Melihat dua orang lelaki berciuman?”
Pertanyaan Jaemin terdengar polos, tapi di sisi lain terasa lugas.
Senyuman kikuk tak lama tampak di wajah Mark. “Aku tidak tahu … kalau kau memiliki imajinasi yang luar biasa.”
Jaemin hanya diam, kedua tangannya diletakkan di belakang, badannya kini tegap seiring dengan senyuman yang mulai merekah.
“Aku anggap itu pujian,” ucap Jaemin lalu mengajak Mark untuk melihat lukisan lain.
Sepanjang itu, Jaemin menjelaskan proses yang dilaluinya saat membuat lukisan-lukisan tersebut.
Mark memperhatikan penjelasan Jaemin dengan seksama, sesekali akan mengangguk atau bertanya.
“Jaemin.”
“Ya?”
“Bagaimana kau bisa membayangkannya?”
“Soal?”
Semburat merah sekilas tampak di pipi Mark.
“Lukisan-lukisan tadi— bukan yang pemandangan maksudku!” sambungnya cepat.
“Oh.”
Responnya singkat, tapi dalam hati Jaemin menahan diri untuk tidak menyeringai, bak melihat serangga mendekati jaring laba-laba.
“Kenapa?” tanya Jaemin.
“Ha-hanya penasaran saja. Kau pasti butuh alat peraganya, bukan? Seperti pemandangan-pemandangan itu.”
“Tidak,” geleng Jaemin tenang. “Aku tinggal membayangkannya saja.”
“Membayangkan?”
Jaemin mengangguk, perlahan tapi pasti langkahnya mulai mendekati Mark.
“Apa kau pernah membayangkannya, Mark?
Kebingungan tampak di wajah Mark, tapi lelaki itu masih bergeming.
“Berpegangan tangan, saling memandangi satu sama lain atau…”
Kini Jaemin berada di hadapan Mark, jarak mereka sangat dekat.
Sangat dekat hingga rasanya Jaemin bisa menyandarkan dahinya kepada Mark.
Namun, itu hanya bayangan semata karena perlahan Jaemin menggenggam tangan Mark. Sentuhannya masih terasa ragu seakan menunggu respon dari lawan bicara. Dirasa tidak ada penolakan, Jaemin memberanikan diri untuk menggenggam lebih erat. Tatapannya memandang lurus ke arah Mark—tidak gentar—hingga tangan yang menggenggam itu mulai bergerak mendekati bibir.
“Atau menyentuh orang yang kau suka?” tanya Jaemin sebelum mengecup punggung tangan Mark.
Kedua bola mata Mark sempat membulat dan keterkejutan tampak di wajahnya, tapi hanya itu. Tidak ada respon berarti, baik penolakan maupun persetujuan.
Jaemin juga tidak tahu apa yang merasukinya saat itu, hingga akhirnya ia menunjukkan salah satu lukisannya. Dalam lukisan itu tergambar potret Mark yang sedang bermain piano di pesta, tampak begitu indah dan elegan. Garis dan pemilihan warnanya dibentuk layaknya dilukis seseorang dengan penuh perasaan.
Dia pikir pertemuan itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka, jika melihat bagaimana respon Mark. Namun, surat yang diterimanya beberapa hari setelah itu cukup membuat Jaemin tercengang.
Sebuah ajakan baru.
Ajakan untuk belajar musik dengan Mark, tapi tempat yang dituju bukanlah kediaman Mark melainkan rumah lain yang dimiliki oleh keluarga pianis tersebut.
Jaemin tidak tahu apa tujuan pergantian ini, tapi kabar baik tetaplah sebuah kabar baik, bukan?
Mark masih ingin berhubungan dengannya. Entah berhubungan dalam arti sebuah pertemanan atau berhubungan badan.
Karena tak lama setelah Jaemin tiba di tempat itu, atmosfer yang dirasakan berbeda dari pertemuan sebelumnya.
Mark menawarinya minuman—wine yang disuling dengan sangat nikmat. Obrolan mereka terasa lebih intim disertai denting piano yang menemani perbincangan tersebut.
“Berarti kau juga bisa membayangkan orang yang berciuman?” tanya Mark kala itu.
“Saat melukis?”
Mark mengangguk, jemarinya menuntun Jaemin untuk memainkan notasi selanjutnya.
“Mungkin.”
“Mungkin?” balas Mark mengernyitkan dahinya.
“Ya, mungkin aku bisa membayangkannya, tapi aku belum tentu bisa merasakannya.”
“O-oh.”
“Kau sendiri bagaimana, Mark?”
“Huh?”
“Apa kau bisa merasakannya atau hanya membayangkan?”
Dentingan piano terhenti, Jaemin dan Mark duduk berdampingan dan keduanya saling menatap satu sama lain. Tidak tahu siapa yang memulai, tapi detik selanjutnya kedua bibir itu saling bertemu dalam kecupan lembut, sedikit amatir dan penuh keingintahuan.
Di menit berikutnya, apa yang telah Jaemin dambakan di tiap malam kini berada dalam genggaman. Keinginannya untuk lebih dekat dengan Mark, bersentuhan dengannya, memilikinya.
Namun, Jaemin tidak ingin bergerak secepat itu, dia membiarkan Mark mengenali dunia barunya, membiarkan dirinya berada di bawah kungkungan lelaki itu.
Karena semua ini baru permulaan.
“Bagaimana pengalaman pertamamu, Mark?”
Pertanyaan Jaemin di malam itu yang kelak membawa mereka pada berbagai pertemuan rahasia. Ciuman penuh gairah di pesta, bersembunyi dari para tamu undangan. Tawa dan senyum akan menemani keduanya. Adrenalin ikut berpacu, tidak ingin siapa pun mengetahui kegiatan mereka, tapi di saat bersamaan melakukan di tempat yang lumayan terbuka membuat keduanya tertantang.
Permainan Mark yang terasa amatir perlahan mulai meningkat, sebaik dia mempelajari tentang musik dan seiring itu pula, keinginan Jaemin untuk membuat Mark berada di dekatnya semakin besar.
Layaknya mawar dalam kaca dan Jaemin ingin terus menyimpannya.
Menyimpan keindahan itu hanya untuk dirinya.
* * *
“Tumben,” bisik Jaemin memecah keheningan.
Mark bergumam pelan sebagai respon.
“Kau biasanya bermain musik sehabis kita melakukan itu.”
Jaemin bisa merasakan pergerakan kecil dalam dekapannya. Keduanya hanya berbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun menghalangi.
“Kau ingin aku memainkan apa?” tanya Mark menoleh ke arah Jaemin. Tatapannya tampak sayu, entah lelah karena kegiatan yang baru mereka lakukan atau masih terbuai dalam euforia.
Gumaman pelan keluar dari bibir Jaemin dan tak lama ia berkata, “Sesuatu yang baru? Orisinil? Romantis?”
“Romantis? Musikku sendiri?” tanya Mark terdengar ragu. “Kau tidak ingin mendengarkan Chopin atau Vivaldi?”
Jaemin menggeleng sambil memberikan tatapan memelas ke arah Mark.
“Please?”
Mark memandangnya cukup lama hingga akhirnya ia mulai bergerak, bangkit dari tempat tidur lalu mengenakan pakaian tidurnya.
“Ada satu yang terlintas di kepalaku dan sesungguhnya ini untukmu.”
Mark menoleh ke arah Jaemin sebelum memulai permainannya. Dentingan piano kembali memenuhi ruangan itu seperti malam-malam sebelumnya, tapi melodi yang kali ini Jaemin dengar terasa berbeda.
“Kau ... membuat ini untukku?”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi berhasil membuat Mark terkesiap dan menghentikan permainan pianonya.
“Ah, maaf.”
Jaemin tersenyum, merasa bersalah karena menginterupsi permainan piano Mark. Dengan isyarat tangan, ia meminta lelaki itu melanjutkan permainannya.
Alunan melodi kembali mengisi kesunyian. Nada yang terdengar lembut, menenangkan dan sedih di saat bersamaan. Sudut bibir Jaemin tertarik, seringaian tipis tampak di wajahnya.
“Bagaimana?” tanya Mark usai mengakhiri pertunjukan kecilnya.
“Beautiful,” angguk Jaemin memberikan tepuk tangan pelan. “Kau selalu memainkan musik yang indah.”
Mark tersenyum, kembali berjalan menuju kasur untuk memberikan kecupan singkat di bibir Jaemin.
“I always play beautiful music for you.”
Jaemin hanya tersenyum di sela ciuman tersebut. Dalam hati, ia tertawa miris.
Satu kebohongan tentu bisa terselip asalkan Mark berada di sisinya, berbagi kehangatan dengannya.
Samar-samar ia masih mengingat melodi yang dimainkan Mark tadi, tidak tahu untuk siapa lagu itu dibuat. Jelas bukan untuk Jaemin. Nada-nada itu terlalu sering didengar, melodi yang disukai para wanita.
Oh, beruntungnya gadis itu bisa mendapatkan sebuah lagu. Apa yang Mark pikirkan tentangnya? Bagaimana pertemuan mereka? Apa saja yang pernah mereka lalui?
Bagaimana hubungan mereka?
Bagaimana akhir hubungan mereka?
Jaemin tidak tahu.
Jaemin hanya tahu Mark sekarang berada dalam dekapannya tertidur dengan pulas.
.
“Für Elise? Untuk Elise?”
Mark mengangguk. “Banyak yang menganggap Beethoven adalah komposer yang romantis dan karya ini adalah salah satunya.”
“Lagu yang didedikasikan untuk seseorang,” gumam Jaemin.
Ini adalah pertemuan mereka untuk kesekian kali dan Mark membahas tentang karangan komposer terkenal, salah satunya Beethoven.
“Kau pernah menulis sebuah lagu?”
“Pernah, ketika diminta oleh guruku,” jawab Mark sambil mengangguk.
“Untuk seseorang?”
“Pernah.”
“Untuk seorang pria?”
Mark terdiam, langkahnya sedikit melambat begitu pula dengan Jaemin. Dia menoleh, ekspresinya terlihat lucu bagi Jaemin, meski wajah Mark tampak bingung, tapi dalam sorot matanya terpercik sebuah keinginan.
Keinginan untuk menjawab pertanyaan Jaemin dengan serius.
“Aku…”
Namun, keinginan itu tampaknya mulai diselimuti keraguan.
“Ada sesuatu yang menghalangimu untuk melakukannya?”
“Bukan begitu,” bantah Mark.
“Hanya saja, kurasa belum pernah merasakan hal seperti itu pada seorang pria. Kau tahu dalam membuat sebuah karya musik dibutuhkan perasaan di dalamnya, sama seperti saat kau membuat lukisan-lukisan itu.”
Jaemin memandangnya sesaat sebelum membalas, “Kau memilikiku sekarang, bukan?”
Mark tampak terkesiap saat mendengar itu.
“Kau meluangkan waktu untuk mengajariku, kau bilang tidak semua pesta kau hadiri, tapi beberapa bulan belakangan kau selalu hadir dan memintaku untuk menemani, lalu…”
Ada jeda yang sengaja Jaemin buat, hanya untuk memperhatikan ekspresi Mark.
“Kau sengaja menggunakan tempat lain hanya untuk menghabiskan waktu denganku.”
Kini senyuman tampak di wajah Jaemin.
“Apa itu tidak sama dengan ‘perasaan’ yang kau bilang tadi?”
Mark masih terdiam, raut wajahnya tampak serius seakan memikirkan ulang perkataan lelaki itu. Langkahnya kali ini terhenti, begitu pula dengan Jaemin
“Apa itu belum sejelas seperti lukisan yang kubuat untukmu?”
“Itu…”
Pandangan Mark yang sejak tadi mengarah ke bawah, kini berpindah kepada Jaemin. Mark benar-benar terlihat bingung saat ini, tapi juga ada secercah cahaya di sana seakan menyadari sesuatu dan Jaemin tampak begitu tenang, padahal dalam hati ia menahan diri untuk tidak menyeringai.
“Lalu apa yang menghentikanmu, Mark?”
“Aku ... mungkin…”
“Atau mungkin ini hanya sepihak?”
.
“Bertukar posisi?”
Sesaat Mark tampak terkejut usai mendengar pertanyaan yang dilayangkan Jaemin.
Pertemuan mereka kini berubah menjadi ide kencan. Berjalan di taman, makan bersama hingga menghadiri pertandingan olahraga dan acara sosial lainnya. Kebanyakan orang melihat mereka sebagai sahabat dekat, baik Jaemin maupun Mark tidak menjelaskan dengan rinci bagaimana hubungan mereka.
“Kenapa?” tanya Mark terdengar ragu.
Bagi orang yang baru mengalami romansa antar lelaki, Jaemin paham kenapa Mark terlihat ragu. Dia memang berencana untuk menjalani hubungan ini secara perlahan, tapi Jaemin rasa kesabarannya mulai menipis dan keinginannya untuk memonopoli Mark semakin besar.
“Mungkin saja kau ingin mencoba suasana baru?”
“Apa ... orang yang berada dalam hubungan seperti ini juga mengalaminya?”
Jaemin bergumam pelan, sesuai dugaannya butuh usaha lebih untuk meyakinkan Mark.
“Mungkin? Belum banyak yang kutemui.”
Dahi Mark tampak berkerut mendengar itu, tapi dengan cepat Jaemin menambahkan, “Yah, kau tahu semua yang kita lewati sejauh ini adalah pengalaman pertama.”
Mark diam mendengarkan, kerutan di dahinya mulai berkurang dan digantikan dengan raut serius.
“Just like the way I learn to play piano for the first time, the way I bent on the bench for you, or when you compose a song for me, for a man. All of those are our first time, right?”
Perlahan senyuman merekah di wajah Jaemin, begitu manis hingga membuat ekspresi Mark melunak.
“You're right,” angguk Mark setelah beberapa saat.
“And no harm,” tambah Jaemin. “Kita hanya mencoba yang belum pernah kita lakukan.”
Mark melirik ke arah cangkir kopinya, memainkan gagangnya dengan jari.
“Kapan?” tanya Mark memandang ke arah Jaemin.
“Aku menyesuaikan jadwalmu.”
“Besok malam?”
“Aku tidak menyangka bisa secepat itu.” Nada jahil bisa terdengar di sela ucapan Jaemin.
“Bu-bukan begitu!” bantah Mark cepat. “Kurasa lebih baik daripada menunda-nunda.”
Rona merah samar-samar terlihat di pipi Mark. Kulit bersih bak porselen itu tampak menggoda dihiasi warna merah muda.
Bagaimana jika nanti Jaemin membuatnya semakin merah? Tangannya mulai mengepal, merasa antusias hanya membayangkan skenario vulgar di antara mereka.
Mark yang mendesahkan namanya, wajah memerah dikarenakan panas yang dihasilkan oleh kegiatan mereka, keringat bercucuran dan Jaemin yakin Mark akan tampak sangat indah di bawah pencahayaan lampu, berkilau layaknya permata.
Mark-nya yang menawan, terlihat tidak berdaya di bawahnya, hanya bisa mendesah dan meminta.
“Ja-jaemin…”
Dan desahannya bagai melodi indah di telinga Jaemin. Pekikannya saat Jaemin mengenai titik yang membuat pianis itu terlena, rematan dan cakarannya di punggung Jaemin.
“I-iya, di situ–”
“Oh, gosh…”
“Jaemin—”
Ah, Mark sudah berada dalam genggamannya.
Laba-laba itu telah menangkap si serangga dan mawar merah pun sudah disimpan rapi dalam gelas kaca.
Tidak akan kabur.
Tidak akan bisa kabur.
Dia akan terus memberi Mark kenikmatan hingga dirasa bahwa hanya Jaemin yang dapat memuaskannya.
“Bagaimana pengalaman pertamamu, Mark?”
“Boleh … kita mencoba dengan posisi yang sama?”
Sesaat Jaemin memandang ke arah Mark. Sorot matanya memancarkan kehangatan dan kebahagiaan, sama seperti saat Mark bermain piano.
“Of course my love.”
Tak lama kemudian Mark tertidur dalam dekapannya dan Jaemin tersenyum puas.
Mark terlihat menawan malam itu, layaknya mawar dalam kaca.
Jaemin ingin terus menyimpannya.
Menyimpan keindahan itu hanya untuk dirinya.
END