Work Text:
Jay melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia menghela nafas pelan, sepertinya mereka menghabiskan terlalu banyak waktu bersenang-senang.
Saat ini keduanya berada di apartemen Owen. Ia memperhatikan Owen yang masih sibuk menata belanjaan mereka ke dalam kulkas.
Awalnya Owen berniat mengajak Jay makan malam di luar, namun melihat kekasihnya itu sudah kelelahan setelah menaiki banyak wahana di amusement park, Owen mengurungkan niatnya dan membawa Jay pulang lebih awal.
“Kamu beneran bisa masak?” Jay mengangguk singkat, menerima uluran gelas Owen lantas meminumnya.
“Katanya capek, order delivery aja gapapa.” Owen mengusap lembut rambut Jay yang sudah bersandar pada bahunya.
“Aku pengen masakin kamu. Tadi belanjaannya udah taro di kulkas semua kan?” Ucap yang lebih pendek tanpa menatap Owen, pandangannya terpaku pada tangan keduanya yang saling bertautan, Jay memainkan tangan Owen, melihat perbedaan tangan mereka yang sangat kontras.
Owen terkekeh pelan, “Udahh sayang.”
Jay melipat bibirnya ke dalam mendengar suara berat Owen membelai indera pendengarnya, rasanya berbeda saat ia memanggilmu sayang secara langsung dari pada melalui pesan teks. Jay merasakan jantungnya menggila.
Jay mengecup tangan Owen untuk menutupi rasa gugupnya. “Jay..” sang pemilik nama menoleh ke samping yang langsung dikejutkan dengan kecupan kilat pada pipinya. “Kamu gemes banget tau ga.” Jay memekik terkejut begitu Owen merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya, membawa tubuh yang lebih kecil duduk di pangkuan yang jangkung dengan mudah.
Owen tak mengindahkan protes Jay dan tetap memeluk tubuh pemuda di pangkuannya itu dengan damai, membenamkan wajahnya pada ceruk leher Jay, hirup aroma favoritnya dalam dalam. Sementara itu Jay tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia kebingungan, pipinya sudah memerah padam menyadari dirinya dan Owen belum pernah berada di posisi seintim ini. Sialan, haruskah ia menjambak rambut pirangnya kemudian menyuruh berhenti bersikap menyebalkan.
Alih-alih menjambak rambut pirang Owen, tanpa sadar Jay menuntun tangannya sentuh helaian lembut Owen. Ia mengusap rambutnya pelan, sesekali jari-jemarinya terbenam di sana.
Duduk di pangkuan Owen tidak buruk, sesuai dengan apa yang selama ini Jay bayangkan. Otot paha pemuda itu terasa sangat pas. Mungkin karena Owen adalah seorang atlit, pahanya terasa kokoh menopang pantat Jay. Ini terasa nyaman. Sial, sebenarnya apa yang barusan Jay pikirkan.
Sementara Owen dalam hati tersenyum senang, ia pikir Jay akan bereaksi berlebihan saat ia membawanya ke pangkuannya. Setidaknya Jay akan menghadiahi jambakan pada rambutnya kemudian bergegas turun, seperti biasa. Namun yang ia dapat kini malah usapan lembut yang menenangkan pada rambutnya.
Tubuh Jay menegang kaku begitu merasakan Owen mencium lehernya, mengecup lembut pada perpotongan lehernya. Punggungnya dialiri rasa dingin merasakan Owen tak berhenti mengecupi area lehernya.
“Owen, udahh..” Jay meremat rambut Owen, namun si pirang tidak menggubrisnya dan memilih lanjutkan kegiatannya.
Kecupan-kecupan ringan itu tanpa Owen sadari berubah menjadi gigitan kecil, hadirkan lenguhan lirih dari empunya.
Jay menggigit bibirnya, apa yang Owen pikirkan.
Owen tersenyum kecil mendengar rintihan Jay, ia ingin mendengarkan lebih banyak. Hingga akhirnya tanpa dapat dicegah Owen sudah menyapukan lidah basahnya pada leher jenjang pemuda di pangkuannya, lidahnya terjulur mencicip leher jenjang itu semakin jauh.
“Nghh..” lenguh Jay lirih merasakan hisapan kuat pada perpotongan lehernya, ia yakin itu akan meninggalkan bekas membiru esoknya.
Tangan Owen menelusup masuk ke dalam kaus Jay, mengusap punggung halus Jay naik turun.
“Owenn nghh..” rintihan Jay kian jelas saat rasakan hisapan kuat di lehernya, kepalanya mendongak ke atas memberi akses lebih pada Owen. Tangannya pun semakin menekan wajah Owen pada lehernya.
Ciuman Owen kini merambat pada pipi Jay, ia mengecupnya sekali kemudian beralih pada daun telinganya, bermain-main di sana, menggigit kecil daun telinga Jay.
“Jay..” bisik Owen lirih tepat di samping telinganya. Tubuh Jay kembali menegang, bulu kuduknya meremang merasakan nafas berat Owen menggelitik telinganya yang sensitif. Dan usapan lembut pada punggungnya, bagaimana telapak tangan hangat itu sentuh punggungnya naik turun dengan lembut. Jay bisa gila jika terus seperti ini.
Owen sedikit mengendurkan pelukannya, ia melihat wajah kekasihnya yang sudah memerah padam, matanya menatap sayu dengan mulut yang sedikit terbuka. Ahh Owen ingin sekali mencium bibir itu. Menyadari pandangan Owen, Jay menyeletuk dengan seringaian yang terlukis di wajah manisnya “Wanna kiss?”
Owen berkedip beberapa kali, tidak mempercayai apa yang barusan ia dengar. Apakah orang di pangkuannya ini benar-benar Jay. Owen tersenyum tipis lalu mengikis jarak wajah keduanya.
Jay sudah menutup matanya bersiap menerima ciuman di bibirnya, namun yang ia dapat hanya kecupan kilat di dahi. Jay melebarkan matanya terkejut dan hendak protes.
“Owen..”
“Angkat tangannya Jay.” Sergah Owen cepat, ia menarik pakaian Jay ke atas, meloloskannya melalui kepala. Jay yang tak punya pilihan lain hanya bisa patuh pada ucapan sang tuan rumah.
Kini Owen dapat melihat dengan jelas bercak kemerahan ciptaannya yang sangat kontras dengan leher putih Jay. “Sayang, kamu indah banget.” Decak Owen kagum. Matanya birunya berpendar, tak hentinya menelisik setiap inci tubuh bagian atas Jay yang sudah telanjang.
“Jangan diliatin terus.” Jay membuang mukanya yang sudah semerah tomat, tak berani menatap Owen langsung.
“Jay, kamu cantik banget.” Owen kembali mencium leher Jay, mengecup jakunnya. posisinya yang lebih tinggi dari Owen memudahkan Owen menjamah tubuh bagian depannya dengan mudah. Tangannya meremas pinggang Jay, usapnya ibu jarinya seringan bulu, sengaja menghantarkan gelenyar aneh yang berujung pada pangkal paha Jay.
“Owen.. nghh.” Jay semakin tak karuan. Nafasnya terengah. Tubuhnya seperti terbakar di bawah sentuhan Owen.
“Jay…” Owen mengecup kelopak mata Jay yang tertutup rapat. Wajah keduanya sangat dekat hingga dapat merasakan hembusan nafas masing-masing.
Jay beranikan diri memajukan wajahnya untuk menggapai bibir Owen, namun Owen memalingkan wajahnya sehingga ciuman Jay mendarat pada pipinya. Owen terkekeh melihat Jay merengut kesal, ia segera mencium sudut bibir Jay, menghujani pipinya dengan kecupan-kecupan sayang. Owen bahkan tanpa ragu julurkan lidahnya, menjilat pipi tembam favoritnya itu.
“Owenn,, cium aku!” Rengek Jay putus asa. Dalam hati Owen bersorak senang. Sial, ia tak menyangka Jay akan mengatakan kalimat itu secepat ini. Jay yang selama ini dia kenal selalu menolak kontak fisik yang berlebihan, bahkan pernah sekali Owen iseng mencium pipinya dan langsung dihadiahi pukulan di belakang kepalanya. Namun lihat apa yang dia dapat sekarang.
Owen melepaskan tangannya dari tubuh Jay, ia bersandar pada sandaran sofa, meninggalkan Jay duduk sendirian di atas pangkuannya.
Jay menatapnya bingung.
“Sini, kamu yang cium aku.” Ucap Owen dengan seringaian di bibirnya.
Jay awalnya tampak ragu, ia belum pernah mencium seseorang sebelumnya jadi ia tak yakin. Namun Jay tetap memberanikan diri merapatkan tubuhnya pada Owen.
Jay mendekatkan wajahnya, mencium bibir Owen sekali lalu menjauhkan wajahnya. “Kenapa?” Jay menggeleng kemudian kembali mencium bibir bawah Owen tanpa melumatnya.
“Kenapa diem aja?” Bisik Owen tepat di depan bibir Jay. Demi tuhan Jay tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Jay hanya ingin Owen menciumnya.
“Kalo nempel doang namanya bukan ciuman, Jay.” Owen membelai dagu Jay lembut.
“Buka mulut kamu, sayang.” Jay membuka mulutnya patuh. Detik berikutnya Owen sudah mengulum bibir bawah Jay, mencium bilah bibir atas dan bawahnya bergantian. Sesekali ia menyesapnya lembut, hadirkan lenguhan manis dari empunya.
Bibir Owen terasa lembut, Jay rasanya seperti meleleh. Keadaan di sekitarnya seolah semu, hanya ada dirinya dan Owen saat ini.
Perutnya seperti digerayangi perasaan aneh yang menyenangkan saat menerima ciuman lembut Owen, itu sangat pelan sehingga Jay masih bisa mengikuti tempo ciumannya. Meskipun ciuman Jay masih sedikit kaku, keduanya sama-sama menikmati ciuman ini.
Ini sangat menyenangkan, perasaan seperti ini, Jay ingin terus merasakannya. Namun sayangnya Owen melepaskan ciumannya sejenak untuk membiarkan Jay menghirup udara sebanyaknya.
“How was it?” Bisik Owen lirih. Jay masih terengah.
“Aku mau lagi.” Tukas Jay pada akhirnya. Owen terkekeh mendengar jawaban Jay, Ia kembali mendekatkan bibirnya. Tangannya memeluk pinggang Jay posesif, mendorong tubuhnya agar semakin merapat tanpa jarak.
Jay juga semakin berani kalungkan tangannya pada leher Owen, memperdalam ciuman mereka. “Stick your tongue out, baby.” Ucap Owen di sela sela ciumannya.
Jay menjulurkan lidahnya patuh, detik berikutnya lidah Owen menerobos masuk, membelit lidahnya tanpa ampun. Ia sesekali menghisap lidahnya, mengulumnya rakus, mengais salivanya tak bersisa. “Nghhh.. ahh.” Jay semakin tak karuan di atas pangkuan sang tuan rumah, pinggulnya menekan-nekan bagian bawah pria itu yang sudah menegang. Sial, ini terasa nikmat, Jay diam – diam menyesal kenapa mereka tak melakukan ini sejak dulu.
Owen terus mengacak-acak isi mulut Jay, saliva keduanya yang sudah bercampur meleleh di sudut bibir Jay. Bunyi pagutan bibir mereka dan lenguhan erotis Jay memenuhi ruangan.
“Mau cuddle aja di kamar? Di sini nggak nyaman.” Bisik Owen di sela sela ciumannya. Jay tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya, ia hanya bisa mengangguk mengiyakan saran Owen sebelum merasakan tubuhnya terangkat.