Work Text:
Satu bulan dua puluh enam hari.
Satu bulan dua puluh enam hari Jansen meninggalkannya.
Satu bulan dua puluh enam hari bagai penyiksaan bagi Juno. Karena selain ditinggalkan oleh sang kekasih yang amat dicintainya, Juno juga ditinggalkan dengan kebingungan luar biasa.
Pasalnya, setelah adegan cukup dramatis dan menyedihkan antara dia dan Jansen di depan gymnasium, tidak sedikit pun Jansen memberikan alasan masuk akal perihal putusnya hubungan mereka. Ditambah dengan Om Jeremiah – Papa Jansen – yang ternyata menunggu sang anak dengan berdirinya ia di posisi yang tak jauh dari keduanya.
“Kamu gak bisa giniin aku, Na.”
“Bisa Juno, bisa.”
“Kasih tau aku alasannya!”
“Papa mau pindah, Juno. Bisnis Papa di luar negeri…”
Juno tidak percaya dengan alasan yang diberikan oleh Jansen. Kekasihnya mencampakannya tiba-tiba dengan alasan bahwa ia dan sang ayah akan pindah, jauh ke tempat dimana Juno tidak dapat temukan eksistensinya.
Alasan tidak masuk akal. Juno tentu marah besar. Ia hampir saja berteriak ketika itu. Jika saja dia tidak menyadari keberadaan Papa Jansen yang memusatkan atensinya ke arah mereka.
“Aku pergi, Juno..”
Lengan Juno menahannya, “Na!” protesnya. Wajah Juno memerah menahan amarah dan sedih luar biasa. “Kasih tau aku kemana kamu pindah, Na! Ke luar negeri? Aku susul! Aku bisa ambil kuliah di luar negeri kalo itu yang kamu khawatirin. Kemana Na? Kemana…..?”
Juno yang putus asa memandang sendu Na Jansen yang tidak berkutik sedikit pun. Jansen bahkan tidak memusatkan pandangannya pada Juno. Tidak sanggup melihat bagaimana tatapan memohon dan putus asa yang dilayangkan oleh sang ketua klub renang kebanggaan sekolah.
“Gak bisa Juno…. Gak bisa….”
“Apanya yang gak bisa Na?! Argh!”
Kala itu, Papa Jansen menginterupsi keduanya. Memberi jarak antara Juno dan Jansen yang saat itu masih sama-sama linglung dengan keadaan mereka. Dilepasnya pegangan Juno pada kedua pundak Jansen, disambutnya dia dengan senyuman hangat dari pria paruh baya yang sering Juno panggil dengan sebutan “Om Na.”
“Om…”
Papa Jansen tersenyum hangat, menepuk bahu Juno dua kali. “Sudah ya..” ucapnya.
“Tapi kenapa, Om? Aku salah apa? Aku sayang banget sama Jansen, Om….”
Papa Jansen tersenyum sebagai balasan, dalam pandangannya, rasa tulus dan cinta Juno terhadap anaknya memang besar tanpa bisa disangkal. Namun ada hal yang jauh lebih besar dan jauh lebih kekal.
“Iya Juno. Saya tahu."
“Om...”
“Sudah ya Juno. Saya dan Jansen harus cepat-cepat pergi, saya harap kamu bisa menerima hal ini.”
Dan tidak bisa lagi Juno tahan kepergian sang kekasih dengan ayahnya. Sebuah kalimat yang masih Juno ingat hingga kini. Bagaimana sebuah “See you tomorrow” berganti dengan “Aku harap kamu bahagia, Juno.” pada pelukan terakhir mereka.
“Don’t leave….”
Juno masih ingat rasanya.
Juno masih ingat dekap hangatnya.
Juno masih ingat betapa kacaunya dia setelah hari itu. Betapa menyedihkannya sosok ketua klub renang kebanggaan sekolah yang setiap tahunnya mampu menyumbangkan jejeran piala atas kejuaraannya.
Juno memunculkan diri dari kolam renang tempatnya berlatih. Sekolah sudah sepi, waktu sudah menunjukan lima belas menit sebelum jam enam sore. Juno yakin bahwa hanya tinggal dirinya sendiri di sekolah ini. Tapi biarlah begitu. Juno tidak keberatan sama sekali. Malah, dia senang setengah mati. Karena hanya tinggal dirinya dan pikirannya yang terus bercamuk sejak dia berada di bawah air.
Juno mengambil sebotol air mineral dan membawa tubuhnya untuk duduk di pinggir kolam.
Satu tegukan,
dua tegukan,
tiga tegukan, hingga kandas tak tersisa.
Juno meletakan botol minumnya di sisi kiri tubuh. Matanya memandang hamparan air kolam yang terlihat damai tanpa pergerakan. Besarnya kolam renang membuat Juno merasa kecil. Namun dia tidak merasa parno atau ketakutan dengan fakta bahwa hanya ada dirinya sendiri di sini. Di pinggir kolam yang kedalamanya mencapai dua meter.
Malahan, Juno merasa berada di dunianya yang sesungguhnya. Tempat asalnya.
Juno dan renang adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Juno sudah menaruh minat pada olahraga ini sejak dirinya menempuh sekolah dasar. Ia ingat sekali bagaimana ibunya selalu menceritakan betapa sulitnya membujuk Juno untuk keluar dari kolam renang.
Juno pun tidak mengerti akan bagaimana kecintaannya pada berenang. Setiap memasukan dirinya ke dalam kolam, Juno merasa air disekelilingnya memeluknya erat, memasuki relung jiwanya hingga penuh, mengikuti pergerakannya, melindunginya. Seolah air tersebut berada dalam wewenangnya, berada dalam pengawasannya, berada di bawah titahnya. Seolah air tersebut adalah representasi dari pengawal setia bagi tuannya.
Satu tahun menjalankan les renang, Juno sudah mampu mencapai tingkat diluar batas umurnya. Juno berkembang pesat. Juno mengikuti berbagai lomba untuk menyalurkan bakatnya dalam olahraga air tersebut.
Byur!
Juno melemparkan dirinya kembali ke dalam air. Kali ini bukan untuk berenang dari ujung ke ujung, melainkan menenggelamkan dirinya hingga dasar kolam renang.
Juno merasakan bagaimana permukaan kulitnya seolah disentuh dengan lembut oleh air yang mengelilinginya. Bagaimana air menyelimutinya. Juno selalu suka akan hal itu. Ia merasa aman dengan bagaimana dirinya kini; duduk bersila di atas lantai kolam renang. Air itu seolah melenyapkan Juno, menyembunyikan eksistensinya dari siapapun yang datang. Karena Juno berada pada batas terdalamnya.
Lima menit berjalan. Juno tidak bisa melepaskan dirinya dari kilas balik masa-masa berpacaran dengan Jansen. Dalam tiga bulan pertama mereka, Juno mengetahui bagaimana kelihaian Jansen dalam mengoperasikan kamera. Bagaimana lihainya dia menangkap sebuah momen berharga dalam sebuah bidikan lensa.
Tujuh menit berjalan. Sesi kilas balik membawanya pergi pada masa-masa dimana Jansen mengetahui seluk beluk keluarganya pada bulan ke tujuh mereka menjalin asmara. Ayahnya yang pergi entah ke mana, kakek dan neneknya yang menolak mentah-mentah kehadiran ibunya, hingga bagaimana hebatnya sang ibu yang masih bertahan di atas kakinya sendiri hingga kini.
Sepuluh menit berjalan. Bergantinya ingatan itu membawa Juno saat dimana dirinya menyadari bahwa cintanya pada Jansen bukanlah cinta monyet semata. Bukanlah cinta remaja yang belum dewasa. Melainkan sebuah cinta yang dipenuhi harapan akan keabadian, cinta yang menumbuhkan rasa penasaran akan; bagaimana rasanya hidup berdua hingga tua.
Lima belas menit berjalan. Juno merasa hampa. Bagai semestanya diambil paksa. Dan jika benar bahwa itu adalah sebuah fakta, Juno tidak terima. Karena rasa cintanya tak pantas berakhir sia-sia.
Dua puluh menit berjalan. Amarah itu datang tiba-tiba. Bagai dilemparnya korek api ke dalam bensin. Menyebar luas, meledak seketika. Juno dapat merasakan urat-uratnya mengeras, terlihat jelas pada permukaan kulit putihnya.
Rasanya menyakitkan. Seperti tubuhnya dipaksa mengeluarkan segala hal yang terpendam sejak lama. Namun hanya amarah dan rasa sakit yang terasa.
Air kolam beriak secara tiba-tiba. Awalnya hanya gelombang kecil, berubah membesar dan kian kencang. Air kolam mulai tumpah ruah, keluar dari tempatnya. Tubuh Juno yang masih berada di bawah air terombang-ambing. Namun Juno tidak bisa menghentikan gerak tubuhnya, tidak bisa pula untuk kembali ke atas.
Bibir Juno terbuka untuk berteriak, meminta tolong. Namun hal itu sia-sia. Karena riak air semakin tak terkendali. Juno panik luar biasa. Bukan karena ia kehabisan nafas, namun ia merasa bahwa tubuhnya semakin tak bisa dia kendalikan.
Tubuhnya yang sejak tadi duduk bersila di lantai dasar kolam renang, kini bagai ditarik untuk berdiri. Kedua tangannya membentang ke arah bawah, seperti ada magnet di bawah kakinya. Perlahan, Juno merasa tubuhnya tertarik ke atas, kian tinggi hingga melebihi batas kolam renang.
Tolong!
Juno berteriak dalam hati. Panik luar biasa ketika menyadari bahwa kini, dia terjebak dalam sebuah pusaran air. Kencangnya arus pusaran air yang mengelilinginya membuat Juno tidak dapat melakukan apapun. Sebab kedua tangannya masih kaku dan kedua kakinya tidak bisa digerakan. Juno mulai merasa belasan tahunnya sia sia dalam menekuni olahraga air ini.
Pusaran itu tidak kunjung tenang walaupun sudah terhitung lima menit Juno terjebak didalamnya. Malah kini, Juno merasa tubuhnya ditarik ke atas bersamaan dengan pusaran air tersebut.
Juno bagai berada dalam sebuah tornado air yang tingginya hampir satu meter—bergerak di atas air kolam renang yang kini hanya tersisa setengah.
Belasan menit Juno habiskan untuk menggerakan tubuhnya dengan susah payah. Berusaha menggapai apapun untuk dapat keluar dari tornado air yang entah terbentuk dari fenomena apa. Namun semua itu sia-sia. Karena di sekelilingnya hanyalah sebuah air yang tidak memiliki bentuk.
“Tolong!”
Aneh. Itu aneh. Suaranya dapat keluar setelah belasan menit ia lewati dengan membisu. Namun, Juno bersyukur akan itu. Biarlah hal ini jadi tugasnya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang siapa dirinya.
Sebab kemampuannya dapat bernafas di dalam air dengan waktu yang bisa mencapai puluhan menit saja sudah tidak masuk akal.
“Tolong! Argh!”
Jika telinganya tidak salah menangkap suara, Juno mendengar suara langkah kaki yang berlari mendekat. Seperti suara sepatu docmart yang berinteraksi dengan lantai ruang latihan renang milik sekolahnya.
“Tolong!”
Si pemilik langkah kaki itu menyahut, “Hey bocah!” teriaknya. Juno tidak yakin dengan suaranya. Suara itu terdengar lebih berat dari pada suara perempuan pada umumnya, namun tidak juga terdengar seperti suara berat laki-laki.
“Tolong aku!”
Masa bodoh dengan suaranya. Juno hanya ingin cepat-cepat keluar dari tornado air ini yang tak jelas asal usulnya.
“Hey dengarkan aku!” seseorang itu kembali menyahuti Juno.
“Tolong!”
“Kamu tidak bisa keluar dari sana jika terus-terusan panik! Dengarkan aku baik-baik!”
Juno tidak dapat memproses setiap kata yang ia terima, “Tolongggg aku!!!!” teriaknya dengan lebih kencang.
Seseorang yang berada di pinggir kolam menghela nafas kasar. Merasa bodoh dengan keputusannya untuk datang ke sini. Alhasil, dia memilih untuk melakukan cara lain untuk menolong Juno.
Telepati.
Dia memejamkan matanya, berusaha menggapai Juno yang kini dipastikan sedang tidak bisa berpikir jernih. Seiring dengan kepalan tangannya yang mengencang, dia berhasil menggapai Juno.
“Hey! Berhenti berteriak meminta tolong!”
Di sisi lain, Juno terkesiap. Mendadak berhenti bergerak acak karena sebuah suara yang entah asalnya dari mana, menggema dalam telinganya. Oh… atau kepalanya? Entahlah. Seperti suara yang datang melewati indera pendengarannya namun tidak dapat diketahui sumbernya.
Tanpa sadar, Juno membalas dalam hati.
“Apa-apaan?!”
Suara itu kembali terdengar, “Berhenti meminta tolong dan dengarkan aku!” perintahnya.
“Bagaimana aku bisa—argh! Tolong aku! Ini menarikku dengan kuat! Argh!” Disahuti kembali teriakan Juno, kali ini terdengar lebih samar dan putus-putus. Karena Juno tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tetap fokus.
“Fokus dan jangan panik! Berpikirlah tentang hal yang membahagiakan! Jangan biarkan dia mengendalikan tubuhmu!”
Kebahagiaan,
Kebahagiaan,
Happiness,
Think only about happiness.
“Think only about happiness, Juno. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri.”
Suara Jansen tiba-tiba menggema dalam ingatannya. Kalimatnya yang mampu buat Juno tenang dan menghilangkan rasa khawatirnya. Happiness. Jansen lah bahagianya. Damainya. Rasa tenangnya. Jika ada hal yang membuatnya bahagia selain eksistensi Na Jansen, itu adalah ibunya. Tidak ada yang bisa menggantikan ibunya dengan apapun, begitu juga dengan kehadiran Jansen yang selalu ia harapkan.
Semakin lama dirinya terlarut dalam memikirkan bahagianya, tornado air itu perlahan mereda. Kian mengecil hingga airnya kembali menyatu dengan air kolam.
Juno yang sudah kembali memegang kendali akan tubuhnya, buru-buru berenang ke tepian kolam. Ia bawa tubuhnya yang terasa lebih berat untuk naik ke atas, semata-mata untuk membaringkan tubuhnya di atas lantai semen yang sudah basah karena air kolam yang mengamuk.
Juno memejamkan matanya sembari mengatur nafas. Entah dinamakan apa fenomena yang menimpanya ini. Ingatkan dia untuk bertanya pada guru Geologi di esok hari.
“That"s horrible.”
Juno terpaksa membuka mata untuk melihat sosok yang sudah membantunya. Dia berusaha bangun dari posisinya agar dapat melihat dengan jelas bahwa sosok itu adalah seorang perempuan. Dia yang kini berdiri lima langkah darinya adalah seorang wanita.
Wanita dengan rambut berwarna merah keoranye-an bagai daun maple yang gugur di musim semi, panjang rambutnya hampir mencapai pinggang. Sepatu docmart yang menyelimuti kakinya, berada di bawah celana kulit hitam. Memakai leather jaket berwarna senada dengen celananya. Jika dilihat dari gaya, postur tubuh dan ekspresi wajahnya, dia seperti sosok Black Widow yang terlahir kembali. Namun kulit wanita itu terlalu putih bersinar. Alih-alih mengira dia adalah seorang spy yang hidupnya dihabiskan di lapangan, orang lain mungkin akan mengira bahwa dia adalah seorang model asal negeri China.
“Enough for staring and intimidating, bocah.”
Dan oh… mengapa dia terus terusan memanggilnya bocah?
“Siapa?” tanya Juno dengan polosnya.
Wanita itu berdecih malas, berjalan mendekat ke arah Juno. Keduanya kini berhadap-hadapan.
Juno risih sekali dengan tatapan intens yang dilayangkan wanita itu ke arah otot-ototnya. Memang benar jika usaha tidak mengkhianati hasil. Belasan tahun menekuni bidang olahraga yang menggunakan daya tahan tubuh sebagai senjata utama, sempurnanya otot-otot Juno jadi bukti kesuksesannya.
Berdecak malas, Juno meninggalkan wanita itu untuk pergi ke tempat dimana tasnya berada dan mulai memakai kaosnya. Masa bodoh dengan tubuh yang masih setengah basah serta bulir air yang bahkan masih menetes dari kepala. Dia tidak nyaman dengan bagaimana wanita itu memandangnya; bagai sebuah hidangan lezat yang siap dinikmati.
Berbanding terbalik dengan wanita berambut merah yang kini terkekeh melihat tingkah Juno. Dia menyadari bahwa anak laki-laki itu tidak nyaman dengan keberadaannya.
Melihat Juno yang sibuk merapikan tasnya, dia berkata, “You know.. it"s better to thanked someone before leaving.” ucapnya dengan perhatian penuh pada Juno.
Juno mengangkat sebelah alisnya, balas menatap wanita itu.
“Terima kasihnya mana, bocah? Udah ditolongin juga.” katanya. Menatap sinis Juno yang terlihat tidak memiliki rasa bersalah sama sekali.
Juno menghela nafas, merasa tidak memiliki pembelaan untuk hal itu. “Terima kasih…..?” ucapnya dengan ragu. Dia tidak mengetahui identitas perempuan yang berdiri tak jauh dari posisinya.
“Yoanne, Yoanne Song.”
Juno mengangguk, “Terima kasih Yoanne-ssi.”
“Pake ‘Kak’ dong! Lebih tua aku kemana-mana!”
Juno menghela nafas lelah. Heran juga dengan wanita bernama Yoanne itu. Tahu dari mana jika dia lebih tua darinya? Benar-benar tak masuk akal.
Namun Juno sudah kepalang lelah. Dia tidak memiliki tenaga untuk sekedar protes. “Terima kasih Kak Yoanne.” finalnya.
“Sama-sama bocah.”
Hening setelahnya. Baik Juno maupun Yoanne tidak saling berbicara. Bahkan sekedar bertanya asal usul. Juno sibuk merapikan barang-barangnya dan Yoanne sibuk memperhatikan keadaan sekitar.
Namun tak lama, Yoanne memecahkan hening yang menyelimuti mereka dengan melayangkan sebuah kalimat yang mampu membuat Juno menghentikan aktivitasnya.
“Efek putus cinta ternyata seburuk ini.”
Juno memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Yoanne. Perempuan berambut merah itu sedang membuka bungkus permen karet yang selalu tersedia di saku jaketnya.
Memasukan permen karet ke dalam mulutnya, Yoanne menatap Juno dengan remeh, “He dumped you, right?” tanyanya.
Juno mengerutkan kening, otaknya tidak mampu lagi untuk dipaksa mengingat eksistensi Yoanne dalam hidupnya. Bagaimana wanita itu bisa sampai tahu? Bahwa dia dicampakkan oleh sang kekasih.
“Biar aku tebak alasannya. Pergi ke luar negeri? Oh! Atau dia gak kasih kamu alasan apapun? Ckckck… pantas saja bisa sekacau ini.”
Juno berjalan dengan langkah besarnya untuk menghampiri Yoanne yang kini sibuk membuat balon dari permen karet yang ia kunyah. Keduanya hanya menyisakan tiga puluh senti sebagai jarak.
Juno menatap nyalang Yoanne. Berharap wanita itu cepat-cepat memberi tahu tentang identitasnya dan apa tujuannya menemui Juno. Namun, wanita itu kelewat santai dengan segala gertakan yang Juno berikan. Dia malah balas menatap Juno dengan berani.
Dengan sengaja, Yoanne membuat sebuah balon dari permen karetnya. Persis tertuju untuk meremehkan raut kesal Juno. “Santai saja.” Ucapnya.
“Siapa kamu? Apa tujuan kamu datengin aku ke sini? Gimana bisa kamu masuk ke sekolah ini? Gimana bisa kamu tau soal itu?”
“Satu-satu dong!” protes Yoanne. Dia berkacak pinggang saat mendengar banyaknya pertanyaan Juno.
Melihat Juno yang enggan membalasnya, ditambah dengan aura dominan yang dikeluarkan lelaki di depannya, membuat Yoanne menghela nafas. Tidak memiliki cara lain selain untuk menjawab rentetan pertanyaan Juno.
“Okay, okay aku jawab! Santai saja. Aku sudah bilang kan kalo aku jauh lebih tua dari pada kamu? Yang sopan, Lee Juno!”
Dasar gila hormat! Juno membatin. Namun dia tetap mengangguk dengan terpaksa. Semata-mata hanya untuk memenuhi ego Yoanne.
“Aku Yoanne, penjagamu. Guardians.”
Juno mengerutkan kening, “Maksudmu?” tanyanya. Merasa konyol dengan jawaban yang diberikan oleh Yoanne.
“Ah! Aku malas sekali menjelaskannya! Singkat saja, kamu, Lee Juno, kamu adalah manusia setengah dewa. Kamu Sang Putra Dewa Poseidon dan aku adalah penjagamu. Aku sudah ada sejak kamu lahir asal kamu tahu. Jadi… sopan sedikit dalam menatapku! Dasar bocah songong.”
Yoanne jengkel setengah mati dengan Juno yang sejak tadi menatapnya dengan sinis. Tepatnya setelah dia menyinggung perihal kisah cintanya. Yah… dia mengakui sih jika itu adalah kesalahannya. Tapi tetap saja?! Sebagai seseorang yang sudah melindungi Juno dari berbagai macam mala bahaya, Yoanne tidak terima.
Berbanding terbalik dengan Juno yang menganga karena jawaban Yoanne. Lelaki kelahiran Agustus itu bingung luar biasa. Dia? Manusia setengah dewa? Putra Poseidon? Poseidon Sang Dewa Laut?
“Benar. Poseidon Sang Dewa Laut.”
Dan apalagi ini? Yoanne bisa membaca pikirannya?
“Ekspresimu. Asal kamu tahu saja.”
Ah… Juno ber-oh ria. Sementara itu, Yoanne melanjuti penjelasannya. “Yang tadi itu adalah salah satu kekuatanmu. Mengendalikan air. Dan asal kamu tahu, jika saja aku telat datang, tornado tadi bisa menjebol atap ini! Kendali emosimu memang buruk sekali.”
Menjelaskan sembari diselingi cemooh. Juno mungkin harus siapkan mental lebih untuk sekedar berbincang dengan Yoanne. Perempuan itu besar kepala sekali.
“Kita harus segera pergi dari sini. Ah.. lebih tepatnya kamu yang harus segera pergi.”
“Maksudmu?”
Yoanne berdecak malas, “Camp Demigod. Bertemu dengan teman-temanmu…. dan kekasihmu.”
“Hah?”
“Mantan kekasih, maksudku.”
“Hah?!”
Yoanne bersumpah kesabarannya sudah habis dalam menghadapi anak Sang Dewa Tiga Besar ini. Tidak bisa kah dia menghipnotisnya dan menyeretnya langsung ke camp? Akan terasa lebih mudah jika cara itu bisa dia digunakan. Namun Yoanne tidak ingin menciptakan masalah baru dan berakhir mendapat terguran dari Sang Atasan. Sudah cukup dia mendapat cibiran karena mewarnai rambutnya dengan warna mencolok.
“Pertama, kita harus menemui ibumu.”
Juno menahan Yoanne yang hendak melangkah, “Bicaralah dengan jelas! Kamu tahu jika semua ini sangat tiba-tiba bagiku! Dan apa? Untuk apa kamu menemui ibuku?”
Menghempaskan tangan Juno yang menahannya, Yoanne kembali menghadap ke arah Juno. Kali ini dengan sebuah tatapan nyalang. “Karena hanya ibumu yang dapat menjelaskan semua ini. Dan lagi… bukankah kamu selalu ingin tahu alasan dibalik kemampuanmu? Kamu bisa bernafas di dalam air, kan? Bukankah itu sudah sangat jelas, Lee Juno?”
Yoanne menghela nafas melihat keterdiaman Juno. Dia mungkin terlalu keras dalam menghadapi anak dari dewa tiga besar itu. Maka dia dekatkan tubuh keduanya, merangkul Juno yang kini terlihat seperti kehilangan jiwanya.
“Kita temui ibumu dahulu. Aku yakin dia sudah menunggumu.”