Work Text:
Seijuurou tak ingat sejak kapan dirinya sudah terbangun, tetapi hal pertama yang diingatnya pasca tidurnya yang terusik adalah rasa mual yang luar biasa tidak mengenakkan dari perutnya dan dirinya yang tergopoh-gopoh berlari menuju kamar mandi.
Selanjutnya, seperti yang dapat ditebak, ia memuntahkan seluruh isi perutnya (makan malamnya? sepertinya memang makan malamnya) ke dalam kloset. Seijuurou tidak sempat mengecek warna dari muntahannya—dan juga, ia memang tidak peduli—sebelum dirinya cepat-cepat menekan flush dari toiletnya, takut rasa mual akan kembali muncul ke permukaan jika ia berlama-lama menatapi hasil olahan dari saluran pencernaannya tersebut. Mulutnya terasa begitu getir sesudahnya sehingga ia memutuskan untuk berkumur.
Bersamaan dengan rasa tak nyaman di perutnya yang sedikit mereda, Seijuurou mulai merasakan sedikit pening menyerang kepalanya, kemungkinan akibat tindakannya sebelumnya yang bangkit dari kasurnya dan berlari menuju kamar mandi dalam satu gerakan cepat. Merasa sedikit tak berdaya, dirinya memutuskan untuk mendudukkan diri di lantai kamar mandi yang dingin dan menelusupkan kepalanya di lipatan tangan yang ia sanggakan di pinggiran kloset. Sedikit kotor dan tidak higienis, memang. Namun, bukan berarti dirinya memiliki banyak pilihan saat ini.
Seijuurou memutuskan untuk memejamkan kedua matanya sebagai upaya untuk menghilangkan peningnya. Secara tak sadar, tangan kirinya yang menganggur—tidak digunakan sebagai tumpuan di kloset—meraba abdomennya. Kemudian, tangan tersebut bergerak turun, turun, dan terus turun hingga berada pada rongga pelvisnya, tempat di mana janinnya—calon anaknya kelak—kini sedang berada.
Sejujurnya, Seijuurou sudah membacanya di internet. Dan, kalaupun dirinya tidak membacanya, suaminya yang dokter itu akan dengan senang hati menjelaskan. Tak disangka-sangka, suaminya yang dulu minim ekspresi dan kerap kali bicara seadanya itu kini hobi mengoceh jika seseorang menanyakan pertanyaan yang tepat padanya.
Kondisi yang dialami Seijuurou saat ini adalah suatu hal yang dapat dimaklumi, bukan suatu hal yang patologis. Rasa mual seperti ini memang sering terjadi kepada para omega yang sedang hamil, terutama pada trimester pertama. Tak hanya itu, janinnya yang baru berusia kurang dari dua-belas minggu itu masih berada rongga pelvisnya sehingga mendesak organ-organ lain yang berada di sana seperti kandung kemih, membuatnya harus lebih sering untuk mengunjungi toilet. Terkadang, hal-hal sepele tersebut terasa begitu menyebalkan.
Bukan berarti apa—sungguh, Seijuurou berani bersumpah bahwa dirinya mencintai anaknya pada detik ini, hingga anak itu terlahir, dan akan terus begitu seterusnya—tetapi ia sungguh merasa lelah. Seluruh tubuhnya terasa tidak nyaman dan ia merasa sangat lelah. Hanya itu.
Entah berapa lama dirinya mengambang antara dunia mimpi dan dunia nyata dalam posisi terduduk di dekat klosetnya dengan mata yang masih terpejam, tetapi kesadarannya mulai kembali tatkala ia merasakan seluruh lapang pandangnya bercahaya. Seseorang baru saja menyalakan lampu di kamar mandinya. Seijuurou bahkan tidak sadar bahwa dirinya lupa menyalakan lampu.
Cahaya dari lampu tersebut begitu menyilaukan, terlebih untuk Seijuurou yang sangat sensitif pagi ini hingga tahap di mana rangsangan sensoris setitik pun serasa membakar tubuhnya. Namun, ia juga merasa sangat lelah. Terlalu lelah hingga dirinya bahkan tidak mampu untuk sekadar menyuarakan protesannya. Oleh karena itu, ia membiarkan dirinya bermandikan cahaya lampu dan terus bergeming di lantai kamar mandi.
"Hei," terdengar suara sapaan dari arah pintu kamar mandi di baliknya. Seijuurou mengenali suara tersebut sebagai suara dari suaminya. "Sampai kapan kau akan terus terduduk di sana?"
Seijuurou berusaha dengan sedikit tenaganya yang tersisa untuk mengangkat kepalanya. "Aku baik-baik saja, Shintarou. Kau tidak perlu khawatir." Ia memang tidak secara langsung menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan padanya, tetapi dirinya sudah mengenal Shintarou cukup lama hingga ia dapat memahami bahwa hal tersebut adalah perihal yang sebenarnya paling ingin diketahui oleh lelaki berhelai hijau tersebut.
Sesaat kemudian, Seijuurou mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Selanjutnya, ia merasakan sepasang tangan besar memijati belakang kepalanya hingga tengkuknya. Seijuurou pun bergumam sekenanya untuk memberitahukan pada sang suami bahwa dirinya menikmati perlakuan tersebut.
"Apa kau yakin bahwa kau benar-benar baik-baik saja?" bisik Shintarou penuh dengan rasa kekhawatiran.
"Hm."
"Benar, nih?"
"Hm."
Selanjutnya, Seijuurou mendengar helaan napas dari belakang tubuhnya. "Orang baik-baik saja mana yang memutuskan untuk duduk di lantai kamar mandi dan tertidur di atas kloset?" sarkas Shintarou. Ia tidak dapat melihatnya, tetapi dirinya cukup yakin bahwa lelaki berhelai hijau tersebut tengah memutar bola matanya dengan jengah. "Ayo kembali ke kamar, Sei. Jika kau duduk di sini terlalu lama, kau bisa masuk angin."
"Aku tidak tertidur," bantah Seijuurou secara spontan—yang mana, bantahan tersebut sama sekali tidak penting. Kemudian, ia memutuskan untuk menilikkan sepasang rubinya kepada sang lawan bicara, membuatnya sedikit melihat sekelebat helai-helai hijau di baliknya. Seijuurou pun mengibaskan tangan kirinya dengan sedikit malas seraya berkata, "serius, aku tak apa. Tinggalkan saja aku di sini, Shintarou. Aku akan segera kembali ke kamar."
Lagi-lagi, Seijuurou mendengar helaan napas sebagai tanggapan dari sang lawan bicara. Selanjutnya, ia juga merasakan tangan suaminya tak lagi berada di tubuhnya. Untuk beberapa saat, Seijuurou mengira bahwa lelaki berhelai hijau tersebut memutuskan untuk menyerah dan mulai beranjak keluar dari kamar mandi tersebut. Namun, dugaannya rupanya sedikit meleset.
"Woah!"
Tiba-tiba saja, Seijuurou merasakan tangan suaminya kembali menyentuh dirinya, tetapi kini berpindah ke pundak dan belakang lututnya. Kemudian, ia merasakan tubuhnya diangkat dari atas tanah, membuatnya secara tak sadar sedikit memekik. Sebagai sebuah respon gerakan refleks, Seijuurou juga melingkarkan kedua lengannya di belakang leher sang suami, berusaha menjaga keseimbangan. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa Shintarou kini sedang mengangkatnya, menggendongnya seperti seorang pengantin.
Pun dalam posisi yang begitu dekat seperti ini, sepasang netra rubi Seijuurou tidak dapat menghindar untuk menatapi seluruh fitur wajah Shintarou. Air muka lelaki berhelai hijau tersebut tampak begitu keruh dengan sepasang alis yang tertaut. Ia juga baru menyadari bahwa lelaki tersebut sedang tidak menggunakan kacamatanya di pagi hari ini.
"Kau ini sungguh keras kepala. Dasar," gerutu lelaki tersebut diikuti dengan sebuah decihan pelan yang lolos dari bibirnya. Selanjutnya, tanpa basa-basi lagi, Shintarou mulai melangkahkan kakinya, membawa serta Seijuurou—yang masih berusaha memproses seluruh sekuen kejadian—dalam dekapannya.
Tak banyak hal yang dapat dilakukan, Seijuurou pun memutuskan untuk meneliti wajah suaminya yang secara jarang-jarang dapat diamatinya dari dekat seperti ini.
Jika boleh jujur, ia selalu beranggapan bahwa Shintarou memilik paras yang menarik—tulang pipinya yang tinggi, rahangnya membentuk garis wajah yang tegas, dan bulu mata lentik yang memayungi sepasang kelereng yang lebih hijau dari dedaunan dari pohon-pohon yang kerap dijumpainya di pinggir jalan. Belum lagi, lelaki tersebut memiliki kaki-kaki yang panjang dan lengan-lengan yang kuat hingga dapat menggendongnya tanpa tertatih-tatih seperti ini. Oh, dan apakah Seijuurou sudah menyebutkan mengenai kepintaran suaminya? Pasalnya, selama hidupnya, ia belum menemukan orang lain yang dapat memberinya tantangan dalam bermain shogi sebaik Shintarou.
Orang-orang di luar sana selalu berkata bahwa suaminya teramat beruntung karena berhasil menikahi omega sekelas Akashi Seijuurou. Namun, dirinya tidak berpendapat demikian. Justru, dirinya yang beruntung mendapatkan alpha seperti Midorima Shintarou dan ia dengan siap melakukan apa pun untuk mempertahankan lelaki tersebut tetap menjadi alpha-nya. Sebagaimana dirinya adalah omega milik Shintarou, maka suaminya tersebut jugalah alpha milik Seijuurou.
Merasa sedikit posesif, Seijuurou menelusupkan kepalanya di ceruk leher Shintarou, menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari lelaki tersebut. Sesekali ia mengusapkan tubuhnya pada scent gland lelaki berhelai hijau tersebut dan berharap bahwa aroma Seijuurou akan menempel di sana. Kendati begitu, ia cukup tahu bahwa aromanya tidak akan bertahan terlalu lama di sana, tidak sekuat aroma Shintarou yang selalu melekat pada tubuhnya.
(Sebagai catatan: meski suaminya itu kerap kali bersikap tenang dan terkesan tidak terlalu peduli akan beberapa hal trivial, Shintarou sebenarnya cukup posesif dengan caranya tersendiri. Pasalnya, tidak sekali dua kali rekan kerjanya mengangkat sebelah alis atau sekadar terkikik tatkala mencium aroma alpha Shintarou yang jauh lebih melekat di tubuhnya ketimbang aroma tubuhnya sendiri. Bukan berarti Seijuurou keberatan juga. Justru, ia merasa cukup senang.)
Terus menghirup wangi tubuh sang suami, Seijuurou mulai menyadari bahwa ia sangat menyukai aroma tersebut. Wangi Shintarou seperti kombinasi antara bau kayu-kayuan dengan petrikor. Aroma tersebut begitu menenangkan; membuatnya nyaman, sampai-sampai Seijuurou merasa bahwa rasa mualnya sedikit mereda dan rasa lelahnya sedikit menguap.
Ia mengingat perkataan suaminya, tatkala lelaki tersebut dengan antusias memilih dan menjelaskan manfaat dari lilin aromaterapi, bahwa wangi dapat mempengaruhi suasana hati seseorang melalui jaras hipotalamus—atau sesuatu semacam itu, karena sungguh, Seijuurou tidak lagi mengingatnya karena saat itu dirinya sibuk terdistraksi oleh senyum penuh percaya diri dari sang suami yang terlihat luar biasa tampan. Pada saat seperti inilah Seijuurou baru dapat mengiyakan penjelasan lelaki berhelai hijau tersebut karena wangi tubuh Shintarou mampu membuatnya menjadi lebih tenang dan mengingatkannya kepada sebuah rumah.
Huh. Kelereng rubi mengerjap. Sejak kapan Seijuurou menjadi sentimental sepeti ini? Pasti hormon-hormonnya yang sedang berbicara.
Merasakan sebuah hasrat ingin menjahili yang menyeruak di dada, Seijuurou memutuskan untuk sedikit menggoda suaminya. "Tak disangka-sangka Dokter Midorima yang terkenal dingin dan suka berbicara ketus ini ternyata bisa bersikap lembut dan romantis kepada pasangannya," serunya dengan suara terkejut yang dibuat-buat. "Aku sungguh tersanjung!" tambahnya dengan dilebih-lebihkan.
Namun, sama halnya dengan Seijuurou yang dapat memahami maksud tersirat dari kalimat sang suami yang gemar tidak jujur dengan perasaan sendiri, Shintarou juga mulai kebal dengan godaan yang dilontarkan oleh suaminya. Lelaki berhelai hijau tersebut hanya mendengus. "Masih sempat bercanda seperti ini, kurasa kau masih cukup sehat dan pastinya cukup kuat untuk berjalan sendiri, ya, Sei? Apakah perlu kau kuturunkan di sini? Punggungku mulai terasa sedikit sakit. Kau ini tidak seringan yang terlihat, omong-omong," balas lelaki tersebut.
Seijuurou cepat-cepat mendekap leher sosok yang tengah menggendongnya dengan lebih erat, berusaha menunjukkan intensinya yang enggan untuk melepaskan. "Tidak mau!" pekiknya, setengah merengut. "Dan apa pula komentarmu soal berat badanku itu? Seseorang yang sedang hamil secara normal akan mengalami peningkatan berat badan! Kau insensitif sekali!"
Mendengarnya, Shintarou hanya tersenyum tipis. Manik zamrudnya mengerling dengan lucu. Lelaki tersebut tampak seperti sedang menahan tawa. "Ya, ya. Sudah kuduga kau akan berkata seperti itu."
Selanjutnya, Shintarou menurunkannya di atas ranjang. Lelaki berhelai hijau tersebut juga menumpuk dua bantal di belakang punggungnya sebagai sandaran dan menyelimutinya hingga pinggang.
"Tunggu sebentar di sini, oke?" lelaki tersebut selanjutnya berkata. Tak lupa sebuah kecupan di pelipis ikut ditinggalkan. Kemudian, tanpa mengatakan apa pun lagi, Shintarou meraih kacamatanya di nakas dan bergegas beranjak keluar dari kamar tidur.
Suaminya tidak menyebutkan tempat tujuannya, tetapi Seijuurou dapat menebak secara kasar apa yang hendak dilakukan oleh lelaki berkepala hijau tersebut. Ia hanya dapat berharap bahwa suaminya tidak berakhir membakar dapurnya.
Tak sampai sepuluh menit, Shintarou kembali memunculkan batang hidungnya. Kali ini, lelaki tersebut membawa serta sebuah cangkir di tangan kirinya. Uapnya juga masih mengepul di udara.
"Ini. Minumlah," ujar Shintarou seraya menyodorkan gelas tersebut. "Hati-hati ketika meminumnya karena masih panas," tambahnya mewanti-wanti. Lelaki tersebut tahu bahwa Seijuurou tak dapat meminum minuman yang terlalu panas.
"Ah, terima kasih." Seijuurou pun menerima gelas dengan uap panas tersebut dengan senang hati. Di dalamnya, terdapat cairan yang berwarna kecoklatan. Aromanya begitu familiar tetapi entah mengapa ia tidak dapat mengingatnya. Diselingi dengan tiupan pelan pada permukaan cairan tersebut, Seijuurou bertanya, "apa ini?"
Shintarou mendudukkan diri di pinggir ranjang sebelum menjawab, "teh jahe dan kamomil. Kudengar itu dapat meringankan gejala mual dan muntah." Lelaki tersebut selanjutnya memijati kaki Seijuurou dari balik selimut yang melingkupinya. "Dokter-dokter biasanya akan meresepkan piridoksin pada omega yang hamil dan mengalami morning sickness secara berlebihan, tetapi kita tidak memilikinya di kotak obat. Nanti siang saja akan kubelikan di apotek."
Mendengarnya, kepala merah pun mengangguk-angguk perlahan, menunjukkan bahwa dirinya sepenuhnya paham. Selanjutnya, Seijuurou meneguk teh dalam genggamannya setelah merasa sudah cukup lama meniupinya. Teh tersebut seketika menghangatkan kerongkongannya. Rasanya juga enak.
Tanpa mengalihkan pandangan sedetik pun dari kakinya, Shintarou kembali membuka suara. "Habiskan tehnya. Kau sudah muntah-muntah tadi, jadi perlu untuk mengganti cairan yang sudah terbuang. Berbahaya jika kau sampai dehidrasi, Sei."
Seijuurou menanggapi dengan sebuah kekehan yang sedikit terbungkam oleh gelas tehnya. "Baiklah, Midorima-sensei. Terima kasih untuk sarannya."
Suaminya pun tidak balas menanggapi dengan komentar lain, tetapi lelaki tersebut justru melayangkan sebuah tatapan aneh menuju Seijuurou. Tatapan tersebut membuat sang empunya helai merah mengangkat sebelah alis. Untuk suatu alasan, Shintarou tampak hendak mengatakan suatu hal yang berulangkali diurungkannya.
Setelah bersitatap selama beberapa detik yang terlalu lama, yang berhelai hijau menjadi orang pertama yang memalingkan wajah. Seijuurou juga dapat melihat semburat kemerahan di pipi lelaki tersebut. Selanjutnya, Shintarou berdeham pelan, berusaha menghilangkan kecanggungan, sebelum membenahi letak kacamatanya.
Melihat gelagat tersebut, Seijuurou merasa sedikit nostalgia. Reaksi malu-malu tersebut mirip sekali dengan yang ditunjukkan Shintarou saat keduanya masih remaja—masih bersekolah di Teikou dan masih jauh lebih muda—ketika lelaki tersebut mendapati dirinya adalah seorang alpha, Seijuurou adalah seorang omega, keduanya adalah sepasang alpha dan omega yang berduaan saja bermain shogi di sebuah kelas kosong, dan Seijuurou berkata, tidak, Midorima, hanya karena aku adalah seorang omega dan tangan kita tidak sengaja bersentuhan di atas papan shogi, bukan berarti aku akan hamil atau semacamnya.
Kendati bertahun-tahun telah terlewati, rupanya masih terdapat hal-hal kecil yang tidak berubah. Yah, bukan berarti Seijuurou mengharapkan yang sebaliknya.
Shintarou mengusap tengkuknya dengan sedikit kikuk. Raut penuh kegugupan begitu kentara di wajahnya. "Kau tahu ... aku selalu merasa bersalah ketika melihatmu menderita seperti ini," buka lelaki berhelai hijau tersebut, masih bersikukuh untuk tidak menatapi sepasang rubi di hadapannya. "A-aku ikut berkontribusi dalam pembuatannya, tetapi hanya kau yang harus menanggung penderitaannya. Entahlah, aku hanya merasa ini sedikit tidak adil."
Penuturan suaminya tersebut menerbitkan sebuah senyum di paras Seijuurou. Rasa-rasanya ia juga ingin tertawa, tetapi tidak tega melihat wajah lawan bicaranya yang begitu serius seperti itu. Suaminya lucu sekali dan sangat berhati lembut. Seijuurou bersyukur karena telah menikahi lelaki sebaik Midorima Shintarou.
Masih dengan sebuah senyum yang terpatri di wajah, Seijuurou menarik tangan milik sang suami, membuat atensi lelaki tersebut seketika kembali tertuju padanya. Perlakuannya yang tiba-tiba tersebut membuat Shintarou sedikit tertegun dengan sepasang zamrudnya yang terbelalak.
Seijuurou memiringkan kepalanya, membuat helai-helai merahnya ikut berayun mengikuti gaya gravitasi. "Kau akan bekerja hari ini, Shin?"
"Eh?" Tampaknya, tanggapan tersebut lolos dari mulut Shintarou lebih cepat dari otaknya memproses kalimat yang baru saja ditanyakan oleh suaminya. Namun, sejenak kemudian, ekspresi lelaki tersebut sedikit berubah. "O-oh, tidak, kok. Hari ini kliniknya libur. Ada apa memangnya?"
Mendengar jawaban tersebut, air muka Seijuurou mendadak menjadi cerah. Selanjutnya, ia meletakkan gelas tehnya yang nyaris kosong di nakas sebelum merebahkan diri dan menarik selimutnya hingga mencapai dagu. Tangannya pun menepuk-nepuk area kosong pada ranjang di sebelahnya sementara netranya memberikan sorot penuh arti pada sepasang zamrud.
Tak perlu kata-kata bagi Shintarou untuk memahami maksud dari gestur dan tatapan Seijuurou. Dengan sebuah helaan napas dari mulutnya, lelaki berhelai hijau tersebut berjalan memutari ranjang dan ikut menelusupkan diri di balik selimut. Lagaknya saja terlihat enggan, tetapi yang berhelai merah paham betul bahwa Shintarou sebenarnya tidak merasa demikian.
Kemudian, Shintarou mengubah posisi tidurnya menjadi miring dan berhadapan dengan suaminya. "Kau ini tidak berubah, ya. Kau masih sama manjanya dari dulu hingga sekarang," cemooh Shintatou. Namun, Seijuurou tahu bahwa kata-kata lelaki tersebut tak sepenuhnya serius dari senyum kecil yang menghiasi wajahnya. Suaminya itu memang susah sekali untuk berkata jujur sesuai perasaannya.
Seijuurou tertawa pelan. Hanya kepadamu aku bersikap manja seperti ini, Shin, inginnya ia menanggapi, tetapi pada akhirnya dirinya hanya menjawab dengan, "kau juga tidak berubah dari dulu hingga sekarang; kau masih sama cerewetnya."
Sepasang zamrud berotasi di tempat. Ekspresi lelaki berhelai hijau tersebut tampak luar biasa jengah, tetapi tangan-tangannya berusaha menyisipi pinggang dan punggung Seijuurou, melingkar di sana dan menariknya secara bersamaan. Sang omega pun bergerak mendekat, meletakkan kepalanya di ceruk leher suaminya, dan menyamankan diri dalam pelukan sang alpha.
Selanjutnya, Seijuurou memejamkan matanya, mengira bahwa keduanya memutuskan untuk menyudahi konversasi, tetapi rupanya suaminya itu berpikiran yang lain. Shintarou menyahut dengan suara yang sedikit samar, "aku cerewet? Huh. Lihat siapa yang bicara di sini."
fin.