Work Text:
Mingyu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya berkali-kali melirik ke arah jam dinding, mengawasi waktu. Kalau nggak berangkat dalam 5 menit ke depan, telat nih pasti karena kejebak macet. Tapi kalau berangkat sekarang, ninggalin Wonwoo yang lagi ngomel, pasti bakal runyam berhari-hari.
“Aku tuh bangunin kamu udah dari satu setengah jam yang lalu lho, Gyu. Biar kamu punya cukup waktu. Kirain kamu tuh di dalem mandi, siap-siap. Taunya malah tidur lagi terus sekarang jadi keburu-buru gini.” Wonwoo merepet panjang lebar, jelas sekali dia sedang sangat kesal terhadap Mingyu.
“Iya, yaaang. Maaf yaaa… Besok nggak lagi-lagi deh. Aku berangkat dulu ya. Takut keburu macet jalannya, yang.” Mingyu menanggapi Wonwoo sambil mendekat, berusaha memeluk pujaan hatinya itu. Biasanya, pelukan selalu berhasil membungkam omelan Wonwoo.
Tapi hari ini sepertinya gagal, “Apa peluk-peluk? Nggak usah cari pengalihan deh!” Sentak Wonwoo sambil mendorong Mingyu agak kasar.
Mingyu yang sudah panik karena takut terlambat, jadi ikut terpancing emosinya. “Kok kamu gitu sih? Perkara aku telat bangun aja jadi gini ke aku?”
Wonwoo terlihat semakin kesal mendengar perkataan Mingyu, “Telat bangun aja? Karena kamu telat bangun tuh bikin kamu nggak sempat sarapan. Padahal aku udah capek-capek bikinin. Emang ya, nggak ada pedulinya kamu tu ke aku!”
“Nu! Kalau aku nggak peduli, nggak akan aku tuh mau berangkat kerja jauh dari sini. Aku nggak akan mau ngikutin permintaan kamu pindah ke apartemenmu, dan harus PP jauh tiap hari ke kerjaan. Lagian masak apa sih? Pancake doang, kan? Sesusah apa sih?”
Sempurna sudah kemarahan Wonwoo. Matanya berkaca-kaca, wajah dan telinganya memerah, tangannya gemetar. Pertanda bahwa dia sudah tidak sanggup lagi menahan semua emosi di dalam dadanya. “Buat kamu, pancake doang. Tapi buat aku? Ya udah lah, Gyu. Emang aku yang salah. Nggak sadar diri. Cuma bisa bikin pancake, itu aja butuh waktu lama, tapi minta diapresiasinya berlebihan. Dah sana, berangkat.”
Wonwoo langsung berjalan masuk ke kamar. Tidak ada hati-hati, happy working, pelukan, apalagi kecupan seperti biasanya jika mereka akan berpisah. Tinggal Mingyu yang terdiam di dapur, menyesali perkataannya. Dia tahu, Wonwoo pasti sangat terluka.
****
“Kenapa sih? Dari tadi nggak konsen mulu lu mah.” Tanya DK dengan tidak sabar. Ini sudah kesekian kalinya Mingyu membuat kesalahan. Sepele pula. Sesuatu yang seharusnya dengan mata terpejam pun bisa dikerjakan dengan benar.
“Tau deh.”
“Kalo lagi nggak fit, balik gasik aja gapapa Gyu.”
“Hmm.” Jawab Mingyu singkat. Membuat DK tahu, lebih baik jangan dibahas lebih lanjut.
Keduanya kembali bekerja dalam diam. Untunglah kali ini Mingyu berhasil berkonsentrasi dan tidak lagi melakukan kesalahan.
“Eh, maksi bareng?” DK bertanya ke Mingyu saat jam menunjukkan pukul 11.00
Mingyu mengernyit, “Sekarang banget?”
“Ya enggaklah geblek. Ntar. Tapi kalo mau bareng biar gue ngabarin anak-anak lain.”
Mingyu terdiam sejenak. Berpikir. “Nggak deh, mau sama Wonu aja.”
DK hanya mengangguk kecil.
Mingyu kemudian mengirim pesan kepada Wonwoo. Jarinya sempat beberapa kali menghapus apa yang sudah dia ketikkan di layar. Bingung, bagaimana memulai percakapan setelah perselisihan mereka tadi pagi.
Nu, lunch bareng? Akhirnya Mingyu mengirim pesan yang senetral mungkin.
Ok. Di Rumi? Datang jawaban Wonwoo, beberapa detik saja setelah pesan dari Mingyu tadi terkirim.
Yang berat deh. Aku kelaperan banget.
Tapi aku masih kenyang banget. Makan pancake dua porsi tadi.
Mingyu menghela nafas. Wonwoo sepertinya masih menyimpan dendam perkara pancake yang tidak dia makan tadi pagi.
Par and Sey deh, gimana? Aku bisa makan berat, kamu bisa ngemil. Atau PH at least.
Rumi.
Mana kenyang Nu kalo aku lunch di Rumi. Perutku belum keisi nih dari pagi.
Ya salah siapa dibangunin nggak bangun. Nggak sarapan. Kecuali nggak ada yang bangunin, nggak ada yang bikinin sarapan. Ini kan ada semua. Salah siapa kan.
Mingyu tercabik, antara ingin berteriak melampiaskan rasa frustasinya atau melempar ponselnya sekalian agar percakapan ini terhenti.
Ya udah. Rumi. Jam 12 ya. Love you.
Ok.
Mingyu mengelus dadanya. Sabar, mungkin dia PMS. Batin Mingyu menenangkan dirinya sendiri.
******
Mingyu kembali menekan tombol panggil di ponselnya. Menelepon Wonwoo untuk entah ke berapa belas kalinya. Jam sudah menunjukkan pukul 12.40 dan masih belum ada tanda-tanda kehadiran Wonwoo di Rumi. Padahal sepuluh menit lagi Mingyu harus segera kembali ke kantor.
Aku ada inspeksi lokasi mendadak. Masuk pesan dari Wonwoo. Mingyu menghela nafas kasar setelah membacanya.
Ya kabarin lah daritadi. Aku nunggu 40 menit lho ini.
Sorry. Aku juga dicegat sama tim audit pas mau ke parkiran. Ini baru bisa colongan pegang hp. Mau aku orderin snack sore kirim ke kantormu aja?
Nggak usah. Nggak penting kok aku tuh buat kamu.
Gyu nggak gitu deh… Aku kan bukannya sengaja nggak dateng.
Ya who knows sih Nu.
Gyuuuuu. Please maafin aku. Aku juga maunya lunch sama kamu. Tapi gimanaaa, please please please sekali ini aja ngertiin aku.
Tau deh. Dah sana nggak usah chat dulu. Ntar ketauan tim audit. Lebih penting mereka soalnya.
Mingyu lalu mematikan ponselnya. Tidak mau meneruskan chat dengan Wonwoo karena dia harus segera menghabiskan cemilan tidak jelas di depannya ini. Mana kenyang, bangke. Umpat Mingyu dalam hati.
******
Semua pekerjaannya untuk hari ini sudah beres. Mingyu meregangkan kedua tangannya sembari berteriak. Membuat DK kaget dan melemparkan sebuah remasan memo kerja.
“Monyet! Bikin kaget aja.”
Mingyu menjawab dengan cengiran. “Balik?”
“Basket, yuk. Yugyeom sama Bangchan ngajakin tadi.”
Tanpa pikir panjang Mingyu mengiyakan ajakan tersebut.
*****
“Gyu, hape lo mati? Wonu nanya nih.”
Mingyu melihat ke arah Jaehyun yang berdiri di pinggir lapangan, terlihat sedang dalam sambungan telepon dengan seseorang.
Damn. Pikir Mingyu. Dia lupa menyalakan ponselnya setelah makan siang dan berselisih (lagi) dengan Wonwoo tadi.
Mingyu berlari keluar dari lapangan, membuat teman-temannya riuh bersorak sorai meneriaki dirinya. Bodo amat. Daripada Wonwoo jadi ngamuk lagi. Pikir Mingyu sambil mengisyaratkan kepada Jaehyun agar dia bisa berbicara ke Wonwoo.
Jaehyun mengulurkan ponselnya, dan Mingyu langsung membawanya menjauh.
“Yaaang, maaf hapeku kehabisan batre. Aku nggak sempat ngabarin, balik telat ya. Lagi basket sama anak-anak.” Mingyu berkata dengan nada yang dibuat semanis dan selembut mungkin.
“Kan bisa loh pinjam hape anak-anak.” Tanggap Wonwoo dengan nada yang juga halus, membuat Mingyu mengendurkan kewaspadaannya karena berpikir Wonwoo sudah tidak marah lagi padanya.
“Iyaaa. Nggak kepikiran, sayang. Ma…” belum selesai Mingyu berkata, Wonwoo sudah memotong dengan nada yang mendadak berubah kejam dan ketus.
“Oh, nggak kepikiran? Aku nungguin, cemas nelponin, takut kamu kenapa-napa, ternyata yang dipikirin malah nggak kepikiran ngabarin dulu? Oh gitu. Ada mantan ya di situ? Jadi nggak kepikiran aku.”
Baru Mingyu mau membuka mulut untuk menjelaskan, sambungan telepon sudah diputus oleh Wonwoo. Saat dia berusaha menghubungi lagi, ponsel Wonwoo sudah dimatikan.
Anjrit, kenapa sih sama hari ini. Umpat Mingyu dalam hati.
“Je, makasih. Gue balik duluan.” Mingyu menyerahkan ponsel Jaehyun, lalu dengan serampangan dan terburu-buru mengemas barang-barangnya. Meninggalkan semua temannya tanpa penjelasan.
“Biarin. Kayaknya lagi ribut dia sama Wonu.” DK menjelaskan kepada semua orang, saat Yugyeom berusaha mengejar Mingyu. Teman-temannya pun mengangguk, memahami kondisi Mingyu.
“Buciiin….bucin!” Komentar Bangchan sambil menggelengkan kepalanya, membuat semua orang lainnya tertawa tergelak. Ya, memang bukan Mingyu namanya kalau nggak bucin.
*******
Mingyu berkeliling apartemen, tetapi tetap tidak menemukan Wonwoo. Kepalanya yang sudah pusing sejak siang, sekarang rasanya ingin meledak. Perutnya masih kelaparan, kepalanya berdenging tajam, kakinya lelah setelah main basket, dan sekarang dia pulang ke apartemen kosong. Kemungkinan besar, Wonwoo kabur karena kemarahannya.
Bisa nggak sih kalo ngambek tuh gausah ilang-ilangan gini. Batin Mingyu menahan kesal di dada. Di masa awal pacaran dulu, setiap kali ada konflik di antara mereka, Wonwoo pasti kabur dan ilang-ilangan. Membuat Mingyu kelimpungan mencari ke sana kemari.
Awalnya Mingyu masih memaklumi. Menganggap bahwa mungkin begitulah cara Wonwoo menghadapi konflik, dengan menepi lebih dahulu. Baru kembali dan menghadapi konflik itu saat pikiran dan hatinya sudah lebih tenang. Tetapi saat kesekian kalinya Wonwoo ilang-ilangan seperti itu, Mingyu akhirnya hilang kesabaran dan mengultimatum Wonwoo. Jika masih ingin menjalin kasih, Mingyu ingin Wonwoo tidak lagi melewati konflik dengan cara seperti itu. Apalagi sekarang setelah mereka memutuskan untuk tinggal bersama.
Sudah hampir satu tahun ini Wonwoo tidak pernah ilang-ilangan lagi. Tetapi kalau dipikir-pikir, sebetulnya hampir satu tahun ini juga mereka tidak pernah berselisih. Baru tadi pagi, mereka mendadak jadi berselisih lagi.
Mingyu mengambil ponsel dari tasnya, menyalakan perangkat itu, dan segera menghubungi Wonwoo. Dadanya naik turun menghela dan menghembuskan nafas berat. Emosi. Saat sambungan telepon diangkat, Mingyu langsung berkata dengan suara menggelegar,
“KAMU DIMANA? BISA NGGAK KALO MARAH TU JANGAN KABUR-KABURAN TERUS GINI? DIKIRA AKU NGGAK CAPEK APA NGADEPINNYA?”
Tidak ada tanggapan dari Wonwoo, dan itu justru membuat Mingyu semakin marah.
“NGOMONG. DIOBROLIN. BUKAN MINGGAT KAYA GINI. MASIH REMAJA I……”
Belum selesai Mingyu melampiaskan emosinya, terdengar suara kode pintu dimasukkan. Pintu terbuka, dan di sana berdiri Wonwoo. Wonwoo-nya. Satu tangan memegang gagang pintu, tangan lain menenteng keresek besar, sementara ponselnya diapit pundak dan telinga.
Mingyu refleks melangkah mendekati Wonwoo, mengambil alih keresek dari tangan kekasihnya itu. Ditaruhnya keresek itu di meja, lalu dia sadar. Apa yang baru saja dia lakukan…. Ditatapnya Wonwoo dengan takut-takut…..
“Masih marah?” Wonwoo bertanya pelan, kedua tangannya terlipat di depan dada.
Mingyu menggeleng pelan. Canggung, juga malu. Karena meneriaki Wonwoo seperti orang kesetanan, dengan kata kasar pula.
“Kamu mau peluk dulu, atau denger penjelasan aku dulu?” Wonwoo bertanya dengan suara pelan dan lembutnya itu.
Tanpa berpikir panjang Mingyu segera menghampiri Wonwoo dan memeluknya erat-erat. Kepalanya terbenam di ceruk leher Wonwoo, tidak peduli dengan Wonwoo yang jadi menggeliat karena merasa geli. Semua kemarahannya sejak pagi menguap. Berganti dengan rasa rindu. Rasa rindu terhadap kekasihnya ini, yang sejak pagi tertutup oleh emosi dan amarah, sekarang terlihat dengan jelas. Baru dua belas jam sejak mereka berselisih, yang artinya baru dua belas jam juga Mingyu tidak melihat Wonwoo. Tetapi perasaan rindunya tajam bercampur dengan rasa bersalah yang menyayat hati.
“Maaf.” ucap Mingyu lirih, bibirnya menempel di leher Wonwoo.
“Nggak papa, sayang.” Wonwoo menjawab dengan suara yang sama lirihnya. Tangannya sekarang membelai punggung Mingyu dengan halus. Berusaha menenangkan orang yang sudah bersamanya selama tiga tahun terakhir ini.
“Nggak. Aku emang salah. Harusnya aku lebih menghargai effort kamu buat bangunin sama masakin aku pancake tadi pagi. Harusnya aku juga ngabarin kalo mau basketan dulu. Aku harusnya nggak take your attention and affection for granted yang. Maaf.”
Wonwoo mendorong pelan tubuh Mingyu, membuat kekasihnya itu menatap matanya. Saat mata mereka saling menatap, seulas senyum muncul di bibir Wonwoo. Membuat Mingyu merasa jantungnya seperti ditikam belati tajam. Bagaimana bisa dia meneriaki dan memaki orang yang senyumnya bisa membuat dunia jadi terang benderang dan indah seperti ini?
“Aku juga minta maaf maksain makan di Rumi padahal tau kalo kamu belum sarapan, eh habis itu malah ga dateng pula.” Wonwoo mengangkat satu tangannya, menyetop Mingyu yang terlihat mau menyela kalimatnya, “I know, kamu bakal bilang itu inspeksi mendadak jadi aku nggak salah, ya kan? I know, bukan salahku ada inspeksi mendadak, but still. At least aku bisa minta izin auditor buat ngabarin kamu dulu sebelum berangkat. Nggak langsung main ngumpulin hp ku aja ke mereka.”
Mingyu kembali menarik Wonwoo ke pelukannya. Bibirnya sekarang sibuk menciumi setiap jengkal wajah Wonwoo. Matanya, puncak hidungnya, dahinya, dan terakhir bibirnya. Perlahan, lembut, dan memabukkan.
“Kamu kemana barusan?” Mingyu bertanya setelah melepaskan ciumannya.
“Minggat?” jawab Wonwoo dengan nada usilnya.
Mingyu mencebik. “Baaabeeee, maaf. Aku nyesel maki gitu. Jangan dibahas lagi dong.”
Wonwoo menanggapi dengan tawa renyah, sembari melepaskan diri dari pelukan Mingyu. Diraihnya keresek yang tadi ia bawa dan Mingyu letakkan di atas meja. “Beli ini.”
Mingyu menerima uluran Wonwoo dan membuka keresek tersebut. Demi melihat isinya, Mingyu tertawa tergelak-gelak sampai badannya terbungkuk-bungkuk.
Wonwoo yang heran dengan reaksi Mingyu kembali melipat tangannya di depan dada, “Am I missing something here?”
Mingyu butuh beberapa detik untuk menenangkan dirinya, “Kamu kenapa beli ini semua yaaang?”
Alis Wonwoo terangkat, heran dengan pertanyaan Mingyu. “Kamu kalo habis basket kan suka mendadak laper tengah malem. Jadi itu aku beli cemilan, sama beer.”
Mingyu melempar asal keresek itu ke meja, membuat Wonwoo panik. Tetapi kepanikannya harus tertunda karena sekarang Mingyu memeluknya lalu menaikkannya ke gendongan. Secara otomatis Wonwoo mengaitkan kedua kakinya ke pinggang Mingyu. Kedua tangannya manja melingkar di pundak dan leher Mingyu. Melihat senyum lebar dan mata berbinar Mingyu, Wonwoo tidak tahan untuk menurunkan wajahnya dan mencuri kecupan dari bibir kekasihnya.
“Dark coklat tiga, chips dua, cookies lima, fitbar dua, beer empat. Bener?” Tanya Mingyu ketika Wonwoo selesai mengecup.
Wonwoo menelengkan lehernya, bertanya apa maksud pertanyaan Mingyu.
“Percaya nggak percaya, sebelum sampai rumah aku juga beli itu semua. Persis sama jumlah dan merknya.”
Wonwoo terdiam dua detik, lalu tawa renyah kembali keluar dari bibirnya. Ternyata, mereka berdua memang benar-benar memahami satu sama lain. Tiga dark coklat adalah Wonwoo. Dua chips, Mingyu. Lima cookies, untuk mereka berdua. Dua fitbar, Mingyu lagi. Sementara empat beer, tiga Mingyu dan satu Wonwoo. Itu adalah jumlah cemilan yang biasanya mereka habiskan saat Mingyu ingin mengemil di tengah malam.
Bersama selama tiga tahun rupanya membuat mereka bisa memahami snack kesukaan masing-masing, bahkan sampai kuantitasnya. Tetapi di saat yang sama, juga tidak bisa memahami kenapa Mingyu tidur lagi tadi pagi sampai akhirnya terlambat bangun. Membuatnya jadi tidak bisa makan pancake buatan Wonwoo. Yang artinya tidak memahami kenapa membuat pancake untuk sarapan Mingyu, bagi Wonwoo adalah sesuatu yang grandeur. Tidak bisa memahami bahwa inspeksi mendadak bukan salah kekasihnya. Memahami bahwa ponsel yang mati dan lupa memberi kabar adalah manusiawi di saat mereka sedang banyak berselisih.
“Maaf ya sayang.” ucap Wonwoo lembut. Hidungnya menyusuri pipi dan rahang Mingyu. Membuat kekasihnya itu memejamkan mata, terbuai.
“Aku juga minta maaf, babe.” Mingyu menjawab dengan sama lembutnya. Masih terbuai dengan sentuhan hidung Wonwoo di seluruh sisi wajahnya.
“Tapi kayaknya kita lupa beli satu hal deh.” ucap Wonwoo, dengan nada usilnya lagi.
Kali ini Mingyu langsung paham apa yang dimaksud Wonwoo. “Aku beli kok.”
“Apa emang?”
Mingyu menarik wajahnya, dan melempar seringai sembari menatap kedua mata Wonwoo dalam-dalam, “Make up sex, now?”
Semburat merah muncul di kedua pipi Wonwoo. Dibenamkannya wajah merah itu ke pundak Mingyu.
Kali ini giliran Mingyu yang tertawa renyah, “Babeeee, lemme see you! Come on, show me that pretty cheeck!”
Wonwoo menarik wajahnya perlahan, membuat Mingyu semakin gemas. “My God. Babe, I love you so much!”
“I love you, too. Silly.” ucap Wonwoo setelah beberapa detik kemudian.
“Hmm. Love you more, sayangku.” Jawab Mingyu sambil mengecupi bibir Wonwoo dengan lembut. Kakinya, sementara itu, mengambil langkah-langkah lebar menuju kamar tidur mereka.
Beberapa jam kemudian, mereka menghabiskan semua snack di dua keresek. Mengisi ulang tenaga yang habis karena dipakai bercinta seperti binatang liar. There is indeed something oh so magical about a make up sex….
END