Actions

Work Header

Mr. Perfectly Fine

Chapter 4

Notes:

so this is the last chap and i try to make it sooooo traumatic and triggering for ten (ugh, sorry) but at least ten has kun!! <3

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

Kun sudah menyiapkan diri untuk menjadi seorang ayah.

 

Selama ini dia benar-benar tidak memiliki sosok orangtua yang menemaninya tumbuh, dan itu benar-benar menyakitkan. Kun kecil dulu selalu melihat teman-temannya yang pulang disambut oleh pelukan hangat ibu mereka, atau ayah mereka yang mengantar ke sekolah dengan perasaan bangga. Kun bahkan pernah menangis karena dulu temannya pernah mengajak dia makan malam bersama dengan keluarganya, di situ Kun merasa malu dan senang.

 

Keluarga adalah sebuah kata bak angan-angan bagi Kun, tapi siapa yang menyangka kalau sekarang Kun bisa mendapatkan keluarga yang selama ini dia impikan, bersama dengan Ten dan anak mereka nanti.

 

Selama ini Kun tidak tahu ayah yang baik itu seperti apa, jadi dia belajar. Dia memperhatikan cara temannya mengurus anaknya, dia tidak malu untuk membaca buku tentang parenting. Apa pun akan dia lakukan untuk anaknya nanti, dia ingin anak mereka tumbuh besar dengan penuh cinta kasih darinya dan Ten.

 

Ten juga sama bersemangatnya dengan Kun, dia bahkan sudah menyiapkan kamar untuk anak mereka yang belum lahir, semua baju sudah disiapkan, Ten sengaja memilih baju-baju yang lucu dan Kun mana mungkin melarang Ten berbelanja dan menghabiskan uangnya hanya untuk membelikan baju untuk calon anak mereka?

 

Kun juga ikut andil dalam hal itu.

 

Ten juga sekarang terlihat lebih sehat dan bahagia, Kun senang dengan haMereka benar-benar menantikan kelahiran anak pertama mereka dengan antusisas, menunggu sampai hari kelahiran anak pertama mereka tiba. Sampai.—

 

"Kamu benar ga ngerasain apa pun, Ten?" tanya Kun dengan khawatir. Ten duduk di sampingnya, bersandar di sofa sambil memakan manisan yang Kun bawa, terlihat begitu santai.

 

"Uhm," Ten menggeleng. "Kenapa memang?"

 

Masalahnya ini sudah dekat dengan hari perkiraan kelahiran, tapi Ten belum menunjukkan tanda-tanda kontraksi. Kun makin khawatir dibuatnya. "Harusnya sebentar lagi Didi lahir." balas Kun. "Kamu yakin ga merasa sakit atau apa?"

 

Ten melotot, seolah dia baru menyadari sesuatu. "Astaga, iya! Besok harusnya tanggal kelahirannya 'kan?" sekarang dia merasa panik. "Kun, bagaimana ini? Aku gapapa 'kan? Didi gapapa 'kan?"

 

Masalahnya Kun juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menarik Ten dalam rangkulan hangat lalu mencium pelipisnya. “Kalau gitu besok ayo kita ke dokter ya, Ten? Aku siapin semua peralatan kamu, besok pagi kita berangkat ke Rumah Sakit, ya?”

 

“Oke,” Ten menyandarkan kepalanya di dada Kun. Sejujurnya ada sedikit perasaan khawatir, mengingat ini pertama kalinya mereka akan memiliki anak, jadi mereka tidak tahu apa yang harusnya dilakukan atau terjadi. Ten mengusap perutnya yang sudah besar. “Aku harap semuanya baik-baik aja.”

 

Kun tersenyum lembut, dia bawa dagu Ten agar sang omega menatapnya. Dia berdoa dalam hati kalau semuanya akan baik-baik saja, Ten dan anak mereka akan baik-baik saja. “Semuanya akan baik-baik aja, kamu ga perlu khawatir, Ten.”

 


 

Kun memandang anaknya yang tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah kenyang menangis dan minum susu, bayi yang baru berusia dua hari itu dengan perut kenyang memejamkan matanya dengan napas yang teratur. Kun menahan diri untuk tidak menyentuh anaknya, takut terbangun dan malah mengganggu waktu istirahat Ten.

 

Ten. Ya, suaminya itu juga sedang tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Luka jahitannya masih basah, jadi sang omega tidak boleh banyak bergerak. Kun juga tidak tega sebenarnya melihat Ten yang terkadang masih meringis kesakitan, dan dia berusaha secepat mungkin dan dengan telaten membantu suaminya itu.

 

Kun duduk di samping Ten, memperhatikan wajah sang omega yang terlihat begitu damai. Dia tersenyum, tangannya menggenggam tangan Ten dan dikecupnya, “Terima kasih, sayang.”

 

Persalinan Ten berjalan memang tidak sesuai yang mereka rencanakan. Setelah membawa Ten ke Rumah Sakit, walau sang omega sudah kontraksi, sayangnya dokter bilang pembukaannya masih lama. Jadi, mau tidak mau Ten akhirnya dirujuk untuk melakukan tindakan Caesar.

 

Di ruang bedah, Kun diizinkan untuk masuk dan menemani Ten selama persalinan. Sepertinya dibanding dengan Ten, dia yang paling ketakutan. Tangannya menggenggam erat Ten dan berusaha mengajak sang omega mengobrol, walau Kun sudah keringat dingin takut sesuatu akan terjadi pada Ten atau anak mereka. Melihat sang omega yang berjuang untuk melahirkan anak mereka membuat hati Kun terenyuh, saat itu juga Kun berjanji kalau dia akan memperlakukan anak mereka dan Ten dengan sebaik mungkin, menyayangi mereka sepenuh hati, dan dia juga akan memberikan yang terbaik untuk mereka berdua.

 

“Kun?” sang alpha melihat suaminya membuka mata dan menatapnya dengan sayu. “Kamu belum tidur?”

 

Kun tersenyum sayu membalasnya, “Aku tadi baru cek Lei, takutnya dia lapar.” katanya dengan suara pelan. “Tidurnya sama pulesnya sama kamu ternyata, kalau kenyang dia tidur.”

 

Ten tertawa kecil mendengarnya, matanya melihat ke arah baby crib yang letaknya tak jauh dari ranjang Ten, tempat anak mereka tertidur dengan pulas. “Anak kamu itu kayaknya anteng banget deh, ga akan susah diurus.”

 

“Aku harap anak kita mirip sama kamu sifatnya, ceria, periang, jadi buat rumah kita ramai nantinya.” ibu jarinya mengusap-usap punggung tangan Ten dengan sayang. “Kamu juga nanti jadi ada temen berantem dan ngobrol, sama akan kamu sendiri, ga cuma sama aku aja.”

 

“Aku ga mau jadi temen berantemnya Lei. Aku mau dia jadi temen aku kalau kesepian karena Ayahnya sibuk kerja.” jawab Ten.

 

Qian Lei, nama yang mereka berikan untuk putra pertama mereka, buah cinta yang mereka nanti-nantikan. Nama yang mengartikan keberanian dan kekuatan, nama yang sengaja Kun carikan untuk anak mereka. Dia tertawa menanggapi omongan Ten, dia tahu kalau selama dia bekerja, Ten pasti lah sangat kesepian.

 

Tapi sekarang ada Lei sebagai tambahan di keluarga kecil mereka, pelengkap kebahagiaan mereka. “Kalau aku kerja, nanti dia yang akan jagain papanya, gantiin aku buat sementara.” Kun mengecup setiap buku jari Ten dengan penuh sayang. “Tapi gimana pun, aku akan tetap jaga kalian berdua. Kalian harta aku yang paling berharga.”

 

Kun kecup pungung tangan Ten dengan penuh kelembutan dan rasa syukur. Dua bola mata indah milik Ten menatapnya dengan berkaca-kaca, menahan tangis—bukan karena kesedihan, tapi rasa bahagia yang membuncah. Dengan lembut Kun bawa tangan Ten ke pipinya, sambil digenggamnya dengan lembut seolah tidak mau dilepasnya.

 

“Terima kasih, Ten.” bisik Kun. “Terima kasih karena kamu ada untuk aku. Terimakasih kamu sudah beri kebahagiaan yang banyak buatku.”

 

 


 

Kehidupan sebagai orangtua adalah hal yang baru untuk mereka berdua. Ten dan Kun sama-sama tidak memiliki pengalaman, ini adalah pelajaran pertama untuk mereka, tapi keduanya berusaha sebaik mungkin untuk—setidaknya—tidak melakukan kesalahan.

 

Melelahkan? Tentu. Tapi, keduanya sama sekali tidak mengeluh, mereka menikmati semua rutinitas yang tidak biasa mereka lakukan dan merawat Lei dengan baik.

 

“Kalau diliat-liat, kenapa Lei mirip banget sama kamu, ya?” Ten memperhatikan wajah anaknya yang sedang tertidur damai di dalam pelukannya sehabis menyusu. Bibir bayi itu sedikit terbuka, gemas, Ten menahan diri untuk tidak menciumi anaknya sendiri. “Malah ga mirip sama aku, padahal aku yang lahirin.”

 

Kun terkekeh mendengarnya, “Dia masih bayi, Ten. Belum kelihatan dong mirip siapanya.” Balas Kun. “Lagian kalau emang mirip aku, ya karena aku ayahnya ‘kan. Aku yang nanem benih.”

 

“Kun, ih! Nanti kedengeran sama Lei.” Ten mendesis dengan panik, pipinya merona merah.

 

Hari ini mereka habiskan seperti lima hari sebelumnya. Selepas pulang dari Rumah Sakit, Kun dengan begitu telaten merawat Ten dan anak mereka. Luka jahitan Ten masih belum sembuh, Kun tidak tega kalau Ten harus banyak bergerak, jadi dia yang banyak bergerak mulai dari merapikan rumah, memandikan Lei, atau memasak untuk mereka.

 

Ten juga tidak tega melihat Kun. Sekarang suaminya itu sedang merapikan bajunya sendiri karena besok Kun sudah harus mulai bekerja lagi. Masa cutinya sudah habis. “Kun, kamu tidur aja, besok kamu ‘kan berangkat pagi.” ujar Ten. “Nanti biar aku yang siapin peralatan dan baju kamu.”

 

Kun terlihat tidak lelah sama sekali, sang alpha tidak mengeluh, dia malah terlihat senang dengan semua yang dia lakukan, terutama saat dia mengurus Lei. Kun akan menggendong Lei dengan hati-hati, takut-takut saat menggantikan popoknya, tidak mau membuat Lei menangis. Atau Kun akan menggendong Lei selepas bayi itu menyusu, hanya untuk membuatnya bersendawa.

 

Kalau ada penghargaan suami paling cekatan dan hebat, Ten yakin Kun pasti jadi juaranya.

 

“Aku cuma beresin baju doang, sayang. Gapapa kok, nanti setelah selesai aku tidur.”

 

“Bukan gitu maksudnya, Kun. Tapi, kamu dari kemarin selalu ngelakuin semuanya buat aku sama Lei, sampai kadang lupa istirahat.” Ten mengeluarkan keluh kesahnya, suaranya pelan, tidak mau membangunkan anak mereka. “Aku juga masih bisa bantuin kamu kok. Luka jahitannya udah ga sakit kayak awal. Jadi, biarin aku juga bantu kamu, Kun.”

 

Kun menghentikan kegiatannya, dia berdiri dan menghampiri Ten yang duduk di atas kasur mereka. Kun bisa melihat sang omega yang terlihat begitu khawatir, ada sedikit rasa frustrasi di matanya. “Hei, sayang, kamu juga banyak bantu aku. Kamu selalu bantu aku.” Kun duduk di samping Ten. “Apa yang kamu lakuin buatku itu lebih besar dari apa yang aku lakuin buat kamu, Ten.”

 

“Kamu yang masak buat kita, kamu yang rapihin rumah, kamu yang sering gantiin popoknya Lei.” Ten membalas dengan bibir yang mencebik. Kun dengan gemas menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk. “Aku cuma nyusuin Lei, mandiin kadang-kadang karena lebih sering kamu yang ngelakuin. Ga banyak yang aku lakuin.”

 

Mungkin itu lah yang Ten rasakan, tapi bagi Kun apa yang Ten sudah lakukan dan berikan untuknya lebih dari itu. Kun tersenyum maklum, mungkin dia sedikit kesal karena merasa tidak bisa membantu Kun. “Sayang, kamu juga urus Lei kok. Kamu kalau malam bangun buat gendong Lei dan kasih susu, sementara aku tidur.” Balas Kun dengan hati-hati. “Lagi pula, dibanding aku, pengorbanan kamu lebih banyak, Ten. Aku cuma ngurus rumah, tapi kamu melahirkan dan menyusui anak kita.”

 

Kun bawa tangannya untuk mengusap pipi Ten, membiarkan omega-nya menyandarkan kepalanya pada telapak tangan Kun. “Dibanding aku, banyak yang udah kamu lakuin buat Lei. Kamu yang bawa dia Sembilan bulan diperut kamu, kamu yang perjuangin dia buat lahir. Ten, banyak yang kamu korbankan buat Lei dan juga aku, jadi, jangan pernah kamu ngerasa ga ngelakuin apa-apa buat kita.”

 

“Ini adalah cara aku buat bantu kamu, buat tunjukin betapa bersyukurnya aku dengan kamu dan Lei.” lanjut Kun, dia melihat mata Ten yang berkaca-kaca menatapnya. “Aku sayang banget sama kamu, Ten.”

 

Ten mati-matian menahan dirinya untuk tidak menangis. “Aku juga sayang sama kamu,” balasnya. “Aku mau cium kamu, tapi Lei tidur di tangan aku.”

 

Kun terkekeh, dia cubitnya pipi Ten dengan lembut. “Sini biar aku gendong Lei ke tempat tidurnya.” dengan hati-hati sang alpha menggendong anak mereka, perlahan berjalan ke arah kasur bayi yang tidak jauh dari kasur mereka.

 

Lei sama sekali tidak terusik, masih pulas tertidur walau Kun sudah menaruhnya di kasurnya. Bayi itu terlihat menggemaskan, Ten benar, anak mereka lebih mirip dengan Kun. Sang alpha tersenyum dengan bangga melihatnya.

 

“Aku kayaknya bisa deh mandangin Lei selama 24 jam nonstop,” kata Kun. “Dia lucu banget, walau lagi tidur begini, dia lucu.”

 

Ten menggumam setuju, “Aku kalau capek trus lihat muka Lei rasanya semua capek aku hilang. Seakan disemangatin sama dia.” balas Ten. “Makanya aku selalu senang kalau gendong Lei, lihat mukanya lama-lama buat aku juga senang.”

 

Kun lalu kembali ke kasur mereka, di mana Ten menunggunya dengan sabar. Sang alpha lalu dengan lembut mendorong omega-nya untuk berbaring di kasur, dia memandangi keindahan wajah Ten, walau di bawah remang lampu kamar mereka, Ten masih terlihat begitu mempesona. Dia sekarang ada di atas Ten, mengukungnya di antara kedua tangannya.

 

“Hai,” sapa sang alpha dengan wajah yang menggoda.

 

Ten tertawa kecil melihatnya, “Hai juga.”

 

Mata Kun beralih dari memandang wajah Ten sekarang melihat pada bibir tipis milik suaminya yang merona, senada dengan pipinya. “Kalau aku cium, boleh?” tanyanya. Padahal tanpa Kun tanya pun, Ten pasti mengiyakan.

 

Ten tersenyum lebar, dia mengalungkan tangannya pada leher Kun. “Cium aku.” balasnya dengan berani.

 

Tanpa menunggu lama lagi, Kun bawa bibir Ten dalam ciuman yang dalam, melumatnya dengan lembut. Seperti sudah lama mereka tidak berciuman, keduanya seperti kelaparan, saling menjilat dan menyesap bibir masing-masing.

 

Biar mereka berpuas-puas dulu berciuman, untung Lei tertidur dengan pulas, sama sekali tidak terganggu dengan apa yang orangtuanya lakukan.

 


 

Esoknya, Ten bangun lebih pagi dari Kun.

 

Jam empat dini hari Lei menangis kelaparan, jadi Ten bangun untuk menyusuinya. Selepas anak mereka kembali tidur, Ten tidak bisa tidur lagi, dia ingat kalau Kun sudah mulai bekerja hari ini, jadi dia merapikan semua barang-barang Kun, memasukkannya ke dalam tas, lalu membuat sarapan dan kopi untuk mereka berdua.

 

“Pagi,” sapa Kun dengan suara parau saat Ten sedang membereskan barang-barang Kun. “Kamu bangun dari kapan? Ini masih pagi banget.”

 

Waktu menunjukkan jam 6 pagi, Kun duduk di kasurnya dengan mata yang masih mengantuk dan rambut berantakan. Walau begitu, sang alpha masih tetap yang paling tampan di mata Ten. “Aku bangun belum lama kok, tadi Lei minta susu sekalian aku gantiin aja popoknya.” balas Ten.

 

Kun menguap, dengan langkah berat dia berdiri, “Kalau gitu aku masak dulu. Kamu duduk aja, sekalian jagain Lei takut dia bangun.”

 

Saat Kun berjalan keluar, Ten menahan tangannya. “Ga usah, kamu mandi aja. Tadi aku udah buatin kopi sama roti bakar buat kamu.”

 

“Loh, kamu udah buatin sarapan buat kita?” Kun tarik Ten mendekat, dia rangkul pinggangnya, memeluk sang omega dari belakang. Dagunya bersandar pada pundak Ten, lalu dia ciumnya pipi Ten dari samping. “Makasih, sayang.”

 

Ten menggenggam tangan Kun yang melingkari pinggangnya, “Mandi dulu sana baru cium-cium aku,” kata Ten, dia memasang wajah seolah tidak nyaman. “Kamu bau. Nanti kalau udah wangi baru boleh peluk aku.”

 

Kun hanya tertawa geli, sekali lagi dia cium pipi Ten, kali ini lebih lama dan sampai menimbulkan suara, membuat Ten mengerang kesal saat merasakan pipinya basah. “Kun!”

 

“Iya iya, aku mandi.” dengan tidak rela Kun melepaskan pelukannya lalu berjalan ke arah kamar mandi yang ada di kamar itu.

 

Ten menyiapkan baju Kun, rasanya sedikit berat hati karenaakhirnya Kun harus kembali bekerja. Pikiran egoisnya mau menahan Kun untuk tetap berada di rumah bersama Ten, merawat anak mereka berdua, tapi dia tahu kalau tidak mungkin Kun meninggalkan pekerjaannya lebih lama lagi.

 

Selepas menyiapkan baju Kun, dia melirik pada ranjang bayi, memastikan kalau Lei masih tertidur. Bayi itu masih pulas dalam mimpinya, jadi Ten melangkah ke luar kamar untuk menuju dapur, setelah ini akan sarapan bersama dengan Kun sebelum sang alpha bekerja.

 

Begitu Ten menyiapkan meja makan, terdengar langkah-langkah dari dalam kamar. Kun muncul dengan seragam pilotnya yang rapi, dengan Lei yang bangun di pelukannya. Kun terlihat gagah dengan rambut yang kini tertata, senyum tipis menghiasi wajahnya saat berjalan menghampiri Ten.

 

Ten tertegun sejenak, menatap sosok Kun yang tampak begitu siap untuk kembali bekerja, meskipun hati kecilnya ingin menahannya di rumah. Namun, melihat Kun menggendong Lei dengan lembut sambil mengenakan seragamnya, Ten tak bisa menahan perasaan hangat yang mengalir di dadanya.

 

“Kenapa bengong, hm?” goda Kun sambil duduk di kursi dengan Lei di pangkuannya, menempatkan bayi mereka dengan hati-hati.

 

Ten mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan senyumnya yang perlahan muncul. “Ga apa,” dia gugup, wajahnya sedikit memerah. “Kamu tambah ganteng kalau pakai seragam.”

 

Kun tersenyum, tertawa kecil dengan nada puas. “Oh ya? Kamu suka lihat aku begini, ya?”

 

Ten menggigit bibirnya, tidak sanggup menatap Kun langsung. “Udah, kita makan dulu deh.” Ten berusaha mengalihkan pembicaraan. “Pagi, Lei!” sapa Ten sambil mengelus pipi bayi mereka yang gembil. Lei merespon dengan senyum lebar, membuat Ten semakin gemas. “Lihat tuh, dia senang banget lihat ayahnya pakai seragam,” kata Ten sambil terkekeh.

 

Kun tersenyum lebar, lalu mengangkat Lei sedikit lebih tinggi, menghadapnya langsung. “Wah, Lei suka ya lihat Ayah mau kerja?” candanya sambil membuat wajah lucu di hadapan bayi itu. “Jangan bikin Ayah ga mau pergi, nanti Ayah mau tinggal di rumah aja sama Lei dan Papa.”

 

Ten tertawa kecil, meski dalam hatinya ada sedikit keinginan agar Kun benar-benar bisa lebih lama di rumah. Melihat Kun yang begitu lembut dan hangat pada Lei membuatnya semakin jatuh cinta pada sosok suaminya.

 

“Kalau kamu terus godain Lei begitu, dia nanti ga mau lepas dari kamu,” kata Ten dengan senyum menggoda.

 

Kun menoleh ke arah Ten, mengedipkan satu matanya sambil berkata, “Ya, sama aja kayak Papanya ‘kan?”

 

“Iya. Aku selalu kangen sama kamu kalau kamu kerja,” kata Ten. “Tapi gapapa, sekarang akua da Lei, jadi ga akan terlalu kesepian.”

 

Kun meraih tangan Ten, menggenggamnya erat sambil menatap dalam ke arah istrinya itu. “Aku ga akan pernah lama jauh dari kalian. Nanti aku bakal pulang lagi dan menemani kalian berdua.”

 

Ten tersipu, hatinya menghangat dengan perlakuan dan ucapan manis Kun. Dia tahu seberapa jauh sang alpha pergi, dia tetap akan kembali pada Ten, karena bagi Kun, Ten adalah rumahnya.

 


 

Selama merawat Lei, Ten tidak pernah mengeluh, semua yang anaknya lakukan membuat hati Ten terasa terobati. Tentu saja menjadi orangtua itu salah satu hal yang berat, memiliki tanggung jawab yang begitu besar.

 

"Kamu bener-bener mirip Ayah kamu, ya?" Ten menyentuh pipi bulat anaknya dengan jari telunjuk. Gemas, Lei menjawab Ten dengan bahasa bayi yang lucu.

 

Ten tersenyum lembut, menatap mata bulat Lei yang tampak bercahaya. Ia merasa ada hangat yang menyelimuti hatinya setiap kali Lei membalasnya dengan ocehan yang tak jelas namun penuh semangat. Meskipun menjadi orang tua membawa kelelahan, setiap tawa kecil dan genggaman tangan Lei adalah hadiah yang begitu berharga.

 

Lei tiba-tiba mengulurkan tangan kecilnya, mencoba meraih wajah Ten. Ten tertawa, menangkap tangan Lei dan mengecupnya pelan. "Aduh, Lei sayang, jangan sampai Ayah cemburu nanti," gumamnya sambil tertawa kecil, membayangkan reaksi Kun jika melihat betapa miripnya anak mereka dengannya.

 

Ten merasakan panas di matanya, dia nyaris menangis hanya karena melihat anaknya. Dia tidak pernah menyangka akan merasakan kebahagiaan seperti ini—bahkan lebih indah dari yang pernah ia bayangkan. Lei menggenggam jari Ten, seolah menyadari perasaan sang papa.

 

"Kamu tahu ga, Lei," bisik Ten lembut. "Papa sama Ayah akan selalu ada buat kamu, ga peduli apa pun yang akan terjadi nantinya."

 

Saat Ten bercengkerama dengan Lei, Kun berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan dalam diam dengan senyum lembut di wajahnya. Hatinya hangat melihat pemandangan Ten yang begitu penuh kasih sayang, bercanda dan membelai pipi Lei. Kehangatan dan ketulusan yang terpancar dari keluarga kecilnya membuat Kun terharu, dan tanpa sadar ia meremas botol susu di tangannya.

 

Kun melangkah mendekat dengan perlahan, berusaha agar tidak mengganggu momen manis antara Ten dan Lei. "Dia bangun, ya?" tanyanya lembut sambil menyodorkan botol susu untuk Lei.

 

Ten menoleh dan tersenyum saat melihat Kun. "Iya. Makanya aku ajak ngobrol." Ten mengulurkan tangan untuk menerima botol itu.

 

Kun mengangguk dan duduk di samping Ten, matanya tak lepas dari Lei yang langsung meraih botol susu itu dengan penuh semangat. "Dia kalau bangun rewel banget." bisik Kun sambil menatap wajah Ten yang terlihat lelah tapi ada binar bahagia di sana. "Tapi, itu malah yang buat aku sering kangen sama dia.”

 

Ten tersenyum lembut dan menyandarkan kepalanya di bahu Kun, menikmati momen kebersamaan mereka. Kun mengusap pelan rambut Ten, seolah mengucap terima kasih dalam diam karena telah menjadi orangtua yang luar biasa bagi putra mereka.

 

"Kita beruntung punya Lei, ya." kata Ten dengan suara berbisik, matanya kembali menatap wajah mungil Lei yang sedang sibuk menyusu. Kun mengangguk pelan menanggapinya. Baginya, Lei juga keberuntungan yang teramat besar.

 

Kun menatap Ten yang kini bersandar di dadanya, mengusap lembut pipi sang istri dengan ujung jarinya. Ia tersenyum hangat, kemudian berbisik, “Kamu tahu ga, Ten? Setiap kali aku pulang dan lihat kamu sama Lei rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan.”

 

Ten tertawa pelan, “Kamu yang kayak mimpi, Kun. Aku masih ga percaya kita sampai di titik ini.” dia mendekat, lalu mengecup pipi Kun dengan lembut. “Kamu selalu bilang bakal jaga aku dan kamu buktikan.”

 

Kun menangkup wajah Ten, membelai pipinya dengan penuh sayang. "Aku ga akan pernah berhenti menjaga kamu, Ten." gumamnya, matanya penuh ketulusan. "Kamu dan Lei adalah dunia aku sekarang."

 

Mendengar itu, Ten tak kuasa menahan perasaannya. Ia tersenyum lembut dan berbisik, “Aku cinta sama kamu, Kun.”

 

Kun tersenyum tipis, lalu menunduk dan mengecup bibir Ten, dalam dan lembut. "Aku juga cinta kamu," balasnya.

 

 


 

Lei sudah berumur lima bulan sekarang, waktu berjalan dengan begitu cepat, Ten bahkan tidak rela saat anaknya sudah mulai bisa tengkurap.

 

Kun masih sibuk dengan pekerjaannya—tentu saja. Jadi, setiap Kun berangkat kembali bekerja, Ten merasa sedikit kesepian, meskipun Lei ada di sampingnya. Untuk menghilangkan kebosanan, Jungwoo dan Jaehyun mengajak Ten untuk makan malam di luar. Ten setuju, dengan rencana membawa Lei sekaligus, agar bisa memperkenalkan anaknya kepada mereka berdua.

 

Walau sudah lima bulan, Kun dan Ten masih belum bertemu Jungwoo dan Jaehyun lagi. Terakhir, mereka mengabarkan kalau kelahiran Ten sebentar lagi, lalu dua pasangan itu sibuk dengan pekerjaan mereka dan sempat berlibur merayakan hari jadi mereka yang ke delapan.

 

Sebelum dia berangkat menemui Jungwoo dan Jaehyun, dia sempat mengirimkan pesan pada suaminya sambil mengirim fotonya dan Lei yang sudah dia pakaikan baju yang lucu, dengan topi berwarna biru dan ada gambar beruang di sana.

 

Ten

Hari ini aku makan sama Jungwoo sama Jaehyun, ya!

[ photo attached ]

Lucu banget akhirnya Lei bisa muat pakai baju ini sama topinya

 

Kun

Anak ayah ganteng banget deh hari ini

Have fun ya

Kalau ada apa apa kasih tau aku, Ten

Love you

 

 

Ten tersenyum membaca pesan dari Kun, dia jadi semakin merindukan suaminya itu.

 

Malam itu, mereka bertiga duduk di restoran yang nyaman, dengan pemandangan kota yang terlihat gemerlap di luar. Ten duduk di sebelah Lei, yang sedang bermain dengan mainan kecil yang ia bawa. "Ayo, Lei, kenalin, ini Uncle Jaehyun sama Uncle Jungwoo." kata Ten, sambil memperkenalkan Jungwoo dan Jaehyun dengan senyuman hangat.

 

Jungwoo tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arah Lei. “Anak kamu lucu banget!" ujarnya dengan mata berbinar, membuat Ten tertawa kecil.

 

Jaehyun, yang duduk di sisi lainnya, menatap Lei dengan lembut. "Kayaknya besar banget ya untuk anak usia lima bulan." katanya, sambil menyentuh puncak kepala Lei dengan kasih sayang. "Sehat banget dia.”

 

Ten tersenyum bangga, kemudian menjawab dengan nada bercanda, "Iya nih, dia kalau minum susu ga berhenti-berhenti, makanya bisa sebesar ini.”

 

Jungwoo mengangguk, lalu melanjutkan dengan senyum nakal, "Aku jadi mikir, kalau aku sama Jaehyun punya anak nanti, kayaknya bakal lucu banget, ya. Ga tahu kenapa, aku kebayang bakal punya anak yang mirip banget sama Jaehyun."

 

Ten tertawa mendengar ucapan Jungwoo, sementara Jaehyun hanya mengelus punggung lehernya dengan canggung, meskipun senyum di wajahnya tampak bahagia. “Siapa tau nanti anak kita malah mirip kamu, sayang." jawab Jaehyun sambil memandang Jungwoo dengan penuh kasih sayang.

 

Namun, saat Jungwoo mengalihkan pandangannya ke Lei, dia tersenyum dan berkata, "Tapi, Lei tuh mirip banget sama Kun, ya? Aku ga bisa berhenti mikir, kalau aku lihat dia, aku jadi teringat banget sama Kun."

 

Ten berhenti sejenak, menatap Lei dengan tatapan penuh kasih. Memang, wajah kecil Lei banyak yang mirip dengan Kun—senyum, mata, bahkan ekspresi lucunya. "Iya, bener banget." jawab Ten sedikit cemberut. “Dia mirip banget sama Kun. Padahal ‘kan aku yang ngelahirin dia, aku juga yang bawa-bawa dia selama sembilan bulan.”

 

Jaehyun dan Jungwoo terdiam sejenak, lalu mereka berdua tertawa. “Ya, itu artinya saking Kun cinta mati sama kamu, jadi anak kalian mirip sama Kun.” canda Jaehyun.

 

“Iya, ya? Karena Kun ga mau lepas dari aku, jadi anak kita mirip dia.” Ten balas tertawa sambil memperhatikan wajah anaknya. “Biar aku ga akan pernah lupa sama dia.”

 

Mereka bertiga menghabiskan makan malam dengan canda dan tawa, juga obrolan ringan tentang kehidupan mereka. Ten merasa lega, karena akhirnya bisa mengenalkan Lei pada dua orang terdekatnya. Mereka terus mengobrol, tidak menyadari ada seseorang yang menghampiri mereka.

 

"Ten?"

 

Ten membeku, seolah waktu berhenti sejenak. Suara itu familier, terasa menakutkan, membuatnya kaku di tempat. Nada suaranya ramah, tapi mengingatkan Ten pada semua kenangan buruk yang dia kubur dalam-dalam. Napasnya memburu, jantungnya berdetak kencang. Tanpa bisa mengontrol diri, Ten merasa ketakutan yang luar biasa. Semua kenangan buruk itu, yang telah ia coba sembunyikan dalam-dalam, kembali menghantui pikirannya.

 

Di depannya, pria itu tersenyum tanpa tahu apa yang telah dia lakukan pada Ten. “Apa kabar? Udah lama juga ya kita ga ketemu.”

 

Ten diam, enggan melihat pada orang yang sudah menghancurkan hidupnya. Tangannya bergetar di atas pahanya, menahan seluruh emosinya yang kembali datang. "Oh, ini anakmu?" tanya sang alpha, mengalihkan pandangannya ke Lei yang sedang duduk tenang. Suaranya terdengar begitu ringan, seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka. "Lucu ya."

 

Ten tidak bisa berkata-kata. Hatinya bergejolak, perasaannya bercampur aduk antara takut, marah, dan cemas. Tapi lebih dari itu, dia merasa sangat tertekan. Tangannya gemetar, dan aroma tubuhnya yang tiba-tiba berubah menjadi asam dan pahit membuat suasana semakin berat.

 

Lei yang merasakan perubahan emosi Ten langsung menangis. Tangisannya keras dan penuh ketakutan, seakan merasakan kecemasan yang datang dari Ten. Bau pahit itu semakin menyebar, membuat Jungwoo dan Jaehyun sadar ada yang tidak beres.

 

Jaehyun yang duduk di sebelah Ten langsung terbangun, matanya tajam menatap pria itu, merasa ada sesuatu yang salah. "Ada urusan apa kamu sama Ten?" tanyanya dengan suara yang lebih dingin dari biasanya.

 

Jungwoo juga merasakan ketegangan di udara. Ia mengalihkan pandangannya ke Ten, melihat tubuh Ten yang tampak sangat tertekan. Wajah Ten pucat, dan tubuhnya hampir goyah. “Ten, kamu baik-baik aja?” tanya Jungwoo, mencoba menenangkan Ten. Namun, Ten hanya bisa menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa takut yang menghimpit.

 

Pria itu, Hyunbin, masih tersenyum seolah tak ada yang salah. "Ten, kenapa kamu malah kelihatan ketakutan begitu?" tanyanya dengan nada yang seolah-olah ia tidak pernah melakukan kesalahan. “Kamu ga seneng ketemu sama mantan tunanganmu ini?”

 

Jaehyun yang sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi berdiri dan menatap Hyunbin dengan tajam. "Cukup! Kamu mengganggu makan malam kami. Pergi!" katanya dengan suara rendah yang dipenuhi ancaman.

 

Hyunbin tertawa lebar, seolah tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Ten, kamu terlalu serius. Ga pernah bisa tenang seperti biasa, huh? Aku menyapa buat lihat anakmu, loh."

 

Namun, sebelum Hyunbin bisa berkata lebih jauh, Jaehyun maju ke depan dan menekan bahunya, membuat Hyunbin mundur sedikit. "Brengsek, pergi dari sini sebelum aku hajar mukamu itu!”

 

“Ada hak apa kamu mengancam begitu?” Hyunbin tersenyum penuh ejekkan pada Jaehyun, tidak takut dengan ancamannya. “Aku ga melakukan apa pun. Aku cuma menyapa teman lama, apa itu salah?”

 

Jaehyun menggeram, tangannya mengepal begitu kuat menahan diri untuk tidak menghajar pria brengsek di depannya. Dia menatap pada Ten yang masih bergetar ketakutan, lalu pada Lei yang mulai menangis. “Jungwoo, bawa Ten keluar. Bia raku yang urus orang ini.”

 

Jungwoo mengangguk, dia segera bangkit dari kursinya dan membawa Ten keluar, menggendong Lei yang masih menangis keras. Ten memeluk Lei erat, berusaha menenangkan anaknya, tapi rasanya semakin sulit.

 

"Ten, tenang, aku di sini," bisik Jungwoo, berusaha menenangkan Ten di luar restoran, menjauh dari Hyunbin dan Jaehyun yang terlihat akan berkelahi.

 

Jaehyun, yang masih menatap Hyunbin dengan amarah, menyusul mereka keluar setelah memastikan Hyunbin pergi. Keduanya belum tahu sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi antara Ten dan Hyunbin. Hanya ada perasaan takut yang menghantui Ten, dan mereka berdua ingin melindunginya dengan cara apa pun.

 


 

Selama perjalanan ke rumah Ten, Jungwoo duduk di belakang merangkul Ten, berusaha menenangkan sang omega. Lei digendong oleh Jungwoo, dia tahu kalau Ten masih lemas, tidak kuasa berbuat apa pun.

 

“Ten, kamu tenangin diri dulu, ya? Biar Lei aku yang pegang.” Tawar Jungwoo, dia tidak tega melihat Ten yang begitu tertekan. Sejak tadi sang omega enggan untuk berbicara, matanya kehilangan binar kehidupan.

 

Ten hanya menggeleng, “Lei—biarin dia sama aku.” katanya nyaris berbisik, tidak berani menatap langsung pada Jungwoo dan Jaehyun. “Kalian pulang aja. Aku gapapa.”

 

“Ten!”

 

Setelahnya Ten langsung menuju kamarnya dan mengunci pintu dengan cepat, meninggalkan dua sejoli itu yang bingung bagaimana mendekatinya. Lei yang masih menangis digendong Ten dengan erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri sekaligus anaknya.

 

Jantungnya masih berdebar kencang, setiap kali bayangan Hyunbin muncul di pikirannya. Wajahnya pucat, dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ketakutan itu tidak bisa hilang begitu saja. Dalam ruangan yang sempit itu, Ten berusaha menarik napas panjang, tetapi rasa takut itu tetap membekapnya, menguasai setiap inci tubuhnya.

 

Jungwoo dan Jaehyun berdiri di luar kamar Ten, mereka saling berpandangan dengan cemas. "Ten butuh waktu, tapi kita ga bisa tinggalin dia sendiri.”

 

Jungwoo mengangguk, mengerti dengan keadaan Ten. "Ayo telfon Kun," katanya, melihat bagaimana Ten benar-benar terguncang. "Dia harus tahu soal Ten dan orang tadi."

 

Tanpa membuang waktu, Jaehyun segera meraih ponselnya dan menekan nomor Kun. Dalam hati, ia berdoa semoga Kun bisa segera pulang, karena mereka tahu Ten membutuhkan kehadiran alpha-nya lebih dari apapun.

 

Ponsel berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya suara Kun terdengar di ujung sana. "Jaehyun? Ada apa?" Suaranya terdengar tenang, tapi Jaehyun bisa merasakan kekhawatiran yang terpendam.

 

"Kun, jangan panik dulu. Aku mau kabari sesuatu soal Ten." jawab Jaehyun dengan suara rendah, berusaha menahan perasaan cemas yang semakin menguat. "Tadi, pas kita makan malam di luar, ada orang yang datang pada Ten—dia bilang mantan tunangannya. Aku masih belum paham ada apa di antara mereka, tapi Ten kelihatan tertekan dan ketakutan. Dia langsung kurung diri di kamar.”

 

Sekilas, terdengar napas Kun yang berat di ujung telepon. "Tunangan?" suara Kun sedikit tercekat, seolah-olah ia baru saja mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan. Hyunbin. Tidak salah lagi, bajingan yang sudah melukai Ten. "Aku akan coba pulang secepat mungkin. Ten… gimana keadaannya? Apa dia baik-baik aja?”

 

"Dia ga bicara apa pun sejak keluar dari resto. Aku ga berani deketin dia, cuma Jungwoo yang tadi coba tenangin dia." jawab Jaehyun.

 

"Aku coba pulang cepet, kalian tolong jagain Ten, ya?" jawab Kun, suaranya begitu khawatir dan tergesa.

 

Setelah menelepon Kun, Jaehyun menatap Jungwoo dengan wajah penuh kekhawatiran. "Kun bakal pulang lebih cepet. Kita di sini dulu ya buat temenin Ten?”

 

Jungwoo mengangguk, meskipun ia juga tampak cemas. "Aku ga tega kalau kita pulang ninggalin dia. Ga masalah, kita tunggu Kun buat pulang.”

 

Sementara itu, di kamar, Ten duduk di atas kasur dengan Lei yang kini tampak lebih tenang di pelukannya. Namun, rasa takut itu masih menghantui Ten, dan ia memeluk Lei lebih erat, berharap bayangan Hyunbin akan segera menghilang.

 

…..

 

Padahal Ten sudah mati-matian untuk sembuh, untuk melupakan masa lalunya, untuk lepas dari rasa takut dan ketidak percayaan diri itu, untuk Kun dan untuk Lei.

 

Sekarang dia meringkuk di atas kasur sambil menahan tangisnya, berharap kalau Jaehyun dan Jungwoo tidak mendengarnya. Lei di pelukannya sama sekali tidak menangis, seperti mengerti perasaan Ten yang ketakutan.

 

Kun. Dia butuh Kun. Tapi, dia tidak mau menyusahkan Kun.

 

Ten menundukkan kepala, menatap Lei yang masih tertidur di pelukannya, dengan hati yang penuh kecemasan. Dia merasa lemah, seperti semua perjuangan untuk sembuh, untuk melupakan masa lalunya, tiba-tiba runtuh begitu saja. Padahal, dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk melangkah maju, untuk menjadi orangtua yang kuat untuk Lei dan suami yang layak bagi Kun. Namun, kenangan buruk itu kembali datang menghantui.

 

"Kun," Ten berbisik pelan, matanya memerah menahan air mata. Terkadang, ia merasa seperti dirinya tak cukup kuat, seperti rasa takut dan ketidakpercayaan diri yang dia coba buang jauh-jauh selama ini, selalu kembali mengikutinya. Kini, setelah bertemu dengan Hyunbin, semuanya seakan terpecah, dan ia merasa kembali menjadi orang yang rapuh.

 

Namun, Ten juga tidak ingin menyusahkan Kun. Dia tahu betapa beratnya beban yang dipikul Kun selama ini, sebagai seorang suami dan ayah. Kun yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, yang selalu sabar dan penuh perhatian. Ten tidak ingin menjadi alasan Kun merasa lebih berat lagi. Dia ingin menjaga Kun, melindunginya seperti yang selalu dia janjikan.

 

Lei yang ada di pelukannya, seakan bisa merasakan perasaannya. Anak kecil itu, yang seharusnya dalam tidur yang nyenyak, malah tetap tenang, tak menangis sedikit pun. Seolah mengerti betul, bahwa papanya sedang merasa terancam dan ketakutan.

 

Akhirnya, air mata yang telah lama ditahan, perlahan mengalir. Ten menatap Lei sekali lagi, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Papa ga boleh lemah, Lei. Papa mau jadi orang kuat, buat Lei dan buat Ayah." bisiknya, meski dalam hatinya ada rasa takut yang menggerogoti.

 

Saat Ten terlarut dengan kesedihannya, ponsel yang sedari tadi dia abaikan berdering. Butuh waktu cukup lama untuk Ten mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menelfonnya. Kun.

 

Ten menarik napas dalam, air matanya mengalir lebih deras. Di saat dia membutuhkan alpha-nya, dia tepat waktu menelfon Ten. Akhirnya, Ten memberanikan diri untuk mengangkat telfonnya.

 

Halo? Ten?”

 

Suara Kun di seberang sana membuat Ten menggigit bibirnya erat, berusaha menahan tangisnya agar tidak di dengar oleh Kun. Namun sepertinya usahanya sia-sia. “Halo, Ten? Kamu baik-baik aja, sayang?”

 

“Kun,” lirih Ten. “Kun—aku butuh kamu. Kun, aku rindu.”

 

Ten berbaring meringkuk di atas kasur, dia mendengarkan suara Kun yang berusaha menenangkannya. Dia tidak tahu harus bercerita dari mana pada sang alpha, dia tidak tahu dari mana dia harus menjelaskan semua rasa takut dan kecemasannya pada Kun. Emosi itu semakin membuat Ten sesak, rasanya dia ingin menghilang saja agar rasa sakit dan takut ini hilang.

 

Sayang,” Kun melirih. “Tenangin diri dulu, ya? Pelan-pelan, aku di sini buat dengerin kamu.”

 

Kun selalu ada untuknya, Kun selalu menemaninya di saat dia terpuruk, tidak pernah meninggalkannya. Ten—entah—harus bersyukur atas hadirnya Kun di hidupnya atau malah kasihan pada Kun yang malah mendapatkannya. Kun harusnya mendapatkan orang yang lebih baik, omega yang lebih pantas untuknya, buka orang seperti Ten, yang sudah kotor dan ternodai. Bukan omega yang bahkan selalu kalah dengan rasa takutnya.

 

“Kun, maafin aku.” Lirih Ten.

 

Hei, sayang, kamu kenapa minta maaf? Kamu ga ada salah apa pun sama aku.” Kun membalas dengan hati-hati. “Mau video call?”

 

Ten menggumam, “Ga usah.” dia terlalu malu untuk melihat Kun saat ini. “Gini aja.”

 

Oke. Take your time, sayang. Aku temenin ya sampai kamu tidur.”

 

Sang omega diam, membiarkan Kun terus memanggil namanya dengan lembut, dan menceritakan apa yang dia lalui hari ini. Ten tidak mendengarkannya dengan baik, pikirannya melayang pada kejadian tadi, setiap dia memejamkan mata, bayangan Hyunbin selalu datang dan menghantuinya.

 

Ten menggigit bibir bawahnya dengan kuat. “Kun… tadi aku ketemu sama dia.” akhirnya Ten berani untuk bercerita. “Aku… aku tadi takut, Kun. Aku takut banget, aku ga bisa berbuat apa-apa. Tadi, aku buat Lei nangis. Kun, aku bukan papa yang baik, ya?”

 

Ten, sayangku, kamu papa yang baik.” Kun langsung membalas, tanpa berpikir panjang. “Sayang, maafin aku karena aku ga bisa di sana. Aku ga ada pas kamu butuh aku. Sayang, aku minta maaf.”

 

“Tapi dari tadi Lei nangis, aku ga bisa nenangin dia. Lei juga ikut takut dan itu semua karena aku, Kun.” tangisan Ten tidak bisa disembunyikan lagi, suaranya terdengar begitu menyedihkan. “Kun, aku harus apa?”

 

Kun di seberang sana merasa tidak berdaya, tidak bisa membantu Ten. “Sayang, tarik napas… ya, pelan-pelan. Hembusin.” Ten mengikuti arahan Kun, berusaha menenangkan dirinya. “Besok aku pulang. Malam ini aku udah minta izin buat pulang, penerbangan aku jam 10. Tunggu aku, ya?”

 

Mendengarnya bukan membuat Ten tenang, tapi sekarang Ten makin merasa bersalah. Dia kembali menyusahkan Kun, pikirnya. “Kun, ga usah. Aku bisa—aku baik-baik aja.” paksanya.

 

Aku bakal pulang, Ten. Tunggu aku, hm?” Kun membalasnya dengan lembut. “Buat malam ini maaf aku belum bisa nemenin kamu. Tapi, aku udah minta Jungwoo dan Jaehyun untuk nginap semalam, takut-takut kamu butuh sesuatu.

 

Ah, ya. Jungwoo dan Jaehyun, tadi dia meninggalkan mereka begitu saja. Pikiran Ten terlalu kalut, dia hanya ingin ada di nest-nya, memeluk dirinya sendiri dan Lei dengan aroma yang familiar. “Kun, maaf.”

 

Sayang, kamu ga perlu minta maaf. Kamu sama sekali ga salah.” jawab Kun, suaranya terdengar tegas namun lembut di waktu bersamaan. “Kamu dan Lei adalah prioritas aku.”

 

Rasanya Ten adalah orang yang paling beruntung di dunia. Dia memiliki Kun—alpha yang selalu menjaganya, suami yang menyayanginya, dan ayah yang bertanggung jawab. Ten terkadang merasa dirinya tidak pantas untuk mendapatkan ini, tapi sisi egoisnya tetap menginginkan Kun untuk selalu mencintainya.

 

Ga masalah ‘kan kalau aku mau Kun selalu ada buatku? Aku ga egois ‘kan?

 

Malam itu Ten tertidur dengan Lei di sampingnya dan Kun yang terus membisikkan cinta dari seberang sana.

 


 

Kun merasakan jantungnya berdegup kencang saat ia menerima kabar dari Jaehyun. Setiap kata yang didengar membuatnya semakin cemas. Dia memang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja, Kun sampai rela memohon dan meminta maaf pada teman-temannya karena harus lalai dalam pekerjaannya.

 

Dia tidak bisa fokus, pikiran tentang Ten, yang kini sedang terperangkap dalam ketakutannya, tak bisa ia buang. Dia tahu betapa berat perjuangan yang telah Ten jalani, dan betapa banyak luka yang tersisa dalam dirinya. Ketika mendengar nama Hyunbin, sesuatu dalam dirinya langsung terpicu—rasa khawatir yang begitu dalam, tak bisa dibendung.

 

Sesampainya di rumah, Kun langsung memasuki pintu dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat tegang, matanya mencari-cari Ten. Jaehyun dan Jungwoo ada di ruang tamu, dan begitu Kun datang, mereka langsung menatapnya dengan ekspresi serius.

 

"Kun," Jaehyun berkata pelan, matanya penuh keprihatinan. "Ten ada di kamar. Dia bener-bener ga mau keluar dari sana. Jungwoo coba cek dia sambil bawa makanan, tapi dia selalu nolak.”

 

Kun mengangguk. “Makasih banyak udah nemenin Ten dan Lei, ya. Aku bakal coba liat mereka berdua dulu.”

 

Tanpa menunggu lebih lama, ia segera menuju kamar mereka. Ketika sampai di depan pintu, dia berhenti sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Ten pasti merasa sangat rentan sekarang, dan dia harus bisa menghadapinya dengan tenang, meski hatinya dipenuhi kecemasan.

 

Dengan hati-hati, Kun mengetuk pintu kamar. "Ten? Ini aku Kun." suaranya lembut, berusaha menenangkan. "Aku pulang, sayang. Boleh aku masuk?"

 

Di balik pintu, Ten duduk memeluk Lei, wajahnya masih dipenuhi rasa takut dan cemas. Dia mendengar suara Kun dan merasa sedikit tenang, tapi hatinya masih terombang-ambing antara rasa ingin berlari dan keinginan untuk memeluk Kun.

 

Ten membuka pintu sedikit, hanya cukup untuk melihat wajah Kun yang penuh perhatian. Mata mereka bertemu, dan Kun langsung merasakan kekhawatiran yang begitu besar dari mata Ten. Tanpa berpikir panjang, Kun masuk dan duduk di sebelah Ten.

 

"Ten, aku pulang, sayang." Kun berkata lembut, meraih tangan Ten dan menggenggamnya erat. “Maaf ya kalau aku lama. Tapi sekarang aku di sini, kamu ga usah khawatir.”

 

Ten mengangguk, namun ia tak bisa menahan air mata yang akhirnya jatuh juga. "Kun… maaf—maaf, aku kira aku udah sembuh. Aku kira aku berani… tapi, aku takut, Kun." bisiknya, suaranya terisak. "Aku ga mau jadi beban kamu, aku ga mau jadi bebannya Lei nanti. Kun, aku gapapa ‘kan?”

 

Kun memeluk Ten dengan lembut, mencoba menenangkan ketakutannya. "Kamu gapapa, sayang. Kamu ga akan jadi bebanku, ga pernah. Kamu juga ga pernah akan nyusahin Lei.” ujar Kun dengan suara penuh keyakinan.

 

Lei yang masih terlelap dalam pelukan Ten tiba-tiba bergerak, merengek kecil, membuat Kun dan Ten tersenyum sedikit. Lei tampak seperti tahu bahwa orangtuanya sedang butuh satu sama lain.

 

Kun mengusap kepala Lei dengan penuh kasih sayang. "Ga akan ada hal buruk yang terjadi sama kamu, dan juga sama Lei. Kita akan jaga Lei." kata Kun, matanya penuh dengan cinta.

 

Ten menatap Kun, berusaha menghentikan isakkannya. "Aku ga tau apa yang akan terjadi sama aku kalau ga ada kamu, Kun. Terimakasih, kamu selalu ada buat aku, selalu jadi obatku.”

 

Kun menarik Ten lebih dekat, memeluknya erat. "Kamu ga harus sembuh sendirian, sayang. Kita lewati ini semua sama-sama. Aku ga akan pergi ninggalin kamu.”

 

Kun terus memeluk Ten dengan penuh kelembutan, seolah ingin memberi semua kehangatan yang bisa ia berikan. Waktu seolah melambat saat mereka berdua saling berpelukan, seperti dunia hanya berputar di sekitar mereka dan Lei yang masih tidur dengan tenang.

 

Ten merasakan kenyamanan dalam pelukan Kun, walau hatinya masih penuh dengan rasa takut dan cemas. Rasanya semua kekuatan yang dia miliki seakan menghilang begitu saja. Tapi, dalam pelukan Kun, dia merasa ada sedikit harapan. Seperti ada secercah cahaya yang mulai menerobos kegelapan dalam dirinya.

 

"Aku ga akan pergi kemana-mana, Ten," bisik Kun pelan, suaranya begitu lembut dan menenangkan. "Kita punya waktu untuk sembuh. Kita punya waktu untuk buat semuanya jadi baik-baik aja.”

 

Ten menoleh sedikit, mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Kalau aku ga bisa sembuh dari semua rasa takut ini, gimana?” tanyanya penuh keraguan. “Aku ga mau nyusahin kamu terus, Kun.”

 

Kun menarik Ten lebih dekat, menyentuh pipinya dengan lembut, dan menghapus sisa air mata yang mengalir. "Kamu ga pernah nyusahin aku sedikit pun, Ten. Apa yang aku lakuin buat kamu, itu karena aku sayang sama kamu, dan aku mau kasih yang terbaik buat kamu.”

 

Ten menatap Kun dalam-dalam, mencoba membaca matanya, mencari keyakinan di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah cinta dan kesabaran yang tulus. Mungkin, dia masih merasa cemas, tapi untuk pertama kalinya setelah pertemuan dengan Hyunbin, dia merasa sedikit lebih tenang.

 

"Aku cuma takut kalau semuanya bakal hancur lagi," suara Ten bergetar, dan dia memeluk Kun lebih erat lagi. "Aku ga mau kehilangan kamu, Kun. Aku ga mau hidupku hancur lagi."

 

Kun mengelus rambut Ten dengan lembut, mencoba memberi ketenangan yang ia tahu Ten butuhkan. "Kamu ga akan kehilangan aku, Ten. Ga akan pernah."

 

Setelah beberapa lama dalam pelukan itu, Ten merasakan sedikit rasa lega di dadanya. Meskipun masih banyak ketakutan yang menggelayuti pikirannya, dia tahu dia tidak sendiri. Kun ada di sana, dan itu sudah cukup untuk memberikan sedikit kekuatan.

 

Ten menatap Kun dengan mata yang sedikit lebih tenang, meski masih ada keraguan di dalam dirinya. Namun, untuk saat ini, dia merasa lebih lega dari hari sebelumnya. Setidaknya dia tahu kalau Kun akan selalu ada untuknya dan Lei.

 

“Terima kasih, Kun." Ten berbisik, suara penuh rasa syukur.

 

Kun mencium kening Ten dengan lembut, "Aku selalu di sini, buat kamu dan buat Lei.”

 


 

Ten merasa sedikit lebih tenang saat meringkuk di atas kasur, membenamkan diri di dalam pelukan baju milik Kun. Aroma Kun, yang hangat dan familier, mengingatkannya pada rasa aman yang sudah lama ia rindukan. Ten membuat nest-nya dengan aroma Kun yang mendominasi di sana, setidaknya itu adalah hal yang membuat Ten lebih tenag.

 

Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Tidak ada yang perlu dia takuti, setidaknya untuk saat ini. Tapi hatinya masih penuh dengan kekhawatiran, memikirkan semuanya yang terjadi, apalagi setelah melihat Hyunbin di malam itu. Kenangan menyeramkan itu kembali menghantuinya.

 

“Kun, Lei ga suka ya sama aku? Lei benci sama aku?” tanya Ten dengan penuh keputus asaan. “Dari tadi Lei ga mau deket sama aku, ga mau nenen sama aku.”

 

Kun yang duduk di sampingnya mengelus rambut Ten dengan sayang. “Bukan gitu, sayang. Lei mana mungkin benci sama papanya.” balas Kun. “Lei tau kalau kamu lagi butuh waktu, jadi dia biarin kamu tenangin pikiran dulu.”

 

Ten hanya menatapnya dengan sendu, lalu menatap ranjang bayi di mana Lei berada. Dia tahu kalau emosinya pasti berpengaruh pada Lei, tapi dia tidak bisa berbuat apa pun, dia juga ingin kembali normal, tidak bersedih lagi seperti ini.

 

Kun, yang tahu betapa beratnya situasi ini bagi Ten, berusaha memberi ruang. Dia tahu bahwa Ten perlu waktu untuk merenung, untuk mengatur perasaannya sebelum mereka bisa melangkah maju lagi. Dengan lembut, Kun duduk di tepi kasur, melihat Ten dengan penuh perhatian.

 

“Sayang, kamu istirahat dulu, ya?” kata Kun dengan lembut, tangannya menyentuh lembut punggung Ten. "Biar aku yang urus Lei, kamu ga usah khawatir."

 

Ten hanya mengangguk pelan, meskipun matanya terasa berat. Dia masih merasa cemas, tapi dia tahu Kun tidak akan membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini. "Aku ngantuk. Aku tidur sebentar, ya." jawab Ten, suaranya bergetar sedikit, tapi dia merasa lebih baik hanya dengan mendengar suara Kun yang penuh perhatian.

 

Kun tersenyum lembut, mengusap rambut Ten dengan penuh kasih. "Aku di sini kalau kamu butuh apa-apa. Jangan ragu untuk panggil aku, ya."

 

Setelah itu, Kun perlahan beranjak dari kasur, berjalan ke tempat tidur bayi Lei di sisi kamar. Lei yang sudah terjaga dan sedang menggerak-gerakkan tangan kecilnya menatap Kun dengan tatapan polos. Kun tersenyum, mengangkat Lei dengan hati-hati, lalu duduk di kursi dekat jendela.

 

Sementara itu, Ten berbaring di atas kasur, meresapi aroma Kun yang masih menempel pada bajunya. Perlahan, napasnya mulai teratur, dan dia merasa tubuhnya mulai sedikit lebih rileks. Meskipun pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran, dia tahu dia tidak sendirian. Kun dan Lei ada di sana, dan mereka akan selalu bersama.

 

Ten menarik selimut ke tubuhnya, berusaha menenangkan diri dan memberi ruang untuk dirinya sendiri. Dia ingin bisa lebih kuat, untuk Kun, untuk Lei, dan untuk dirinya sendiri. Namun, untuk saat ini, dia hanya ingin merasa aman di dalam pelukan kenangan yang ditinggalkan oleh Kun.

 

 


 

Kun tahu kalau sekarang Ten sedang berjuang dengan rasa takutnya yang kembali muncul, dia tahu kalau itu adalah sesuatu yang berat untuk Ten. Sang omega sudah berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri, tapi kenangan buruk dan trauma itu kembali datang hanya karena pertemuannya dengan seseorang.

 

Kalau bisa, Kun ingin sekali menghajar Hyunbin, menghabisinya sampai Ten tidak akan pernah bisa melihat pria brengsek itu lagi. Kun menarik napas dalam, dia harus menenangkan emosinya, setidaknya dia harus tetap tenang untuk Lei.

 

Lei, putra mereka, belakangan ini lebih sering menangis dari pada yang Kun ingat. Mungkin karena feromon dan aroma Ten yang sedang stress itu berpengaruh pada Lei. Kun menatap anaknya yang ada di pangkuannya, menangis setelah Kun membawanya menjauh dari Ten.

 

“Lei, sayang, maafin Ayah, ya?” Kun membawa Lei lebih dekat, bersandar pada dadanya. “Papa ga maksud buat Lei bingung, Papa lagi sedih, Lei maafin Papa, ya.” Kun cium pipi tembam anaknya. “Ayah di sini sekarang, Lei jangan sedih lagi.”

 

Sang anak seolah mengerti, tangisannya semakin lama semakin mereda. Kun tersenyum sambil menimang anaknya. “Lei anak pintar, makasih ya udah temenin Papa selama Ayah ga ada.”

 

Tangan Lei berusaha menggapai wajah Kun, anak itu menggumam seolah menjawab semua ucapan Kun. Pipi anak itu memerah sehabis menangis, tapi sekarang dia sudah terlihat lebih baik. Ah, melihatnya Kun tahu kalau Lei akan tumbuh menjadi anak yang hebat.

 

“Ayah sayang sama Lei, Papa juga sayang sama Lei.” Kun cium hidung bangir anaknya, membuat Lei tertawa dengan perlakuan Kun. Tawa kecil itu bisa membuat Kun tersenyum lebar, hatinya menghangat.

 

Mungkin Ten masih butuh waktu untuk menyembuhkan lagi rasa takut dan traumanya, tapi Kun berjanji kalau dia akan selalu ada untuk sang omega, menemaninya sampai akhir hidupnya. Dia harap Ten bisa lepas dari ketakutannya, dia harap Ten bisa melihat betapa Kun menyayanginya—begitu juga dengan Lei.

 

“Lei bantu Ayah ya buat Papa Ten ga sedih lagi. Kita sama-sama jagain Papa, ya?”

 

Lei menjawabnya dengan celotehan kecil, seperti mengikat janjinya pada Kun untuk menjaga papa kesayangannya.

Notes:

i edited this while watching national geographic :")
aku harap chapter ini bener bener nunjukin gimana traumanya ten, while i also want to show how ten is loved by kun and lei.
is he cute?? lei i mean, he will grow up as a loving alpha eaaaak

anyways, sorry ten :(

Series this work belongs to: