Actions

Work Header

Days Before Summer Ends

Chapter 5: ACT V: Finale

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Pagi itu Seungcheol bangun dari tidurnya di Ruang Kesehatan dengan perasaan campur aduk: antara lega dan bersyukur karena badannya terasa bugar dan kecewa karena kemarin ternyata bukan mimpi. Seharusnya Seungcheol menempati kamar tamu sendirian, tapi ia tak enak hati dengan Chaeyeon sehingga ia tidur bersama gadis itu di Ruang Kesehatan (alasan lain: ia “tidak suka” sendirian). Ia belum sempat menyiapkan dirinya untuk kembali menghadapi hari yang aneh di tempat yang asing, juga tidak sempat mencuri-curi waktu untuk kembali tidur ketika Chaeyeon yang sudah bangun entah sejak kapan menyapanya dan memintanya bergegas untuk bangkit sebelum antrean mandi semakin panjang.

Kini Seungcheol duduk di gazebo di belakang Kabin Dua Belas bersama dengan para pekemah lain yang menunggu giliran untuk menggunakan kamar mandi. Perkemahan ini dibangun dari ratusan tahun lalu, sudah sangat tua dan tanpa banyak renovasi, namun benar-benar terawat. Ia tidak percaya kalau lingkungan sebersih ini hanya dirawat oleh tangan-tangan para pekemah, dan Junhui (laki-laki berambut pirang yang datang bersama Tzuyu) akhirnya membuka “rahasia” kalau ada para Fury* yang membereskan kekacauan para pekemah tiap dini hari hingga pagi menjelang. Chaeyeon juga berkata bahwa perkemahan dulunya juga tidak selalu bersih dan rapi, namun semuanya berubah saat si kembar Seungkwan dan Yewon bergabung di mana salah satunya punya charmspeak** yang selalu digunakan untuk mengerjai pekemah yang jorok. Anak-anak Kabin Sepuluh pada dasarnya adalah clean freak dengan Seksi Kebersihan sebagai nama lain kabin mereka, sehingga kedatangan seseorang dengan anugrah charmspeak lantas dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka yang paling tidak betah melihat kekacauan para anak remaja itu.

Kegiatan rutin perkemahan hanya berlangsung di hari Senin sampai Jumat, dan karena hari ini adalah hari Minggu, semua pekemah diberikan free time sepanjang hari. Saat hari mulai beranjak siang, beberapa anggota perkemahan yang belum datang kemarin kini sudah tiba. Seungcheol sempat terkejut karena ia mengenali salah satunya, Hyungseo, yang adalah seorang Youtuber yang gemar meng- cover lagu dan juga menciptakan lagu. Setelahnya ia pun jadi tahu kalau si kembar merupakan influencer lokal yang cukup terkenal di Jeju, membuat Seungcheol jadi bertanya-tanya ada berapa banyak selebriti atau figur publik terkenal yang merupakan anak setengah dewa.

Setelah makan siang, Chan memanggil Seungcheol dan Jihoon karena ia ingin menjelaskan jadwal perkemahan untuk hari-hari ke depan. Joshua yang lengket dengan Seungcheol sejak laki-laki itu menyapanya langsung menawarkan diri untuk mengambil alih tugas Chan, namun serta merta menolak saat Chan juga memintanya untuk menjelaskan pada Jihoon. Penghuni Kabin Dua Belas itu tertawa puas seakan sudah menduga reaksi Joshua, kemudian dengan santai mengajak Jihoon mengikutinya sementara Seungcheol digandeng oleh Joshua.

“Mampir ke kabin gue, yuk? You’ll like it.

Dan setelahnya, Seungcheol tidak pernah absen mengunjungi kabin yang dihuni oleh Joshua dan Arin itu.

Kabin Empat terletak di dekat kabin terbesar nomor dua—Kabin Dua, yang dipersembahkan untuk Dewi Hera. Kabinnya memiliki aksen warna coklat dan hampir mirip dengan Kabin Dua Belas, namun alih-alih dijalari tanaman anggur, tanaman tomatlah yang menjuntai di depannya. Ada semak hydrangea serrata dan mawar di dekat terasnya, juga pohon kesemek yang berada di belakang kabin. Jika diminta menggambarkan kabin ini dengan satu kata saja, sudah jelas kata yang disebut adalah asri.

Interior kabinnya tidak kalah menakjubkan: lantainya beralaskan rumput hijau layaknya karpet tebal (rumput sungguhan, bukan rumput sintetis) dengan pohon ek besar yang berada tepat di tengah-tengah sebagai penyangga atapnya yang juga dilapisi oleh rumput tebal. Seungcheol senang sekali menghirup udara di dalam sini, rasanya seperti berada di tengah kebun di musim semi. Ada tiga ranjang tingkat dua di masing-masing sisinya, namun hanya dua yang bertuan mengingat cuma Arin dan Joshua yang menempati kabin ini. Setelah Seungcheol jadi tamu tetap Kabin Empat, ranjang bawah dekat pintu depan kabin kini menjadi miliknya.

Laki-laki itu selalu menyempatkan untuk mampir ke Kabin Empat setelah selesai mengikuti kegiatan perkemahan. Ia memperlakukan kabin tersebut sebagai tempatnya untuk recharge energi, karena ternyata kegiatan perkemahan benar-benar menguras tenaganya. Ada latihan memanah di pagi hari, lanjut pelajaran bertarung dengan pedang, juga latihan bela diri, hingga pelajaran teori dan Bahasa Yunani Kuno (yang hanya diikuti dirinya dan Jihoon karena mereka anak baru). Di hari-hari tertentu, ada kegiatan yang digantikan dengan tanding voli dengan satir atau lomba renang dengan naiad, tapi intinya tetap sama: sama-sama melelahkan.

Berbeda dengan dirinya, ia bisa melihat kalau Jihoon tidak kesusahan sama sekali mengikuti ritme perkemahan. Setelah berbagai latihan ia memang sama banjir keringat seperti Seungcheol, namun matanya justru terlihat lebih hidup. Jihoon hanya terlihat kaku di hari pertama, lalu setelahnya ia hampir sama hebatnya dengan Changbin ataupun Mingyu, dua petarung andalan perkemahan saat ini. Kalau Seungcheol? Jangan ditanya. Ia sama hebatnya dengan anak balita yang baru belajar berjalan. Satu-satunya kegiatan yang tidak membuatnya kewalahan adalah latihan bela diri, karena ia sudah meraih sabuk coklat taekwondo ketika ia remaja. Hal itu juga jadi satu-satunya persamaan yang dimilikinya dengan anak-anak perkemahan karena ternyata mereka semua sudah menguasai taekwondo hingga mendapat sabuk hitam.

Seungcheol mengetuk pintu Kabin Empat beberapa saat setelah makan siang. Saat Joshua mempersilakannya masuk, sudah ada Arin yang sedang rebahan sembari menggunakan ponselnya di atas lantai (atau tanah, yang mana saja semuanya benar). Hanya anggota kabin yang bisa membukakan pintu walaupun semua kabin tidak memiliki kunci di pintunya, satu lagi detail magis pada kabin-kabin yang ada di sini. Mahasiswa Biologi itu kali ini mengikuti sang konselor, tengkurap di sisi Arin dengan cushion berbentuk jamur yang menyangga dadanya.

“Gimana, Cheol?” Tanya sang gadis.

Sudah tiga hari semenjak Seungcheol resmi mengikuti kegiatan perkemahan dan pertanyaan mereka selalu sama. Kedua saudara seibu itu berharap bahwa Seungcheol akan bergabung dengan kabin mereka, mengingat latar belakangnya yang dekat dengan alam. 

“Kayak biasa aja, Kak Rin... nothing happened.”

Chan pun mulai meyakini kalau Seungcheol hanya manusia fana yang dianugerahi Penglihatan, namun direktur perkemahan itu tak kunjung memperbolehkan ia pulang tanpa menjelaskan alasannya. Bukannya Seungcheol tidak senang berada di sini, tapi kalau boleh jujur rasanya agak menyedihkan jika menghabiskan banyak waktu bersama-sama mereka hanya berakhir dengan dirinya yang ternyata bukan bagian dari perkemahan. 

Ia juga jadi cukup dekat dengan beberapa anggota perkemahan, bahkan hampir lebih akrab daripada ia dan teman satu kamarnya. Setiap hari, Seungcheol ikut Arin dan Joshua mengunjungi ladang stroberi dan kebun jeruk, mengecek pertumbuhannya bersama dengan para satir. Jika ada sesuatu yang belum ia mengerti, Soonyoung selalu siap menjelaskan dengan panjang lebar, begitupun Mingyu yang membantu membetulkan gerakannya atau memberi tips and tricks di setiap aktivitas fisik. Ia sudah mulai kerasan, dan ia cukup sedih membayangkan jika nanti ia tidak bisa lagi berkunjung ke sini.

Sejak pagi pertamanya di perkemahan, Arin dan Joshua hampir tidak pernah meninggalkan sisinya. Mulanya ia berpikir pada dasarnya mereka hanya pribadi yang ramah dan menyenangkan, dilihat dari interaksi mereka dengan para pekemah lain yang selalu hangat (sebagai catatan: sebagian besar kasih sayang antar para pekemah biasanya ditunjukkan dengan agak intimidatif dan barbar), namun akhir-akhir ini Seungcheol merasa ada sesuatu yang mereka mereka simpan. Ia tidak masalah, setiap orang berhak punya rahasia, tapi ia cuma berharap kalau hal tersebut bukan sesuatu yang mengkhawatirkan ataupun mengancam keselamatannya karena ia sangat menikmati pertemanannya dengan anak-anak Demeter itu.

Mereka bertiga punya kesamaan yang menjadikan Seungcheol bisa mudah akrab, padahal ia biasanya sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Selain sama-sama menyukai tumbuhan dan perihal alam secara umum, mereka juga tipe orang yang lebih menyukai ketenangan dan berdiam diri di space mereka. Seungcheol tidak keberatan kalau harus bersosialisasi dan menghabiskan waktu di luar, selama ia masih bisa merasa dekat dengan alam (ia sangat anti ruangan tanpa jendela—hampir klaustrofobik), namun berada dalam lingkaran kecil dengan orang-orang yang sudah familiar dengannya jauh lebih menenangkan. Maka dari itu, setelah merasakan kecocokan antara dirinya dan kedua anak Demeter itu, ia jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka. Ia yang awalnya harus duduk di samping Jihoon (karena hanya Jihoon yang ia kenal), kini tidak merasa panik jika ia terpisah dengannya selama ada Joshua atau Arin di dekatnya. Selain itu, ketertinggalannya di tiap kegiatan perkemahan membuatnya merasa berjarak dengan Jihoon.

Jihoon yang mulanya paling skeptis di antara mereka berdua (Seungcheol juga sebenarnya, namun Jihoon lebih vokal menyuarakan ketidak percayaannya) kini sepertinya sangat menikmati hari-harinya di perkemahan. Ia selalu datang ke kegiatan bersama Seokmin atau Chan (karena Seungcheol menempati kamar tamu di Rumah Besar, ia selalu pergi sendiri, atau dengan Joshua atau Soonyoung jika mereka menjemputnya), juga terlihat akrab dengan Wonwoo di luar jadwal rutin perkemahan. Dia tidak pernah lupa dengan Seungcheol, selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol di sela kegiatan, namun anak Biologi itulah yang tanpa sadar menarik diri karena ia merasa... entahlah. Meskipun sebenarnya ia pun tidak bisa benar-benar menjauh karena ada saja sesuatu yang membuat mereka pasti berinteraksi setiap harinya. Ia bahkan sadar kalau Jihoon sadar ia sedang menjaga jarak dengannya, namun Seungcheol membiarkannya tanpa ingin memperbaiki apa yang terjadi di antara mereka. Gak pernah ada apapun juga dari awal, kenapa harus ambil pusing?

Seungcheol tidak sadar kalau (lagi-lagi) ia tertidur di Kabin Empat. Ia terbangun sendirian, dengan pintu belakang kabin yang sedikit terbuka. Setelah mengusap-usap wajahnya—berharap muka bantalnya hilang—ia berjalan keluar kabin lewat pintu tersebut. Ternyata di sana sudah ada Arin, Joshua, Gahyeon, dan Yewon. Mereka duduk di bean bags yang tersebar di teras. Ada permainan monopoli yang berserakan di antara mereka, yang kini terabaikan karena masing-masing sibuk dengan ponselnya. 

Kabin Empat secara ajaib mempunyai posisi strategis; bagian depannya disinari matahari ketika terbit dan bagian belakang kabin mendapat giliran terkena sinar matahari yang akan terbenam. Berkas sinar keemasan itu menembus lewat dua pohon kesemek yang tumbuh rendah di sisi-sisi teras. Buahnya baru memulai transformasinya dari bunga menjadi buah, masih cukup lama hingga bisa dipanen di musim gugur nanti. Halaman belakang yang langsung berbatasan dengan hutan perkemahan itu juga tidak kalah asri dengan bagian depan kabin. Selain hydrangea serrata yang tumbuh dekat dengan pagar teras, ada rumah kaca kecil di mana berbagai sayuran dan tanaman mint tumbuh subur. Bunga popi dan semak bunga liar juga tumbuh dengan rapi, berjejer membentuk semacam pagar yang membatasi kabin dengan hutan. 

“Sore, Seungcheol. Are you sure you just woke up from a nap? You look so good now, ” kata Arin menyapa dan memujinya sekaligus.

Sinar matahari sore itu menyinari wajah Seungcheol yang berdiri di ambang pintu, menyoroti fiturnya yang menarik perhatian. Rambut kecoklatannya berkilau terang, sudah agak panjang hingga menyembunyikan sepasang alisnya yang tebal. Struktur wajahnya cukup tegas, namun melembut di bagian pipinya yang kini merona merah karena pujian. Dan, meskipun mata besarnya sedang menyipit kesilauan, iris mata berwarna hazel itu kini terlihat lebih hijau-coklat diterpa sinar mentari, mengintip di bawah bulu matanya yang panjang. 

Yang disapa hanya bisa membalas Sore, Kak dengan pelan seraya menguncup malu. Gadis itu pun terkekeh kecil, bangkit berdiri kemudian menepuk-nepuk bean bag yang baru saja ia tinggalkan. Seungcheol tidak bisa menolak karena Arin langsung menarik tangannya untuk duduk sementara ia berselonjor kaki di lantai di sampingnya.

But your hair color faded each day, ya, Cheol. Your eyes too, but instead of getting lighter it turns into... grayish?” kata Joshua yang duduk di seberangnya sembari memperhatikan wajahnya yang sudah tidak terkena sinar matahari langsung.

“Lo bisa liat?” Seungcheol terkejut karena selain dirinya, inilah pertama kalinya ada orang yang menyadari keanehan itu. Bahkan ayahnya sendiri ketika ia tanyakan langsung tidak bisa melihat perbedaannya.

Everyone can, I think. Right?

Semua yang di sana mengangguk, termasuk Gahyeon yang terlihat acuh tak acuh. 

But I think your, I don’t know, your ‘aura’ is stronger now? You look more beautiful with this appearance, to be honest.”

Wow, it’s kinda big coming from a child of Aphrodite, ‘cause they always see themselves as the most beautiful person in the room.”

“Ya emang cakepan gue,” kata Yewon tanpa menoleh.

Arin mengerling pada Seungcheol seolah berkata See?

“Tapi orang lain nggak ada yang ngeh ...” kata Seungcheol mengembalikan topik pembicaraan. Ia jarang sekali mempertanyakan tentang dirinya, merasa semua terjadi karena suatu alasan, namun hal ini cukup mengganggunya karena ia tak punya alasan logis untuk menjelaskan fenomena ini sehingga ia ingin mengetahui jawabannya.

“Berarti ini ada hubungan sama perkemahan,” simpul Arin.

Ia pun bercerita tanpa diminta. “Warna rambut gue selalu berubah tiap 6 bulan— brownish in the spring-summer and black in the fall-winter. Gue juga baru sadar pas gue udah gedean dikit... when I hit puberty?

“Ada yang kayak gitu juga gak?”

Semuanya kompak menggeleng, namun di saat bersamaan juga menunjukkan respons yang berbeda: Arin dan Joshua saling bertukar tatap, Gahyeon mengangkat bahu tak acuh, dan Yewon menghindari tatapan yang lain dengan sangat mencurigakan.

Wonnie?” Panggil seseorang dari kejauhan. Suara langkah kaki mendekat kemudian terdengar, dan Seungkwan kini berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang memberengut. Kalau pada orang lain akan terlihat kurang menyenangkan, pada Seungkwan justru terlihat menggemaskan. Sulit rasanya menemukan situasi di mana anak Aphrodite terlihat tidak menawan. Penampilan mereka selalu sempurna tanpa harus berbuat apa-apa.

“Apa, Kwan?”

“Jadwalnya Question Box IG, Yewon. Kan udah gue ingetin tadi pagi.”

Saudara kembar itu adalah duo influencer yang aktif di Instagram—konten mereka berkutat pada keseharian mereka. Keduanya sudah mulai terkenal sebelum mereka bergabung di perkemahan (sebenarnya, terkenalnya merekalah yang membuat satir pencari mengendus keberadaan mereka). Setelah menjadi anggota perkemahan, popularitas mereka dimanfaatkan oleh Chan untuk membantu pemasaran produk perkemahan yang mana terbukti meningkatkan penjualan. Semenjak itu, menjadi ambassador “Grove of Delights”*** menjadi job tetap mereka berdua selain pekerjaan utama mereka (Seungkwan sebagai penyiar radio dan Yewon sebagai model dan dancer).

“Oh, iya ya. Oke deh,” katanya tanpa beranjak sedikitpun.

“Wonnie...” panggilnya lagi, memberi kode agar saudarinya menghampiri dirinya.

“Di sini aja sih, Kwan. Pewe nih gue.”

Seungkwan tidak bergerak sama sekali, hanya menatap tak senang pada satu-satunya spot tersisa di teras itu: di antara Yewon dan Seungcheol. Tidak mendengar saudara kembarnya mendekat, gadis itu mengangkat pandangan dari ponselnya. Dia pun tertawa kecil setelah menyadari keengganan Seungkwan.

“Kwannie... duduk aja udah. He’s off the list, dia nggak naksir—”

“Iya oke namanya jangan disebut!”

Semuanya tertawa, seakan tahu rahasia yang sedang ditutupi Seungkwan itu. Seungcheol refleks bergeser untuk memberi lebih banyak ruang, tidak ingin laki-laki itu makin merasa tidak nyaman.

“Santai aja, Seungcheol. Sori ya, semua cowok di camp bagi dia saingan semua soalnya.”

“Yewon—”

Saudari kembarnya itu tidak menanggapi lagi, cuma merebut ponsel di tangan Seungkwan dan melakukan sesuatu dengannya. Seungkwan memberi senyuman datar pada Seungcheol, mencoba beramah-tamah (tidak terlihat tulus, tapi ia tidak masalah), dan Seungcheol membalasnya dengan senyum kikuk.

“Ah, udah jam segini. Duluan ya, guys

Arin dan Joshua serempak berdiri. Mereka berdua diberi keistimewaan untuk mendapat giliran pertama untuk mandi tanpa perlu mengantre. Memiliki bakat memasak alami (one of the perks of being Demeter’s children) menjadikan mereka penanggung jawab untuk setiap makan siang dan makan malam di perkemahan; menjadi koki utama menemani para peri untuk memasak di dapur utama yang membuat waktu mereka akan tersita di sana.

“Ikut, Cheol?”

Serupa tapi tak sama, Seungcheol juga memiliki minat dengan urusan dapur. Sementara Arin dan Joshua mahir dalam semua jenis hidangan, Seungcheol hanya senang baking—memanggang kue dan pastry—dan membuat jenis hidangan penutup lainnya. Memasak makanan dengan medium air atau minyak cukup membingungkan baginya karena terkadang harus mengira-ngira takaran yang pas, berbeda dengan membuat kue-kue atau makanan yang dipanggang yang mayoritas punya takaran pasti layaknya percobaan sains. Maka dari itu Seungcheol menggeleng, namun ikut berdiri karena ia ingin melakukan hal lain.

“Chan kira-kira sekarang di mana, ya?” Tanya Seungcheol.

“Kalo nggak pacaran di kabin dia, paling di Rumah Besar.”

“Oke. Makasih ya, Seungkwan.”

Laki-laki itu balas mengangguk singkat tanpa suara.

“Yang ramah, Kwannie.”

“Gak usah sok nasehatin deh, Dek,” sahutnya dengan penekanan pada ujung kalimatnya.

Seungcheol pun beranjak meninggalkan Kabin Demeter. Ia ingin menanyakan pada direktur perkemahan itu perihal kepastian kapan ia bisa meninggalkan perkemahan. Lima hari di perkemahan rasanya campur aduk, melelahkan tapi menyenangkan. Ia sudah pasti sedih harus pulang meninggalkan segala keajaiban yang ia temui di perkemahan ini, namun ia tidak bisa tidak pulang besok hari. 

Ia melangkah pelan-pelan, tidak pernah puas menikmati pemandangan perkemahan yang menakjubkan. Sebagian wilayah Pulau Jeju memang pada dasarnya masih sangat alami, namun area perkemahan ini benar-benar indah. Menurut penjalasan dari Soonyoung, area perkemahan punya “iklim” tersendiri sehingga selalu cerah sepanjang tahun, tidak pernah terlalu kering maupun terlalu basah. Awan-awan hujan selalu bergerak menjauhi perkemahan, begitu pula dengan butiran salju di musim dingin sehingga pada hari-hari terdingin di Korea pun di tempat ini hanya terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya. 

Saat berjalan melintasi deretan kabin, ia bisa melihat beberapa pekemah yang beraktivitas di halaman bersama. Walau sudah berkegiatan dari pagi hingga siang, anak-anak blasteran masih punya banyak energi yang harus disalurkan agar bisa tidur nyenyak di malam hari (akibat dari kehidupan mereka yang damai tanpa misi sehingga tak banyak outlet untuk menyalurkannya). Anak-anak yang suka kegiatan fisik akan berolahraga atau latihan senjata, anak-anak yang suka seni biasanya mendekam di ruang seni untuk melukis atau menari, dan lain sebagainya. Bersama-sama ataupun sendirian, semuanya boleh dilakukan selama bisa menyalurkan kekuatan setengah-dewa mereka. Jihoon yang sedang main lempar tangkap bisbol bersama Seokmin tiba-tiba menghampirinya.

“Hai, Cheol. Mau join?”

Satu lagi perubahan yang ia lihat dari seorang Lee Jihoon. Mungkin bukan perubahan (karena sebelumnya ia tidak kenal dekat dengan laki-laki itu), namun selama di sini ia menyadari bahwa dibalik penampilannya yang terlihat dingin dan berjarak, Jihoon sebenarnya seorang yang friendly. Ia sudah punya teman akrab di hari kedua sejak mereka tiba di sini, sudah pernah berbicara dengan seisi perkemahan, bahkan sudah berbagi inside jokes dengan pekemah lain. Sesuatu yang kesemuanya tidak Seungcheol miliki, kecuali jika Joshua bisa disebut sebagai teman akrabnya.

Alih-alih menjawab, ia balik bertanya. “Tau Chan di mana, gak?”

“Rumah Besar sih, kayaknya. Gue juga nggak tau. Mau ditemenin?”

“E–eh, nggak usah.”

Selama pengerjaan film pendek, Jihoon sebisa mungkin selalu menemaninya ketika jeda syuting atau duduk di sampingnya saat awal praproduksi. Bagi Seungcheol, ia melihatnya sebagai kompensasi karena dialah yang menyeret Seungcheol ke proyek tersebut; ingin membuatnya merasa nyaman dan tidak kesulitan demi performanya yang maksimal saat syuting. Ia melihat itu sebagai sesuatu yang wajar, walau terkadang keberadaan Jihoon justru membuatnya tidak tenang—jantungnya sering berdetak jadi lebih cepat. Kalau sekarang, ia rasa Jihoon tidak perlu repot-repot seperti itu mengingat ia tidak berhutang budi apa-apa padanya.

“Oh, oke. See you, Cheol,” kata Jihoon akhirnya setelah beberapa saat terjeda; menunggu ia berubah pikiran.

See you.”

 

Seungcheol menyantap makan malamnya dengan pikiran mengawang—lega diperbolehkan pulang besok pagi, namun sedih karena tidak mendapat jawaban tentang mengapa ia juga terseret ke sini. Ia memutuskan untuk melihat pada sisi positifnya saja.

Setelah malam pertama kedatangan mereka ke perkemahan, semuanya jadi punya kebiasaan baru untuk duduk-duduk di paviliun setelah makan. Dari sana bisa terlihat siapa yang merupakan pasangan, yang menyukai seseorang diam-diam, yang menampakkan perasaannya terang-terangan, sampai yang sedang rindu karena sedang berhubungan jarak jauh. Seungcheol tidak berada di kategori manapun, tapi ia kaget ketika Hyungseo tiba-tiba bertanya,

“Kalian pacaran, ya?” Katanya penasaran sambil menunjuk ia dan Jihoon, yang kebetulan kala itu sedang duduk bersebelahan. Seungcheol menggeleng cepat dan Jihoon lah yang menjawab nggak dengan singkat, namun ia juga bisa merasakan satu tangan laki-laki itu yang diam-diam pindah mengisi di spot di antara mereka: bertumpu di sana dan menghapus jarak di antara mereka. Dari sudut matanya ia bisa melihat Yewon dan Seungkwan yang bersikut-sikutan heboh, tapi Seungkwan kemudian mendadak kikuk saat badannya tak sengaja menyenggol Seokmin yang duduk di sebelahnya.

“Ah, sori sori. Kirain pacaran, soalnya—”

“Lo ngomong begitu bikin tambah awkward , Seo- ya.

“Eh, aduh soriii beneran maaf ya gue nggak maksud.”

Seungcheol tersenyum tipis, “iya, Kak, gak papa.”

Ia tidak lagi memikirkan tentang kejadian di paviliun tadi sampai saat langkah impulsifnya membawa dirinya ke depan Kabin Tiga Belas. Perkemahan sudah mulai sepi, jam malam akan diterapkan satu jam lagi, tapi kakinya malah mengantarkannya ke depan pintu kabin Jihoon. Ia bisa saja putar balik menuju Kabin Sebelas (Seungcheol ditawari Soonyoung menginap di sana malam ini), tapi badannya seolah mengambil alih kontrolnya dan lanjut mengetuk pintu depan kabin.

Tok, tok.

Masuk.

Seungcheol mulanya lupa kalau hanya penghuni kabin yang bisa membukakan pintu, begitupun dengan Jihoon, karena saat pintu telah ia dorong terbuka keduanya bertatapan dengan sama terkejutnya. Tak ada yang berbicara untuk beberapa saat; Seungcheol masih berdiri di ambang pintu dan Jihoon duduk tak bergerak di atas tempat tidurnya. Seungcheol-lah yang memecah keheningan karena ia harus menjelaskan maksud kunjungannya.

Uhm, gue besok pulang.” 

“Sendiri? Naik apa? Tiketnya udah? Kalo belum biar gue bantu urus.”

“Jihoon, satu-satu.”

“Ah, sori. Masuk dulu, Cheol.”

Inilah pertama kalinya Seungcheol menginjakkan kaki di tempat tinggal Jihoon selama di perkemahan. Selama ini ia hanya memperhatikan dari luar, yang sebenarnya juga tidak bisa memberi petunjuk apa-apa tentang interiornya selain absennya jendela pada kabin tersebut. Ia tidak suka dengan fakta tersebut, namun karena ini malam hari, ia jadi tidak begitu mempermasalahkannya.

Setelah pintu bergagang batu merah delima itu tertutup, barulah ia menyadari keindahan kabin ini. Rasanya memang seperti berada di dalam gua, hampir-hampir mengundang rasa klaustrofobik dengan dinding obsidian dan lantai marmer berwarna serupa, namun berbagai batu permata yang tersebar di sepenjuru langit-langit memantulkan cahaya indah ke sekeliling kabin hingga membuatnya terpana. Kabin ini hanya punya dua ranjang (tipikal kabin penghormatan untuk The Big Three dan Hera) dengan sprei beludru berwarna merah dan hitam. Ada altar kecil di sudut ruangan dengan berbagai batu mulia dan tulang-belulang di atasnya. Selain itu, tidak banyak perabotan di dalamnya, mengingat kabin ini baru digunakan sejak empat hari lalu.

Come on in. Make yourself at home,” kata Jihoon. Saat sang tamu masih terlihat ragu, ia menepuk-nepuk tempat di sisinya, mengundangnya untuk duduk di sana. Seungcheol menurut.

Your cabin is wonderful.

I know, right? Selera gue banget lagi, I guess gue emang anaknya Hades.”

Keduanya kembali terdiam setelah topik itu diangkat.

“Lo—”

It’s still hard to believe, Cheol, tapi cuma ini yang gue punya buat ngejelasin keanehan yang selama ini gue alamin. I’m still adjusting to this new side of my life.” 

“Oke...”

“Tapi seru ya di sini.”

“Iya...” katanya pelan, “but I think I’m not belong here. Not like you.”

 

Lee Chan memang seorang direktur perkemahan (sementara)—bertanggung jawab atas lancarnya kegiatan dan amannya situasi perkemahan, namun sejatinya ia hanyalah seorang manusia yang baru menjadi orang dewasa. Terlebih, dia adalah anak dari Dionysus, dewa yang paling mengerti caranya bersenang-senang. Maka dari itu, jarang sekali malam-malam di perkemahan dilewatkan begitu saja tanpa senda gurau hingga batas terakhir jam malam. Sesuatu yang dia pastikan harus jalan di bawah ‘kepemimpinannya’, karena ia sudah merasakan betapa membosankannya malam hari di tempat ini ketika perkemahan dipimpin oleh seorang dewa minor yang sedang mendapatkan hukuman.

Satu jam menuju jam malam, Chan, Soonyoung, Seungkwan, Yerim, Chaeyeon, dan Changbin masih bersantai sambil bermain kartu uno di teras Rumah Besar ketika suhu mendadak turun disertai hembus angin yang membawa aroma padang bunga di musim semi. Fenomena itu hanya terjadi selama satu detik, namun semuanya mendadak awas dan tegang, karena hal seperti ini hanya memiliki satu arti: ada dewa yang berkunjung.

Tak lama, seorang perempuan mewujud tepat di samping pohon di mana Chan menemukan Jihoon dan Seungcheol empat hari lalu. Semuanya terpaku. Bukan karena disihir, tetapi tersihir oleh kehadiran seorang dewi di jam yang tidak biasa ini. Perkemahan Jeju memang jarang dikunjungi para dewa, namun ketika seorang dewa memutuskan untuk berkunjung pun tidak ada yang datang di malam hari karena sudah jadi pengetahuan umum jika para monster dan makhluk immortal jahat lainnya lebih kuat di waktu seperti ini. Namun sepertinya itu tidak menjadi masalah, karena tamu mereka malam ini juga sama kuatnya di gelapnya malam.

“Selamat malam, Dewi Persephone,” sambut Chan formal.

Tamu mereka ialah Persephone, Dewi Musim Semi, Kesuburan, dan Ratu Alam Bawah Tanah.

Persephone berjalan menghampiri mereka, bergerak dengan keanggunan yang hanya dimiliki seorang dewi. Karena sekarang masih musim panas, penampilan Persephone mencerminkan gelar utamanya: rambut panjangnya berwarna coklat gelap dan bergelombang, iris matanya sewarna karamel, bibirnya merah merona alami, dan semua itu terlihat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Panjang gaunnya yang berhenti di bawah lutut berwarna hijau lembut dengan motif bebungaan yang nampak hidup (kelopak bunganya benar-benar melambai seperti ditiup angin). Meskipun penampilannya sangat menggambarkan gadis musim semi, saat diperhatikan lebih dekat, warna yang ada padanya terlihat kelabu, seakan warna-warna cerah itu memudar—seperti penggambaran musim panas yang sebentar lagi berganti menjadi musim gugur.

Chan dan yang lain sudah ingin beranjak keluar dari teras, namun jari lentik sang dewi mengisyaratkan mereka untuk tidak perlu repot-repot.

“Aku hanya sebentar, tidak apa.”

“Aku ingin menemui seseorang, tidak, dua orang, namun sebelumnya aku ingin menyampaikan sesuatu.”

“Choi Seungcheol adalah anakku.”

Sang dewi mengabaikan berbagai reaksi dari audiensnya.

“Aku telah melakukan sesuatu yang membuat takdir Choi Seungcheol dan Lee Jihoon terikat, namun malam ini, di malam ulang tahun anakku, aku akan mencabutnya. Jangan memandangku seperti itu, Kim Yerim, Boo Seungkwan. Kalian sudah tahu kalau perbuatanku ini ada campur tangan ibumu.”

Kedua saudara seibu itu menunduk salah tingkah.

“Lee Chan, aku ingin kau memastikan bahwa Choi Seungcheol diperlakukan sama baiknya dengan anak-anak lain di sini. Dia hanyalah manusia fana, tetapi dia adalah tamu dari Kabin Tiga Belas yang bebas mengunjungi perkemahan ini kapanpun ia mau. Mengerti?”

“Ya, Dewi.”

“Aku ingin menemui anakku dan, uh, anak suamiku untuk menjelaskan semuanya. Hanya itu yang kalian perlu tahu. Jangan menanyakan sesuatu yang bisa membuat Choi Seungcheol merasa tidak nyaman. Biarkan ia yang menceritakannya sendiri jika ia ingin.”

“Baik, Dewi.”

 

Pintu Kabin Tiga Belas terbuka tanpa suara, membuatnya tidak disadari oleh kedua anak manusia yang sedang terfokus pada sesuatu di layar ponsel. Seungcheol dan Jihoon yang membelakangi pintu depan sedang menonton penggalan film pendek mereka yang sudah masuk pascaproduksi ketika keduanya merasakan bulu kuduknya yang meremang bersamaan dengan suhu yang mendadak turun. 

Jihoon menjadi orang pertama yang bereaksi—ia membalikkan badannya dan segera melindungi Seungcheol di balik punggungnya saat mengetahui ada orang asing bersama mereka. Meski aksinya terlihat heroik, dalam hati Jihoon tahu bahwa ia tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita ini. Tanpa tahu bagaimana, ia bisa merasakan kalau sosok di depannya bukanlah manusia; ada sebuah perasaan familier di sana.

Seungcheol yang mendengar pergerakan Jihoon pun ikut berbalik, tapi ia tak bisa bergerak banyak karena terhalang Jihoon—ia masih duduk bersila dengan ponsel di tangan dan badan yang separuh berbalik. Napasnya seperti diambil paksa darinya saat ia menatap orang yang baru saja menginterupsi mereka. Cantik banget, batinnya, namun yang lebih mengejutkan baginya adalah tentang bagaimana sepasang mata itu sangat ia kenali—seperti sedang melihat pantulan dirinya sendiri di cermin.

“Kuharap aku tidak mengganggu, Lee Jihoon.” 

Yang diajak bicara sudah ingin angkat suara, namun wanita jelita itu menahannya.

“Aku akan berbicara padamu nanti. Sekarang,”

Dia menatap ke arah Seungcheol dengan penuh kasih.

“Choi Seungcheol, bolehkah aku berbicara denganmu sebentar? Aku adalah Persephone,

seseorang yang menyelamatkan nyawamu.”

Seungcheol tidak mengerti mengapa ia menangis begitu saja ketika Persephone duduk di sampingnya, menggantikan Jihoon yang meninggalkan kabin untuk sementara. Mungkin karena perkataan sang dewi sebelumnya—mengingatkannya bahwa lahirnya ia ke dunia sama dengan ia yang kehilangan sosok ibunya. Persephone diam, membiarkannya selesai dengan tangisnya sementara ia mengelus punggungnya menenangkan. Seiring elusannya, tangisan Seungcheol pun mereda hingga yang tersisa hanyalah isak-isak kecil.

“Apakah kau ingin minum dulu, Sayang?”

Ia menggeleng, masih belum bisa menemukan suaranya.

Hah, dari mana aku harus memulainya, ya...” kata sang dewi retoris.

Seungcheol menatap penuh pada sang dewi ketika dirasa napasnya sudah kembali stabil. Persephone terlihat berkali lipat lebih mengagumkan dari jarak dekat, hampir membuatnya minder sendiri, namun ia paksakan untuk meneliti setiap inci wajahnya. Nggak mirip Mama, putusnya, ketika dalam benak ia bandingkan Persephone dengan foto ibunya yang sudah ia hafal di luar kepala.

“Aku bukan ibu kandungmu, Seungcheol.”

Lelaki itu refleks beringsut mundur, terkejut sang dewi bisa menebak isi kepalanya. Oke, ini agak creepy.

“Dan aku tidak bisa membaca pikiranmu, Manisku. Semua itu tergambar jelas di wajahmu dan aku hanya mengutarakan apa yang kulihat.”

Um... maaf, Dewi Per–Persephone, saya—”

“Kau bisa memanggilku ‘Ibu’, jika kau mau. Aku memang bukan ibu kandungmu, tapi kau bisa melihatku sebagai ibu angkatmu.” Dia menambahkan pelan, “kuharap kau mau melihatku sebagai ibu angkatmu.”

Kembali, sang manusia fana kehilangan kemampuannya untuk bersuara di hadapan seorang dewi yang kekal abadi itu. Setiap sel otaknya saling berebut mengusulkan bagaimana ia sebaiknya bertindak, namun tak satupun yang bisa ia lakukan karena semuanya jadi ruwet di dalam kepala. Barangkali itu semua tergambar di bening matanya, karena sang dewi musim semi yang masih menatapnya lekat itu memberi senyum tipis; memaklumi.

“Bagaimana jika kau mendengarkanku terlebih dahulu? Meskipun aku juga masih memikirkan bagaimana cara menyampaikannya agar dapat dengan mudah kau terima.” Sang dewi mengambil jeda; dia membuka sebelah tangannya yang berada dekat dengan tangan Seungcheol, mengundangnya untuk mendarat pada genggamnya. Ragu-ragu ia gerakkan jemarinya, dan sang dewi dengan sabar menunggu hingga kedua telapak itu bersentuhan. Persephone kemudian mengelus punggung tangannya lembut seraya berkata, 

“Aku ingin memulainya dengan menyampaikan permintaan maafku padamu. Dengan rendah hati kuakui, meski para dewa merupakan pengatur alam semesta, terkadang kami hanyalah makhluk abadi yang kebosanan dan sering melakukan kebodohan.”

Seungcheol makin tidak tahu harus berkata apa.

“Ah, masih membingungkan, ya?

“Choi Seungcheol, kuasa dariku lah yang membuatmu dapat terlahir dengan selamat dan bertahan hidup sampai sekarang. Aku tidak menyesalinya sedikitpun, sama sekali, meskipun ini semua berawal dari keegoisanku. 

“Kau adalah... kompensasi yang kuminta dari suamiku karena dia lagi-lagi bersenang-senang terlalu jauh dengan seorang manusia fana. Orang itu adalah ayah dari Lee Jihoon, dan kelahiran anak itulah yang membuatku berang. Murka seorang istri pada suaminya yang bermain belakang adalah hal wajar, bukan? Namun aku tak sekejam Hera—aku merelakan Lee Jihoon untuk terlahir ke dunia jika aku juga bisa memiliki seorang anak manusia. Aku sedang tidak tertarik bermain dengan manusia, jadi aku hanya ingin seorang anak yang bisa kutitipkan sebagian esensi diriku padanya; dan Hades menyetujuinya.”

Mendengar nama dari ayah Jihoon tak ayal membuatnya merinding, apalagi ia sedang berada di tempat tinggal anaknya . Persephone pelan-pelan mengambil tangan Seungcheol yang lain untuk ia genggam sama hangatnya.

“Ibumu... Aku senang memperhatikannya. Orang baik, ibumu itu. Saat dia mengandungmu, sudah jadi pemahaman bagi ayah dan ibumu kalau salah satu di antara kalian berdua kecil kemungkinan untuk selamat. Ya, Sayang, apa yang diceritakan ayahmu semuanya adalah kebenaran: ibumu memang memiliki suatu kondisi hingga kehamilannya dapat mengancam nyawanya pula. Keegoisan ibumu adalah untuk mempertahankanmu, dan keegoisanku lah yang membantunya hingga kau dapat terlahir dengan selamat. Sayangnya, garis takdir sudah ditetapkan—hanya satu yang bisa dipertahankan, dan ibumu memilih dirimu.

“Aku telah membersamai ibumu sejak pertama kali dia memanjatkan doa untukmu—sejak kehadiranmu baru satu minggu di dalam tubuhnya, namun aku baru bertemu ayahmu di hari pemakaman ibumu. 

“Di sana, di hadapan abu ibumu, kuceritakan segalanya dan ku berikan berkatku padamu yang kala itu dalam gendongan ayahmu. Akulah yang memberinya bibit bunga daffodil itu. Ku minta ayahmu untuk merawatnya sebaik dia merawatmu, karena keberlangsungan hidupmu bergantung pada pertumbuhan bunga itu.”

Sang dewi beralih mengusap bawah mata sang anak manusia yang kembali dilinangi air mata. Meski perasaan manusia terlalu kompleks untuk dipahami seorang dewi, dia bawa pemuda itu ke dalam pelukannya, berharap gesturnya bisa membantunya menerima semuanya dengan lapang. Seungcheol membalas peluknya erat, sudah tidak peduli jika tangisnya akan mengotori gaun seorang dewi Yunani. Dengan bingung dalam kepala, ia luapkan segalanya: sedihnya, marahnya, hingga kecewanya akan dunia. Ia tak tahu bagaimana harus menanggapi semuanya setelah ini, tapi saat ini ia biarkan dirinya mengikuti apa yang sang dewi tawarkan padanya: menjadikannya sandaran, memberinya ilusi sesaat tentang bagaimana rasanya berada dalam pelukan ibunda.

Sembari berjalan meninggalkan Kabin Tiga Belas untuk memberi privasi bagi Persephone dan Jihoon, penjelasan sang dewi terus-menerus terulang dalam benaknya. Tentang kehendak Persephone menjadikan Seungcheol pelabuhan terakhir Jihoon, tentang Aphrodite yang membantunya karena dia berutang budi pada Persephone, juga tentang dirinya sendirilah yang mencabut semuanya—membebaskan takdir Seungcheol dari segala ikatan yang telah membelenggunya sebagai hadiah ulang tahunnya.

Seungcheol berpikir keras, berusaha mengingat-ingat kehidupannya sejak bertemu Lee Jihoon. Berdasarkan penjelasan Persephone, dialah yang meminta agar Seungcheol tidak merasakan efeknya dengan berlebihan; Pikat Aphrodite sepertinya lebih kuat pengaruhnya pada Jihoon. Ia rasa ia setuju karena ia tidak merasakan keanehan apapun, tapi mungkin ini bisa menjelaskan tentang tatapan Jihoon yang selalu intens padanya.

Pintu Kabin Empat terbuka setelah beberapa kali Seungcheol mengetuknya lemah. Kedua penghuninya menyambut di depan pintu, terlihat sudah siap beristirahat karena malam pun sudah sangat larut.

“Sori ganggu malem-malem.”

“Cheol, kenapa?” Tanya Arin yang khawatir setelah melihat jejak air mata pada pipinya.

I’m okay... but, can I hug you? If it’s okay with you...

Of course. Sini, Cheol.”

Seungcheol kini paham mengapa mereka berdua begitu baik dan mengerti dirinya: karena mereka anak Demeter, ibu dari Persephone. Meskipun ia yakin Joshua dan Arin tidak mengetahui mengenai kaitannya dan Persephone, sepertinya mereka bisa merasakannya karena berkat Persephone yang ia punya. Keduanya mendekap Seungcheol dengan hangat, tidak banyak tanya meski ia sudah mengusik waktu istirahat mereka. 

Pelan-pelan, ia terangkan maksud kedatangannya. Ia jelaskan singkat kunjungan Persephone dan alasan dibaliknya, juga tentang jati dirinya yang baru saja ia ketahui malam ini. Keduanya setia mendengarkan tanpa menyela, menggenggam tangannya dan mengelus pundaknya, menguatkannya ‘tuk mencurahkan segalanya. 

“Seungcheol.”

Jihoon berdiri di sana, di depan Kabin Empat, dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya mengulurkan tangannya menunggu untuk Seungcheol sambut. Malam makin larut dan ia sudah menyita waktu Joshua dan Arin, maka dari itu ia mengucap perpisahan singkat sebelum menghampiri Jihoon dan menyatukan tangan mereka.

“Cheol, sori ya.”

Mereka kembali ke kabin Jihoon, duduk bersisian di atas tempat tidurnya persis seperti sebelumnya.

“Hah, kenapa?”

“Gue pasti creepy banget ya di mata lo?”

“Nggak kok, Hoon.”

Tak ada yang bersuara; bersama mereka meresapi keheningan yang tercipta. Sulit untuk membaca ekspresi Jihoon (bukan hal baru), dan di saat seperti ini lah ia sangat ingin tahu apa yang ada di dalam kepalanya itu. Ia ingin tahu apa yang sang dewi katakan pada lelaki itu, namun ia tak bisa membawa dirinya untuk bertanya duluan. Sang dewi yang pergi tak berjejak pun tak membantu rasa penasarannya.

Your birthday’s tomorrow, ya?”

“Iya...” Oh, jadi Persephone bilang soal jodoh-nggak jodoh ke Jihoon juga, ya.

“Mau dikadoin apa?”

“Eh? Nggak usah kali, Hoon, santai aja.”

Lee Jihoon, yang jarang sekali berekspresi, kini tersenyum padanya. “Wanna make a bet?”

Perubahan topik yang tiba-tiba ini membuatnya kebingungan, tapi Seungcheol memutuskan untuk meladeninya saja.

“Apa?”

I bet I will still find you attractive even after the Aphrodite glamor is gone.

“Jihoon...”

Ia kini mengerti tentang medan magnet magis yang ada di sekeliling mereka berdua, sebuah ilusi yang dibangun Aphrodite untuk menjadikan mereka saling mendamba. Selama ini, ia mengira ia sungguhan tertarik dengan sang putra Hades, menaruh hatinya pada seseorang yang belum lama ia kenal seperti di film-film. Setelah mendengar penjelasan Persephone, ia pun sadar bahwa semua yang ia rasakan hanyalah perasaan yang semu. Begitupun dengan perkataan Jihoon barusan, ia yakin itu.

And, just in case we forget everything that happened between us before you turn 20, can I ask you something? Let’s say it’s my birthday present for you, even though it’s more like a present for me,” katanya terdengar gugup.

And it is...? Jihoon jangan belibet gue—”

Can I be your first kiss?

Uh, sorry if I make you uncomfortable. Random banget ya sori banget gue nggak mak—”

Sure.” 

Jika memang ilusi ini akan berakhir sebentar lagi, maka akan ia manfaatkan sebaik-baiknya hingga detik terakhir. Ia akan menikmatinya, menyambut kuncup bunga yang siap mekar sebelum gugur dan layu dalam sekejap.

“Cheol?”

Please teach me,” katanya pelan, kalah dengan jantungnya yang berdetak begitu kencang.

Jihoon mendekat, matanya menatap lekat, membuatnya makin salah tingkah karena Jihoon melihatnya seakan ia bukan sekadar seorang manusia biasa: bukti Pikat Aphrodite masih belum hilang pengaruhnya. Terbukti dengan lembutnya sepasang obsidian itu menatapnya, memperhatikan setiap sudut wajahnya terpesona hingga jatuh pada belah bibirnya. Terbukti pula pada desir dalam hatinya, berarak beriringan dengan kawanan kupu-kupu yang berterbangan mengaduk-aduk perasaannya.

Close your eyes.

Ia pun menurut, dan meski tidak diminta, Seungcheol juga menahan napasnya.

Ia merasakan sebuah telapak tangan yang dingin menangkup pipinya sebelum sesuatu yang lembut menyentuh permukaan bibirnya. Detik pertama, bibir mereka hanya bertemu singkat: terlampau sopan untuk dihitung sebagai sebuah ciuman. Begitu pun sudah membuatnya lemas, kalah dengan kelopak bunga yang bermekaran di rongga dada—bersemarak merayakan ciuman pertamanya. 

Jihoon kembali menciumnya, sedikit dengan penekanan, namun tetap lembut meninggalkan bunyi kecup pelan di udara. Ibu jarinya mengusap halus sudut bibirnya, perlahan menariknya terbuka sebelum dia membawanya di antara bibirnya. 

Ia tahu kalau dirinya sangat kikuk (Seungcheol tidak berbohong kalau ia belum pernah berciuman), tapi tak sedikitpun ia dibiarkan khawatir karena Jihoon menuntunnya dengan penuh perhatian. Dia melumatnya pelan, menyesap bibirnya yang semanis sari bunga tanpa ketergesaan. Perlahan Seungcheol mengikuti arahannya, menggerakkan bibirnya, merekah untuk menerima belah bibir Jihoon di antara miliknya. Ia tidak tahu apakah Jihoon yang semahir itu ataukah berciuman memang tidak serumit itu, karena tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bergerak selaras, saling mengejar ranumnya di sela hembusan napas yang terburu. 

Napasnya tercekat saat sesuatu menyelip masuk di antara belah bibirnya. Hanya sekejap, karena laki-laki itu memutuskan untuk mengakhiri pelajarannya dengan menyapukan lidahnya pada bibir bawah Seungcheol, urung untuk membawanya lebih jauh agar sang putra musim semi tidak kewalahan.

Melihat Seungcheol yang masih berada di bawah kabut, dengan bibir penuh yang merona dan mengilap karena ulahnya, Jihoon membubuhkan ciuman terakhirnya untuk malam ini.

Seungcheol-ah, saengil chukha hae.”

 

“Seungcheol, lo ultah?” Tanya Joshua heboh sedetik setelah matanya mendeteksi kehadirannya. 

Seungcheol sudah rapi dan siap untuk pulang ke Seoul. Persephone mengatakan kalau dia mengunjungi ayah Seungcheol sebelum datang ke perkemahan tadi malam untuk menjelaskan semuanya, sehingga ia tidak perlu cemas harus menjelaskan semuanya ataupun terlambat pulang karena sang dewi sudah mengatur agar ia mendapat penerbangan paling pagi—menukar tiketnya yang sudah perkemahan beli tempo hari.

“Eh, iya, Josh.”

“Ih kok nggak bilang? Breakfast kan makanannya biasa banget, nggak sempet bikinin kue juga,” kata Arin menimpali.

“Gak papa, guys, kan gue juga mau pulang ini.”

“Ah, iya ya... udah lengkap semua, Cheol? Nggak ada yang ketinggalan?”

Seungcheol tidak membawa apa-apa ketika ia terdampar di sini sehingga ia tak punya barang bawaan selain sepaket alat berkebun dan bibit-bibit tanaman dari Kabin Demeter serta sekantong koin drachma dari Chan. Ia akan diantar oleh Dahyun dan Soonyoung ke bandara menggunakan mobil perkemahan, dan harus berangkat sebentar lagi karena jarak perkemahan ke bandara yang cukup jauh. Ia pun sudah berpamitan dengan anggota perkemahan saat sarapan di paviliun; tak ada lagi yang perlu dilakukannya sebelum pulang. 

Seungcheol menatap pada rimbun bunga daffodil merah muda yang pagi ini sudah bermekaran di depan Kabin Tiga Belas. Sangat tidak mungkin tanaman itu langsung berbunga jika ditanam secara manual, akan tetapi Persephone langsung yang menanamnya tadi malam di sana sehingga bunga itu sudah tumbuh cantik menghiasi pekarangan kabin. Persephone mengatakan bahwa daffodil itu menjadi simbol bahwa kini Seungcheol juga bagian dari perkemahan, tamu istimewa Kabin Tiga Belas, meskipun ia bukan seorang demigod, juga sudah tidak punya keterikatan takdir dengan Jihoon. 

Jihoon berdiri di depan kabinnya, diam di sana tanpa ada niatan untuk mendekat. Seungcheol sudah berpamitan dengannya tadi malam, lewat percakapan singkat nan canggung ketika Jihoon mengantarkannya diam-diam ke Rumah Besar (untuk menjaganya kalau-kalau para Fury sedang patroli). 

Seungcheol pun balas menatap Jihoon yang sedari tadi memperhatikannya (hanya sebentar), kemudian berbalik untuk lanjut berjalan menuju gerbang depan. Berjalan sendirian, ia tak kuasa lagi menyembunyikan senyum yang ia tahan—senyum untuk seseorang: yang berdiri diam di sana, yang juga membawanya menuju sisi lain dunia tempat ia menemukan jati dirinya.

I find you attractive too, Lee Jihoon.

 

The end.

 

 

* Makhluk wanita setengah manusia setengah burung; roh angin kencang, the Hounds of Zeus. Beberapa dari mereka bekerja di Perkemahan Blasteran sebagai tukang kebersihan. (inspired by the original work of Rick Riordan)

** Jenis hipnotis atau persuasi yang membuat penggunanya dapat meyakinkan orang lain untuk melakukan atau mendapatkan apapun yang ia mau.

*** Perkemahan Blasteran Jeju menyamar sebagai perkebunan stroberi dan jeruk “Grove of Delights” untuk menutupi keberadaan mereka dari manusia fana. Hasil panen perkebunan menjadi sumber utama pendanaan perkemahan, yang mana dijual ke beberapa kafe dan bakery di Jeju. (inspired by the original work of Rick Riordan)

 


 

[UPDATED] Members of Jeju Camp Half-Blood (August, 2024)

 

Notes:

thank u soooo much for being a part of this journey🥹🫶🏻 dbse is officialy ends here; i cant thank u enough for taking ur time to read my writing🥺🧡
and please, any comment & feedback are appreciated🧡

[aku juga cross-posted di twitter, boleh bantu like & retweet
di sini yaa🥺]

Notes:

Thank u for reading!!!🥹🫶🏻

Pls send ur thoughts (or anything, really, lets be friends!) here: retrospring

(and here are some trivias, playlist, etc for those who read this fic only on ao3)