Work Text:
Studio Piko hari ini sangat bising sampai orang-orang di bengkel Marwan juga bisa mendengarnya. Ini semua karena permainan kartu truth or dare yang Ucup bawa. Keenam orang yang ada di sana terlihat kacau. Ada yang wajahnya cemong dicoret-coret pakai lipstick dan bedak, ada yang rambutnya dikuncir lima, ada yang kupingnya dihiasi jepitan jemuran. Dan diantara kekacauan itu, hanya Fella lah yang terlihat masih normal karena sedari tadi ia hanya mendapatkan kartu truth.
“Truth lagi.” kata Fella sambil menunjukkan kartu yang ia dapat.
Lima temannya mengerang kecewa.
“Cepet bacain, Fel.” suruh Sarah.
Fella terdiam sejenak saat membaca tulisan di kartunya sebelum akhirnya ia suarakan. “Pernahkah kamu punya perasaan suka pada temanmu sendiri?”
Yang lain di ruangan itu saling bertukar pandang. Mengira-ngira siapa akan Fella sebut namanya. Dan Tuktuk lah yang paling berisik menyebut nama Ucup. Dia yakin sekali kalau ada sesuatu diantara Fella dan Ucup.
“Gak ada.” Jawab Fella. “Lo semua cuma gue anggep temen. Gak lebih.” Perempuan itu menaruh kembali kartunya ke meja tanpa melihat lima teman di hadapannya. Atau lebih tepatnya menghidari tatapan mereka.
“Ah, gak asik lo Fel!!”
“Jujur aja kali Fellaaa..”
Bertepatan dengan itu, ponsel Fella berdering. Ada pesan dari aplikasi food delivery yang sedang mereka tunggu. “Eh, makanannya udah sampe. Gue ambil dulu ya.” ucapnya seraya bergegas pergi. Tak mempedulikan Piko yang menyorakinya kabur dari pembicaraan.
Saat Fella melewati Gofar, ia menepuk pelan punggung lelaki itu. Gofar yang tadinya hanya diam sambil menopang dagu pun menoleh ke belakang. Ia tersenyum melihat sosok Fella yang sudah keluar dari studio Piko.
“Mau kemana lu?” tanya Tuktuk saat Gofar tiba-tiba beranjak dari duduknya.
“Ngambil charger hape gue di bengkel!” teriaknya sambil berlari menyusul Fella. Sedangkan Tuktuk bingung karena jelas-jelas hape Gofar sedang dicharge di sebelahnya.
Gofar berhasil menyusul Fella ketika perempuan itu sedang menerima kantung-kantung berisikan makanan dari driver. Dengan sigap Gofar mengambil alih sebagian kantung tersebut dari tangan Fella. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka pun kembali menuju studio Piko.
“Ooh.. gue ini cuma temen lu doang, nih?” sindir Gofar.
Fella menghela nafasnya. “Sorry, kan lo tau sendiri mereka masih belom tau hubungan kita kayak gimana.”
Terbilang sudah hampir satu bulan lamanya Gofar dan Fella menjalin hubungan. Dan tak ada satu pun teman mereka yang tahu. Mereka sebenarnya tidak berniat untuk menyembunyikannya, hanya saja mereka bingung harus bagaimana mengatakannya pada teman-teman yang lain.
Fella bilang biar saja sampai mereka sadar sendiri. Tapi karena sikap Fella dan Gofar tidak berubah—masih sering bertengkar—sejak pacaran, jadi teman-temannya pun tak ada yang menyadarinya sampai saat ini.
“Eh, Fel,” Gofar menahan Fella yang hendak membuka pintu studio Piko.
“Kenapa?”
“Besok malem lu free gak? Gue mau ngajak lu jalan.”
Fella tersenyum miring lalu mengangguk pelan. “Oke, besok kabarin aja.” katanya lalu mendahului Gofar masuk ke dalam studio. Gofar dari belakang mengekori Fella sambil susah payah menahan senyumnya.
Seperti kata Gofar kemarin, ia datang menjemput Fella ke kampusnya dengan motor yang entah punya siapa. Tentu saja Fella bingung karena ini pertama kalinya ia melihat Gofar bawa motor.
“Tumben bawa motor?” Fella sedikit menundukkan kepalanya begitu Gofar membantunya memakai helm.
“Iya, gampangan bawa motor. Kalo naik mobil susah cari lahan parkirnya.”
“Emang kita mau kemana sih?”
Klik! Gofar selesai mengaitkan helm Fella. Bukannya di jawab, Gofar justru tersenyum konyol sambil menepuk jok belakangnya. “Udaaahh.. buruan naik, liat nanti aja.”
Sambil menggerutu, Fella pun naik ke atas motor Gofar. Tak lupa Gofar menarik kedua tangan Fella menuntunnya untuk berpegangan ke pinggang Gofar. “Pegangan yang kenceng!” katanya sebelum berangkat menelusuri jalan Jakarta.
Walau kesal pertanyaannya tak dijawab Gofar, tapi bukan berarti Fella tak senang di ajak Gofar jalan apa lagi naik motor. Fella sudah lama sekali tidak naik motor. Sepertinya terakhir kali ia naik sepeda motor itu tiga tahun yang lalu. Itu pun terpaksa harus naik ojek online karena Fella sedang buru-buru dan jalanan terlalu macet untuk mobil.
Setelah perjalanan hampir dua puluh menit, Fella akhirnya menyadari mereka semakin mendekati pasar malam yang sangat ramai. “Kita ke pasar malam, Far?” tanya Fella setelah Gofar memarkirkan motornya.
“Iya, kenapa? Gak mau? Bukan level lu??”
“Iih.. enggak lah bego, gue mau kok!”
“Yaudah,” Gofar melepaskan helm Fella lalu menyangkutkan helm tersebut ke spion kirinya. “Ayo, puas-puasin main.”
Gofar menarik tangan Fella masuk ke dalam pasar malam. Berbaur dengan keramaian di sana. Fella tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya setiap melihat berbagai hal baru yang ia temui malam itu.
Mulai dari wahana permainan, berbagai macam pedagang, jajanan yang sepertinya menarik untuk dicicipi, musik yang berbeda-beda di tiap sudut pasar, dan masih banyak hal lainnya.
Gofar diam-diam ikut tersenyum melihat antusias yang tersembunyi di balik diamnya Fella. Ia pun mengajak Fella menepi ke salah satu pedagang sosis bakar. Makanan wajibnya dan Tuktuk kalau datang ke pasar malam. Lalu minumnya beli es teh harga lima ribu di sebelah tukang sosis bakar.
“Abis ini kita mau ngapain?” tanya Fella sambil mengunyah sosis bakarnya. Padahal baru makan satu gigit, tapi Fella sepertinya sudah tidak sabar ingin main.
“Hmm.. maunya apa? Gue turutin deh.”
Fella mengedarkan pandangannya. Sebenarnya terlalu banyak hal yang ingin ia coba sampai tak tahu harus memilih yang mana dulu. Namun pada akhirnya perhatian Fella jatuh pada salah satu permainan anak kecil.
“Itu apaan? lucu banget deh!” Fella menunjuk kerumunan anak kecil yang sedang memancing ikan-ikan mainan di kolam kecil.
“Itu mah pancingan buat bocah, masa lu mau main itu?”
“Mau kok.” jawab Fella cepat.
Gofar mengerutkan keningnya heran. Ingin meminta Fella memilih permainan yang sesuai umurnya, tapi dia sudah terlanjur bilang akan menuruti permintaan Fella tadi.
Akhirnya mereka jadi pemain yang paling besar diantara belasan anak kecil di pinggir kolam itu. Awalnya Gofar agak malu dilihat oleh ibu-ibu yang mengantar anaknya bermain, namun lambat laun ia melupakan rasa malunya setelah ikut Fella memancing ikan-ikan plastik di depannya.
“Yang itu, Far!! Iih tolol banget deh, gitu aja gak bisaaa!!”
“Susah tau! Kok lu bisa dapet banyak sih? Kayaknya magnet di pancingan lu lebih bagus deh?”
“Mana ada, anjir.. emang lu nya aja yang payah!” ejek Fella sambil memamerkan ember kecilnya yang sudah hampir penuh terisi mainan ikan.
Sepertinya mereka lupa sedang bermain dengan anak kecil. Tak sadar kalau sedari tadi mereka terus mendapatkan lirikan tajam dari ibu-ibu setiap mereka bicara kasar kencang-kencang.
Permainan selanjutnya adalah kapal viking. Kata Fella ia jadi ingat wahana kora-kora di Dufan dan Gofar menimpali bahwa ini adalah kora-kora versi murah. Setelah di coba, Fella pikir ternyata tak kalah seru dari yang ada di Dufan.
“Kalo itu, apaan?” tanya Fella dengan wajah syoknya, menunjuk wahana ombak. Pasalnya ia baru kali ini melihat wahana tersebut. “Itu duduknya gitu aja? Gak ada pengaman? Cuma pegangan ke besi di belakangnya aja??”
“Iya, mau coba gak?”
Fella menggeleng cepat. “Gila ya, lo! Bahaya tau itu, kalo jatoh gimana?”
“Ya kalo jatoh mah ke bawah.” Gofar tertawa dengan guyonannya sendiri. “Udah, cobain dulu.. kapan lagi lu bisa main di pasar malem kayak gini, iya gak?”
Fella menatap Gofar horor. Ia sudah ngeri duluan melihat orang-orang yang duduk melingkar di wahana itu lalu diombang-ambing oleh para pria yang bertugas untuk menjalankan wahana tersebut.
“Oke deh.” ucap Fella pada akhirnya. Ia hanya bisa pasrah ketika di seret Gofar membeli tiket dan duduk bersebelahan di wahana tersebut.
Ketika ombaknya dimulai, Fella mempererat pegangannya ke besi yang ada di belakangnya. Ia memejamkan matanya saat ayunannya terasa semakin kencang. Teriakan orang-orang pun semakin keras. Dan saat itu juga ia bisa merasakan Gofar merangkul pundaknya.
Fella membuka matanya lalu menoleh ke Gofar. Lelaki berkepala pelontos itu memamerkan cengirannya. “Kalo takut, teriak yang kenceng biar lega. Kayak gini, WOHOOOOO!!”
Kadang Fella bingung setiap mendapati dirinya yang terus menuruti segala ucapan dan kelakuan aneh Gofar. Contohnya minggu lalu Gofar menanyakan Fella dimana bisa beli batu peliharaan seperti yang sedang viral di internet. Fella mengomeli Gofar karena termakan tren bodoh, tapi ia tetap menunjukkan toko yang menjual batu peliharaan ke Gofar.
Atau beberapa hari lalu saat mereka hendak kumpul dengan teman-teman yang lain, Gofar memintanya datang mengenakan baju warna biru biar kesannya seperti couple look. Lagi-lagi Fella awalnya menolak karena menurutnya cringe, tapi pada akhirnya Fella tetap datang mengenakan kemeja biru tua, senada dengan warna kaos Gofar.
“AAAAAAKH!!” Fella berteriak sekencang mungkin. Dan hal itu membuat Gofar tertawa karenanya.
Fella dapat bernapas lega begitu mereka turun dari wahana tersebut. Sisa tawa Gofar masih terdengar bahkan setelah mereka duduk di bangku dekat loket tiket. Di sampingnya, Fella ikut tertawa pelan. Seperti yang sebelum-sebelumnya, Fella tak menyesal mengikuti tingkah aneh Gofar.
“Istirahat dulu, ya?”
“Iyaa.. lu tunggu sini ya, gue mau beli minum dulu. Haus abis teriak-teriakan tadi.”
“Oke.”
Gofar tersenyum kecil. Ia mengacak-acak rambut Fella sebelum pergi. Perempuan itu masih terlalu lelah untuk sekedar mengomeli Gofar. Ia hanya mendengus kesal sambil menatap punggung Gofar yang semakin jauh dari tempatnya berada.
Sepeninggalan Gofar, Fella kembali melihat ke sekitarnya. Memperhatikan satu persatu orang-orang yang melewatinya. Sebagian besar orang-orang datang ke pasar malam ini bersama keluarga atau teman-temannya. Mereka terlihat bahagia. Tertawa dan bergandengan tangan mengitari pasar malam ini.
Senyum Fella perlahan memudar mengingat dirinya tak pernah pergi ke taman bermain bersama Mamanya. Sejak ia kecil, kedua orang tuanya hanya mempedulikan pekerjaan. Dan hanya Mas Gito lah teman Fella kemana pun ia pergi. Pengalamannya pertamanya ke taman bermain, ke tempat wisata, bahkan ke luar negeri semuanya bersama Mas Gito.
“Fel!” Fella mengangkat kepalanya. Mendapati Gofar yang sudah berdiri di hadapannya sambil menyodorkan permen kapas yang cukup besar untuknya. “Nih, cobain deh. Atau lu mau popcorn manis??”
Tapi kali ini Fella punya teman-temannya dan Gofar yang akan menemaninya pergi ke tempat-tempat baru atau mencoba hal-hal baru. Dengan mereka lah Fella bisa berbagi tawa dan saling bergandengan tangan.
“Ini aja.” Fella menerima permen kapas itu lalu memakannya. “Manis.”
“Iya, kayak yang makan.”
“Hah??”
“Ah, budeg lu.” Gofar langsung balik badan lalu meminum sebotol air mineral yang ia beli tadi. Salting sendiri dengan kata-katanya.
Fella tertawa pelan. Ia pun bangkit dan berdiri di samping Gofar. “Mau gak?” Perempuan itu menyubit sebagian permen kapasnya lalu menyodorkannya ke Gofar. Tentu saja Gofar membuka mulutnya. Menerima suapan dari Fella.
“Kita naik itu yuk, Fel?” Gofar menunjuk bianglala di seberang mereka. “Biar bisa berduaan romantis gitu.” lanjutnya sambil menaik turunkan alisnya.
“Dih, najis.” celetuk Fella tapi dia duluan yang pergi menuju bianglala. Dan Gofar malah nyengir, seakan mendengar pujian dari kekasihnya yang jutek itu.
Bianglala jadi wahana yang paling ramai diminati pengunjung. Jadi mereka harus menganteri kurang lebih sepuluh menit sebelum mendapat giliran naik. Sambil menunggu, Fella menghabiskan permen kapasnya dan sesekali menyuapi Gofar.
“Kalo gini, kita kayak pacaran beneran ya..” ucap Gofar saat mereka sudah dapat giliran naik bianglala.
Fella mendengus geli. “Emangnya kemaren-kemaren bohongan?”
“Ya gak gitu.. cuma baru kerasa aja. Selama ini kan kita ketemuan kalo lagi bareng bocah-bocah aja. Kemana-mana juga pasti adaaaa..aja yang jadi nyamuknya.”
“Iya ya.. kayaknya kita harus sering-sering jalan berdua gini.”
Bianglala berhenti tepat saat Gofar dan Fella ada di puncak. Mereka diam menatap pemandangan malam hari kota Jakarta. Suara riuh sorak orang-orang terdengar samar-samar dari atas sini. Fella lah yang pertama menoleh ke Gofar, hingga si lelaki ikut menoleh lalu menatapnya lekat dengan sunyuman di bibirnya.
“Far, sebenernya lo kenapa tiba-tiba ngajak ke sini sih?” Fella memecahkan keheningan diantara mereka.
“Hmm.. gue kemaren merhatiin lu diem doang pas bocah-bocah ngomongin kenangan masa kecil mereka main ke pasar malem. Gue tau lo pasti belom pernah dateng ke sini. Jadi gue ajak lu ke sini, puas-puasin main. Biar nanti kalo mereka bahas itu lagi, lu bisa ikutan cerita-cerita juga.”
“Jadi karena gue?”
“Iya, karena lu.”
Fella terdiam. Untuk kesekian kalinya dikejutkan oleh seorang Gofar. Walau sebelumnya ia mengatakan bahwa Gofar ini selalu mengatakan dan melakukan hal aneh. Tapi jauh di dalam dirinya, ada sosok Gofar yang penyayang dan penuh perhatian.
Orang-orang mungkin tak akan menyadari hal ini. Namun Fella menyadarinya ketika ia dan Gofar sedang membicarakan Tuktuk. Si sulung Marwan itu memang bercerita sambil menyebut Tuktuk goblok atau anak setan, tapi disela-sela makian itu ada beberapa cerita yang menunjukkan betapa Gofar sangat mengkhawatirkan dan menyayangi Tuktuk.
Dari situ juga Fella mulai memandang Gofar berbeda dari sebelumnya dan akhirnya tertarik untuk menjalin hubungan dengan Gofar. Gofar dan cara uniknya menunjukkan rasa sayangnya pada seseorang cocok untuk Fella yang memang belum terbiasa dihujani kasih sayang. Tidak terang-terangan, tapi cukup untuk memenuhi segala kekosongan dalam hati Fella.
“Kalo gitu kapan-kapan kita kita ke tempat yang lo mau ya. Misalnya.. hmm.. ke Singapur atau ke Thailand yang deket-deket dulu aja.”
“Buseeett.. emang dasar orang kaya, lu bilang ke Thailand deket?? Gue mau ke Bali aja susah, anjir.”
Bianglala kembali berputar dan Fella pun kembali tertawa. “Yaudah kita ke Bali deh..”
“Eh, tapi kalo kita pergi berdua doang gue bisa dimusuhin si Tuktuk sepuluh tahun, Fel.”
“Yaelaahh... emang ya kayaknya badan lo berdua tuh bakal gatel-gatel kalo pisah sehari aja.” timpal Fella agak kesal.
Kali ini Gofar yang tertawa. “Dih, cewek gue bisa ngelawak juga? Siapa yang ngajarin lu??” godanya sambil mencolek-colek dagu Fella.
Fella menepis tangan Gofar. “Kan gue pacarannya sama badut.”
“Eiittss enak aja, cowok lu ganteng kayak Dilan gini.. jiaaakkhh..”
“Sinting lo.”
Tak terasa sudah beberapa putaran mereka lewati dan saatnya mereka turun. Karena perut Gofar sudah meraung-raung minta diisi, jadi mereka memutuskan untuk menyudahi main di pasar malam hari ini dan mencari makan malam di luar.
Gofar tiba-tiba mengulurkan tangannya. Fella mendengus geli sebelum menerima uluran tangan Gofar. Menautkan jari mereka. Bergandengan tangan menuju parkiran sambil berdiskusi akan makan apa nanti.
.