Work Text:
Jungkook bukan cenayang tapi dia memiliki kemampuan itu—mengurus arwah. Dia tidak terang-terangan membuka jasa ramal, pengusiran atau pemanggilan setan, maupun sesi konsultasi soal kehidupan di tempat huninya. Namun, selalu ada saja orang yang sudah duduk di teras rumah tiap ia baru kembali dari kantor.
Hari ini juga tidak jauh beda. Dari simpangan terakhir menuju rumahnya saja, sudah ada mobil yang terparkir di depan pagar. Ada seseorang melongok-longok ke halaman, mungkin untuk mencari tahu ada penghuni atau tidak di dalam rumah gelap itu.
“Cari siapa?” tanyanya yang mana membuat sang tamu terlonjak kaget. Jungkook memperhatikan mulai dari warna rambut sampai sepatu, sama-sama cokelat madu. Struktur tubuh pria di hadapannya bisa terbilang mungil, apa lagi dengan balutan mantel dan syal tebal. Seperti tenggelam.
Kalau bicara soal aura, yang Jungkook tangkap adalah warna merah penanda cemas serta sedikit hitam di sekitarnya. Jungkook melirik ke balik tubuh pria itu, di mana mobil terparkir. Ia langsung paham dari mana hitamnya berasal. Di sana, di kursi belakang, ada gadis pucat yang duduk manis. Kala mata beradu tatap dengan Jungkook, gadis tersebut langsung berubah menjadi kepul asap hitam.
“Uhm... Tuan Jeon Jungkook.” Sebuah suara mengalihkan perhatiannya.
“Ya?” Dia kira memang dipanggil tapi ternyata tidak.
“Aku mencari Tuan Jeon Jungkook,” ulang pria tadi.
Yang disebut namanya langsung tersenyum ramah, sudah seperti pemilik toko menyambut pelanggan. “Aku Jeon Jungkook.”
Ada beliak kaget di paras manis itu—oh, Jungkook lupa bilang? Iya, dia jujur soal kata manis dan ia yakin sudah pasti bukan dirinya saja yang akan berkata begitu saat melihat kontur wajah pria di hadapannya.
“Eh... kukira—”
“Pria tua dengan pakaian biksu?” Jungkook sudah ratusan kali mendengar dugaan tersebut. Ia jadi heran sendiri, ketika kabar burung soal namanya menguar apakah tidak ada yang memberi tahu juga seperti apa sosoknya?
“Iya.” Lagi, suara pria itu lirih sekali.
“Masuk saja dulu,” ajak Jungkook.
“Namaku Jimin, Park Jimin,” susul pria itu cepat. Mungkin sungkan karena belum-belum sudah diajak untuk masuk rumah sekalipun itu memang hal lumrah karena statusnya sekarang adalah pelanggan.
“Iya, Jimin, ayo masuk dulu. Kita bicara di dalam.” Bukan tanpa alasan Jungkook terburu ingin membawa sang tamu jauh dari sana. Dia bisa merasakan energi gelap yang menyelimuti makin parah. Ia tahu, arwah gadis tadi mulai marah.
Keduanya masuk, dengan Jimin mengekor di belakang lalu dipersilakan duduk di ruang tamu. Di sana hanya ada kertas-kertas jimat menempel pada dinding, satu meja kecil di tengah dan bantal duduk. Jimin mengernyit. Ia kira akan ada banyak patung-patung Buddha atau lilin-lilin panca warna dengan api bergoyang.
Tidak. Tidak ada apa pun.
Jimin duduk dengan gerak lambat, mulai ragu apakah ia disarankan datang ke tempat yang tepat. Begitu sudah saling berhadapan, Jungkook memulai sesi bicara.
“Jadi? Kenapa datang ke sini?”
Jimin sempat menelan ludah. “Ingin minta tolong. Aku pernah datang menemui seseorang juga sebelum ini, tapi katanya hanya auraku yang terbaca jadi mereka tidak tahu kenapa sampai ada yang mengikutiku. Ada yang memberi saran untuk bertemu denganmu karena katanya kau bisa melihat.”
“Oh? Kau sudah tahu?” Satu alis Jungkook terangkat naik.
“Tahu apa?”
“Itu... kalau ada yang mengikutimu.”
Jimin mengangguk. “Aku selalu melihatnya dalam mimpi. Perempuan, 'kan?”
“Iya, seorang gadis. Kau kenal?”
Kali ini Jimin menggeleng.
Jungkook menggaruk dagu. Tangannya yang lain hanya mengetuk meja sampai membentuk rima teratur. Jimin agak beringsut takut, terintimidasi juga ternyata kalau ditatap lekat seperti itu. “Sempat datang ke krematorium beberapa bulan belakangan?”
Yang diberi pertanyaan sempat terkaget lalu mengakui. “Awal bulan ini aku mengunjungi pemakaman adik temanku. Setelah itu semuanya aneh, kukira aku mengalami sleepwalking tapi aku ragu. Tubuhku selalu seperti remuk saat bangun pagi. Seolah aku berjalan mengitari kota sepanjang malam.”
Jungkook mengernyit. “Aku tidak ingin bilang kau dirasuki karena tidak semua arwah mampu dekat dengan manusia kecuali... dia punya energi yang menarik dan mereka menyukainya. Aku lebih suka mengatakan kalau dia meminjam tubuhmu.”
“Untuk apa?”
Jungkook mengangkat bahu. “Arwah hanya mengingat penyesalan jadi sudah pasti kalau bisa meminjam tubuh manusia, dia akan melakukan sesuatu yang membuat sesalnya hilang.”
Jimin mulai menggigit kuku. “Itu berarti dia tak bisa dijauhkan paksa dari tubuhku?”
“Kalau ada orang menyukaimu tapi kau tidak menyuakinya balik, apa yang akan kau lakukan?”
Sempat ada jeda diam. Keduanya justru saling pandang, menatap manik mata masing-masing. Lalu Jimin mengucap pendek dengan volume pelan. “Menolaknya.”
Jungkook menjentikkan tangan. “Kau harus punya energi kuat untuk dijadikan tameng agar dia malas bahkan hanya untuk melirikmu. Kusarankan besok kau datang membawa kekasihmu jadi aku bisa lihat apa energi kalian cocok untuk saling dibagi.”
Tubuh Jungkook maju sedikit dan kali ini ia membisik, “Aku juga bisa melihat takdir kalian kalau mau.” Ia sempat memberi kedipan jenaka sebelum menjauh lalu bersedekap menunggu jawaban.
Jimin justru menggigit kuku lagi, menatap Jungkook dengan ekspresi canggung. Ia menghela nafas kemudian berujar dengan malu-malu sampai ujung telinganya sedikit merona. “Itu.... Aku tidak punya kekasih.”
Punggung Jungkook yang tadinya tegap kini sedikit turun. “Bohong,” desisnya.
Jimin entah kenapa merasa tidak terima. “Kau cenayang tapi tak bisa menebak?”
Jungkook menyipit kesal tapi kemudian memperhatikan lebih serius lagi sampai Jimin salah tingkah. “K-kenapa?”
“Tidak, sepertinya aku jadi tahu kenapa arwah itu tertarik padamu. Kau sedang proses move on tapi hatimu belum benar-benar lepas. Gadis itu memanfaatkan sisa aura-aura jatuh cintamu untuk ia nikmati. Dia rindu jatuh cinta, rindu melakukan banyak hal.”
Jimin memang menelan ludah takut tapi mendengar cecaran Jungkook yang telak seperti itu entah kenapa seperti ditelanjangi. Ia jadi menyesal sempat menantang Jungkook tadi. Egonya hilang.
“Dia menyukaiku karena aku sedang berusaha move on?”
Jungkook mengangguk, kali ini lebih mantap. “Ini soal cinta tak terbalas, 'kan? Kenapa? Kau ingin punya resolusi berhasil move on untuk memulai awal tahun? Tahun baru dengan hati baru?”
“Bisa tidak hentikan membaca diriku?” Jimin sudah berusaha terdengar marah tapi entah kenapa tak bisa. Tentu saja karena yang ia rasakan kini lebih condong ke sisi malu.
“Aku hanya menebak.” Sebenarnya Jungkook tidak ada niat mengejek tetapi mungkin pilihan frasanya kurang tepat sehingga pasang alis Jimin kini menukik tanda tak suka.
“Jadi? Kau mau bantu atau tidak? Ada solusi selain berbagi energi dengan kekasih?” Jimin bertanya dengan nada setengah kesal.
Jungkook menggaruk dagu. “Aku hanya butuh kau punya energi seseorang yang bisa membuat gadis itu mundur. Mudahnya, aku ingin membuatmu terlihat jelas kalau tubuhmu tak bisa dipinjam sembarangan, itu saja.”
Jimin mulai memutar mata bosan karena tak ada gambaran titik cerah yang bisa menjadi calon solusi. “Aku datang ke sini untuk minta bantuan, Tuan Jeon. Bukan mendengar gumaman-gumaman tidak jelas seperti ini,” ucapnya lalu merengut.
Namun, agaknya Tuan Jeon itu tidak memperhatikan. Memang angannya tengah sibuk mencari dan memilah jalan keluar yang cocok. Mengusir dengan ritual itu terlalu melelahkan. Juga, kalau memang arwah tersebut masih bisa berkelana, artinya Tuhan belum izinkan untuk melewati jembatan. Setiap arwah punya waktunya sendiri untuk tetap tinggal di bumi sebelum Tuhan panggil untuk dilenyapkan atau direinkarnasi.
Jungkook tak bisa memaksa dan kata ibunya bukan hak mereka juga untuk mengantar ke pintu penyeberangan. Lagipula, menurutnya ini bukan masalah mendesak, ia tak mau mengorbankan seluruh tubuh dan energi hanya untuk mendorong arwah pergi dari sini. Jadi solusi yang ia dapat sekedar....
“Mau kubagi sedikit energiku?”
Jimin hanya mampu berkedip-kedip tak paham. Jungkook menghela nafas. “Aku tidak bisa sembarangan melakukan ritual agar arwah gadis itu lenyap jadi kupikir akan lebih baik membagi sedikit energiku padamu? Jujur, ini juga lebih ampuh dibanding penyelesaian pertama tadi karena kau tahu sendiri aku ini sedikit istimewa.”
Sebenarnya Jimin tertarik tapi tetap masih ada selip khawatir dan takut juga dalam benaknya. “Pasti ada konsekuensinya, benar? Kalau aku punya sedikit energimu, apa artinya nanti aku juga bisa melihat arwah?”
Jungkook cukup senang karena ternyata Jimin pintar. “Aku tidak bisa memberi jawaban pasti. Saat kau dapat energi dariku, itu memang akan memancing mata ketigamu terbuka tapi belum tentu berhasil juga.”
“Kalau… kalau aku membiarkan saja gadis itu meminjam tubuhku?” tanya Jimin meragu. Jujur, siapa juga yang ingin tiba-tiba bisa melihat arwah berkeliaran di sana-sini. “Aku mati?”
“Lebih ke… jiwamu terperangkap entah di mana. Park Jimin tetap ada, tetap di sini.”
Jimin memijat pelipis. “Kenapa harus aku?”
Jungkook ikut melakukan hal yang sama. “Aku juga heran kenapa harus aku yang bisa melakukan hal-hal seperti ini.”
“Kau tidak bisa lebih serius lagi!?” Sungguh, Jimin kira cenayang yang digadang-gadang memiliki keahlian hebat ini berwibawa, misterius, atau apa. Bukan tipe-tipe aneh sok akrab begini.
“Sebenarnya kau bisa mencari orang lain lagi... atau ke kuil?” Dua tangan Jungkook dibuka lebar, seolah mempersilakan Jimin untuk keluar dari tempatnya.
Dia serius, omong-omong. Dari awal juga dia sudah punya pekerjaan tetap sebagai anggota tim produksi di sebuah kantor redaksi. Reputasinya baik, gajinya bagus, dia tidak masalah jika tidak menjual jasanya seperti ini. Tapi nama ibunya yang memang benar-benar seorang cenayang sudah tersebar di banyak tempat. Karena kadang para klien malas untuk pergi ke pelosok hutan mencari kuil tempat wanita tua itu tinggal, jadilah Jungkook yang dimintai pertolongan.
“Lama, besok sudah akhir tahun. Aku ingin tahun baru dengan hidup baru, persis seperti yang kau tebak tadi.” Jungkook tidak memberi respon, jadi Jimin merasa langsung pasrah. “Lalu? Bagaimana caramu membagi energi?”
“Sebenarnya dengan kau menempel padaku, yang arwah tahu kau adalah aku. Makanya dia tidak mengikutimu sampai masuk ke rumahku.”
Jimin tersedak, tangannya lemas tiba-tiba sehingga dagu yang sejak tadi ia sangga hampir jatuh terantuk meja. “Dia mengikutiku!?”
“Kau kira dia hanya duduk diam di rumahmu?” tanya Jungkook balik. Tentu saja Jimin mengangguk. Jungkook berdecak. “Dia bahkan ada di mobilmu dan baru pergi saat kutatap.”
Tubuh Jimin langsung meremang. Ia keringat dingin, perlahan-lahan perutnya mulas. “J-jadi? Aku harus apa? Menempel selamanya denganmu?”
“Astaga, tidak juga, duh. Punya rencana besok malam?”
“Sebenarnya ada undangan pesta tahun baru tapi kalau kau hanya bisa membantuku besok, aku akan batalkan.”
“Oke. Pergilah kencan denganku.”
“Hah!?” Jimin langsung mengacungkan jari telunjuk tepat ke depan wajah Jungkook. “Kau benar-benar penipu, ya!?”
“Ya Tuhan, aku lelah. Aku masih punya pekerjaan yang lebih menyenangkan dibanding ini tapi aku tetap duduk di sini mendengarkan masalahmu dan kau sudah dua kali menyebutku penipu di—” Jungkook melirik jam dinding,”—dua puluh menit pertama. Ini informasi pribadi tapi sepertinya aku perlu memberitahumu. Cenayang tidak boleh menjalin hubungan dengan siapa pun.”
“O-oh… baiklah.” Tangan Jimin sok-sokan membetulkan tatanan syal padahal sebnarnya ia tengah menyembunyikan setengah wajah karena malu.
“Dengar, aku hanya butuh membuat hantunya mengira kau tak lagi putus asa soal cinta dan nanti kau bebas. Semudah itu.”
“Iya, iya, aku mau. Jadi besok malam?”
Jungkook mengangguk kemudian memberikan kartu nama. “Hubungi tempat dan waktunya.”
“Jadi aku bisa pulang sekarang?”
“Ya.”
“Kau tidak akan memberiku apa-apa? Aku harus satu mobil lagi dengan arwah gadis itu?”
“Kau belum pernah melihat wajahnya, kenapa takut? Dia manis, omong-omong.”
“Tetap saja arwah! Kalau di tengah jalan dia masuk lagi ke tubuhku, aku harus apa?”
Jungkook sengaja menghela nafas keras-keras. Ini bukan kali pertama ada klien banyak bicara tapi Jungkook tak pernah merasa terbiasa. “Tidak, Jimin, dia hanya bisa mengambil alih tubuhmu kalau kau tidur. Aku bisa saja memberimu kertas jimat tapi dia pasti hanya sekedar berpindah tempat. Ke lemari pakaian, misalnya.”
Jimin menggigit bibir. Jujur, ia masih tidak yakin juga karena... bisa-bisanya solusi yang ditawarkan sekedar membuat hantu cemburu? Jimin tidak paham sama sekali.
Tapi situasinya sejak pulang dari krematorium juga terlalu aneh. Dia tiba-tiba punya sikat gigi serta beberapa produk make up baru. Atau ada bungkus-bungkus sisa makanan yang ia tak pernah ingat sudah melahapnya di meja atau tempat sampah.
“Oke. Aku pulang. Terima kasih. Akan kuhubungi... secepat mungkin.” Jimin berdiri ragu. Sebenarnya ia masih setengah takut tapi tidak mungkin juga berlama-lama di rumah tersebut.
Jungkook bahkan tidak mengantarkan ia keluar. Kalau dipikir juga untuk apa. Nanti begitu Jimin menjauh dari pekarangn rumah pria itu juga sudah pasti arwahnya tetap datang.
Jimin berkendara dengan batas kecepatan maksimal yang diperbolehkan karena jalanan licin usai pembersihan salju. Tapi tangannya sudah keringat dingin, tidak minat berlama-lama di dalam mobil. Begitu sampai rumah, Jimin langsung mengirim alamat tempat mereka akan bertemu. Malam itu ia tidur dengan selimut membungkus tubuh rapat dari puncak kepala hingga telapak kaki sembari menyalakan televisi bervolume tinggi.
Jimin sengaja memilih tempat ramai. Bukan hanya karena rasa takut pada si gadis tanpa wujud, tetapi juga masih ada sisa was-was untuk menghadap Jungkook. Kalau nanti memang tiba-tiba Jungkook melakukan hal buruk, dia bisa meminta pertolongan dengan mudah.
Oh... dan dia juga sengaja terlambat. Tak tanggung-tanggung, tiga puluh menit.
Mencari Jungkook ternyata tidak mudah. Jimin hanya bilang cukup tunggu di lantai pertama sebuah pusat belanja, tapi ternyata juga banyak orang yang diam berdiri di sana. Mau tak mau fokus Jimin hanya mencari sosok yang sekiranya tak punya kawan bicara.
Salah satunya pria tinggi dengan jeans hitam membalut kaki jenjang lalu mantel cokelat panjang sebagai atasan. Model rambutnya lucu, poni turun menutup dahi.
Mata Jimin masih normal tapi ia tetap menyipit dari jauh untuk memastikan. Outfit yang dikenakan memang persis seperti penjabaran Jungkook sore tadi. Tapi ia ragu. Seingatnya kemarin, Jungkook tidak setinggi itu. Atau karena tidak memakai seragam kerja jadi terlihat berbeda?
“Permisi... Jungkook?”
Yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arah suara.
Jimin sampai menahan nafas. “Wow, kau kelihatan... berbeda.”
Entah kenapa Jungkook memasang senyum seperti tengah memenangkan sesuatu. “Kau kaget, 'kan?”
Jimin tak ingin mengakui tapi sungguh, Jungkook memang jadi terlihat lebih memikat. “Lumayan.”
Tiba-tiba tangan Jungkook melambai dan Jimin tidak perlu penjelasan lugas kenapa pria itu melakukannya. Ia hanya memaksa turun tangan Jungkook. “Kenapa juga kau menyapa arwah?”
“Lucu, baru begini saja dia sudah marah.” Bisa-bisanya Jungkook memamerkan cengiran. “Aku jadi penasaran....”
Alis Jimin naik satu. Merasa digantung karena Jungkook tak kunjung menyambung pernyataan, ia ikut menoleh ke belakang sekalipun tak bisa melihat apa yang Jungkook tatap. “Apa?”
“Ekspresinya kalau aku melakukan ini.” Tiba-tiba saja Jungkook menarik wajah Jimin agar mereka berdua dapat kembali saling tatap. Pasang telapak berlapis sarung tangan itu menangkup kedua pipi dan tanpa ba bi bu, Jungkook menurunkan paras. Dekat sekali sampai Jimin bahkan takut untuk berkedip.
“J-Jungkook—”
Lagi-lagi hanya senyum aneh. Jungkook dengan lancang memberi tiupan kecil sebelum memindahkan bibir ke telinga Jimin. Ia tak hanya ingin membisik, tapi juga sembari melirik arwah di seberang. “Kita harus mulai dari mana, Jimin?”
Yang Jungkook dapati adalah aura gelap di sekitar sang arwah makin kuat. Mungkin kalau itu bukan Jungkook yang di dekat Jimin, ia yakin gadis di sana sudah berani maju entah untuk memaksa masuk ke tubuh Jimin atau sedikit menyerang partner Jimin.
“B-bisa tidak kau menjauh?”
Baru usai Jimin berusaha melontar kata, Jungkook sudah bergerak. Diraihnya pinggang Jimin agar makin dekat. “Kalau kulepas, aku yakin kau bisa dirasuki di tempat.”
Rasa takut dan malu Jimin langsung lenyap. Bisa-bisanya ia dengan percaya diri mengalungkan lengan di leher Jungkook. Setelah itu berjinjit sedikit agar dapat ikut berbisik juga tepat di telinga. “Aku memintamu untuk mengusir arwah, bukan membuatnya marah. Bagian mana yang kau tidak paham?”
“Cerewet.” Jungkook menjentikkan jari, tatapnya tak pernah lepas dari arwah di sana. Gadis tersebut lenyap, meninggalkan asap hitam seperti kemarin. Jungkook berdecak. “Keras kepala sekali.”
“Aku!?” sentak Jimin tak terima.
Jungkook mundur, melepas dekap yang mana Jimin juga lakukan hal serupa. “Bisa tidak kau berjanji padaku?”
“Selama itu tidak aneh, tidak menye—”
“Setiap aku melakukan sesuatu, tolong jangan banyak tanya, jangan banyak protes.” Telunjuk Jungkook bergerak lucu ke kanan dan kiri.
“Bagaimana aku tidak protes kalau—”
“Atau aku pulang.”
“Oke.” Jimin mengibas tangan kalah. “Terserah.”
Senyum Jungkook sudah kembali. “Ayo nonton film,” serunya semangat.
“Aku tetap masih curiga kau sebenarnya ingin memanfaatkanku untuk jadi teman kencanmu di malam tahun baru.” Melihat bibir Jungkook yang siap menyangkal, Jimin bergegas bicara lebih dulu. “Ke mana pun terserah tapi jangan tempat gelap.”
Berakhir keduanya berjalan tanpa arah sambil masing-masing menggenggam roti kacang merah.
“Apa dia mengikuti kita?” tanya Jimin di sela kunyahan.
“Tadi sempat pergi sebentar tapi dia sudah berdiri mengadangmu di depan sana.” Jungkook tidak bohong. Gadis itu memang muncul tepat ketika Jimin bicara, tiba-tiba sudah berdiri dengan jarak sekian langkah.
“Di mana?”
“Di depan sana.” Jungkook sudah hendak memajukan tangan sebelum melirik Jimin kesal. “Untuk apa juga kutunjukkan, kau tidak bisa melihatnya.”
“Bukan, maksudku dia sejajar denganku atau denganmu?”
“Tentu saja kau. Dia sudah benci sekali padaku.”
Mendengar itu, Jimin langsung menukar posisi—yang tadinya berjalan di sisi kiri, kini berubah ke sisi kanan Jungkook.
Ada hela nafas lelah yang Jimin dengar dan ia mendongak menatap pria tinggi itu. Tanpa perlu bertanya kenapa, ia sudah langsung dapat jawaban.
“Menurutmu dia juga tidak bisa pindah tempat ke sebelah kanan? Sudah kubilang kau pokoknya diam saja.”
Jungkook memulai dengan pelan. Lagi, matanya tak ia alihkan dari sang arwah sama sekali. Saat aura gelap mulai menyelimuti, Jungkook pikir ia kembali menang. Tidak disangka gadis tak kasat mata itu justru berani maju menghapus jarak. Dahi Jungkook mengernyit heran.
Ada satu kesimpulan yang akhirnya Jungkook tarik. Dibanding meminjam tubuh, agaknya gadis itu lebih ingin hidup lagi walau di tubuh yang berbeda. Dia tidak hanya suka dengan Jimin, tapi seluruh kehidupan pria itu menarik bagi sang arwah.
Langkahnya cepat dan Jungkook yang masih berpikir hanya bisa berubah memposisikan diri di hadapan Jimin. Kalau arwah tersebut bisa melewati tubuhnya, maka bisa dipastikan jiwa Jimin juga dapat diambil alih dengan mudah.
Perkiraannya barusan tidak terjadi. Ia bisa rasakan gadis itu menghilang lagi, kembali menjadi asap hitam.
“Sialan,” umpat Jungkook kesal.
Dia bisa saja membagi energinya pada Jimin lebih banyak lagi kalau memang gadis itu tak kunjung pergi. Tiupan kecil di wajah Jimin saat pertama saling tatap dekat tadi, ia sudah membaginya lewat situ. Tapi seperti yang Jungkook takutkan, tidak lucu kalau mata batin kliennya terbuka dan justru ikut dapat melihat arwah setelah ini. Bagaimana cara ia bertanggung jawab?
“Kau membuatnya marah lagi?” tanya Jimin tak terima.
Jungkook tidak ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Lebih baik memang melihat Jimin meradang seperti ini dibanding nanti justru ketakutan berlebih. Jadi ia hanya melakukan yang dia bisa.
“Tutup matamu,” perintah Jungkook. Ia tahu Jimin sebenarnya sudah hendak protes, tetapi tak sampai benar-benar menyuarakannya. Jungkook hanya mendapat decakan sebelum Jimin benar menutup mata. Dengan itu ia tempelkan dahinya ke milik Jimin, membatin rentet kalimat mantra yang ibunya pernah ajarkan.
Jimin yang diperlakukan begitu tentu saja jadi salah tingkah. Ia ingin membuka mata, menatap lagi seberapa dekat paras Jungkook dengannya, tetapi terlampau malu juga untuk tahu.
“Sudah.”
Begitu Jungkook mengatakan usai dan dirasa sudah cukup menjauh, Jimin kembali membuka mata. “K-kau melakukan apa lagi?”
“Sudah kubilang jangan bertanya,” ucap Jungkook tajam.
Jimin menelan ludah. Bukan ia ketar-ketir dengan nada kesal Jungkook barusan, tetapi agaknya ada masalah lain yang timbul. Jimin jadi takut, bagaimana kalau setelah ini justru ia kembali jatuh pada lubang yang sama?
Cinta tak terbalas lagi.
Percuma semua yang Jungkook lakukan—walau Jimin juga tidak yakin sebenarnya sejak tadi Jungkook sudah melakukan apa saja—untuk membuat sang arwah pergi. Katanya gadis itu ingin tubuhnya, ingin hatinya yang tengah putus asa karena cinta. Bayangkan akan seberapa putus asanya Jimin kalau terlanjur menyukai Jungkook di akhir petang nanti?
Jimin merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya ia selalu lemah pada pria lucu. Kenapa juga Jungkook harus setampan ini? Afeksinya juga tidak main-main kalau Jimin boleh jujur.
Terlepas beberapa skinship dilakukan demi melenyapkan eksistensi sang arwah, Jungkook benar-benar semanis itu. Ia tidak kalah cerewet dengan Jimin. Sepanjang berjalan tanpa arah tadi, Jimin sudah tahu apa-apa saja yang Jungkook suka, bagaimana pekerjaannya, serta beberapa kisah lucu dari klien-kliennya.
“Jungkook...”
“Hm?”
“Kau pernah melakukan hal yang sama sebelum ini?”
“Sama yang bagaimana?”
“Mengusir arwah dengan cara seperti ini? Mengajak kencan, membagi energi.”
Jungkook mengangguk. “Beberapa kali.”
Nah, kan... belum apa-apa Jimin sudah patah hati lagi.
“Tapi biasanya sebatas jalan berdua saja. Beberapa arwah memang bisa sebenci itu padaku jadi ada yang bisa langsung pergi bahkan walau hanya duduk berdua denganku. Untuk kasusmu ini... sepertinya gadis itu sangat sangat sangat menyukaimu.” Hanya itu yang mampu Jungkook jabarkan.
“Dia sendiri apa tidak patah hati? Aku, kan, tidak mungkin menyukainya balik.”
Jungkook menggeleng. “Dia ingin tubuhmu, Jimin, bukan hanya hatimu. Dia suka hidupmu.”
Jimin diam. Apakah jiwanya selemah itu sampai patah hati saja membuat ia bisa dirasuki arwah?
“Mau naik melihat kembang api? Harusnya sebentar lagi mulai,” tawar Jungkook. Ia tak benar-benar tahu kenapa Jimin tiba-tiba murung.
“Ayo.” Jimin mengiyakan.
Baru juga Jungkook membawa Jimin ke atap gedung, ia sudah dapati si gadis di sana. Untuk sesaat, Jungkook berusaha tidak peduli. Ia hanya mengeratkan genggam tangan pada Jimin yang memang tak dilepasnya sedari tadi.
“Dia di sini lagi,” gumam Jungkook jengah.
“Ya katamu memang dia mengikutiku terus-terusan?”
Jungkook sempat menoleh begitu mendengar suara Jimin agak bergetar. Ia dapati beberapa spot di wajah itu sudah tampak merah yang mana membuat Jungkook sadar, mungkin Jimin memang seperti itu kalau kedinginan.
Tiba-tiba ia punya ide. Diliriknya sebentar arwah gadis yang masih saja betah menatap Jimin. Ini akan jadi momen bagus untuk membuat gadis tersebut marah lagi.
Jungkook melepas tangan Jimin lalu ia tanggalkan mantelnya. Ia berikan itu pada Jimin.
Jimin sudah ingin menolak kalau saja ia tidak diberi delikan. Mau tak mau tangannya ikut terulur untuk meraih mantel tersebut, tetapi justru Jungkook maju sampai benar-benar dekat dan disampirkannya jaket tersebut ke kedua bahu Jimin. Sembari melakukannya, sedikit ia turunkan wajah demi bisa membagi bisikan di telinga Jimin.
“Semakin cepat ia marah, semakin cepat ia pergi.”
Jimin memutar mata. “Kalau begitu, mungkin harusnya aku tidur denganmu saja.”
Jungkook langsung mundur, memiringkan kepala, baru menggeleng-geleng tak menyangka. “Wow, kau cukup terbuka juga ternyata. Ini baru pertemuan kedua kita.”
Jimin mendengus. “Karena kau aneh sekali, serius. Logikaku masih tidak bisa menerima kenapa hantu itu mudah sekali ditipu dengan hubungan palsu seperti ini. Aneh.”
Jungkook mengangguk-angguk walau bukan berarti memahami Jimin. “Aku sudah katakan kalau arwah hanya ingat soal penyesalan. Begitu apa yang dirasa sudah bisa ia gapai justru direbut, tentu saja marah. Dia pikir aku juga sedang memonopoli tubuhmu.”
Padahal benar, ungkapan yang terakhir itu benar. Sejak tadi Jungkook berusaha membuat Jimin seolah jadi miliknya, membuat energinya menyelimuti Jimin sehingga yang arwah itu lihat adalah Jimin sudah dikuasai olehnya.
Kalau dengan kalimat singkat, Jungkook memang seperti tengah berusaha membuat Jimin jadi miliknya lewat energi yang sejak tadi ia bagi.
“Untuk apa juga cenayang butuh tubuh manusia?”
“Untuk dimasuki arwah.”
Jimin langsung membeliak. “Kau mengiyakan permintaan seperti itu juga!?”
“Bukan aku tapi aku tahu beberapa yang bisa memanggil arwah untuk dimasukkan sejenak ke tubuh manusia. Kalau arwah saja punya penyesalan apa lagi manusia yang ditinggalkan?”
Jimin langsung terhenyak. “Oh…” Tak tahu harus bicara apa lagi, ia cuma bertanya, “Dia masih di sini?”
“Masih. Makin marah denganku. Aku sudah membagi banyak sekali energi padamu, tapi agaknya dia masih tidak mau pergi.”
Jimin menghela nafas. Tiba-tiba satu ide gila terbesit dalam benak. “Jungkook,” panggilnya pada pria yang terus saja menatap lurus entah ke titik mana. Jimin sudah tidak ingin tahu lagi.
Sayangnya, panggilan tersebut keluar bersamaan dengan ledakan kembang api pertama. Jimin berdecak kesal. Mau tak mau ia melakukan apa yang tadi di awal Jungkook lakukan.
Diraihnya paras Jungkook, dibawa mendekat lalu Jimin berbisik. “Menurutku dia tak akan cemburu kalau hanya kau yang terus bergerak.”
Satu alis Jungkook terangkat naik. “Hah?”
“Logikanya, Jungkook, kalau kau ingin membuat seseorang cemburu tentu saja harus ada tindakan meyakinkan baik dari dirimu sendiri dan pasanganmu. Benar?”
Jungkook mengangguk, sesekali masih sambil melirik arwah gadis yang aura emosinya makin pekat. Oh, Jungkook paham sesuatu.
“Jimin—”
“Kau ingin gadis itu paham kalau aku sudah dimonopoli olehmu dan aku juga terima-terima saja, benar?” selanya.
“Iya, karena itu coba sekarang kau—”
Rentet frasa Jungkook terputus. Bagaimana bisa ia lanjut mengoceh kalau labiumnya dibungkam. Tak tanggung-tanggung, itu adalah bibir Jimin yang menempel dengannya.
Jungkook memang tadi sudah berencana untuk memerintahkan Jimin paling tidak mendekat padanya agar sang arwah marah. Ia kaget kalau Jimin sampai berani ambil inisiatif sendiri seperti ini.
Tapi tetap saja Jungkook ikuti permainannya. Ia juga tidak rugi apapun, omong-omong.
Satu ledakan lain dari kembang api menjadi kode untuk Jimin akhirnya mundur. Kalau tadi mungkin hanya ujung hidung dan pipi yang merah, kini seluruh wajahnya juga senada.
Namun, Jungkook tak sempat memperhatikan itu. Ia langsung menoleh ke satu arah dan mendapati rengutan parah di wajah si gadis manis. Jungkook tersenyum lebar, lebar sekali, lalu coba merapal satu mantra. Ia terkejut sendiri ketika asap tanda arwah tersebut pergi tak lagi hitam legam, tetapi putih normal.
Itu... dia berhasil?
Hanya dengan satu ciuman Jimin?
“Sepertinya ini percuma.” Keluhan Jimin tiba-tiba menerobos masuk ke telinga.
“Apa?” tanya Jungkook bingung. Ia sampai tak sempat membagi kabar menyenangkan bahwa arwahnya sudah pergi. Benar-benar pergi karena sudah merelakan Jimin.
“Aku baru sembuh dari cinta tidak terbalas tapi sekarang langsung mengalaminya lagi. Pasti arwah gadis itu makin senang, tak ada yang berubah dari kondisi hatiku.”
Jungkook butuh beberapa waktu untuk mencerna sampai mampu ambil kesimpulan. “Kau… suka padaku?”
“Sepertinya? Tapi karena baru bertemu hari ini jadi mungkin aku bisa lebih cepat move on.” Dengan santai Jimin ucapkan itu sembari mengeratkan mantel Jungkook di bahunya.
Entah, Jungkook kesal sekali mendengarnya. Ia merasa seperti... dibuang? Setelah semua energi yang ia bagi agar sang arwah paham bahwa Jimin sudah jadi miliknya, sekarang ia jadi serakah ingin orang-orang juga tahu kalau Jimin memang begitu.
Jimin milik Jungkook, seperti pernyataannya tadi.
“Lanjutkan saja. Jangan move on.”
Dia justru diberi lirikan sinis oleh Jimin. “Lanjutkan? Aku? Kau ingin aku patah hati?”
“Kenapa patah hati?”
“Kau sendiri yang kemarin bilang cenayang tidak boleh menjalin hubungan!” Kalau saja kembang api tidak mulai menghias temaram malam lagi, sudah dipastikan sentakannya akan memancing keingintahuan beberapa orang di sekitar.
Jungkook malah memamerkan cengiran. “Tapi aku bukan cenayang, Jimin. Aku belum pernah melakukan ritual dengan cenayang-cenayang tua untuk menjadi seperti mereka. Namaku juga masih Jeon Jungkook, masih dengan marga Ayahku. Mereka yang jadi cenayang selalu punya nama aneh. Nama Ibuku berubah jadi Geumjo setelah melakukan ritual.”
Tangan Jimin sudah gatal ingin meninju wajah yang tampak tak bersalah itu. Bisa-bisanya sekarang justru berceloteh dengan wajah riang? “L-lalu kenapa kau bilang padaku soal itu kemarin?”
“Karena kau menuduhku penipu sementara aku sendiri tidak pernah melabeli diriku sebagai cenayang. Aku hanya punya sedikit kemampuan Ibuku dan kebetulan semua yang datang padaku memang masalahnya bisa kuselesaikan sendiri jadi seolah aku terlihat hebat padahal tidak juga.”
Jimin sempat ternganga. “Jungkook, serius, kau selalu bersikukuh kalau kau bukan penipu tapi aku selalu merasa tertipu.” Jimin mengusap wajah. “Tapi aku jadi tidak bisa marah karena artinya aku tidak akan patah hati.”
Jungkook mengedikkan bahu tapi ia tersenyum. “Tidak heran juga kau bisa tiba-tiba suka padaku. Aku sudah membagi banyak sekali energi dan mungkin juga sekarang auramu sedikit berubah. Aku yakin tak banyak orang mulai tertarik padamu.”
Jimin membeliak. “Kenapa kau membuat orang-orang jadi tidak suka padaku!?” Ia berani meninju bahu Jungkook kali ini.
“Astaga, diam sebentar, Jimin.” Jungkook usap-usap bahunya. “Pernah dengar tidak mereka-mereka yang ingin dicarikan pasangan dan datang ke cenayang selalu meminta agar auranya diperkuat jadi lebih mudah memikat seseorang?”
Jimin mengangguk.
“Auramu tertutup sekarang karena energiku.”
Jimin diam, masih bungkam sampai kemudian berceletuk, “Kau... juga suka padaku, ya?”
Mendengar itu, Jungkook lagi-lagi hanya tersenyum tak jelas. Tapi ia merangkul bahu Jimin santai. “Makanya kau lanjutkan saja kalau memang suka denganku.”
Jimin mencebik. “Aku jadi malas menyatakan perasaan kalau begini, tidak seru.”
Bohong. Jimin sejujurnya suka sekali. Awal tahun, hidup baru, hati yang baru juga.
“Oh, gadis itu bagaimana? Dia masih di sini? Kenapa keras kepala sekali tidak mau pergi?” cecar Jimin. Ia menoleh saat merasa Jungkook menatapnya lama sekali.
Baru ketika sudah saling bertukar pandang, Jungkook memberi jawaban. “Dia sudah pergi, Jimin. Kali ini benar-benar pergi. Tepat ketika kau selesai menciumku.”
Jimin terbatuk sendiri.
Tidak sampai di situ. Jungkook masih lanjut berkata, “Mungkin memang harusnya dari awal kau tidur denganku saja. Kalau gadis itu lihat, sudah pasti langsung melenyapkan diri.”
Tinju lebih keras Jungkook dapatkan di area yang sama.
“Sialan, Jungkook! Aku hanya bercanda tadi!”
Pasti itu akan jadi bualan-bualan menyebalkan yang akan terus Jimin dengar sepanjang nanti ia habiskan waktu bersama Jungkook.
Mati saja, sudah. Jimin tak punya muka lagi.