Work Text:
Apabila kau penasaran bentuk cinta sejati itu seperti apa, barangkali Reo Mikage dan Nagi Seishiro mampu berikan kau jawabannya.
Mereka akan bercerita tentang sebuah roman picisan, namun bukan tentang si miskin dan si kaya. Pula bukan tentang si cantik dan si buruk rupa. Mereka akan menceritakanmu kisah sederhana tentang si tuan dan si tuan. Yang begitu tamak perihal dunia, hingga lalai pada telak sebuah hakikat. Ini adalah kisah tentang seorang Kesatria dan seorang Pangeran dari kerajaan surga, yang keduanya temukan diri mereka saling jatuh cinta.
Hiduplah keduanya dalam semesta kecil huru-hara. Kesatria yang sederhana begitu jatuh hatinya untuk perangai ayu Pangeran lila. Dungu keduanya saling memadu cinta, padahal tau stratum jarak membentang begitu jauhnya. Namun abai karena benarlah jatuh cinta rasanya amat luar biasa. Dua kali lebih indah dari hamparan padang bunga. Diam-diam keduanya akan berlari ke tengah hutan. Berciuman di antara gugur daun magnolia. Lalai akan waktu, mereka berdua akan menari dari pagi hingga petang.
Hingga angkasa raya pada akhirnya ikut pilu kian sesak. Melihat dua jasad saling mendamba meskipun tau tak ada masa depan baik untuk mereka berdua. Yang di atas sana kemudian menarik kembali sang Pangeran ayu untuk kembali ke kerajaan surga. Memuntir ceritanya dengan meminangkan ia dengan rembulan jelita yang menggoda. Hingga tertutuplah andai dari sang Pangeran atau Kesatria perkasa yang menangis di bumi sana.
Pada akhirnya baik sang Kesatria maupun sang Pangeran sama-sama tenggelam dalam luka andai yang tak sampai. Namun bukankah memang sedari awal memang tak ada masa depan baik untuk Kesatria kotor dengan suci seorang Pangeran? Bukankah memang tak ada akhir baik untuk si tuan dan si tuan?
Kesatria mampu runtuhkan bumi, pula mengajaknya melayang tinggi. Kabulkan segala permintaan mustahil. Kecuali mengganti dirinya jadi rembulan cantik. Ah andaikan sang Kesatria punya magis yang tak terkira, ia ingin merubah dirinya menjadi rembulan seperti dambaan semesta. Barangkali dengan begitu mereka mampu menggandeng tangan bersama. Hingga sang Pangeran tak perlu naik ke angkasa, untuk kembali meminang ayu yang rembulan.
Namun sang Kesatria tak mampu melawan semesta dan isinya, lantas ia bisa apa?
“Bawa aku pergi, Sei”
Suara lemah Reo menyadarkan Nagi dari lamunnya. Maniknya menangkap punggung kekasih kecilnya yang kini tertegun, menatap riak air sabun yang merendamkan separuh tubuh mereka pada bajan berendam. Ikut tenggelam dalam lamun dan angan bahwasannya esok sang Kesatria-lah yang menemaninya di atas altar.
“Aku tak ingin menikah. Kau bisa bawa aku pergi. Bawa aku pergi kemanapun” ucap Reo lagi. Netra lila di sana menerawang kosong kian jauh. “Kemanapun kau pergi aku akan ikut”
Nagi menggigit bibirnya. Sempurna kalut hatinya, seakan tiap detik bagai mencekik. Buat dadanya kian sesak.
Malam itu semesta bagai siap menjatuhkan dirinya ke tanah jadi ribuan debu berkeping kecil. Barangkali sebagai kutukan karena hatinya belum enggan jua melepas sang Pangeran dari bumi. Kau bisa bayangkan, pukul sebelas malam. Keduanya lepas merajut cinta. Bercumbu dari ranjang hingga ke bajan berendam. Mendayu, tenggelam dalam lautan nirwana. Mengukir ribuan nikmat sampai ke surga. Namun lalai bahwasannya surga itu abadi, dan yang ini tidak.
Sebab kala kembali menjejak dunia, keduanya tau ada takdir yang terpuntir untuk mereka berdua.
“Aku mencintaimu, Sei. Aku ingin sampai mati bersamamu” Reo kembali melanjutkan kalimatnya. Menelan ludah, ia menaruh harap banyak pada tiap kata yang ia lontarkan. Berharap kekasihnya pula merasa cinta yang sama besarnya “Aku mencintaimu, Sei. Apa kau mencintaiku?”
Astaga! Pertanyaan gila macam apa? Tentu saja ia mencintainya! Reo adalah sepotong hatinya. Dunia dan semestanya. Pangeran ayu-nya dari kerajaan surga. Segala rupa yang telah ia lama damba. Segala cinta yang telah lama ia inginkan.
Namun amat celaka cinta bukan hanya tentang dada yang bergemuruh dengan senyum malu-malu. Bukan hanya tentang ciuman di antara kupu-kupu. Bukan hanya tentang peluk saling bercumbu. Namun cinta pula adalah tentang si dalang, pula si pelaku.
Ah, inikah rasanya berandai tapi tak mampu?
“Aku juga mencintaimu, Re. Selalu cinta” Nagi meraih tubuh kekasih cantiknya. Mendekapnya erat hingga yang mungil itu hilang dalam relungnya. Barangkali akan ciptakan sesak, namun biarlah. Biarlah ia mendayu lebih lama. Biarlah ia rasakan vitalitas seorang Reo lebih lama. Sebelum semesta sempurna mencuri yang elok itu dari dirinya. “Aku mencintaimu, Re. Tapi kalau kau memilihku, kau hanya akan dapat aku”
Seketika ruangan melegang. Hanya terdengar satu-dua larik tetes air turun membasuh lantai ruangan.
“Aku selalu mencintaimu, Re” Nagi mengulang kalimatnya, berharap yang di angkasa raya pula mendengarnya. Agar tau bahwasannya ia bersungguh-sungguh dalam mencinta. “Tapi jangan memilihku. Kalau kau memilihku, kau hanya akan dapat aku”
“Aku tak perlu yang lain, Sei. Aku cuma butuh kau”
“Re— ”
“-kita… kita bisa pikirkan kedepannya nanti” Reo menggigit bibir, meremat punggung tangannya sendiri. Mati-matian menaruh harap meyakinkan diri, berusaha menahan sesak yang menghimpit hati. Duhai, bukankah cinta harusnya sederhana? Mengapa bisa berubah sebegini menyakitkan? “Bersamamu saja sudah lebih dari cukup — ”
“—Re, tak mengertikah kau?” Potong Nagi pias. Astaga, Dewa-Dewi di angkasa. Ia mohon jangan sakiti hatinya lebih dari ini. Jangan ciptakan andai yang tak mampu ia gapai. Jangan sakiti dirinya, jangan sakiti kekasihnya. “Kau dan aku tak bisa bersama, Re. Dalam hidup, kau punya banyak pilihan. Kau punya banyak kesempatan. Kau cerdas, punya keluarga yang baik, masa depan juga menunggumu sama baiknya. Tidak sepertiku, Re. Kau punya segalanya. Kau luar biasa, berhati besar. Hidupmu akan bahagia selalu. Tapi tidak denganku, Re. Tidak bersamaku”
Apabila mampu, sungguh ia pula ingin mencuri sang Pangeran dari dunia. Mengajaknya berlari ke hutan dan menari bersama bintang. Menjadikan raga itu satu-satunya miliknya, tempatnya kembali pula merebah. Mereka akan habiskan waktu mendulang mimpi sampai tua. Berjanji tentang masa depan cemerlang. Kemudian ditutup dengan bercumbu sampai bercinta.
Sungguh ia benar amat cinta, namun bisa apa?
“Kau jauh bumi, jauh langit denganku, Re. Kau putra tunggal. Satu-satunya harapan besar. Bisnis papamu akan lancar tujuh-turunan karena kau pemuda cerdas. Kau akan bahagiakan papamu, Re. Kau punya masa depan cerah dengan bisnis papa di tanganku, tapi tidak bersamaku — ”
“ — bisnis papa nggak ada hubungannya, Sei — ”
“Tentu ada, Re. Tentu ada. Astaga” Nagi mengusap wajahnya, berusaha halau pelupuk yang telah basah. Tak menyangka sepenggal kalimat dapat sangat sulit diungkapkan. “Kau tau betul kita nggak bisa menghasilkan keturunan”
Bagai jelaga yang tumpah di langit malam, Reo Mikage merasa dunianya jatuh dan menghitam.
Inilah akhirnya, inilah akhir dari kisah malang si tuan dan si tuan.
“Kau tak tau apa yang kau lakukan, Re. Apa yang kita bisa lakukan kalau papamu minta pewaris nanti? Tidak ada. Tak ada yang dapat kau dan aku lakukan. Kau akan menyalahkan dirimu sendiri. Menghukum dirimu sendiri karena nggak bisa penuhi harapan papamu” Nagi berbisik pilu, tenggelamkan wajahnya dalam tengkuk yang ayu. Tahu bahwasannya tiap kalimat yang keluar merobek luka keduanya makin besar. “Kalau kau memilihku, kau tak akan punya duniamu sendiri. Orang-orang akan senantiasa ikut campur dalam urusanmu hanya karena kau memilihku. Mereka akan datang hanya untuk memakimu. Mereka akan datang hanya untuk mengusik hidupmu. Kau tak akan bahagia bersamaku, Re. Puan manapun, tapi bukan aku”
Reo Mikage merasakan dunianya runtuh seketika. Sadar ia sendiri terjerat dalam nikmat surga yang sia-sia. Mengira bahwasannya ia berhasil menebak logika hidup, namun yang disana berhasil memuntir dirinya ke arah yang tak terduga. Dan jadilah ia kini sebagai objek lawakan semesta.
Benarlah bagaimana jatuh cinta harusnya menyenangkan, namun tidak untuk sang Pangeran, pula sang Kesatria. Cinta begitu sederhana, namun celaka berubah rumit hanya karena keduanya adalah seorang Tuan. Pada akhirnya urusan hati mereka harus disimpan diam-diam. Tak ada yang tau tentang segala cumbu yang meggebu, tentang ciuman di antara kupu-kupu. Atau tentang peluk sembunyi-sembunyi di antara awan, kemudian dua kelingking bertaut dan berbisik ‘sampai maut memisakan’. Setakat tak sadar bintang-bintang di angkasa raya sedang berbisik dan mencela; ‘lihatlah dua manusia dungu terjebak dalam andai yang enggan hilang’
Luka itu kini sempurna menganga. Bersamaan dengan sesak yang menghantam hingga kini Reo merasakan bulir perlahan jatuh dari pelupuknya.
“Tak semua mampu menerima keadaan kau dan aku, Re. Urusan menerima itu pilihan. Tapi yang sulit adalah ketika mereka berhenti melihat kau dan aku sebagai manusia.” Reo dapat mendengar lirih Nagi berbisik di balik punggungnya. Pula ikut menahan getar serta bulir kasat pada pelupuknya. “Kadang mereka lupa kita masih punya hati, sama seperti mereka”
“Aku nggak peduli — ”
“ — tapi aku peduli” Nagi menyela, mulai putus asa. Benar bahwasannya ia tak mampu melihat Reo melanjutkan hidup dengan menggandeng tangan yang bukan dirinya. Namun hatinya akan seribu kali lebih terluka apabila melihat kekasihnya kelak hidup dengan melara, tenggelam di kubangan gelap hanya karena memilihnya. Hanya karena cinta yang sedari awal mereka tau itu sia-sia. Sang pangeran akan jatuh mahkotanya. Yang ayu akan jadi cela karena memilih hidup bersamanya. “Akan jadi penyesalan seumur hidupku kalau kau hidup tapi nggak bahagia, Re”
Ruangan itu serasa menghimpit. Nagi merasa sesak pada dadanya kian mencekik hingga membuatnya hampir mati. Tak menyangka perihal cinta sederhana mampu berubah sebegini rumit jadinya. Yang ia inginkan hanyalah Reonya. Reonya yang cantik, Reonya yang teduh. Ia rindu menghabiskan waktu-waktu bersama, saling memberi kabar, saling merindu, saling bercumbu…
Duhai, ia benar amat mencintai kekasihnya. Namun keduanya harus berhenti, bahkan sebelum memulainya. Bahwasannya memang dunia adalah mutlak bagi si tuan untuk si puan. Lantas mereka berdua yang tuan tak mampu apa-apa. Selain menelan andai dan berdoa agar dapat diizinkan seperti ini lebih lama.
Nagi Seishiro biarkan bulir kini ikut lolos membasahi pipinya. Sesak dadanya berkecamuk, pula lukanya robek begitu besar. Ia tak pernah tau bahwasannya sepenggal kalimat mampu membunuh jantungnya hingga kini rasanya sakit kian mati tak terkira. “Aku mencintaimu, Re” lirih ia mengeratkan dekapannya, berharap isaknya tak pernah terdengar. “Tapi kalau kau memilih bersamaku, kau hanya akan dapat aku”