Chapter Text
Butuh tempat persembunyian untuk dapat menuangkan isi pikiran tetapi kamera pengawas di sudut sana sedang tidak berfungsi, seharusnya ia dapat menulisnya di sini. Tapi Iwaizumi menjadi cemas, bagaimana jika kamera itu sebenarnya dapat difungsikan dari jarak jauh, mengecohnya agar mata-mata negara dapat segera menangkapnya. Karena kegelishannya itu, Iwaizumi bangkit menuju kamarnya, mengecek monitor komputernya dan menemukan bahwa kamera itu benar-benar mati.
Iwaizumi menghela napas. Ketakutan tak kasat mata itu telah menghantui seumur hidupnya. Berjalan di luar, ditatap oleh orang-orang, bahkan di dalam rumah sendiri membuatnya ketakutan setengah mati. Tidak ada tempat aman bagi orang sepertinya di negara ini.
Setelah benar-benar memastikan, Iwaizumi kembali ke ruang tamu. Ia memutuskan untuk kembali menulis setelah kejadian yang dialaminya semalam. Ia pun mulai menulis.
‘Semalam sama seperti malam-malam biasanya. Muram dan mencekam. Mereka terjalin dengan mesra, bercumbu tanpa ada keresahan. Sementara yang kulakukan hanya minum, minum, dan terus minum hingga mabuk. Sampai temanku menunjuk seseorang yang benar-benar membuatku terpesona. Rambutnya yang kecoklatan, senyumnya yang menawan, dan wajahnya… seumur hidup aku belum pernah menemukan pria seperti itu. Lalu perubahan mulai terjadi, hasrat yang telah terpendam selama bertahun-tahun berhasil naik ke permukaan hanya dengan melihat wajah itu.
ingin menatapnya lebih lama. Mengusap rambut lembutnya, menggenggam tangannya, dan menyicipi bibir tipis itu. Tapi negara ini menentang. Pria hanya untuk wanita dan wanita hanya untuk pria.
maka berakhirlah aku di ruangan kotor itu bersama pelacur wanita yang sama sekali tidak dapat memuaskan.
aku benci negara ini. Tapi hanya di tempat tanpa harapan ini aku dapat menemukan pria itu.’
Iwaizumi memandang tulisannya tanpa penyesalan. Ia membenci negara tempatnya dilahirkan, dan tidak ada yang dapat mengubah pikirannya itu. Sementara pikirannya masih berkelana di tempat itu, saat ia kembali menemukan pria berambut coklat yang tengah menunggunya dengan senyum terindah yang hanya ditujukan kepadanya. Oikawa Tooru… bintang porno papan atas… siapa dia sesungguhnya. Apakah dia lawan atau kawan. Matanya melihat ada sesuatu rahasia pada pria itu. Gerak-geriknya menunjukkan sebuah kepura-puraan dan juga kemuakkan, tapi bagaimana jika ia hanya membayangkannya dan berharap bahwa Oikawa sama sepertinya? Pria tampan yang dikelilingi perempuan seperti itu dapat dipastikan menuruti aturan-aturan negara. Lagi-lagi ia merasakan pahit di pangkal tenggorokannya.
Iwaizumi secara hati-hati menaruh buku catatan itu di bawah lantai yang telah lepas. Menyembunyikannya dengan aman tanpa ada seorang pun yang tahu. Ia tidak mampu mengerahkan pikirannya untuk menggambar, panasnya matahari menyumbatnya untuk berpikir. Ia hanya ingin berada di sini tanpa melakukan apapun. Iwaizumi memandang langit-langit, pikirannya kembali melayang pada kejadian semalam. Mengingat betapa pasifnya ia dalam urusan seks, semalam perempuan itu yang mengambil alih semuanya. Sementara dengan tubuh telanjangnya ia hanya berbaring memandang langit-langit (seperti saat ini) tanpa merasakan kenikmatan apapun saat penisnya memasuki vagina wanita itu.
Wanita itu berada di atasnya, menaiki penisnya dan menggelinjang kenikmatan saat ia berhasil menemukan titik kenikmatannya. Berkali-kali wanita itu mencapai klimaks, sedangkan ia tak sedikit pun meraihnya. Tanpa sepatah kata ia pergi meninggalkan wanita itu. Pulang dalam kegelapan malam dan berkubang dalam keputusasaan.
Pengalaman seksualnya memang hanya dilakukan bersama wanita. Kepasifannya membuat mereka memutuskan hubungan seperti mantan istrinya. Iwaizumi berpikir apakah ia juga pasif jika bersama pria? Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya kembali mengembara dalam muara imajinasi yang tak dapat menjadi nyata. Imajinasi membawanya ke tempat yang sama, kamar kotor di bar tadi malam, tetapi ia tidak berbaring menyedihkan seperti yang terjadi, ia berada di atas tubuh telanjang pria (Iwaizumi mengerang saat wajah Oikawa-lah yang ia bayangkan) yang menatapnya dengan wajah memerah dan napas terengah-engah. Oikawa memohon padanya untuk memberinya lebih, tanpa diduga Iwaizumi mengabulkan permohonannya, ia menghentakkan pinggangnya keras, mengubur penisnya jauh di dalam Oikawa.
Jeritan Oikawa, hangat napasnya, dan kenikmatan yang dirasakan saat rektum Oikawa mencengkram penisnya erat. Iwaizumi mendesah, penisnya mulai berdenyut. Imajinasi itu begitu nyata, hangat tubuh beserta lubang hangat Oikawa. Masih dengan mata terpejam, Iwaizumi membawa tangannya menuju penisnya, memijatnya lembut. Dalam imajinasinya ia tidak menenggelamkan wajah ke payudara besar wanita melainkan ke perpotongan leher pria itu, menghirup aroma memabukkan sebelum memberikan tanda kemerahan di sana, sebagai tanda bahwa pria itu adalah miliknya, tak ada seorang pun yang dapat memiliki Oikawa Tooru bahkan aturan-aturan bodoh negara ini.
Gerakan di penisnya semakin cepat, ia ingin mencapai klimaks yang tak pernah ia rasakan. Saat pinggulnya menghentak semakin cepat dan Oikawa memeluknya semakin erat, ia mendengar suara pintu terbuka diiringi suara perempuan yang telah dihapalnya.
“Iwaizumi-san ada yang ingin—”
Iwaizumi kembali kepada kenyataan. Tubuh telanjang Oikawa yang berkeringat yang terbaring di bawahnya telah menghilang, dengan panik ia menutupi tonjolan di celananya. Ia menatap editornya tidak percaya. “Bukankah sudah kubilang ketuk pintu dulu sebelum masuk, Mizuki-san?”
Wanita berambut merah itu mendecih. “Salahmu sendiri tidak mengunci pintu. Oh, jadi bagaimana semalam? Kau bersenang-senang?” Seakan lupa dengan tujuannya ke sini, Mizuki berjalan cepat dan duduk di sebelah Iwaizumi. Matanya berbinar-binar menantikan jawabannya. Ia pasti menginginkan dirinya melakukan seks hebat bersama para wanita..
“Lumayan membantu meringankan pikiran.”
Mizuki berkedip. “Hanya itu?”
Iwaizumi memberi anggukan, ia tidak ingin menceritakan keseluruhan ceritanya. Mizuki mendesah, menatapnya tajam. “Kau benar-benar tidak dapat memanfaatkan kesempatan.”
“Terserah apa katamu. Ngomong-ngomong ada perlu apa kau ke sini? Aku belum memulai kembali—”
“Aku sedang tidak ingin membicarakan pekerjaan. Aku datang ke sini ingin menyampaikan pesan dari Saori.”
Iwaizumi terdiam. Mizuki memandangnya dengan serius. Kilatan penyesalan tak dapat ia tutupi. “Dia masih belum menghubungimu? Setelah hampir satu tahun?” Iwaizumi kembali mengangguk. Saori adalah mantan istrinya, wanita yang telah ia kecewakan dari awal pernikahan mereka. Ia sendiri sama sekali tidak menyukai atau mencintai wanita itu, tetapi Mizuki menjodohkan mereka dan berbisik jika Saori menyukainya. Iwaizumi berupaya agar perjodohan itu tidak terjadi, tetapi Mizuki yang menyadarinya jika usianya waktu itu usia yang diharuskan untuk menikah. Maka terjadilah pernikahan itu.
Pernikahan itu sebaginya seperti neraka. Rumah yang mereka tinggali hangat sebagaimana keluarga kecil pada umumnya. Iwaizumi seharusnya beruntung memiliki wanita yang mau menjadi istrinya. Saori sangat cantik dengan tubuh mungil dan rambut hitam panjangnya menambah kecantikan dari wanita itu. Ia pintar memasak, pandai membersihkan rumah, setiap pulang dari bekerja Saori selalu menyiapkan air hangat dan makanan lezat untuknya. Tapi tetap ia tidak mencintai wanita itu. Iwaizumi mencintainya sebagai sahabat dan adik perempuan, bukan sebagai pasangan hidup.
Sama seperti pengalaman-pengalamannya bersama wanita. Iwaizumi menjadi pasif saat melakukan seks. Menyerahkan semuanya kepada Saori sedangkan ia berbaring tidak berdaya. Ciuman yang mereka bagi begitu dingin seolah siap membekukannya dalam sekejap. Desahan Saori menjadi lagu pengantar kematian. Dan klimaks membuatnya hancur berkeping-keping.
Pernikahan mereka hanya bertahan lima tahun. Mereka dikaruniai satu anak perempuan bernama Sumiko. Iwaizumi tidak tahu apakah Saori telah mengganti nama anak itu menjadi nama keluarganya. Ia juga tidak peduli apakah Sumiko menyandang nama ‘Iwaizumi’ atau tidak tapi ia tidak dapat membohongi bahwa ia menyayangi Sumiko lebih dari apapun di dunia ini.
“Iwaizumi-san… apa kau mendengarku? I-wai-zumi-san!” Iwaizumi tersadar. Ia memandang Mizuki.
“Kau bilang apa?”
Mizuki menghela napas. Wanita itu memandangnya penuh tanya. “Ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau terus melamun, ada yang mengganggu pikiranmu?”
Kemahiran wanita dalam membaca pikiran dan isi hati memang patut diacungi jempol. Iwaizumi mencoba tersenyum yang justru terlihat seperti meringis. “Baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan. Jadi apa yang ingin kau bicarakan?”
“Yah baiklah kalau begitu. Umm—Jadi kau tidak ingat hari ini hari apa?” Mizuki terdiam. Kemudian kembali melanjutkan. “Ayolah Iwaizumi-san, aku tidak tahu ada masalah apa di antara kau dan Saori tapi jangan abaikan Sumi. Kau harus sering berkunjung ke rumahnya dan bermain bersama anak itu. Hari ini Sumi berulang tahun.”
Iwaizumi memejamkan mata. Tentu saja hari ini Sumi ulang tahun, ayah macam apa ia bisa melupakan itu. “Maaf aku lupa. Baiklah aku akan bersiap-siap— Mizuki-san apa kau bisa menemaniku membeli hadiah?”
“Tentu saja, ayo.”
Keduanya menelusuri jalan sepi di sepanjang pemukiman kumuh. Setelah bercerai dengan Saori dan menerima bahwa Sumiko tidak dapat tinggal dengannya, Iwaizumi lebih memilih hidup di perumahan kumuh. Hidup sendiri tentunya tidak memerlukan biaya tinggi. Mereka keluar menuju persimpangan, dan berjalan menuju swalayan.
“Apa yang disukai anak perempuan berumur empat tahun?”
“Sumi pasti menyukai apapun hadiah pemberianmu, Iwaizumi-san. Lihat, sepertinya dia akan menyukai boneka ini.” Mizuki menunjuk boneka beruang besar berwarna merah jambu. “Jangan lupa belikan dia gaun. Anak perempuan suka memakai gaun.” Iwaizumi mengangguk, mengambil barang-barang yang disebutkan Mizuki.
“Iwaizumi-san, aku ingin membeli sesuatu. Tunggu sebentar.” Iwaizumi mengangguk, sementara Mizuki menjauh. Toko-toko yang tersedia di tempat seperti ini biasanya menjual banyak barang, dan tempat ini salah satu yang terbesar. Iwaizumi hendak membayar barangnya di kasir saat matanya terpaku pada rak yang memajang fiero dan koero. Pemerintah mewajibkan semua toko di seluruh wilayah menjual dan menempatkan bagian khusus untuk hal-hal yang berbau erotis. Di lorong ini berbagai macam media porno dipajang bebas. Majalah, komik, ataupun dalam bentuk kaset. Para wanita telanjang menatapnya penuh sensual, tetapi Iwaizumi sama sekali tidak tertarik dengan mereka. Tak pernah sekalipun ia merasa tertarik dengan lekuk tubuh wanita, sebaliknya ia terfokus pada lawan main mereka.
Iwaizumi terdiam. Jantungnya berdetak cepat saat ia melihat pria itu kembali. Ia menoleh ke sekeliling memastikan ia benar-benar sendiri di tempat itu. Lalu ia kembali terfokus pada halaman depan majalah, sebuah nama terpampang besar. Oikawa Tooru, dan keterangan yang mengikuti di bawahnya ‘bintang panas favorit para wanita’. Iwaizumi menoleh ke bagian kaset, di cover terpampang Oikawa memeluk seorang wanita dari belakang, tanpa sebab gambar itu membuatnya begitu terangsang. Baru kali ini ia ingin melihat video porno. Memastikan tidak ada siapapun di sekitarnya, Iwaizumi mengambil salah satu fiero, menyembunyikannya di barang belanjaan yang lain. Ia kembali melangkahkan kaki saat pandangannya tertuju pada majalah porno di rak sebelah kiri.
Wajah tampan Oikawa terpampang di sana, kali ini dengan balutan pakaian kasual, hatinya mencelos melihat pria itu menggunakan kaca mata. Menambah ketampanan pria itu. Kepala berita tertulis besar di atasnya yang menyatakan jika Oikawa tengah berkencan dengan artis porno papan atas, yang kecantikannya telah melegenda. Foto wanita itu berada di sisi sebaliknya. Memang seorang wanita yang sangat jelita, rambutnya hitam dan dipotong sebahu, tahi lalat di tepi mata menambah kecantikannya. Penasaran dengan isi berita, Iwaizumi menyomot satu dan membawanya ke kasir.
Pelayan kasir adalah seorang perempuan berperawakan sedang, menerima belanjaannya dengan senyum sopan di wajah. Hal-hal memalukan seperti membeli barang-barang porno di zaman ini dianggap sebagai suatu kewajaran. Tapi Iwaizumi masih belum terbiasa dengan semua itu.
“Apakah masih ada lagi?” Gadis itu bertanya. Iwaizumi hendak menjawab saat seseorang menepuk pundaknya pelan.
“Kau sudah membeli semuanya?”
Mizuki datang membawa banyak sekali belanjaan. Ia memicingkan mata melihat bungkusan di atas konter. “Seharusnya kau membungkus hadiah itu, Iwaizumi-san. Dan kau jadi membelikan Sumiko gaun kan?”
Sial Iwaizumi lupa akan gaun itu. Semuanya karena Oikawa telah mengalihkan perhatiannya. Ia menggeleng, yang dihadiahi helaan napas panjang Mizuki.
“Baiklah biar aku yang mengurusi semua ini. Keluarkan boneka beruang itu untuk dibungkus, aku akan mencari gaun untuk Sumiko. Kau tunggu di luar saja.”
Iwaizumi menuruti perkataan Mizuki. Mengeluarkan boneka besar itu seraya membawa kantung belanjaan lain dan melangkah keluar. Ia menarik napas lega. Mizuki tidak menyadari ia membeli barang-barang laknat itu, entah apa yang akan dikatakan wanita ceriwis itu melihatnya membeli barang-barang porno.
Tak beberapa lama Mizuki keluar. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak jauh menuju rumah lamanya, setidaknya sembilan ratus meter mereka harus berjalan kaki. Akhirnya mereka menuju jalan besar. Banyak kendaraan yang berlalu lalang. Sebuah pemukiman yang berbanding terbalik dari tempat kumuh tadi. Mizuki tidak berbicara apapun, hanya bersenandung kecil menikmati perjalanan. Tampaknya ia sedang gembira.
“Tunggu Iwaizumi-san.” Mizuki berhenti. Iwaizumi juga berhenti, menatap gadis itu dengan tatapan bingung. “Dengar, jangan buat suasana menjadi canggung. Aku tahu akan sulit bagimu untuk melakukan itu tapi berpura-puralah di depan Sumi. Anggap saja kalian teman lama yang kembali dipertemukan. Ini, pegang hadiahnya. Mainkan peranmu dengan baik.” Mizuki menyerahkan kantung plasik besar kepada Iwaizumi. Rumahnya hanya tinggal beberapa meter lagi, dan perasaan tak nyaman menghantam ulu hatinya. Mendengar penuturan Mizuki membuatnya semakin tak nyaman.
Iwaizumi mengambil kantung itu. Mereka kembali berjalan. Ia merenung sesaat memikirkan apa yang harus dikatakannya kepada Saori. Permintaan maaf karena jarang berkunjung? Tapi apa yang harus dilakukannya saat pertama kali bertemu? Memeluk tubuhnya? Lebih daripada itu ia dicengkram ketakutan karena orang tua Saori pastinya ada di sana. Apa yang akan dikatakan kedua orang tua Saori kepadanya? Pernikahan yang hanya seumur jagung. Perpisahan yang bahkan tak jelas apa sebabnya. Iwaizumi takut mereka akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Tanggung jawabnya sebagai ayah apalagi umur Sumiko baru empat tahun. Memikirkan semuanya membuat jantungnya berdetak keras.
Mereka tiba di depan sebuah rumah berwarna putih berukuran sedang. Rumah itu sama seperti rumah-rumah lain di sekitarnya. Rumah yang berhasil didapatkan dari pekerjaan yang paling dibencinya. Tapi setidaknya Sumiko akan hidup terjamin di sini.
Mizuki menatap Iwaizumi yang hanya dibalas dengan tatapan acuh tak acuh. Halaman depan rumah itu sepi tetapi beberapa alas kaki memenuhi rak di samping pintu. Iwaizumi memejamkan mata, mencoba menghilangkan kegugupannya.
“Aku sudah mengirim pesan kepada Saori bahwa kita telah tiba.” Melihat Iwaizumi yang hanya bergeming, Mizuki mengambil inisiatif memencet bel di dinding bagian dalam. Mereka menunggu selama lima menit, Mizuki melirik Iwaizumi yang bergerak gelisah.
“Tenang saja Iwaizumi-san, semuanya akan baik-baik saja.”
Baru setelah itu pintu terbuka. Sesosok anak perempuan berlari ke luar dan berteriak kencang menghampiri mereka. Wanita dewasa mengikutinya di belakang. Untuk sesaat tatapan mereka bertemu. Mata Saori sama seperti dulu, tapi sekarang ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia menemukan lebih banyak kebahagiaan di sana, berbeda saat wanita itu masih bersamanya.
Satu teriakan melengking berhasil membuatnya mengalihkan perhatian. “Papaaa!! Papa!!!” Sumiko menggoyang-goyangkan gerbang, memintanya agar segera dilepas.
Saori mengusak rambut anaknya penuh sayang lalu membuka gerbang mempersilahkan keduanya untuk masuk. Saat gerbang dibuka, Sumiko lantas memeluk kaki Iwaizumi. Tangannya terjulur meminta sang papa menggendongnya, Iwaizumi menyerahkan bungkusanya kepada Mizuki kemudian tersenyum dan membawa putrinya ke dalam gendongannya. Segera Sumiko mencium wajah Iwaizumi. “Papa, Sumiko kira Papa tidak datang.”
Iwaizumi tersenyum, membalas mengecup pipinya. “Tentu saja Papa datang. Sekarang kan Sumiko ulang tahun. Berapa umurmu, sayang?” Ia dapat mendengar Mizuki mendengus di sampingnya.
Bocah berpipi gembil itu melipat jarinya membentuk angka empat. “Tiga tahun, Papa!” Iwaizumi tertawa mengusap pipinya ke pipi Sumiko. Mereka berjalan menuju pintu masuk. Saori membuka pintu mempersilahkan. Selama beberapa detik keduanya bergeming canggung. Iwaizumi menyunggingkan senyum kepada Saori yang dibalas sama oleh wanita itu. Senyumnya masih sama, masih cantik seperti dulu.
“Apa kabar?” Iwaizumi ingin sekali menampar dirinya. Pembukaan macam apa itu?
Mizuki di samping hanya memperhatikan keduanya, menggeleng prihatin.
“Baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Hajime?”
Perutnya teraduk-aduk saat Saori memanggil namanya. Ia mengangguk sebagai jawaban. Saat itulah diam-diam Mizuki masuk ke dalam. Tidak ingin mengganggu pasangan itu, atau lebih tepatnya tidak ingin melihat kecanggungan mengudara di sekitar mereka.
Saat itulah Sumiko bersuara. “Papa dan Mama tidak cium?” Sontak keduanya menatap putri mereka. Keduanya tertawa canggung. Iwaizumi ingin segera pergi ke dalam, situasi ini benar-benar berada di luar kendalinya. Namun tanpa diduga Saori mendekat, tangannya terentang memeluknya serta Sumiko. Baiklah, ia akan memainkan peran seperti yang dikatakan Mizuki. Iwaizumi balas memeluk Saori dengan tangan yang bebas. Sudah lama ia tidak mendekap Saori, ada kerinduan di sana, tapi bukan dalam artian romantis. Anak digendongannya tertawa bahagia.
Kemudian mereka kembali ke dalam pesta ulang tahun. Halaman belakang telah penuh dengan tamu yang didominasi oleh anak-anak. Sumiko telah bergabug bersama mereka. Iwaizumi sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh para wanita (teman Saori sekaligus ibu dari anak-anak itu) yang ada di sana. Ia membungkuk kecil menyunggingkan senyum canggung. Sementara Mizuki telah asik bermain bersama anak-anak, sepertinya wanita itu memang terkenal di semua golongan usia.
Saori berdiri di sampingnya, lalu berbisik. “Hajime ada yang ingin aku bicarakan.”
Iwaizumi menunduk memandang wanita mungil di sebelahnya. Jantungnya kembali berdebar kencang, ulu hatinya semakin sakit seakan ada seseorang yang meninju bagian itu. Ia mengangguk, mengikuti Saori yang berjalan di depannya. Mereka berdua tiba di kamar yang dulu mereka tempati. Tidak ada perubahan di sana, dindingnya masih berwarna putih seperti saat ia masih tinggal di sana. ada perbedaan kecil, tidak ada foto pernikahan mereka, foto itu telah dipindahkan entah kemana, dan tak ada tanda-tanda keberadaannya ada di sana. Kamar itu sangat bersih dan menguarkan aroma khas yang menenangkan walau aroma itu dulu mencekiknya tanpa ampun.
Saori menutup pintu, membiarkan ruangan terisi keheningan. Kali ini kepura-puraan telah terlepas. Tak ada lagi sandiwara atau peran yang dimainkan. Saori telah tahu bahwa Iwaizumi tak pernah mencintainya.
“Maafkan aku…” Iwiazumi terlebih dulu membuka suara.
Saori memandangnya, lantas menggelengkan kepala. Wanita itu tersenyum lembut seraya menatapnya. “Kau sudah meminta maaf berkali-kali. Tidak ada yang salah, seharusnya aku tahu bahwa kau tidak mencintaiku.”
Iwaizumi terdiam, tidak tahu ingin membalas apa. Wanita itu melanjutkan, “sebenarnya aku tahu dari pertama kali kita berjumpa bahwa kau sama sekali tidak tertarik denganku. Tapi aku bersikukuh menikahimu karena sewaktu saat kau dapat mencintaiku. Tapi sepertinya itu tidak berhasil ya.” Wanita itu tertawa, lebih kepada mengejek dirinya sendiri. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu karena telah memaksamu untuk menikahiku. Tapi tak apa, semuanya sudah usai.”
Iwaizumi tahu setiap kata-kata yang dikeluarkan Saori mengandung rasa sakit yang sangat dalam. Ia menyesal atas segalanya, menyesal menyanggupi pernikahan itu. Berarti pertemuan mereka sejak awal adalah sebuah kesalahan, seharusnya mereka yang menanggung kesalahan tersebut.
“Kita akan tetap mengurus Sumiko bersama-sama.” Iwaizumi menjawab. Namun tatapan Saori berubah sedih. Ada sesuatu di balik tatapan itu.
“Ada apa? Apa kau tidak mengizinkanku bertemu Sumiko lagi?”
Saori cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Sebenarnya, aku telah menemukan pria yang telah aku cintai. Dan dia balas mencintaiku.” Saori tersenyum kepadanya. Kali ini sebuah kebahagiaan tercetak di wajah manisnya. Perasaan lega perlahan merayapi diri Iwaizumi. Benar, memang seharusnya Saori mencari laki-laki lain yang lebih baik dari dirinya.
“Kami akan melaksanakan pernikahan kami di akhir tahun.” Iwaizumi tak dapat menutupi keterkejutan. Rasa bersalah bercampur dengan kebahagiaan. Pada akhirnya Saori menemukan kebahagiaan dan menemukan keluarga utuh.
Iwaizumi menatap mata mantan istrinya, ia tersenyum bahagia. Perasaan tulus yang ia berikan. “Selamat, Saori. Aku turut bahagia.” Saori tersenyum. Tetapi raut bahagianya tergantikan.
“Tapi aku akan membawa Sumiko turut serta kepadaku. Kami akan pindah rumah karena calon suamiku pindah tempat kerja. Apakah tidak apa? Aku akan memberikan alamatnya kepadamu, jadi kau akan bisa mengunjungi Sumiko. Rumah ini akan kembali kepadamu. Apakah tidak apa, Hajime?”
Iwaizumi terdiam. Ia pasti akan sangat merindukan anaknya, tapi ia tahu pasti dengan kondisinya saat ini dan umur Sumiko yang baru tiga tahun dia pasti lebih membutuhkan seorang ibu. Iwaizumi berjalan mendekati Saori. Langkahnya ringan, dan memang ia merasakan itu. Ia membawa perempuan mungil ke dekapannya. Merengkuhnya erat. Setidaknya untuk kali ini ia akan memeluknya tanpa paksaan, tanpa keengganan, dan tanpa keraguan. Saori membalas pelukannya.
“Tak apa. Aku bahagia untukmu. Terima kasih telah melahirkan Sumiko, maaf karena harus menjalani pernikahan seperti ini. Kau wanita paling baik yang pernah kutemui. Kuharap selamanya kau akan bahagia.” Iwaizumi berbisik. Tangannya menusap rambut panjang Saori yang terurai.
“Terima kasih juga untukmu karena kau Sumiko ada di dunia ini. Juga maaf karena aku tidak seperti apa yang kau kehendakkan. Semoga Hajime mendapatkan seseorang yang kau cintai dengan tulus dan membangun keluarga bersama.”
Masing-masing doa untuk satu sama lain terpanjatkan. Tetapi Iwaizumi tahu, doa Saori tidak akan pernah terkabul.
TBC